سرشناسه : احمدی، حبیب الله، 1338 -
Ahmadi, Habibullahi
عنوان قراردادی : زیباترین سخن: (پژوهشی در علوم قرآنی) . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور : Ahsan Al-Hadîts : Analisis Tekstual Ulumul Quran/ Habibullah Ahmadi; penterjemah:Imam Ghozali.
مشخصات نشر : Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.
مشخصات ظاهری : 218 ص.
فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/262/169، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 8.
شابک : 978-964-195-034-9
وضعیت فهرست نویسی : فیپا
یادداشت : اندونزیایی.
موضوع : قرآن -- اعجاز
موضوع : قرآن -- علوم قرآنی
شناسه افزوده : غزالی، امام، مترجم
شناسه افزوده : Ghozali, Imam
شناسه افزوده : جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)
شناسه افزوده : Almustafa International UniversityAlmustafa International Translation and Publication center
رده بندی کنگره : BP86/الف 25ز9049519 1393
رده بندی دیویی : 297/158
شماره کتابشناسی ملی : 3649489
P:1
P:2
Habibullah Ahmadi
pusat penerbitan dan
penerjemahan internasional al Musthafa
penerjemah:
Imam Ghozali
Ahsan Al-Hadîts
Analisis Tekstual Ulumul Quran
Ahsan Al-Hadîts Analisis Tekstual Ulumul Quran
penulis: Habibullah Ahmadi
penerjemah: Imam Ghozali
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-034-9
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
P:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
P:4
Profil IICT..........................................................................xiii
Bab I Pendahuluan . . ................................................................. 1
Definisi . .......................................................................... 2
Signifikansi ...................................................................... 3
Metode . ........................................................................... 7
Signifikansi Kalam .......................................................... 8
Hierarki Kalam. .............................................................. 11
Keajaiban Kalam ............................................................. 11
Al-Quran; Kalam Mutakhir ........................................... 12
Melawan Al-Quran ........................................................ 13
Tantangan Al-Quran ...................................................... 17
Rahasia Mukjizat ............................................................ 21
Kerapuhan Fondasi “Shorfah” . . .................................. 23
Hakikat Mukjizat ............................................................ 25
Al-Quran dan Hukum Kausalitas ................................ 26
Mukjizat dan Tauhid . .................................................... 29
Al-Quran dan Mukjizat ................................................. 31
Imperatif Mukjizat .......................................................... 33
Keabadian Mukjizat ....................................................... 34
Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Mukjizat ..................... 35
Mukjizat Rasional . ......................................................... 37
Mukjizat dan Karamah .................................................. 38
Mukjizat dan Sihir .......................................................... 42
Perbedaan Lain . ..............................................................44
Dimensi Mukjizat Al-Quran . ........................................45
P:5
Bab II Estetika Ujaran: Aspek Mukjizat Teks Ujaran 49
Mukjizat Balaghah (Retorika) ....................................... 50
Kriteria Ujaran. ................................................................ 51
a. Seleksi Huruf . 51
b. Seleksi I’râb . 61
c. Komposisi Kalimat . 64
d. Contoh Lain . . 71
Sekilas Perbandingan . 74
Pertama . 74
Kedua . . 75
Ketiga . 78
Al-Quran dan Kinâyah . 80
Al-Quran dan (Alegori) . . 84
Al-Quran dan (Metafora) . . 91
Perbedaan Isti’ârah . 91
Keindahan Isti’ârah . 94
Isti’ârah dalam Al-Quran . . 94
Contoh Lain . 95
Kontinuitas Kebenaran . 99
Sajak .100
Klasifikasi Sajak .101
1. Sajak Mutawâzî . .................................................... 102
2. Sajak Mutawâzin . ...........................................................104
3. Sajak Mutarraf . . .................................................... 105
Badî’ . . 107
Tashdîr . . 107
Tibâq . . 108
Iltifât . 110
Bab III Ujaran Estetik: Aspek Mukjizat Makna Ujaran.......113
Dimensi Keilmuan Al-Quran . ...................................... 114
Dimensi Eksistensial Manusia . . . ..........................................115
P:6
Tamts l
Isti’arah
Al-Quran dan Teologi . 118
Al-Quran dan Hakikat Manusia . 122
Dua Unsur, Dua Kecenderungan . 123
Dua Tuntunan, Dua Takdir . 126
Al-Quran dan Keluarga . 127
Al-Quran dan Masyarakat . 130
Masyarakat Metodik . 130
Sunnatullah dalam Tatanan Sosial . 131
Kemenangan Haq . 131
Iman dan Persatuan . 132
Ujian Ilahi . 134
Al-Quran, Politik, dan Hubungan Internasional . 137
Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia . 139
Perjanjian . 139
Keadilan . 140
Berbuat Kebaikan . 141
Menjalin Persahabatan dengan Kafir . 143
Menerima Wilayah Orang Kafir! . 144
Menjaga Rahasia . 145
Kecerdasan Politik dan Pertahanan . 145
a. Permusuhan Kaum Kafir . 147
b. Konspirasi dan Pengkhianatan Kaum Kafir 148
c. Agen Mata-mata Kaum Kafir . 148
Al-Quran dan Persoalan Hukum . 152
Hak Asasi dan Hukum Perdata . 152
Hukum Pidana . 153
Mukjizat Saintis Al-Quran . 158
Kabar Al-Quran . 158
Perputaran Benda-benda Angkasa . 162
Fenomena Udara . 165
Al-Quran dan Hujan . 167
P:7
Al-Quran dan Awan . ............................................................. 169
Keharmonisan Al-Quran . ...................................................... 171
Al-Quran Abadi Sepanjang Masa . ....................................... 179
Al-Quran dan Ragam Makna ............................................... 181
Efektivitas Al-Quran ......................................................... 182
Ummi . ................................................................. 189
Aspek Mukjizat Angka . ......................................................... 191
Orang-orang Tercela dalam Sejarah .................................... 193
Musailamah Kadzdzab ..................................................... 193
Sajah binti Harits ............................................................... 195
Daftar Pustaka ............................................................................ 197
Indeks . ......................................................................................... 199
Iklan Buku
Kondisi Rasulullah
ix
P:8
Gambar
P:9
Gambar
P:10
institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan memulai
aktivitasnya pada tahun 1372 HS/1994 M di atas sebuah paradigma
pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemikiran sarjana dunia
Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe: tradisionalisme, modernisme,
dan modern-isme religius. Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka
dengan modernitas, menghadapi berbagai konsep dan teori baru,
menempatkan tradisi sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam
kondisi apa pun. Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi
modernitas secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran
dan reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kompatibel
dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma
ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.
Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada posisi
diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga
dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemikiran
modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsipal
dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsep-konsepnya.
Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam
bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan,
paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung pada negasi
total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan paradigma humanisme
serta mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh aspek
masyarakat. Di antara dua paradigma ini, Modernisme religius –dan
terutama paradigma Pemikiran Pembaruan– tampil konsisten dalam
menjunjung tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang pergaulannya
dengan konsep-konsep modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi
dan mereproduksi pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep
modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah terma-terma
seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan
p:xi
P:11
makna khasnya dibanding dengan kebebasan, demokrasi, dan keadilan
sosial sebagaimana yang dipahami dalam paradigma modern.
Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran Pembaruan
meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut pandangnya dalam
upaya mendefinisikan realitas, mencapai kebenaran, dan menjelaskan
sistem nilai. Atas dasar ini pula, tentu saja, ia melaksanakan agenda
penggagasan teori dan reproduksi pemikiran dalam berbagai bidang:
hukum, budaya, ekonomi, politik, dan sosial.
Sekaitan dengan ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan
lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan di tingkat
internasional. Tidak hanya menanggapi kritis sekularisme dan humanisme
sebagai dua pandangan dunia yang dominan di Barat, karyakarya
ini juga dengan kekuatan kritis yang sebanding menganalisis
dan menyangkal paradigma kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah
pemikiran baru di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas
Islam dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.
Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad
DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE
AND THOUGHT (IICT)
p:xii
P:12
p:1
ULUMUL QURAN merupakan terminologi yang merujuk pada
sehimpunan topik seputar Al-Quran—selain pula berfungsi sebagai
alat bantu dalam menafsirkan dan memahami kandungannya
dengan benar. Berdasarkan pengertian ini, serangkaian disiplin
keilmuan yang berhubungan dengan tata bahasa Arab seperti Al-
Sharf ( Morfologi), Al-Nahw (Sintaksis), dan Al-Ma‘ânî wa Al- Bayân
( Retorika) bukan termasuk bidang kajian Ulumul Quran. Demikian
pula dengan Tafsir yang merupakan ilmu memahami ayat Al-
Quran.
Dengan kata lain, Ulumul Quran adalah disiplin keilmuan
seputar topik-topik yang mendeskripsikan ihwal Al-Quran. Di
antaranya, surah Makkiyyah dan surah Madaniyyah, kondisi turunnya
ayat, seluk-beluk wahyu, metode pengumpulan Al-Quran, ayat
muhkam dan ayat mutasyâbih, pembacaan [teks] yang sahih, mukjizat,
dan topik-topik lainnya. Adapun telaah mengenai ayat Al-Quran
berikut maknanya termasuk dalam disiplin ilmu Tafsir, bukan
Ulumul Quran. Sebagai contoh, berkenaan dengan topik ayat-ayat
muhkam dan mutasyâbih, Ulumul Quran berupaya mendedah makna
konseptualnya, menyuguhkan metode sahih untuk memahami ayat
mutasyâbih, serta berbagai tema terkait lainnya. Begitu pula dengan
ihwal yang menyangkut ayat-ayat nâsikh dan mansûkh. Adapun
mengenai mana ayat muhkam dan mana ayat mutasyâbih, serta
bagaimana mengorientasikan yang kedua kepada yang pertama,
bukan lagi ranah kajian Ulumul Quran, melainkan ilmu tafsir.
Oleh karena itu, melakukan telaah langsung [kandungan] ayat
mutasyâbih atau ayat nâsikh dalam disiplin Ulumul Quran merupakan
sebentuk pencampuradukan dengan ilmu tafsir. Kerancuan seperti
ini terlihat jelas dalam sebagian karya Ulumul Quran yang dikarang
akhir-akhir ini. Ulumul Quran, pada dasarnya, merupakan bidang
kajian seputar formula dan metode yang digunakan dalam disiplin
p:2
Tafsir; mirip dengan telaah atas metode dan kaidah Ushul Fikih yang
diorientasikan untuk diaplikasikan dalam bidang Fikih.
Ulumul Quran dan studi Al-Quran terbilang sangat signifikan. Ini
mengingat status kitab suci ini sendiri sebagai mata air pengetahuan,
pedoman hidup dan, pada hakikatnya, sebagai kitab pegangan
bagi umat manusia. Agenda yang digariskan di dalamnya
merupakan alternatif satu-satunya untuk dimanfaatkan agar
tertanam dalam jiwa individu sehingga potensi dirinya
teraktualisasi. Karena itu, setiap individu yang mengabaikan
fitrahnya sendiri karena mengabaikan Tuhannya akan selalu
menemui jalan buntu. Sebab, dengan mengabaikan Tuhan, dia telah
mengabaikan tujuan, “Dan bahwasanya kepada Tuhan-mulah kesudahan
(segala sesuatu)” (QS An-Najm [53]: 42).
Mengabaikan tujuan, pada gilirannya, mengakibatkan
dirinya kehilangan jalan. Sampai-sampai dirinya lupa kalau dia
sesungguhnya makhluk yang punya keterikatan dengan Allah Swt.
Sikap mengabaikan ini malah akan membuatnya menganggap diri
sebagai individu yang otonom, berdiri sendiri, dan mengedepankan
pemikirannya sebagai kriteria. Al-Quran mengidentikkan sikap
mengabaikan Tuhan dengan mengabaikan diri sendiri, “Orang-orang
yang lupa kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri
mereka sendiri” (QS Al-Hasyr [59]: 19). Demikian pula sebaliknya,
sebagaimana diungkapkan Nabi Saw, “Barangsiapa mengenal
dirinya pasti mengenal Tuhannya”. Maksudnya, pengenalan diri
akan berujung pada pengenalan Tuhan.
Individu yang hanya memikirkan diri sendiri ( egosentris),
keuntungan material, dan hasrat kebinatangannya, bukanlah sosok
yang mendapat petunjuk. Selain pula tidak layak diposisikan
sebagai penunjuk jalan. Pasalnya, dia hanya mengerahkan daya
pikirnya untuk merajut benang ke sekeliling dirinya; sampai-sampai
p:3
dia terperangkap dalam rajutan benangnya sendiri, “Mereka telah
disibukkan oleh diri mereka sendiri” (QS Ali ‘Imran [3]: 154).
Begitu pula halnya dengan orang yang teralienasi, yang
menganggap fantasi dan imajinasi sebagai daya pikir. Individu
semacam ini akan bergerak berlawanan dengan arah [gerak] agama.
Dia tidak mampu menemukan jalan yang dapat mengantarkannya
ke tujuan yang benar. Sebab, angan-angannya sudah dipupuk
sedemikian rupa demi menyimpang dari kebenaran. Akibatnya,
yang dia temukan hanyalah kesesatan, “Maka tidak ada sesudah
kebenaran itu melainkan kesesatan” (QS Yunus [10]: 32). Al-Quran
telah mendefinisikan individu semacam itu sebagai manusia penipu,
angkuh, dan suka berkhayal.
Jalan yang benar hanya ditemukan individu yang berpola
pikir qurani.(1) Yaitu, individu yang mengakui wahyu sebagai
pengetahuan terbaik, percaya pada agama bukan menciptakan dan
merekayasa agama, serta hanya mengharapkan jalan dari Allah dan
menempuhnya sambil memohon pertolongan-Nya, “Tunjukilah kami
jalan yang lurus” (QS Al-Fatihah [1]: 6). “Dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan” (QS Al-Fatihah [1]: 5).
Dia senantiasa mengingat Tuhan hingga menemukan pintu
petunjuk Al-Quran terbuka di hadapannya. Selain pula meyakini betul
bahwa Al-Quran itu satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan
dirinya dari mara bahaya, “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9).
Berdasarkan perspektif ini, di satu sisi, kajian seputar Al-Quran
dan Ulumul Quran (guna merumuskan kesimpulan yang sahih
darinya), merupakan suatu keniscayaan. Sementara di sisi lain,
khazanah ilmu dan pengetahuan qurani sangatlah mendalam.
Karenanya, agar dapat menyelami kedalaman lubuk khazanahnya
itu, selain fitrah yang bening dan hati yang jernih, diperlukan pula
p:4
telaah dan penelitian. Pengetahuan qurani hanya dapat dirangkai
melalui tadabbur ( kontemplasi dan menalar), bukan lewat
prasangka dan sikap taklid buta yang tak berdasar. Upaya manusia
memanfaatkan Al-Quran berhubungan dengan bobot kajian dan
tingkat kecermatan, selain hati yang bening dan jernih. Semakin
mendalam telaah yang dilakukan, semakin mendalam dan luas pula
visi yang dimiliki. Hanya saja, tadabbur Al-Quran mustahil dilakukan
tanpa menggunakan metode yang sahih. Dalam pada itu, Ulumul
Quran merupakan disiplin ilmu yang merumuskan metode-metode
yang dimaksud.
Dari sisi berikutnya, berkaitan dengan topik kajian dan wawasan
keilmuan, setan senantiasa membisikkan keraguan-keraguan.
Akibatnya, muncul sikap skeptis, bahkan penyelewengan di tengah
generasi muda. Sebagian pihak tanpa sadar meyakini hipotesisnya
sendiri sebagai konklusi, seraya mengklaimnya sebagai ajaran dan
pemikiran agama. Kalangan semacam ini sangat menekankan soal
kepakaran dan melarang kalangan non-pakar untuk terlibat dalam
perhelatan tersebut. Namun anehnya, tatkala memasuki diskursus
keagamaan, mereka seolah-olah melupakan prinsipnya sendiri.
Mereka sekonyong-konyong tampil layaknya pakar agama. Padahal,
mereka tak memiliki kepakaran yang memadai untuk memahami
sumber-sumber agama (Al-Quran dan Ahlul Bait Nabi Saw).
Lewat kesimpulan-kesimpulan yang dangkal dan mentah, kalangan
ini menyulut berbagai keraguan di sana-sini. Sementara itu,
sebagian pihak lain, lantaran didorong besarnya rasa permusuhan
terhadap kebenaran, terus berusaha menyimpang dari kebenaran.
Untuk mematahkan skeptisisme ini seraya merumuskan struktur
akidah yang benar, diperlukan kajian dan penelitian mendalam
terkait dengan Al-Quran dan Ulumul Quran.
Di samping semua itu, kemenangan revolusi Islam Iran pimpinan
Imam Khomeini ra menciptakan spektrum baru yang sangat luas.
Selain pula melahirkan pergeseran pandangan umat manusia terhadap
p:5
Islam di ranah pengetahuan, politik, pemerintahan, hubungan sosial,
hukum, pendidikan, dan sebagainya. Fenomena menakjubkan ini
telah mengarahkan perhatian dan optimisme pada Hauzah Ilmiyah
(pusat-pusat kajian keagamaan–penj.) serta kalangan ulama
Islam. Jadinya, melalui jalan ini, mereka dapat menentukan arah
dan langkah bagi diri sendiri. Karenanya diharapkan agar (kajian
seputar wawasan qurani) semakin digalakkan oleh kalangan
peneliti demi menuai hasil yang gemilang. Berkat anugerah Ilahi,
kini badai kencang penghancur kesesatan, dan luapan semangat
revolusi, telah meruntuhkan sendi-sendi kekuasaan Fir’aun sampai
ke akar-akarnya. Hukum Ilahi telah menggantikan pemerintahan
setan. Orang-orang yang mendambakan tegaknya pemerintahan
Islami, sedang menyaksikan harapannya jadi kenyataan. Tegaknya
pemerintahan Ilahi dan menurunnya luapan emosi khalayak, serta
menjaga bangunan pemikiran dan memperdalam keimanan bersama,
terutama kawula muda, mengharuskan kalangan ulama Hauzah
dan intelektual kampus untuk memublikasikan wawasan Ilahi
secara gamblang dengan ulasan yang ekspresif dan argumentatif.
Dengan semua itu, niscaya keimanan masyarakat akan terlindungi
dari segala marabahaya. Seiring dengannya, setiap ajaran sesat tidak
akan mampu menyulut kebimbangan atau menggiring pemikiran
individu ke kanan maupun ke kiri.
Sekarang, tugas besar melapisi pengetahuan agama dengan
argumentasi kuat yang dapat diemban semua kalangan, baik anak-anak,
remaja, maupun kawula muda, berada di pundak kaum ulama
dan intelektual. Mereka bertanggung jawab mematahkan berbagai
keraguan dan kekaburan dengan argumentasi kokoh dengan
optimal. Tujuannya untuk mensterilkan domain hati agar menjadi
kawasan iman yang aman dan altar yang nyaman untuk mengingat
Allah Swt. Mereka bertugas membangun benteng pertahanan yang
kokoh di sekeliling ranah pemikiran agama agar tidak mampu
ditembus setan atau makhluk liar mana pun.
p:6
Motivasi ini, khususnya pascakemenangan revolusi Islam Iran, mendorong
kemunculan gerakan-gerakan baru dalam bidang pengkajian.
Berbagai pusat studi didirikan dan telah menjalankan aktivitasnya
dalam berbagai skala. Walaupun di antara pusat-pusat studi itu belum
terjalin hubungan dan kerja sama, serta kurang sistematis dan kerap
mengulang-ulang pekerjaan, namun lahan garapannya sedemikian
luas. Karenanya, bila seluruh fasilitas dan sumber daya manusia di
Hauzah Ilmiyah dikerahkan khusus untuk menelaah topik Ulumul
Quran, niscaya masih ada celah untuk menampung. Ringkasnya,
tema pilihan untuk kajian ini adalah i‘jâz (kemukjizatan) Al-Quran.
Tema ini sejak dulu menjadi bahan perbincangan yang cukup intensif
dalam kajian Ulumul Quran.
Sejak Al-Quran pertama kali diturunkan, boleh dibilang, tidak
ada tema seputar Al-Quran yang lebih banyak diperdebatkan
melebihi masalah i‘jâz. Dalam tulisan ini—berkat pertolongan Allah
Swt—tema-tema pembahasan semaksimal mungkin akan diuraikan
secara lugas dan gamblang, seraya menghindari pengutipan istilah
dan pendapat yang dapat menyebabkan pembahasan melebar
ke mana-mana. Tentu saja karya sederhana ini memanfaatkan
pandangan para pengkaji Ulumul Quran dan ahli tafsir yang telah
menuangkan gagasan dan menggoreskan ucapan-ucapan memikat
seputar “kalam terindah” (Al-Quran—penj.). Kita memohonkan
ampunan bagi mereka yang telah mendahului kita dari segi waktu
dan keutamaan. Kita semua berhutang budi terhadap seluruh usaha
dan kerja keras mereka. Karena, “Dan orang-orang yang paling dahulu
beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang
yang didekatkan (kepada Allah Swt)” (QS Al-Waqi’ah [56]: 10–11). Kita
berharap, kalangan generasi mendatang akan melakukan yang sama
terhadap kita.
Pusat kajian kali ini berkisar pada “kalam terindah”, yaitu Al-
Quran. Karena itu, karya tulis ini diberi judul “ Kalam Terindah”,
p:7
yang disadur dari ayat “Allah telah menurunkan perkataan yang paling
baik” (QS Az-Zumar [39]: 23).
Kalam (ujaran) merupakan fenomena komunikasi di tengah
kebanyakan makhluk hidup. Sarana komunikasi paling rumit di
antara makhluk hidup di alam ini adalah ujaran. Melalui kata-kata,
makhluk hidup saling memahami rahasia dan intensi masingmasing.
Kendati komunikasi mayoritas makhluk hidup tidak dapat
dipahami manusia dan menjadi salah satu misteri terbesar, yang
jelas, komunikasi antarbinatang hanya dilandasi insting. Karena
itu, ujaran binatang bersifat monoton, tidak berkembang, dan tidak
mengarah pada kesempurnaan. Semua binatang mendapat anugerah
semacam ini secara seragam. Kekhasan ini sebangun dengan seluruh
keistimewaan hidupnya. Seluruh pola hidup binatang, dengan
kekhasan masing-masing yang luar biasa menakjubkan, semata-mata
berbasis naluriah. Hal ini sangat kontras dengan ujaran manusia
yang memiliki keistimewaan. Manusia selalu melibatkan ikhtiar
dalam ujarannya. Hal itu sekaligus menjadi faktor penyebab
manusia mampu menaiki tangga menuju kesempurnaan atau,
kadang kala, mend-orongnya terjerembab ke level paling rendah.
Perbincangan seputar amanat Ilahi dalam kehidupan manusia
ini memainkan peran yang sangat penting. Sampai-sampai dapat
dikatakan bahwa dalam kehidupan sosial, sarana utama komunikasi
atau relasi dan medium untuk memahami pandangan satu sama lain
adalah ujaran. Bila dicermati dengan lebih seksama, akan dipahami
bahwa sarana utama relasi sosial dan transfer pengalaman serta
alat untuk menciptakan peradaban adalah ujaran terbuka (langsung)
yaitu “bicara” dan ujaran tertutup (tidak langsung) yaitu “tulisan”.
Bicara dan tulisan menjadi sarana bagi terbentuknya tatanan sosial
dan terjalinnya interaksi antarmanusia di berbagai belahan dunia
dan sejarah. Karunia Allah Swt secara cuma-cuma untuk manusia
yang
p:8
terkesan sederhana ini merupakan sendi utama penciptaan, seni,
budaya, dan peradaban. Andaikan karunia ini tidak pernah diberikan
dan manusia bisu (tidak dapat bicara)—sebagaimana fenomena
alam non-manusia lainnya—niscaya kehidupannya bakal nihil dari
peradaban. Dalam kondisi itu, umat manusia tidak mampu berproses
menuju kesempurnaan; mengingat ujaran memainkan peran
kunci sebagai sarana mengekspresikan isi pikiran.
Manusia konon hidup dengan pemikirannya. Bila pemahaman dan
pemikiran manusia sedemikian signifikan—sampai-sampai diklaim
bahwa manusia adalah pemikiran itu sendiri—maka ujaran ibarat
mata rantai yang menyambungkan individu-individu manusia, menautkan
satu pemikiran dengan pemikiran lain, serta isi pikiran dengan
ujung lidah dan alat tulis. Lidah dan alat tulis merupakan medium
ujaran yang memiliki fungsi yang sama dalam ikhtiar melakukan
kajian sekaligus menjernihkan dan memurnikan pikiran dari debudebu
prasangka, untuk disuguhkan ke hadapan umat manusia.
Nilai signifikan ujaran menjadikannya diposisikan sebagai tolok
ukur kesempurnaan dan kekurangan individu manusia. Pasalnya,
keunggulan manusia terletak pada ujarannya. Hati manusia ibarat
gudang tertutup, sementara ujaran adalah kuncinya. Lewat ujaran,
akan tersingkap apakah hati seseorang memuat segudang kecerdasan
atau tak lebih dari sekadar tong kosong nyaring bunyinya,
“Manusia tersembunyi di bawah lisannya.”(1)
Selama seorang tidak berkata
tersimpan cela dan keutamaannya.
Hafizd Syirazi
Kata-kata nan indah yang terujar akan merefleksikan kecerdasan
si Pengujar. Karena, kelebihan manusia terletak pada nilai estetiknya,
p:9
“ Nilai setiap orang adalah yang menjadikannya baik atau indah.”
Berdasarkan semua ini, dalam teks terindah-Nya, Al-Quran,
Allah Swt menyanjung ujaran langsung maupun tidak langsung,
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia
menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara” (QS Al-Rahman
[55]: 1–4). Setelah membubuhi nama-Nya sendiri dengan atribut
indah “Rahman” (Yang Mahapemurah), seraya mengingatkan
pengajaran Al-Quran dan nikmat eksistensial (penciptaan), Allah
Swt lantas mengemukakan keagungan nikmat bayân, yaitu ujaran
langsung (kalam). Adapun berkaitan dengan ujaran tidak langsung
(tulisan), Allah Swt melontarkan pujian berikut, “Demi kalam dan apa
yang mereka tulis” (QS Al- Qalam [68]: 1). Allah Swt bersumpah dengan
fenomena-fenomena agung, seperti qalam (pena) dan hasilnya berupa
tulisan. Tatkala Dia menjelma dalam ujaran indah-Nya, “Demi Allah!
Allah telah menjelma kepada makhluk-Nya di dalam kalam-Nya, akan tetapi
mereka tidak dapat melihatnya”(2)
(dengan mata hati—penj.), Allah Swt
menamakan kata-kata-Nya dengan “ Kalam Terindah”. Dengannya,
pori-pori sontak gemetaran dan hati menjadi tenang serta khusuk.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka sewaktu mengingat Allah (QS
Az-Zumar [39]: 23).
Untuk membimbing umat manusia, Allah Swt telah menurunkan
ujaran terindah, yang satu sama lain saling identik. Pembacaan kalam
ini berdampak sedemikian rupa, sehingga kulit-kulit wajah merah
merona dan hati menjadi tenang serta khusyuk kala mengingat-
Nya.
p:10
Seni elok dalam diri manusia ini secara hierarkis terdiri dari
beragam level. Dimulai dari level paling rendah yang dimiliki orang
dungu yang masih mencampuradukkannya dengan suara binatang.
Hingga level ujaran paling indah. Diapit oleh kedua level ini, terdapat
beragam tingkatan yang jumlah dan variasinya tak terbilang.
Darinya jelas bahwa ujaran merupakan –bagian yang sangat
kecil dari- realitas wujud bergradasi yang meliputi kesempurnaan
dan kekurangan inheren. Kesempurnaan ujaran adalah proporsional
dengan lawan bicara. Dan mengingat kehidupan sosial berproses
menuju kesempurnaan, maka demikian pula dengan ujaran.
Dengan dasar itu pula berbicara dengan manusia sepanjang sejarah
hidupnya. Manakala mencapai tahap final kesempurnaannya, ujaran
pun disebut dengan Ahsan Al-Hadîts ( Kalam Terindah). Huruf-huruf
dan seni berbicara ini mampu menampung manifestasi keindahan
absolut. Jadinya, lewat komposisi kata-katanya yang memikat,
manusia disuguhi segumpal madu segar dan lezatnya tiada tara.
Berkenaan dengan wawasan individu, keindahan kalam (estetika
ujaran) dan kalam keindahan (ujaran estetik)(1), dengan berbagai
posisi khasnya yang sedemikian rupa, masih menyisakan ruang
untuk sesuatu yang lebih indah dan superior ketimbang dirinya.
Setiap ujaran nan indah dalam setiap levelnya, cepat atau
lambat, akan memudar (bobot estetiknya) seiring dengan berlalunya
waktu atau ditaklukan oleh keindahan-keindahan lain dan tergerus
transformasi budaya. Pasalnya, semua jenis keindahan artistik
p:11
manusia senantiasa berproses menuju kesempurnaan di ranah
kesenian, berlaku adagium “di atas langit masih ada langit”:
Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang
lebih berpengetahuan” (QS Yusuf [12]: 76).
Akan tetapi, bila batas-batas dunia kehidupan manusia dilampaui
(beyond) hingga berjumpa dengan pencipta ujaran dan keindahan—
yang tak lain berupa keindahan murni mutlak, niscaya tak ada lagi
kemungkinan bagi adanya keindahan yang lebih tinggi. Dia menjelma
sedemikian indah dalam ujaran-Nya. Sehingga, bukan hanya orangorang
bodoh, bahkan para pakar bahasa, sastrawan, dan kalangan
pemikir sekali pun akan bungkam seribu bahasa dan terpaku di
hadapannya. Karena, tangan Allah Swt berada di atas tangan
selain-Nya, “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” (QS Al-Fath
[48]: 10). Subjek pembahasan ini disebut dengan i‘jâz (kemukjizatan)
—yang menantang seluruh manusia untuk menandinginya. Dia
bahkan menurunkan level keindahan ujaran antara diri-Nya dengan
makhluk. Ini dikarenakan relasi ujaran Allah Swt dengan ujaran
manusia ibarat taman bunga nan segar dan subur yang terhampar
di tengah sahara tandus kata-kata. Taman bunga itu menarik semua
umat manusia ke arahnya.
Al-Quran menyalakan lentera hidayah (petunjuk) di suatu negeri
dan masa ketika umat manusia tenggelam dalam lubuk kebodohan
dan mitologi. Kegelapan menyelimuti segala nilai kemuliaan.
Kepercayaan-kepercayaan paling rendah mencekik leher manusia
dan memaksanya memusuhi kebenaran.
Setelah diturunkannya Al-Quran, sejumlah orang yang memiliki
fitrah bersih dan berjiwa terbuka, bergerak menghampiri Al-Quran,
dan mencerap nilai-nilainya. Ibarat medan magnet, Al-Quran
p:12
menarik hati mereka ke arahnya. Orang-orang yang menemukan
kembali barang berharganya yang telah lama hilang dengan serta
merta tunduk dan terkesima di hadapannya. Setelah menerima
kalam terindah itu, siang malam mereka pun sibuk membaca dan
menyelami maknanya. Nuansa Al-Quran yang dipenuhi keindahan
semakin nyata bagi mereka. Hari demi hari, kekaguman mereka
terhadap kedalaman dan keluasan samudera pengetahuan dan
keindahannya yang tak bertepi ini kian bertambah. Kedalaman
pengetahuannya tak dapat ditakar dan keindahannya tak berujung!
Di tengah kehidupan mereka, kata-kata terindah hanyalah Al-Quran
dan kalam Ilahi.
Sebagian pihak yang tidak mengimani Al-Quran dan berusaha
melawannya, senyatanya juga selalu membincangkan Al-Quran.
Masing-masing mereka dengan caranya sendiri-sendiri berupaya
keras mencari kelemahan dan menandinginya. Oleh karena itu,
boleh dibilang bahwa sejak awal diturunkan hingga hari ini, Al-
Quran selalu menjadi buah bibir di kalangan Mukmin dan para
penentangnya.
Upaya melawan Al-Quran bukan hanya dilancarkan dengan satu
cara dan modus. Masing-masing pihak yang sinis terhadap Al-Quran
umumnya menggunakan cara tertentu demi memenuhi ambisinya
serta menjustifikasi pertentangan dan permusuhannya itu.
Sejumlah individu menganggap Al-Quran sebagai kalam
(ujaran) biasa (maksudnya, bukan kalam Ilahi—peny.). Mereka
meyakini pembawa ujaran itu (Nabi Muhammad Saw—penj.)
sebagai manusia biasa yang memiliki potensi intelektual dan tingkat
kecerdasan yang luar biasa. Hanya dengan menjalin hubungan
selama beberapa hari dengan beberapa guru, dia mampu menyusun
kalam semacam itu. Umpama, disebutkan bahwa beliau Saw selama
berhari-hari menemui seorang pandai besi yang berasal dari kerajaan
p:13
Romawi. Mereka lantas menjadikan cerita itu sebagai dalih bahwa
beliau Saw mempelajari Al-Quran dari pandai besi tersebut, untuk
kemudian menisbatkannya kepada Allah. “Dan sesungguhnya Kami
mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan
oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’”
Sebagai jawaban kepada kalangan semacam ini, Al-Quran
menyatakan, “Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa Ajam, sedang Al-Quran adalah
dalam bahasa Arab yang terang” (QS An-Nahl [16]: 103). Pandai
besi tersebut sama sekali tidak menguasai bahasa Arab. Lantas,
bagaimana mungkin dia mengajarkan Al-Quran yang sedemikian
fasih dan bernilai susastra teramat tinggi kepada Nabi Saw?
Kalangan lain secara tidak masuk akal dan hanya mengandalkan
omong-kosong dan imajinasi pribadi dalam menilai Al-
Quran, mengatakan, “Ini bukanlah apa-apa! Kalau mau, kita mampu
membuat buku seperti Al-Quran. Kita tidak berbicara seperti Al-
Quran karena di dalamnya (Al-Quran) tidak termaktub apa pun
selain dongeng fiktif belaka. Sedangkan kami tidak ingin membicarakan
dongeng fiktif!”
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata,
“Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini),
kalau kami menghendaki niscaya kami dapat mengatakan yang seperti
ini, (Al-Quran) ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang
terdahulu (QS Al-Anfal [8]: 31).
Kalangan lain menyaksikan dengan jelas kehidupan dan keistimewaan
pribadi Nabi Saw. Mereka tahu betul, beliau Saw tidak
pernah belajar kepada seorang guru pun. Sementara di sisi lain,
mereka memahami kefasihan dan keindahan ritme puitik Al-Quran.
Karenanya, mereka tidak punya celah untuk mengatakan bahwa
Al-Quran hanyalah teks biasa. Untuk mengelak dari keharusan
p:14
mengakui Al-Quran (sebagai kalam Ilahi), mereka pun mengklaim
bahwa Al-Quran hanyalah syair dan Muhammad Saw sebagai penciptanya.
Bahkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang penyair yang
kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya (kematiannya)” (QS
At-Thur [52]: 30).
Bahkan diada-adakannya (atas nama Allah Swt), bahkan dia
sendiri seorang penyair (QS Al-Anbiya’ [21]: 5).
Al-Quran sebagai jawaban terhadap mereka, Al-Quran dengan
tegas menyatakan:
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan
bersyair itu tidaklah layak baginya (QS Yasin [36]: 69).
Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair,
(walaupun) sedikit sekali kamu beriman kepadanya
(QS Al-Haaqqah [69]: 41).
Kelompok lain mengetahui betul bahwa kendati meski bernuansa
syair, Al-Quran tidak identik dengan syair-syair konvensional yang
dikenal di tengah umat manusia. Namun mereka tetap mengatakan
bahwa syair ini diperoleh dari bangsa jin:
Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan
kami karena seorang penyair gila (yang kemasukan jin)?
(QS As-Shaaffat [37]: 36).
Beberapa pihak lain mengklaim bahwa Al-Quran bukan syair
melainkan prosa yang dijadikan sajak dan berasal dari bangsa jin.
p:15
Mereka berkata, ‘Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang
lain) lagi pula seorang yang gila (kerasukan jin)’” (QS Al-Dukhan
[44]: 14).
Dalam menanggapi mereka, Al-Quran menandaskan bahwa
Nabi Saw tidak kerasukan jin. Adapun perkataan beliau Saw, sematamata
wahyu samawi.
Teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila (kerasukan jin).
Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
lagi pemberi penjelasan” (QS Al-A’raf [7]: 184).
Tatkala menyaksikan seluruh upaya itu tidak membuahkan hasil,
sementara keangkuhan dan hawa nafsu mencegah mereka tunduk
di hadapan kebenaran dan Al-Quran, mereka tak punya cara lain
kecuali mengklaim kalimat-kalimat suci itu sebagai [mantra-mantra]
sihir belaka. Walid bin Mughirah al-Makhzumi, tokoh kafir dan
sastrawan Arab, pernah berjalan di sekitar Ka’bah dan mendengar
lantunan malakût (gaib) bacaan Al-Quran dari lisan Rasulullah Saw.
Saat itu, Nabi Saw tengah membaca permulaan surah Ghafir [40].
Lantunan merdu bacaan itu menyelubungi hati Walid yang keras
sekaligus membungkam kesadarannya. Dia bahkan sempat tidak
mengenali siapa dirinya. Ketika bertemu dengan sekumpulan
temannya, dia tak mampu menyembunyikan perubahan dirinya di
mata mereka. Kontan mereka menanyakan penyebabnya.
Keindahan dan kelezatan Al-Quran sedemikian memengaruhi
Walid; sampai-sampai dia tidak mampu menutupi keadaannya
sendiri. Dia pun mengakui keindahan dan keajaiban Al-Quran, seraya
berkata, “Aku mendengar sebait perkataan dari Muhammad Saw
yang [aku yakin] bukan berasal dari ujaran manusia, juga bukan
dari ujaran bangsa jin. Sungguh kata-kata itu sedemikian indah dan
nikmat. Bagian paling atas menghasilkan buah, sedangkan paling
p:16
bawahnya mengakar kuat. Ia (kata-kata itu) sangat agung dan tak
ada yang mampu menandinginya.”(1) Saksikanlah! Seorang musuh
memberi kesaksian semacam itu! Keutamaan [Al-Quran] benarbenar
disaksikan sang Musuh. Walid, sosok yang angkuh, mengalami
kebingungan; tidak tahu bagaimana mengelak dari keagungan Al-
Quran. Dia berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir belaka.”
Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu
dia berkata, “(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari
(dari orang-orang dahulu)” (QS Al-Muddatstsir [74]: 23 – 24).
Kalangan penentang Al-Quran lainnya berkubang dalam lumpur
kebodohan yang paling rendah. Bukan hanya menolak tunduk di
hadapan kebenaran. melainkan juga dipaksa oleh kedunguannya
untuk melawan [Al-Quran]. Oleh karena itu, mereka berusaha menciptakan
Al-Quran tandingan seraya mengklaim dirinya nabi. Seluk
beluk para pendusta keji ini juga akan diulas dalam tulisan ini.
Tanggapan Al-Quran terhadap serangkaian kebohongan yang
sengaja diciptakan itu bersifat khas dan kasuistik. Selain itu, Al-
Quran juga menyodorkan tanggapan yang bersifat umum. Ini
dimaksudkan sebagai tantangan kepada semua orang, sebagaimana
dalam kata-katanya, “Kalian yang menyebut kalimat-kalimat ini berasal
dari bangsa jin atau manusia, silahkan kumpulkan seluruh jin
dan manusia, lalu buatlah hal yang sama persis dengan Al-Quran.”
Inilah tantangan dan ajakan untuk membuat sesuatu yang persis
Al-Quran. Materi-materi ujaran dimiliki semua orang. Karenanya,
kalian dipersilakan berbicara layaknya Al-Quran. Seruan dan
tantangan Al-Quran ini, di setiap zaman, tanpa kecuali dilontarkan
untuk semua kalangan.
p:17
Keindahan dan mukjizat Al-Quran sampai pada batas yang
membuatnya mantap dan yakin dalam menyeru semua pihak untuk
menciptakan kalam seperti dirinya. Akan tetapi, tak seorang pun
memiliki kemampuan untuk menandingi Al-Quran. Penjelasan dan
ungkapan Al-Quran sedemikian terstruktur dan konsisten. Karena
itu, tidak terjadi perubahan dan pergeseran tempat sedikit pun. Bila
terjadi perubahan sekecil apa pun di dalamnya, niscaya akan timbul
kerusakan dan inkonsistensi. Ringkasnya, Al-Quran merupakan
mukjizat dan ahsan al-hadîts (kalam terindah).
Kalam Ilahi ibarat sistem keteraturan alam wujud. Sebagaimana
sistem keteraturan alam wujud merupakan manifestasi ilmu, sifat
kesempurnaan, dan keindahan absolut Dzat yang Haq yang bebas
kontradiksi, begitu pula dengan kalam Ilahi yang merupakan
jelmaan kesempurnaan murni yang tidak mengandung cacat dan
kekurangan apa pun.
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (QS
Al-Mulk [67]: 3–4).
Setiap kali membelalakkan mata untuk mencari kekurangan
dalam sistem keteraturan alam wujud, niscaya individu tidak akan
mendapatkan apa pun selain rasa letih di mata. Karena, alam wujud
merupakan keteraturan sistemik yang saling berkelindan tanpa
diiringi cacat dan kekurangan apa pun. Setiap kali menyaksikannya,
niscaya akan bertambah rasa heran dan takjub terhadapnya.
Demikian pula dengan sistem kalam Ilahi. Sedemikian teratur
dan indah komposisinya, sampai-sampai kalam tersebut mustahil
p:18
untuk diperbarui. Dekomposisi atau perubahan partikelnya
yang paling kecil sekalipun akan melenyapkan statusnya sebagai
ujaran terindah. Sebagaimana kalam eksistensial alam semesta yang
mustahil diperbarui, kalam tekstual juga tidak memberi
peluang bagi terjadinya perubahan. “Tidak ada perubahan bagi kalimat-
kalimat Allah” (QS Yunus [10]: 64).
Al-Quran mengklaim bahwa kalimat-kalimat itu (Al-Quran)
bersumber dari alam malakût (gaib) yang melampaui (beyond)
kemampuan manusia dan manusia tidak akan pernah mampu berbicara
seperti itu. Jika tidak memercayainya, silakan ciptakan atau
munculkan entitas sepertinya.
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS Al-Isra’ [17]: 88).
Ataukah mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) membuatbuatnya.”
Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka
mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka orang-
orang yang benar (QS At-Thur [52]: 33-34).
Ini merupakan tantangan pada satu tahap. Lalu, Al-Quran
menurunkan kadar tantangannya dengan berkata:
Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-
Quran itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka datangkanlah
sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika
kamu memang orang-orang yang benar” (QS Hud [11]: 13).
Lagi-lagi Al-Quran menurunkan kadar tantangannya dengan
berkata:
p:19
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja)
yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS Al-Baqarah [2]: 23).
Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuatbuatnya.”
Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka
cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapasiapa
yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah”
(QS Yunus [10]: 38).
Argumentasi dalam bentuk pertanyaan ini memiliki nilai
tersendiri. Mereka sebenarnya mengetahui kebohongan dirinya
sendiri manakala berupaya meyakinkan orang lain bahwa Al-Quran
hanyalah rekaan Muhammad Saw. Namun persoalannya sudah
sedemikian gamblang dan argumentatif sehingga tidak menyisakan
sedikit pun perasaan bimbang. Oleh karena itu, Al-Quran bertanya:
Apakah mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw merekareka
Al-Quran dan berdusta atas nama Allah Swt? Wahai Nabi!
Katakan kepada mereka supaya mengerahkan segenap kekuatan
yang dimiliki, dan mintalah tolong kepada pihak lain, selain Allah
Swt, agar menciptakan satu surah yang identik dengan surah Al-
Quran. Namun, ingatlah, semua itu mustahil terlaksana. Bila dalam
pertandingan ini kalian meminta bantuan kepada kalangan pemikir
dan sastrawan kenamaan sekalipun, kalian tetap tak akan sanggup
melakukannya. Maka dari itu, bersikap tunduk dan pasrahlah di
hadapan kebenaran dan sudahilah keangkuhan dan kecongkakan
kalian. Karena sesungguhnya azab Ilahi sedang mengintai kalian.
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya), maka jagalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir
(QS Al-Baqarah [2]: 24).
p:20
Sadarlah, sikap membangkang dan menentang kebenaran meniscayakan
turunnya azab Ilahi. Lebih baik bagi kalian setelah menyaksikan
Al-Quran sebagai wahyu yang benar-benar diturunkan dari
sisi Allah Swt dan segera mengakui kebenaran dan statusnya sebagai
mukjizat. “Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu
(ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan
dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka
maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS Hud [11]: 14).
Apakah kalian sudi mengakui kebenaran? Kalian akan membiarkan
hawa nafsu—yang cenderung membangkang— menjadikan
kalian menyimpang dari Al-Quran dan kebenaran?
Inilah tantangan Al-Quran yang bahkan menganggap cukup
dengan sebuah surah saja. Jika seseorang mampu menciptakan satu
surah seperti Al-Kautsar [108], niscaya Al-Quran akan mencabut
klaim keunggulannya yang tiada banding.
Huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat merupakan unsur
formatif ujaran (kalam atau lisan). Setiap ujaran terdiri dari dua
dimensi, yaitu fisik dan non- fisik.
Secara fisik, komposisi dan pola pembentukan serta keindahan
harfiah unsur-unsur formatif ujaran merupakan intensi sang Pengujar
yang disampaikan dan dipahami lewat bunyi-bunyian atau
suara. Adapun secara non- fisik atau semantik, pengujar menyampaikan
poin-poin indah yang tersembunyi dalam wacana ujaran
kepada lawan bicara, seraya menjelaskan dan memaparkan esensi,
makna, dan pemahaman hakikinya. Lebih signifikan dari semua itu,
sekaitan dengan ujaran, adalah komposisi atau formasinya. Semua
individu manusia tentu saja memiliki instrumen yang sama untuk
merangkai ujaran. Namun demikian, suatu ujaran dapat diklasifikasi
sesuai kadar kesempurnaan dan kekurangannya. Beberapa indvidu
mengutarakan maksudnya dengan kualitas rendah, sebagian lagi
p:21
lebih baik, dan yang lain mampu berujar dalam skema keindahan
yang benar-benar sempurna. Estetika ujaran erat berkaitan dengan
kesempurnaan jiwa si pengujar. Semakin besar kesempurnaan dan
pengenalannya terhadap rahasia kata-kata, ujaran akan semakin
fasih, ekspresif, dan berbobot.
Dengan demikian, bila sang pengujar adalah Allah Swt, dapat
dipastikan, tak ada lagi ujaran atau kata-kata yang lebih indah dan
lebih baik darinya. Rahasia mukjizat Al-Quran terletak di sini; kendati
unsur-unsur formatifnya dimiliki semua manusia dengan sama.
Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan ujaran indah
seperti Al-Quran. Pasalnya, Al-Quran berasal dari sumber
kesempurnaan dan keindahan absolut. Mengingat kesempurnaannya
yang serba terbatas, manusia tak akan pernah mampu menciptakan
ujaran seperti itu (Al-Quran). Barangkali salah satu rahasia hurufhuruf
muqatta‘ah(1) dalam Al-Quran adalah bahwa huruf-huruf yang
membentuk ujaran sudah inheren dalam benak semua kalangan; dan
mereka bebas menggunakan alat-alat formatif ujaran. Selain pula
memiliki kesempatan untuk mengerahkan kemampuannya demi mencipta
ujaran dalam komposisi seindah mungkin. Ketidakmampuan
menciptakan ujaran seperti Al-Quran itu dikarenakan komposisi kalimat-
kalimat Al-Quran berasal dari sumber lain yang melampaui
daya jangkau pikiran manusia.
Berdasarkan alasan inilah mereka tidak mampu menciptakan
entitas yang identik dengan ujaran Al-Quran. Tantangan dan ajakan
Al-Quran yang ditujukan pada semua individu untuk menandingi
Al-Quran menjadi berarti bila pihak lawan memiliki kesempatan
untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Kendati senyatanya,
dapat dipastikan bahwa mereka semua tidak akan pernah sanggup
p:22
mengungguli Al-Quran sebab Al-Quran merupakan kalam yang
diwahyukan dari sisi alam malakût (gaib). Namun tetap saja semua
pembangkang diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengerahkan
segenap kemampuannya dalam upaya menghadapi dan menandingi
Al-Quran.
Dari uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa shorfah dalam
konteks mukjizat tidak lebih dari ilusi belaka. Menciptakan ujaran
serupa Al-Quran merupakan kemustahilan bagi manusia. Komposisi
kalimat, juga kandungannya, yang sedemikian elok dan memikat,
jauh melampaui kemampuan manusia yang ujarannya paling
indah sekalipun. Kendati manusia bebas menggunakan segenap
kemampuannya untuk mencipta ujaran terindah, namun tetap saja
mustahil baginya untuk menandingi ujaran Al-Quran.
Beberapa pihak mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah mukjizat
dan manusia pada umumnya mampu berujar sebagaimana Al-
Quran (maksudnya, terbuka kemungkinan untuk itu). Namun,
belum adanya orang yang sanggup, baik dulu maupun yang akan
datang, berujar sebagaimana Al-Quran dikarenakan setiap kali individu
bermaksud berujar selevel Al-Quran, Allah Swt dengan serta
merta menjegalnya. Allah membuatnya tenggelam dalam kesibukan
lain atau mencabut kemampuan dan kekuatannya untuk berujar sebagaimana
Al-Quran.
Pandangan ini umumnya disebut dengan shorfah. Teori semacam
itu sama sekali tidak berdasar dalam konteks mukjizat (Al-Quran).
Karena, bila memang demikian, mukjizat Al-Quran berikut tantangan
yang dilontarkannya kepada semua kalangan agar menciptakan
sesuatu yang identik Al-Quran, akan menjadi irasional. Ini sama saja
dengan 10 orang yang mengikuti perlombaan lari. Salah seorang di
antara mereka mengklaim dirinya lebih unggul dari peserta lain yang
dianggapnya tidak memiliki kemampuan berlari seperti dirinya.
p:23
Namun, sesaat sebelum perlombaan dimulai, orang itu lantas
mengikat kaki kesembilan orang lainnya. Tanpa kesulitan yang
berarti, dia pun melenggang sendirian dan memenangi perlombaan.
Shorfah dalam konteks mukjizat nyaris sama dengan contoh tersebut.
Mengingat betapa irasional dan rapuhnya pondasi shorfah kiranya
tidak lagi diperlukan kritik, kajian, dan pembahasan panjang lebar
mengenainya—apalagi sampai menukil pendapat para ulama. Tak
ada manfaat secuil pun yang dapat diperoleh darinya kecuali hanya
membuang-buang umur. Menurut Syahrestani8, kalau saja pendapat
shorfah yang rapuh ini tidak dinisbatkan kepada figur ulama besar
seperti Sayyid Murtadha ra, niscaya ulasan sekilas ini pun sudah
dirasakan sangat berlebihan.
Ringkasnya, mukjizat dapat dianalogikan dengan bahan-bahan
bangunan di tangan sejumlah individu. Bermodalkan bahan-bahan
tersebut, salah seorang dari mereka membuat kandang binatang
yang buruk. Sementara yang seorang lagi membangun sebuah
gubuk kecil yang sangat sederhana. Adapun orang ketiga berniat
membangun rumah yang relatif indah. Untuk itu, dia menyewa
seorang arsitek profesional untuk menggarapnya serta menyiapkan
rancangan bangunan yang kokoh dan indah. Langkah pertama yang
ditempuhnya adalah membuat desain bangunan yang proporsional
dan indah. Kemudian, dengan memanfaatkan bahan-bahan
bangunan terbaik, dia pun mengerjakan dan menuntaskan proyek
pembangunan kawasan perumahan terindah dan paling kokoh, yang
dilengkapi sistem kenyamanan dan seluruh fasilitas modern. Seperti
pencahayaan yang sesuai, ventilasi udara yang cukup, hawa segar,
dan lingkungan yang asri. Dia mendekorasi perumahan itu dalam
komposisi yang terbaik. Harapannya, keunikan dan keunggulannya
secara estetik tidak lekang begitu saja seiring berjalannya waktu serta
tidak tertandingi oleh keindahan apa pun yang datang kemudian.
Dikarenakan memiliki wawasan yang cukup komprehensif seputar
8 Syahrestani: Al-Mu‘jizah Al-Khâlidah, hlm 97.
p:24
jenis-jenis keindahan saat itu dan di masa yang akan datang, sang
Arsitek mampu menciptakan kawasan perumahan terindah dan terbaik.
Dia juga mengetahui betul seluk-beluk keistimewaan kawasan
perumahan yang dibangunnya. Dalam kondisi inilah dilontarkan
tantangan kepada pihak lain untuk membuat hal serupa dengannya
menjadi sah dan dapat dibenarkan.
Anda juga memiliki bahan-bahan yang sama untuk merangkai
kata-kata. Jika meragukan status Al-Quran sebagai wahyu Ilahi,
anda dipersilakan berujar sebagaimana ujaran Al-Quran.
Hukum kausalitas (sebab akibat) dalam korpus alam wujud
merupakan sebuah keniscayaan. Segala entitas yang bukan tergolong
wujud absolut dan mengada secara eksistensial karena kontinjensinya
(mumkin al-wujûd), tercakup dalam hukum kausalitas. Hanya
realitas wujud absolut atau wujud substansial saja yang eksis
“di luar” hukum ini.
Hukum kausalitas juga terpampang jelas di alam materi. Pasalnya,
seluruh fenomena di alam ini muncul dari serangkaian fenomena
lainnya. Umpama, cahaya matahari dan hawa panas berasal dari substansi
api. Tentu saja kausa (faktor penyebab) yang sama-sama kontinjen
(mumkin) ini (yakni, fenomena lain) bukanlah kreator wujud, karena
kreator wujud hanyalah kausa prima, Allah Swt. Akan tetapi, yang
dimaksud dengan sistem kausalitas dalam konteks wujud kontinjen
hanyalah sebatas sebuah fenomena memiliki andil bagi eksisnya
fenomena yang lain.
Tentu saja, kausa dari kemunculan rangkaian fenomena di jagat
alam ini tidak melulu kasat mata. Cukup banyak faktor penyebab
yang tidak mampu dipersepsi secara indriawi. Namun demikian,
invisibilitas faktor penyebab itu tidak otomatis menegasi hukum
sebab akibat. Oleh karena itu, adakalanya faktor-faktor penyebab
tersebut dapat dipersepsi secara indriawi (visibel), kadang kala
p:25
invisibel; juga terkadang menimbulkan efek dan bereaksi secara
alamiah, atau berperan secara spontan dan non-alamiah. Faktor
penyebab visibel maupun invisibel yang beraksi dan bekerja secara
alamiah, pada umumnya dianggap sebagai ihwal yang lumrah.
Namun, jika beraksi dan bekerja secara non-alamiah, maka faktorfaktor
itu akan dianggap sebagai ihwal luar biasa atau sebentuk
mukjizat. Dalam hal ini, mukjizat memiliki dua kriteria. Pertama,
faktor-faktor penyebabnya, baik yang visibel maupun invisibel,
menimbulkan efek tertentu dan, kedua, bersifat spontan.
Kendati begitu, kemunculan fenomena yang disebabkan faktor
yang visibel namun berproses secara nonalamiah, termasuk
pula dalam kategori mukjizat. Juga, manakala hanya faktorfaktor
penyebab invisibel yang secara non-alamiah menimbulkan efek
dan faktor-faktor penyebab visibel sekaligus invisibel berefek secara
non-alamiah; maka semua itu dapat diasumsikan sebagai mukjizat.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa fenomena mukjizat tidak
berlangsung di luar kawasan hukum kausalitas—kendati bukan
termasuk jenis kausalitas yang umum dipahami selama ini.
Dalam hukum kausalitas, setidaknya terdapat dua asumsi berkaitan
dengan relasi antarkausa. Adakalanya dua kausa eksis secara otonom
dan saling bertentangan satu sama lain, di mana salah satunya boleh
jadi menghalangi efektivitas kausa yang lain. Kondisi semacam ini
diistilahkan dengan “relasi kausa aksidental”. Namun, terkadang
pula, kedua kausa itu saling bekerja sama (kooperatif). Artinya,
efektivitas salah satunya tidak melawan yang lain; malah boleh jadi,
efektivitasnya bersumber dari efektivitas yang lain.
Asumsi pertama seputar relasi kausal antarwujud kontinjen di
atas, tidak relevan bila dikaitkan dengan eksistensi Allah Swt sebagai
kausa prima dan pengendali semua urusan. “Di tangan-Nya kekuasaan
atas segala sesuatu” (QS Yasin [36]: 83). Pasalnya, efektivitas seluruh
p:26
kausa harus berdasarkan izin-Nya dan otonomi mutlak maujud
bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan (tawhîd af‘âlî).
Adapun asumsi kedua memiliki relevansinya jika dihubungkan
dengan Allah Swt (meski bukan berarti hukum kausalitas berlaku
pada wujud-Nya). Maksudnya, kausalitas dan efektivitas rangkaian
kausa wujud mungkin terjadi berkat izin Allah Swt. Sementara
kausa prima yang memuncaki garis vertikal yang meliputi seluruh
kausa adalah Allah Swt. Tegasnya lagi, seluruh kausa menjadi aktif
dengan seizinNya. Api dapat membakar berkat izin dan perintah-
Nya. Kemampuan air untuk menghilangkan rasa dahaga atau
menenggelamkan sesuatu hanya mungkin berkat izin dan perintah
Allah Swt.
Oleh karena itu, selain menerima prinsip kausa prima Allah
Swt, Al-Quran juga mengakui hukum kausalitas yang beroperasi di
alam wujud. Al-Quran menisbatkan kemunculan fenomena kepada
serangkaian faktor penyebab atau, lebih cermatnya, kepada perantara
(mediator). Banyak ayat Al-Quran yang mengindikasikan hukum
kausalitas. Umpama, ayat-ayat yang mengulas doktrin penciptaan
dan takdir. Karena, penciptaan bermakna pengukuran dan takaran(1),
sementara takaran, pengukuran, dan keterbatasan termasuk atribut
dan kriteria yang disandang akibat (maujud yang eksis
karena disebabkan selainnya—peny.). Keterbatasan suatu fenomena
akibat dapat ditinjau dari relasi eksistensialnya dengan wujud
penyebab.
Allah pencipta segala sesuatu (QS Az-Zumar [39]: 62).
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah (QS Al-
A’raf [7]: 54).
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran
(QS Al-Qamar [54]: 49).
p:27
Rangkaian ayat ini menisbatkan [kemunculan] fenomena pada
perantara-perantara emanasi (wujud) juga mengindikasikan hukum
kausalitas, seperti:
Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (QS Al-
Nazi’at [79]: 5);
Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan
bumi (QS Az-Zumar [39]: 63).
Ayat terakhir diperuntukkan bagi setiap individu yang
menginginkan khazanah semesta itu terbuka agar diterpa emanasi
Ilahi.
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan
(tumbuhtumbuhan) (QS Al-Hijr [15]: 22);
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (QS Al-
Anbiya’ [21]: 30).
Dalam konteks fenomena sosial, penyebab segenap peristiwa
yang terjadi dinisbatkan pada kehendak dan hasil kerja masyarakat.
Jelasnya, kemunculan suatu fenomena sosial hanya mungkin
dikarenakan sesuatu yang lain.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
(QS Ar-Ra‘d [13]: 11).
Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar (rezeki yang banyak) (QS Jin [72]: 16).
Ayat-ayat serupa dengannya, yang banyak termaktub dalam
Al-Quran, telah mengakui peran perantara dengan berbagai ekspresi.
Salah
p:28
satunya yang berhubungan erat dengan prinsip perantara adalah
mukjizat yang dibawa para nabi.
Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat
(mukjizat) melainkan dengan izin Allah (QS Ghafir [40]: 78).
Barangkali muncul pertanyaan; apa relevansi hukum kausalitas
dan penisbatan fenomena alam pada faktor penyebab alamiah yang
visibel, maupun invisibel dengan tauhid? Apakah kausalitas suatu
kausa tidak bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan
(tawhîd af‘âlî) yang meliputi hukum alam wujud?
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dikemukakan jawaban
atas pertanyaan ini. Akan tetapi, mengingat nilai pentingnya, persoalan
ini akan kembali dibahas, meski secara sekilas. Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, dalam konteks hukum kausalitas,
terdapat dua jenis relasi antarkausa (relasi kausal). Pertama,
kausakausa yang masing-masingnya bersifat otonom, sejajar, dan
saling berlawanan—efektivitas salah satunya menghalangi yang
lain. Kedua, kausakausa yang tidak otonom dan mediator
emanasi (wujud) yang kausalitas dan efektivitasnya bergantung
pada izin kausa prima, yaitu Allah Swt. Keraguan dan pertanyaan
muncul sekaitan dengan relasi kausal jenis pertama. Relasi
kausal ini mustahil dinisbatkan kepada Allah Swt. Adapun kausalitas
jenis kedua, yang diistilahkan dengan relasi kausal vertikal,
tidak bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan. Pasalnya,
prinsip ini bermakna seluruh efektivitas terjadi dengan seizin Allah
Swt. Juga, semua sumber kausal yang menjadikan selainnya efektif,
akan ada dan efektif dengan izin-Nya.
Demikian pula halnya dengan hukum kausa litas. Artinya, kausa-kausa
mediator menjadi efektif berkat izin-Nya. Api membakar semata mata
dikarenakan izin dan perintah Ilahi. Bila Allah Swt tidak
p:29
mengizinkan, api tidak akan sanggup membakar. Inilah peristiwa
yang dialami nabi besar, Ibrahim Al-Khalil as, yang tidak terbakar
api. “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi
Ibrahim” (QS Al-Anbiya’ [21]: 69). Air juga mampu menenggelamkan
sematamata berkat izin Allah Swt. “Dan Kami tenggelamkan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami” (QS Al-A’raf [7]: 64). Begitu
pula bila makanan mampu membuat kenyang dan dan air sanggup
melepas rasa dahaga berkat izin Allah Swt, “Dan Tuhanku, Yang Dia
memberi makan dan minum kepadaku” (QS As-Syu’ara’ [26]: 79). Karena,
sistem alam wujud secara keseluruhan berada dalam genggaman
kekuasaan Ilahi.
Seluruh efektivitas, yang dipersepsi baik maupun buruk,
sematamata terjadi berkat izin Allah Swt. “Kerajaan langit dan bumi
adalah kepunyaan Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 107). Kepemilikan langit
dan bumi mutlak berada di tangan Allah Swt, “Di tanganNya kekuasaan
atas segala sesuatu” (QS Yasin [36]: 83). Malakût (alam gaib) dan
ranah batin segenap eksistensi berada di tangan Allah Swt. “Dan
tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khasanahnya; dan Kami
tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (QS Al-
Hijr [15]: 21).
Efektivitas kausa- kausa invisibel yang inheren dalam keburukan
seperti sihir, juga terjadi berkat izin Allah Swt, “Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali
dengan izin Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 102). Kebaikan dan mukjizat
pun terjadi berkat izin Allah Swt. “Tiada seorang pun yang akan memberi
syafaat kecuali sesudah ada izinNya” (QS Yunus [10]: 3). “Tiada yang
dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS Al-Baqarah [2]:
255). Siapakah yang mampu memberi syafaat dan pengaruh dalam
konteks kebaikan selama Allah Swt tidak memberikan izin? “Aku
(Isa Al-Masih) membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian
aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah”
(QS Ali ‘Imran [3]: 49).
p:30
Kesimpulannya, setiap mukjizat yang diperagakan setiap nabi
semata-mata berasal dari izin Ilahi. “Dan tidak ada hak bagi seorang
Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin
Allah” (QS Ghafir [40]: 78). Oleh karena itu, dalam konteks tawhîd
af‘âli, mukjizat (dalam hal ini, seorang nabi hanya bertindak sebagai
agen mediasi—sebagaimana semua agen mediasi lainnya) sama sekali
tidak bertentangan dengan prinsip Tauhid. Fakta hujan turun dari
gumpalan awan, sengatan panas berasal dari api, cahaya memancar
dari matahari semata-mata bersumber dari kausa prima dan penyebab
awal alam eksistensi, yaitu Allah Swt. Ini identik dengan tawhid
qurani sekaligus menihilkan segala keraguan seputar independensi
kausa selain kausa prima dan politeisme.
Al-Quran mengafirmasi mukjizat sebagai dasar esensial bagi
validitas klaim kenabian. Selain mengamini hukum kausalitas,
Al-Quran juga mengemukakan soal efektivitas kausa- kausa visibel
dan invisibel dalam konteks kebatilan (umpama, sihir). Juga
mengungkapkan efektivitas kausa- kausa visibel dan invisibel dalam
konteks kebenaran–sebagaimana menjelma sebagai jiwa-jiwa suci
para nabi dan mukjizatnya.
Al-Quran mengabadikan puluhan kasus mukjizat para nabi
terdahulu. Jiwa-jiwa nan suci ini mampu menghasilkan mukjizat
berkat izin Ilahi. Umpama, berubahnya tongkat Nabi Musa as
menjadi ular.
Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu
menjadi ular yang sebenarnya (QS Al-A’raf [7]: 107).
Demikian pula dengan tangan beliau yang memancarkan
kemilau cahaya.
p:31
Dan ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu
menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya
(QS Al-A’raf [7]: 108).
Atau terangkatnya gunung Thursina di atas kepala Bani Israil:
Dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (QS Al-Baqarah
[2]: 63).
Kisah lainnya adalah terbelahnya laut dan terciptanya titian
jalan yang kering di tengahnya:
Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu (QS Thaha
[20]: 77).
Ini sebagaimana kobaran api yang tiba-tiba berubah dingin dan
menyelamatkan Nabi Ibrahim as.
Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah
bagi Ibrahim’ (QS Al-Anbiya’ [21]: 69).
Berkenaan dengan Nabi Saleh as, Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu.
Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu” (QS Al-A’raf [7]: 73).
Berkat mukjizat kenabian Nabi Saleh as, seekor unta sekonyongkonyong
keluar dari balik batu sehingga kaum Tsamud dapat
mengambil manfaat dan berkah dari air susunya.
Sekaitan dengan Nabi Isa as yang mampu menghidupkan orang
yang sudah mati serta mengobati orang-orang yang menderita lepra
dan semisalnya,
p:32
Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu
tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari
tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang
yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan
aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah” (QS Ali ‘Imran
[3]: 49).
Terdapat puluhan mukjizat lain hasil kreasi nabi-nabi terdahulu.
Al-Quran juga menyebut dirinya sebagai mukjizat kekal dan abadi
bagi Nabi Muhammad Saw—sebagaimana telah diulas dalam bab
“Tantangan Al-Quran”. Ini tidak lagi dapat disangsikan. Sayang,
sejumlah penafsir Al-Quran yang menganut saintisme seraya
mengedepankan interpretasi yang sangat subjektif, mengemukakan
bahwa rangkaian mukjizat yang dikemukakan Al-Quran sebagai ilmu
pengetahuan (sains) belaka. Seyogyanya dalam upaya menafsirkan
Al-Quran, seorang juru tafsir tidak memaksakan hipotesis atau
subjektivismenya. Juga, saintisme semestinya tidak sampai memicu
penolakan terhadap dimensi keilahian mukjizat-mukjizat tersebut.
Mukjizat merupakan sebuah kemestian atau imperatif untuk
menjustifikasi klaim kenabian. Pada galibnya, seorang nabi
akan mengklaim dirinya membawa risalah Ilahi dan ucapannya
semata-mata ucapan Allah Swt, bukan berasal dari dirinya. Guna
membuktikan kebenaran klaim itu dan agar setiap orang tidak
dapat begitu saja mengklaim dirinya nabi pembawa risalah Ilahi,
diperlukan mukjizat. Dengannya, seorang nabi dapat meyakinkan
khalayak manusia atas kebenaran klaimnya. Karena, mereka tidak
begitu saja mengiyakan klaim seseorang. Mereka umumnya akan
menuntut bukti-bukti dan argumen yang masuk akal.
p:33
Nabi-nabi menggunakan mukjizat sebagai dalil untuk
membuktikan [kebenaran] risalahnya demi menepis keraguan
umat manusia dan akhirnya beriman kepada mereka. “Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah (saja) yang
semisal Al-Quran itu” (QS Al-Baqarah [2]: 23). Kalian sama sekali
tidak memiliki kemampuan semacam itu. Karenanya, ketahuilah,
ini adalah mukjizat, dan klaim Nabi bahwa dirinya benar-benar
utusan Allah Swt untuk kalian, memang benar adanya. Saat kalian
menyaksikan mukjizat Al-Quran, segeralah tunduk dan berserah
diri pada kebenaran.
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu)
itu maka (katakanlah olehmu,) Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran
itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS
Hud [11]: 14).
Oleh karena itu, imperatif mukjizat para nabi pada dasarnya
untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian mereka. Mukjizat
terjadi secara kondisional di setiap masa. Dalam pada itu, Al-Quran
merupakan mukjizat abadi sepanjang masa dan diperuntukkan bagi
semua generasi. Aspek mukjizatnya terletak pada semua dimensinya
yang tidak lekang oleh berlalunya waktu atau tertandingi oleh karya
seni yang muncul kemudian. Berdasarkan itulah, Al-Quran menjadi
mukjizat abadi dalam skema risalah Rasulullah Saw untuk semesta
alam.
Dari uraian sebelumnya, telah diperoleh jawaban yang cukup
jelas seputar misteri keabadian mukjizat. Selain pula dipahami
soal bagaimana suatu mukjizat senantiasa hidup dan abadi di
p:34
setiap ruang dan waktu (spasio-temporal). Apabila suatu mukjizat
bercorak material, niscaya efektivitasnya juga serba terbatas dan
akan memudar seiring berlalunya waktu. Ini sebagaimana mukjizat
para nabi terdahulu (pra-Rasulullah Saw) yang hanya efektif untuk
umat, lokasi, dan zamannya sendiri.
Perubahan api yang asalnya panas menjadi dingin serta
selamatnya Nabi Ibrahim as dari jilatannya merupakan mukjizat
untuk umat di tempat dan tempo itu, termasuk yang menyaksikan
langsung kejadian tersebut. Perubahan tongkat Nabi Musa as menjadi
ular hanya memberikan efek kepada para ahli sihir dan orang-orang
yang saat itu berkerumun di lapangan pertandingan (Nabi Musa as
versus kawanan ahli sihir bayaran Fir’aun—peny.). Seperti itu pula
seluruh mukjizat para nabi, termasuk mukjizat Nabi Muhammad
Saw. Namun, manakala mukjizat yang dimaksud tidak berdimensi
fisik, semisal berbentuk komposisi dan makna ujaran, saat itu pula
status mukjizatnya tidak terbatasi secara spasio-temporal, sehingga
berlaku untuk selamanya. Misteri keabadian mukjizat Al-Quran juga
dapat dijelaskan dari perspektif ini; bahwa Al-Quran tidak termasuk
kriteria [mukjizat] yang bersifat material dan fiskal, yang karenanya
tidak terbatas secara spasio-temporal. Al-Quran adalah mukjizat
Ilahi yang abadi untuk selama-lamanya.
Hubungan antarfenomena alam satu sama lain merupakan
ihwal yang gamblang. Namun, nyaris mustahil untuk memindai
(mencermati) kausa seluruh fenomena, lantaran itu melampaui
(beyond) batas-batas pengetahuan manusia. Senyatanya, individu
manusia, sekalipun mengerahkan seluruh ilmunya, mustahil mengenali
kausa seluruh fenomena. Adapun observasi ilmiah yang dilakukan
terkait dengannya (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
dan sains) hanya sekadar membantunya membuka beberapa jalan
dan sedikit menyingkap selubung misterinya. Alhasil,
p:35
masih banyak misteri alam semesta yang sampai hari ini masih belum
juga terkuak.
Tentu saja, kondisi misterius dari kausa- kausa berbagai
fenomena bukanlah satu-satunya tema dalam seluruh pembahasan
mukjizat. Pasalnya, karakter non-alamiah dari efek kausa juga menjadi
prasyarat yang menentukan. Oleh karena itu, sekalipun ilmu
pengetahuan sukses menyingkap tabir misteri dari kausa- kausa
invisibel yang berhubungan dengan ihwal fisikawi, proses mukjizat
tetap terus berlangsung dan tidak berakhir di situ.
Perubahan material dapat terjadi dalam beberapa bentuk;
materi menjadi materi lain, materi ke energi akibat proses ekspansi ,
serta energi ke materi lewat proses kompresi. Dalam pada itu, kendati
misteri kausa-kausanya masih belum tersingkap sampai hari ini,
namun dikarenakan berlangsung secara wajar dan alamiah, maka
semua perubahan itu pun dipersepsi sebagai ihwal yang lumrah
dan normal. Sekalipun, sebagaimana terjadi pada masa kini, sains
berhasil menyingkap rangkaian misterinya dan sesegera mungkin
mengotak-atiknya dengan menggunakan alat-alat laboratorium
yang sangat canggih, semua itu tetap saja diasumsikan sebagai ihwal
yang lumrah dan alamiah, bukan mukjizat. Pasalnya, efektivitas
kausa- kausa dalam konteks mukjizat berlangsung dalam modus
non-alamiah dan berproses melalui jiwa-jiwa [manusia] suci, bukan
dengan menggunakan seperangkat instrumen dan eksperimen di
laboratorium.
Oleh karena itu, proses dan hasil penyingkapan misteri material
dalam kasus-kasus seperti itu tidak sampai menegasi mukjizat.
Katakanlah manusia sudah mampu mengubah sebatang kayu
menjadi seekor ular dalam waktu sesingkat mungkin lewat medium
komputer. Artinya, manusia berhasil menyingkap misteri kehidupan
berkat ilmu pengetahuan dan sukses menciptakan kondisi
hidupnya [menjadi lebih baik] dengan alat-alat [canggih]. Lalu Allah
Swt, Sumber Wujud, meniupkan roh [kehidupan] padanya. Tetap
p:36
saja objek ini tidak tergolong mukjizat. Lebih jauh, fenomena ini
(mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular dengan alat-alat
teknologis) juga tidak menegasi mukjizat. Pasalnya, seorang nabi
yang memperagakan mukjizat (dengan mengubah tongkat kayunya
menjadi seekor ular) dengan jiwa sucinya, bukan dengan sarana alatalat
teknologis.
Dalam konteks mukjizat, efektivitas kausa- kausa visibel dan
invisibel berlangsung secara spontan dan non-alamiah lewat
medium jiwa para nabi. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
berhasil mengungkap faktor-faktor material suatu mukjizat tidak
serta merta menegasi status mukjizatnya. Perbedaan fundamental
antara mukjizat dengan alat-alat teknologis terletak di titik ini. Selain
itu, mukjizat senantiasa menjadi faktor dominan dan tidak sekalipun
tertandingi oleh faktor lain. Jelas mustahil seorang nabi menghendaki
mukjizat sementara terdapat satu atau lebih faktor yang menghalangi
kejadiannya. Adapun berkenaan dengan kausa- kausa instrumental
(alat-alat), acap dijumpai suatu fenomena yang sudah diprediksikan
sedemikian matang [bakal terjadi] justru tidak terjadi. Ini disebabkan
proses terjadinya fenomena itu dihentikan oleh kausa- kausa invisibel
atau kausa- kausa visibel lainnya. Inilah poinnya, mukjizat merupakan
penyebab dominan dan tidak terpengaruh faktor apa pun.10
Inti bahasan sebelumnya berkenaan dengan kasus rangkaian
mukjizat yang terjadi dalam lingkup materi. Seperti mukjizat para
nabi terdahulu, termasuk mukjizat Nabi Besar Islam Muhammad
Saw. Dengan kata lain, rangkaian pertanyaan yang boleh jadi
muncul seputar perkembangan ilmu pengetahuan yang menegasi
fakta mukjizat hanya relevan dijawab (dan sudah dilakukan) dalam
konteks mukjizat yang bersifat material.
10 Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân, jld 1, hlm 83.
p:37
Adapun jenis mukjizat lain tidak berdimensi material dan
bersifat metafisis atau melampaui ranah fisis. Karena itu, mukjizat
jenis ini tidak terbatas secara spasio-temporal. Dengan sendirinya,
rangkaian pertanyaan di atas secara penuh dan menyeluruh tertolak.
Al-Quran termasuk jenis mukjizat ini. Artinya, mukjizat Al-Quran
tidak bersifat material sehingga terbatas secara spasio-temporal.
Mukjizat Al-Quran yang berhubungan dengan komposisi dan makna
kalimat beserta seluruh dimensinya–yang akan diulas kemudian—
merupakan mukjizat berdimensi maknawi dan rasional. Oleh karena
itu mukjizat ini bersifat abadi. Dengan kata lain, mukjizat Ilahi ini
berlaku untuk selamanya serta di semua ruang dan waktu. Mukjizat
ini tidak akan tergerus berbagai dinamika kultural atau lekang oleh
berlalunya waktu.
Lebih menakjubkan lagi, Al-Quran sebagai mukjizat rasional,
menjelmakan dirinya dalam diskursus kebudayaan (kultural)
dan kebahasaan (lingual). Padahal, kultur dan bahasa senantiasa
mengalami perubahan dan perkembangan seiring bergantinya
generasi dan peradaban secara universal. Akan tetapi, sekalipun Al-
Quran berada dalam korpus teks dan ujaran, status mukjizatnya tetap
terjaga dari pengaruh dinamika dan perubahan (kultural dan lingual)
dengan berbagai dimensinya. Mukjizat ini selamanya tetap menjadi
ujaran terindah yang kerap menyuarakan tantangan kepada kaum
penentang untuk menciptakan ihwal yang serupa dengan dirinya
(Al-Quran). Ringkasnya, Al-Quran selalu menjadi yang terbaru di
tengah semua hal yang baru.
Kiranya cukup tepat dalam kesempatan ini untuk mengemukakan
perbedaan antara mukjizat dengan karamah. Sebelum menjelaskan
perbedaannya, ada baiknya diulas terlebih dahulu persamaan
keduanya. Pada dasarnya, tidak terdapat pebedaan sedikit pun
antara mukjizat dan karamah. Keduanya sama-sama bermakna
p:38
pengoperasian secara efektif serangkaian kausa visibel dan invisibel
secara non-alamiah melalui jiwa-jiwa suci dan bersih. Selain
pula samasama berasal dari figur-figur salih dan hamba-hamba
pilihan Ilahi. Ini mengingat jalan menuju kesempurnaan terbuka
dan terbentang bagi semua orang dengan peluang yang sama.
Dengan menempuh jalan kebenaran ( haqq), semua orang dapat
mencapai tahap-tahap [eksistensial] tertentu sehingga menjadi
manifestasi asmâ’ul husna Ilahi. Manusia mampu meleburkan diri
ke dalam corak Ilahi. “ Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik
shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah”
(QS Al-Baqarah [2]: 138). Dengan mencelupkan atau meleburkan
diri ke dalam corak Ilahi; corak manakah yang lebih indah
dari corak Ilahi? Keindahan manakah yang lebih paripurna dari
keindahan insan beriman?! Manusia beriman (mukmin) pada praktiknya
efektivitas juga mampu menjadi representasi, mata, telinga,
lidah, dan tangan Allah Swt.
Aku menjadi pendengarannya yang mendengar dengannya
dan penglihatannya yang melihat dengannya, lidahnya yang
berbicara dengannya dan tangannya yang bekerja dengannya
...(1)
Lantaran mendekatkan diri dengan amal-amal sunah dan
melangkah di atas shirâth mustaqîm, individu semacam ini akan
mencapai satu tahap di mana Allah Swt menjadi pendengaran dan
penglihatannya sekaligus. Artinya, Allah Swt seakan-akan mendengar
lewat telinganya, melihat melalui matanya, berbicara dengan lidahnya,
dan bertindak dengan tangannya. Individu seperti ini menjadi
jelmaan sifat-sifat dan perbuatan Ilahi. Dalam kondisi demikian,
berdasarkan kehendak dirinya dan, tentu saja, seizin Allah Swt,
dia mampu menciptakan karamah, menyembuhkan orang sakit,
p:39
atau menghidupkan orang mati, Kemampuan semacam ini tidak
hanya milik eksklusif para nabi.
Menjadi jelmaan shirâth mustaqîm termasuk keistimewaan khas
para wali Allah Swt, bukan para nabi-Nya. Dalam sejarah umat
manusia, banyak hamba Allah Swt yang salih, baik berjenis kelamin
laki-laki maupun perempuan, yang mampu mencapai posisi spiritual
ini. Seumpama, figur-figur besar yang sering menjadi bahan perbincangan
banyak kalangan dari waktu ke waktu, seperti para Imam
as, Siti Maryam (ibunda Nabi Isa as), dan Fatimah Zahra as.
Dari perspektif ini, tidak terdapat perbedaan sedikit pun antara
mukjizat dengan karamah. Karena keduanya, sebagai faktor penyebab
dominan, bermakna pengoperasian secara efektif serangkaian
kausa secara tidak lazim atau non-alamiah. Perbedaan keduanya
hanya terletak pada imperatif dan alasan kreatifnya. Mukjizat dimaksudkan
untuk menjustifikasi klaim kenabian. Seorang nabi
memeragakan mukjizat agar risalahnya diakui benar dan diterima
umat manusia. Adapun orang-orang yang memiliki karamah tidak
menyuarakan klaim semacam itu. Berdasarkan alasan-alasan lain
dan menurutnya perlu dilakukan, dia menghidupkan orang mati,
menyembuhkan orang sakit, menurunkan hujan, dan sejenisnya.
Tentu saja ini bukan berarti pemilik karamah juga dapat begitu
saja mengklaim kenabian yang dijustifikasi lewat karamahnya, sebagaimana
nabi dengan mukjizatnya. Pasalnya, risalah merupakan
tugas Ilahi yang diserahkan lewat momen pelantikan, dan diturunkan
sesuai dengan kebutuhan umat manusia. “Allah lebih mengetahui
di mana Dia menempatkan risalahNya” (QS Al-An’am [6]: 124).
Allah Swt mengetahui, kepada siapa tugas kerasulan dan kenabian
itu harus diserahkan. Semua orang yang telah menghuni maqam
wilayah (menjadi wali) niscaya tidak akan menantikan kedatangan
seorang rasul. Karena, kenabian (dan kerasulan) telah berakhir seiring
dengan diutusnya pembawa misi Ilahi paling mutakhir, yaitu
Rasulullah Saw.
p:40
Adapun untuk menjadi seorang wali, tidak diperlukan proses
pelantikan. Jalan untuknya terbuka lebar bagi semua orang tanpa
kecuali. Bahkan, jalan yang sama juga terbuka lebar untuk semua
kalangan yang menyalahgunakan kedudukan spiritual ini. Seumpama
Bal’am Ba’ura yang telah menjadi wali, namun sebenarnya tidak
memiliki kapasitas dan kelayakan. Kegilaannya terhadap kedudukan
(posisi sosial politik) mendorongnya menyempal dari jalan kebenaran
sehingga kehidupannya berakhir jauh lebih hina dari jenis kehinaan
mana pun.
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab),
kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti
oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang
yang sesat (QS Al-A’raf [7]: 175).
Tokoh lainnya adalah Samiri yang menyalahgunakan kedudukan
spiritualnya. Hawa nafsu telah menyesatkannya sedemikian rupa,
sampai-sampai dia menjadikan agama Allah Swt sebagai ajang
bermain-main. Di akhir hayatnya, manusia buruk dan hina ini harus
mengalami nasib yang amat menyedihkan serta ditimpa azab yang
tiada tara mengerikannya. “Samiri berkata, “Aku mengetahui sesuatu
yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak
rasul (malaikat Jibril) lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku
membujukku”” (QS Thaha [20]: 96). Yakni, Samiri melemparkannya
kepada seekor anak sapi demi menciptakan fitnah memuja anak sapi.
Pada akhirnya, dia berhasil menjadikan umat menyempal dari jalur
agama. Samiri bukan orang biasa alias punya kedudukan khusus.
Tapi dia tak punya kelayakan. Hawa nafsu telah mengeluarkannya
dari jalur kebenaran seraya menyulut fitnah dalam konteks agama.
Akibatnya, dia didera hukuman sedemikian pedih; sampai-sampai
menjadikan orang lain pun berusaha menjauh darinya. Kisah tentang
p:41
dirinya cukup panjang dan mendetail. “Berkata Musa, ‘Pergilah kamu,
maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat)
mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku)’” (QS Thaha [20]: 97).
Ini kontras dengan kenabian yang juga merupakan kedudukan
dan maqam Ilahi. Individu yang menyandang status nabi tidak akan
pernah menyempal dari [misi kenabian]nya, menyalahgunakan
kedudukannya, atau menjadikan agama Allah Swt sebagai ajang
bermain-main dan menyulut fitnah. Karena mengetahui seluruh
rahasia dan ujung perjalanan manusia, niscaya Allah Swt akan
menyerahkan beban risalah kepada sosok yang mampu memikul
amanat ini ke tujuannya sedemikian konsisten dan sanggup
melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya (QS
Al-An’am [6]: 124).
Dalam bab-bab sebelumnya, sudah disinggung soal sihir dan mukjizat,
yang keduanya memberi pengaruh pada rangkaian kausa. Juga
telah dikemukakan bahwa keduanya sama-sama tidak bertentangan
dengan prinsip tauhid. Karena, dan efektivitas keduanya hanya
mungkin berkat izin Allah Swt. Pada saat yang bersamaan, dalam
beberapa aspeknya, terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara sihir
dan mukjizat. Sihir menggunakan cara dan metode khusus sebagai
prasyarat. Hanya dengan menggunakannya, seorang ahli sihir
akan berhasil mempraktikkan sihirnya. Tanpa memenuhi prasyarat
itu, sihir yang dipraktikannya tidak akan efektif. Adapun mukjizat
tidak memiliki prasyarat apa pun. Mukjizat dapat terjadi dengan
seizin Allah Swt dalam setiap kasus yang memuat kebaikan. Demikian
pula, mukjizat merupakan faktor penyebab dominan yang tak
akan pernah tertandingi (atau terpengaruh) faktor-faktor lain. Sementara
sihir adakalanya dapat ditaklukkan, di mana efektivitas
p:42
ahli sihir dihalang-halangi atau digagalkan faktor lain. Meskipun
dalam kasus ini, dia telah memenuhi semua prasyarat (agar sihirnya
berhasil).
Selain itu, efektivitas sihir berlangsung di ranah imajinasi dan
hanya berupa ilusi, bukan realitas eksternal yang bersifat konkret.
Dengan meramal mantera dan melakukan ritual-ritual tertentu, seorang
ahli sihir menciptakan ilusi dalam imajinasi khalayak di sekitarnya,
yang kemudian membayangkannya sebagai sesuatu yang riil. Mereka,
misalnya, mempersepsi seutas tali yang tergeletak di atas tanah sebagai
ular yang hidup dan bergerak-gerak. Kondisi ini merupakan
sejenis pengendalian imajinasi dan manipulasi kesan-kesan indriawi
(mata).
Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang
dan menjadikan orang banyak itu takut (QS Al-A’raf [7]: 116).
Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada
Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka (QS
Thaha [20]: 66).
Sebaliknya, ranah efektivitas mukjizat adalah realitas eksternal.
Artinya, di alam nyata dan bersifat konkret (di luar ranah imajinasi
dan bukan berupa ilusi–penj.), tongkat kayu benar-benar berubah
menjadi seekor ular yang riil.
Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga
tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya (QS Al-A’raf [7]: 107).
Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan
benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu
(QS Asy-Syu’ara’ [26]: 45).
Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka
kerjakan (QS Al-A’raf [7]: 118).
p:43
Mengingat pentingnya hukum syariat seputar sihir, kiranya cukup
tepat dalam kesempatan ini untuk menyinggung pula perbedaan lain
antara sihir vis-à-vis mukjizat. Kegiatan sihir dikategorikan sebagai
dosa besar—kendati secara fenomenal, hanya mungkin terjadi
dengan seizin Allah Swt. Akan tetapi, dari perspektif syariat, sihir
digolongkan sebagai kegiatan yang sangat negatif dan haram, sampaisampai
al-Quran mengecamnya sedemikian rupa. “Dan tidak
akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang (QS Thaha [20]:
69).” Berkenaan dengannya, Imam Shadiq as mengatakan, “Ahli
tenung dan ahli sihir terkutuk.”12 Kegiatan ini sedemikian dilarang,
sampaisampai mempelajarinya (demikian pula dengan mengajarkannya)
dikategorikan sebagai sebentuk kekafiran (maksudnya,
kafir dalam konteks perbuatan).
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as mengatakan, “Barangsiapa
mempelajari sesuatu dari sihir sedikit atau banyak maka dia telah kafir.”13
Ungkapan ini pun berlaku pula dalam kasus “perdukunan”
dan “ramalan”14 —yang diklaim sebagai melepaskan diri dari
agama Nabi
12 Wasâ’il Al-Syî‘ah, jld 12, hlm 103.
13 Ibid., hlm 107.
14 Diperlukan ruang dan waktu khusus untuk menjelaskan ilmu-ilmu ganjil ini. Namun, agar
uraian dalam tulisan ini menjadi lengkap, akan dijelaskan sekilas tentangnya. Ilmu-ilmu ganjil
ini adakalanya bersifat material dengan mengubah unsur-unsur tertentu menjadi benda-benda.
Sekarang, ilmu ganjil jenis ini memiliki cakupan yang cukup luas, khususnya sekaitan dengannya.
Dikarenakan senanfiasa mengubah unsur-unsur menjadi benda-benda tertentu, ilmu ini fidak
lagi dikategorikan sebagai ilmu-ilmu ganjil. Terlebih bila itu bergantung pada kecepatan tangan
(memanipulasi pandangan) atau sulap.
Terdapat pula ilmu yang menggunakan rangkaian huruf atau angka, di mana berdasarkan jadwal
tertentu, memungkinkan untuk dikeluarkannya nama-nama makhluk gaib dan malaikat. “Ilmu
himia” (mantera) yang pada prakfiknya berupa menjalin hubungan dengan roh atau makhluk gaib
serta menyingkap kejadian-kejadian di masa mendatang, termasuk dalam kategori ini. Ada pula
“ilmu limia” yang ditujukan untuk mengendalikan dan menundukkan ruh-ruh falak dan bangsa jin
serta meminta bantuan mereka dalam sejumlah hajat. Berikutnya, “ilmu simia” yang menggunakan
cara mengkonsentrasikan keinginan serta pemanfaatan potensi-potensinya guna mengendalikan
ihwal gaib dalam benda-benda alam. Bentuk paling lengkap darinya adalah sihir yang diprakfikkan
lewat mantera, rapalan, dan ritus-ritus khusus. Perbedaannya dengan perdukunan terletak pada
metodenya. Sebab, perdukunan hanya mungkin lewat bantuan jin yang seakan-akan mampu
memperoleh kabar dari alam gaib. Perdukunan umumnya berkisar pada kabar-kabar gaib perihal
p:44
Muhammad Saw. Imam Shadiq as juga mengatakan, “Barangsiapa
melakukan perdukunan dan merujuk kepada dukun maka ia telah
berlepas diri dari agama Muhammad Saw.”15
Kesimpulannya, Allah Swt amat membenci kegiatan sihir,
sampai-sampai menetapkan hadd (hukuman) berupa hukuman mati.
Nabi Saw menegaskan, “Ahli sihir dari kaum Muslimin dibunuh dan
ahli sihir dari kaum kafir tidak dibunuh.”16 Demikian pula dengan
fatwa-fatwa yang dikemukakan kalangan pakar fikih. Seperti Imam
Khomeini ra yang berkata, “Barangsiapa berbuat sihir, hendaknya
dibunuh jika dia berasal dari kalangan Muslimin dan dijatuhi adab
(dihukum) bila dia seorang kafir.”17 Ini merupakan peringatan keras;
bahwa perbuatan buruk tersebut akan menuai ancaman hukum
seperti ini. Pasalnya, kegiatan sihir dapat mengakibatkan tersebar
luasnya kerusakan dan kebiadaban, serta termasuk jebakan setan
yang paling berbahaya.
Mukjizat Al-Quran berikut segenap dimensinya senantiasa
menjadi objek kajian para sarjana qurani. Sejumlah pakar dalam
disiplin fashâhah dan balâghah (retorika) meyakini bahwa secara
fundamental, mukjizat ini tidak dapat dideskripsikan (secara
rasional). Dengan kata lain, mukjizat [Al-Quran] merupakan ihwal
yang hanya dapat dicerap lewat perasaan dan pemahaman intuitif.
Manusia tidak akan mampu menjelaskan keindahan ujarannya.
Sakkaki berkomentar, “ Mukjizat hanya dapat dimengerti (secara
intuitif) dan tidak dapat dideskripsikan.”18 Ibnu Abil Hadid juga
menyatakan, “Mengenali [sesuatu] yang fasih dan lebih fasih, indah
dan lebih indah, manis dan lebih manis, tinggi dan lebih tinggi dari
masa depan atau masa lalu.
15 Ibid., jld 12, hlm 108.
16 Ibid., jld 18, hlm 574.
17 Tahrîr Al-Wasîlah, jld 2, hlm 477.
18 Dikufip dari Al-Tamhîd, jld 4, hlm 45.
p:45
kalam merupakan ihwal yang tidak dapat dipahami [secara rasional]
kecuali dengan merasakannya (mengintuisinya) sendiri.”19
Memang, kedahsyatan mukjizat dan kefasihan kalam
merupakan ihwal yang hanya dapat dicerap intuisi. Namun
demikian, keindahannya tetap dapat digambarkan hingga level
tertentu. Barangkali yang dipersoalkan para figur besar tersebut
adalah tentang betapa sulitnya menjelaskan hakikat kefasihan serta
rumus-rumus (rahasia-rahasia)nya dengan benar dan akurat. Kalau
tidak, tentunya sepanjang sejarah sejak Al-Quran diturunkan, sudah
banyak artikel dan berjilid-jilid buku yang ditulis berkaitan
dengan mukjizat Al-Quran.
Beberapa sarjana Muslim telah menghasilkan karya tulis
berharga yang mengulas secara panjang lebar tema-tema seputar
estetika ujaran dan relevansinya dengan Al-Quran. Semisal, Miftâh
Al-‘Ulûm (Kunci Ilmu-ilmu) karya Sakkaki, Dalâ’il Al-I‘jâz (Dalil-dalil
Mukjizat) karangan Jurjani, Qônûn Al-Ta’wîl buah tangan Ibnu Arabi,
I‘jâz Al-Qur’ân karya Baqilani, I‘jâz Al-Qur’ân karangan Rummani,
Al-Mu‘jizah Al-Khâlidah karya Syahristani, Al-Naba’ Al-‘Azdîm, dan
lain-lain atau dalam ilmu Ma’ânî dan Bayân (retorika) serta relevansinya
dengan Al-Quran atau mukjizatnya merupakan kajian tersendiri dan
khusus dijadikan objek telaah mereka. Masing-masing dari mereka,
seraya mengerahkan seluruh kemampuannya dalam hal estetika
ujaran, menuangkan gagasannya yang brilian sekaitan dengan ujaran
terindah (Al-Quran). Di antara buku-buku yang telah disebutkan,
sebagiannya lebih banyak mengulas soal estetika teks atau ujaran.
Sementara sebagian lainnya menaruh perhatian lebih besar pada
estetika muatan Al-Quran.
Tak dapat dipungkiri, khazanah estetika Al-Quran terdiri dari
beragam dimensi, yang karenanya tidak mungkin direduksi dan
dijejalkan ke dalam beberapa topik pembahasan. Ini mengingat
secara tekstual, keindahan teks suci Al-Quran tidak memiliki tolok
19 Ibnu Abil Hadid: Syarh Nahj Al- Balâghah, jld 7, hlm 216.
p:46
ukur tertentu (dengan kata lain, tolok ukurnya sangat bervariasi—
peny.). Begitu pula dengan cakupan maknanya (yang juga tidak
dapat dibatasi). Rata-rata individu manusia tidak memiliki wawasan
yang komprehensif mengenainya. Sampai sekarang pun, masih
tak terbilang jumlah rumus dan rahasia yang belum terungkap, baik
dari segi keindahan kalam (estetika ujaran) maupun kalam keindahan
(ujaran estetik). Khazanah estetika Al-Quran tidak terbatas. Al-
Quran, menurut Imam Ali as, figur Al-Quran natiq (Al-Quran yang
hidup), merupakan, “Lautan yang dalamnya tak dapat diduga (dan
dasarnya tak tersentuh).”20 Sementara dari segi daya tahannya, kekokohan
Al-Quran sedemikian rupa, hingga tak mungkin bergeming oleh
guncangan apa pun. “Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya” (QS Fushshilat [41]: 42).
Ringkasnya, estetika Al-Quran dapat diklasifikasikan ke dalam
dua kategori. Pertama, kategori yang berhubungan dengan estetika
harfiah ujaran yang sebelumnya telah diistilahkan dengan “estetika
ujaran”. Kedua, berkenaan dengan estetika makna ujaran yang diistilahkan
dengan “ujaran estetik”. Tentu saja, kedua kategori ini ibarat
dua sisi dari mata uang yang sama. Namun, sebagai objek analisis,
klasifikasi terhadapnya kiranya perlu dilakukan. Dalam hal ini, estetika
Al-Quran dapat ditinjau dari segi harfiah maupun maknawiahnya.
Kendati senyatanya, Al-Quran secara keseluruhan memuat estetika
ujaran sekaligus ujaran estetik.
Berdasarkan itu, uraian selanjutnya akan berkisar pada dua topik
berikut; “estetika ujaran” dan “ujaran estetik”. Namun perlu dicatat,
ulasan terperinci mengenai estetika ujaran membutuhkan pula
beberapa penjelasan seputar Ma’ânî— Bayân (disiplin retorika). Sementara
ulasan seputar ujaran estetik bersinggungan dengan ranah
ilmu tafsir. Akan tetapi, mengingat tulisan ini hanya dimaksudkan
sebagai kajian ringkas dan menyoal tema-tema pokoknya, kedua
disiplin tersebut tidak akan dibahas secara khusus dan mendetail,
20 Nahj Al- Balâghah, Pidato 198 315.
p:47
melainkan hanya cukup menyebutkan poin-poin pentingnya
saja yang dianggap relevan dengan topik pembahasan—berkat
pertolongan Allah Swt.
p:48
p:49
TOPIK ESTETIKA ujaran terdiri dari tiga subtopik yang sekaligus
menjadi tolok ukurnya—kendati tak seorang pun memiliki
kemampuan untuk mengenali dan memahami seluruh tolok ukur
keindahan serta menerapkannya dalam setiap ujaran. Berikut adalah
ketiga sub-topik tersebut—terlepas apakah klasifikasi ini disetujui
atau tidak:(a) Ma’ânî,21 (b) Bayân,22 dan (c) Badî‘.23
Sub-topik pertama diorientasikan untuk menjaga posisi dan
harmoni ujaran. Sementara sub-topik kedua dimaksudkan agar
penyampaian intensi [pengujar] tidak sampai menemui kesulitan
dan kendala yang berarti. Adapun sub-topik ketiga berkisar pada
konstruksi dan dekorasi ujaran, atau estetika teks dan makna ujaran.
Kemampuan menguasai seluruh tolok ukur yang berkenaan
dengan ketiga sub-topik tersebut akan menjadikan suatu ujaran
sebagai yang terindah. Ketiga tolok ukur ini juga punya peran
mendasar, baik dalam hal seleksi huruf, i‘râb (penguraian), maupun
komposisi kata-kata dan kalimat. Pada mulanya, sebelum melakukan
kajian dan pembahasan ini, penulis sempat beranggapan hanya
komposisi kata dan kalimat Al-Quran berikut kandungannya saja
yang berstatus mukjizat. Namun kemudian, sesuai ulasan yang akan
dikemukakan, berkat pertolongan pemilik ujaran terindah (Allah
Swt), tampak jelas bahwasanya seluruh elemen Al-Quran, termasuk
21 Dalam kitab Al-Îdhâh ‘Ulûm Al- Balâghah karya Jalaluddin Al-Qazwini, disebutkan, “Yang
dimaksud dengan ilmu Ma‘ânî terbatas pada delapan bab yang mengenai hal-hal berikut: a. Isnâd
Khabarî, b. Musnad ilaih, c. Musnad, d. Muta’allâqat Fi’il, e. Qashr, f. Insyâ’, g. Fashl wa Washl, h.
Îjâz, Itnâb, dan Musâwâh.”—penj.
22 Seperfi Tasybîh, Majâz, dan Kinâyah—penj.
23 Melipufi al-muhassinât al-lafdhiyyah (estefika harah) dan al-muhassinât al-ma’nawiyyah
(estefika makna). Al-muhassinât al-lafdhiyah idenfik dengan al-jinâs (dua lafal serupa dalam
ucapan namun berbeda dalam makna), al-iqbâs (kufipan), dan saja’. Adapun al-muhassinât
al- ma’nawiyyah sama dengan al-tawriyah (ujaran lafal lafat mufrad dengan dua makna, dekat
dan eksplisit namun fidak dimaksudkan serta jauh dan implisit namun dimaksudkan),
alitbâq, almuqâbalah (mengungkapkan dua makna atau lebih, kemudian menyertakan antonimnya
secara berurutan), dan sebagainya. Disadur dari Ali Al-Jarim Mustafa Amin: Al- Balâghah
Al-Wâdhihah— penj.
p:50
seleksi huruf dan i‘râb-nya, merupakan mukjizat. Tidak satupun
pemikir yang sanggup menciptakan keindahan layaknya Al-Quran.
Karena Al-Quran secara keseluruhan itu indah, bahkan yang paling
terindah. Berdasarkan itu, pertama-tama akan diuraikan seluk-beluk
seleksi huruf, i‘râb, dan komposisi.
a. Seleksi Huruf
Tak dapat dipungkiri, huruf sebagai unsur formatif ujaran
(sebelum ujaran terbentuk) memiliki koherensi struktural dengan
huruf lainnya (relasi antarhuruf). Beberapa jenis ilmu yang bersifat
unik, baik yang dapat dibenarkan maupun yang sesat, seperti ilmu
sihir dan astrologi, bergantung pada efektivitas huruf-huruf. Dari
segi makhraj (lokus ujaran), terdapat kriteria khusus yang berkenaan
dengan rangkaian huruf dan bunyinya. Makhraj dan kekhasan masingmasing
huruf sepenuhnya memiliki fungsi yang berbeda dalam hal
bunyi dan irama ujaran. Dari perspektif kriteria inilah, huruf (dalam
ilmu Tajwid—penj.) dibagi ke dalam 16 kategori:(1) jahriyyah (suara
keras) dan hamsiyyah (suara bisikan), syadîdah (keras) dan rakhwah
(lemah), muthabbaqah (tertutup) dan munfatîhah (terbuka), musta‘liyah
(tinggi) dan munkhafidhah (rendah), munzaliqah (naik) dan mushammanah
(turun), qalqalah, shafîr (dengusan), layyinah (lembut),
dan lain-lain.(2)
Kriteria makhraj dan bunyi huruf berperan penting dalam hal
komposisinya dan, terutama, i‘râb, dari segi kefasihan, ekspresi, dan
estetikanya. Perpindahan [bacaan] dari satu huruf ke huruf lain tidak
selalu sama bobotnya. Dalam beberapa momen, [rangkaian huruf
yang dibaca] terasa ringan dan mudah, namun dalam momen yang
lain terasa berat dan sulit. Berbagai kekhasan ini memiliki fungsi yang
berbeda dalam menciptakan bunyi dan irama ujaran, termasuk
kadar
p:51
keindahan dan keburukannya. Dalam sejumlah riwayat, disinggung
pula soal efektivitas huruf-huruf, seperti pengaruh bacaan surah al-
Fatihah dalam menyembuhkan orang sakit. Kendati pengaruh teks
dan kandungan surah [Al-Fatihah] menduduki posisi yang utama,
namun riwayat juga menyinggung soal pengaruh huruf-hurufnya.
Dikarenakan tidak memuat huruf fa’ yang merupakan salah satu
unsur formatif kata âfah (penyakit), maka surah ini memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam menyembuhkan orang sakit.
Allah Swt tidak menurunkan satu surah pun dari Al-Quran
kepadamu (Muhammad) kecuali terdapat (huruf) fâ’ di dalamnya
sedangkan setiap (huruf) fâ’ berasal dari âfah (penyakit) selain
(surah) Al-Fatihah. Maka sesungguhnya di dalamnya tidak
terdapat fâ’.(1)
Terdapat riwayat dari Imam Shadiq as yang berkenaan dengan
huruf-huruf dalam ujaran basmalah (bismillâh). Beliau menyatakan
bahwa huruf bâ’ berasal dari kata bahâ’ullâh (keagungan Allah Swt),
sîn dari sana’ullâh (ketinggian Allah Swt), dan mîm dari mulkullâh
(kerajaan Allah Swt).(2)
Juga diriwayatkan, “Barangsiapa yang ingin diselamatkan
Allah Swt dari 19 Zabaniyah (malaikat penjaga neraka) hendaknya
membaca bismillâhirrahmânirrahîm karena [ujaran ini] berjumlah 19
huruf(3) sehingga Allah Swt menjadikan setiap hurufnya sebagai
tameng dari masing-masing mereka.”(4)
Karena dapat mengakibatkan efektivitas suatu ujaran, sekaligus
bunyi dan iramanya, yang khas, maka seleksi huruf juga harus
benar-benar diperhatikan dalam proses kombinasi huruf-huruf satu
p:52
sama lain agar pengujaran menjadi mudah ( fasih) dan ekspresif,
serta jauh dari kesulitan, inkonsistensi, dan inkoherensi. Seumpama,
meletakkan beberapa huruf yang sama-sama berjenis makhraj, seperti
huruf-huruf halq, dapat mengakibatkan kesulitan (berat). Pergeseran
dari mahmûsah rikhwah ke mahmûsah syadîdah atau jahriyyah juga
dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman dalam benak
lawan bicara. Ulasan seputar kriteria-kriteria ini termaktub secara
terperinci dalam buku-buku ( tajwid atau qirâ’ah).
Pembahasan kali ini hanya akan menyinggung masalah hurufhuruf
yang memiliki fungsi khusus. Selain pula cara menyusunnya
dalam komposisi kata atau kalimat yang dapat akan menimbulkan
perbedaan efektivitas, juga bunyi dan irama, suatu ujaran, yang
tentunya bergantung pada kekhasan tersebut. Pengujar yang
terampil dan piawai niscaya mengenali seluk-beluk kriteria-kriteria
tersebut dan sepenuhnya memanfaatkan semua itu saat melontarkan
ujaran. Lantaran turun dari sisi Allah Swt Yang Mahatahu, Al-Quran
sangat berdisiplin sekaitan dengan kriteria-kriteria tersebut. Sampaisampai,
dalam ujarannya yang memuat kata-kata atau kalimat yang
paling banyak sekalipun, Al-Quran tetap ekspresif, fasih, dan sangat
memikat.
Perhatikanlah kalimat anulzimukumûhâ, yang terdiri dari 10
huruf dengan satu tanda baca (tanda tanya), serta tiga kata ganti
orang pertama (jamak dan tunggal perempuan). Betapa fasih dan
ekspresifnya ungkapan pendek namun memuat banyak huruf ini
dalam menjelaskan kandungan maknanya. Juga klausa fasayakfîkahum
Allâh yang terdiri dari 13 huruf dengan pengulangan beberapa huruf
yang sama; betapa fasih dan ekspresifnya kalimat ini, dengan tetap
terjaga keutuhan komposisinya dan kekayaan maknanya hingga
pembaca atau pendengar mengiranya tak lebih dari sepatah kata.
Demikian pula dengan kalimat layastakhlifannahum fi al-ardh yang
terdiri terdiri dari 10 huruf, namun sangat fasih dalam pengujaran
dan ekspresif dalam [menjelaskan] kandungan atau isinya.
p:53
Memilih kata untuk mengutarakan maksud, serta menyusun
kata-kata guna menciptakan bunyi dan irama ujaran memiliki peran
yang sangat signifikan. Selain itu, menjaga harmoni dari komposisi
ujaran serta seleksi kata-kata yang tepat, terutama yang mirip satu
sama lain, merupakan upaya yang sangat penting dan memainkan
peran menentukan dalam konteks estetika ujaran dan ujaran estetik.
Aplikasi rumus-rumus ini secara konsisten, terutama dalam karya
sastra dan bahasa Arab yang sangat kaya dan berbobot dari segi kosakatanya,
padahal banyak sekali kata-kata yang nyaris mirip bunyi
dan maknanya, sangatlah sulit. Barangkali pula, salah satu alasan
dipilihnya bahasa ini sebagai bahasa Al-Quran adalah kriterianya
yang menciptakan mukjizat itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam sistem bahasa ini, terdapat beberapa
ujaran untuk menyatakan turunnya hujan dengan kadar kelebatan
yang berbeda. Untuk awal turunnya hujan, digunakan kata rasysy.
Saat mulai deras, tall, lalu naqah, lalu hatal, dan setelah itu wâbil.(1)
Dalam bahasa Arab, terdapat pula penggunaan sejumlah ujaran yang
berkenaan dengan awan. Gumpalan atau bintik-bintik awan yang
pertama terbentuk disebut nasysy; awan yang bertebaran di udara
disebut sahâb; saat awan mengubah warna langit dan menutupinya
disebut ghamâm; ketika menebarkan bayangan disebut ‘âridh; bila
berbarengan dengan kilat dan petir disebut ‘arâsh; awan tebal yang
berkumpul disebut ghafârah; dan awan putih disebut muzn; .…(2)
Adapun aliran air dari bebatuan dinamakan inbajasa; aliran air
dari sungai disebut fâdha; dari atap diistilahkan wakafa; dari kantong
kulit disebut saraba; dari bejana dinamakan rasyaha; dari mata air
(sumber air) insakaba; dan mengalirnya air dari luka disebut ta‘‘a.(3)
Tsa’alibi menyebutkan berbagai atribut untuk air dalam 55 istilah.
Air mengalir disebut ‘idd. Air yang menggenang (tidak mengalir)
dan satu bagiannya tetap tenang dengan terjadinya gelombang di
p:54
bagian lainnya disebut kurr. Air banyak disebut ‘adzb dan ‘adzq. Air
yang menenggelamkan ghamr. Air tanah ghawr. Air yang mengalir
di bawah tanah ghayl. Air yang mengalir di sela-sela pepohonan
ghalal. Air bah dan menggenang gadîr. Air murni qirâh. Air berbau
tidak sedap tapi dapat diminum âjin. Air tidak sedap yang tak dapat
diminum âsin. Air tak sedap dan dingin ghassâq. Air panas sakhin. Air
mendidih hamîm. Air segar fâtir, dan sebagainya.(1)
Kosakata, selain tidak janggal (tidak akrab bagi pembaca/
pendengar—penj.) atau karakternya tidak relevan, harus
dipertahankan kekhasannya dalam upaya menciptakan estetika
ujaran serta mengutarakan intensinya yang paling mendalam.
Mengabaikan keharusan ini akan mengakibatkan suatu ujaran
kehilangan kesegaran dan keindahannya. Sepanjang sejarah,
belum ada seorang pun manusia yang paling piawai dan cekatan
dalam berkata-kata menguasai seluruh kriteria tersebut serta selalu
memperhatikan dan terus mempertahankannya sewaktu berujar.
Sebaliknya, Allah Swt yang Mahatahu rahasia-rahasia dan tak
pernah lupa sekali pun, “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam
[19]: 64), senantiasa mempertahankan seluruh kriteria itu. Inilah
yang menjadikan Al-Quran sebagai ujaran terindah.
Dalam berujar, Al-Quran memperhatikan betul harmoni dan
komposisinya. Jadinya, kosakata yang dipilih selalu tepat dan
relevan dengan kekhasan komposisinya. Seperti dalam momen itnâb
(mengurai kalam) atau îjâz (meringkasnya), ta‘zdîm (mengagungkan)
atau tahqîr (merendahkan), tasywîq (memotivasi) atau tanbîh
(menghukum), ta’sis (mendasarkan) atau ta’kîd (menekankan),
istimrâr (menyambung) atau maqta’iy (memutus), wa‘zd (menasihati)
atau burhânî (berargumen), dan seterusnya. Dengan begitu, kosakata
pilihannya senantiasa akurat atau relevan dan komposisinya juga
tidak menyulitkan pengujarannya.
p:55
Al-Quran senantiasa mengkonstruksi ujarannya dengan
serangkaian kosakata yang sudah akrab (di benak audiens) dan tidak
ambigu, dan dalam komposisi yang fasih dan ekspresif. Mustahil
menemukan di dalamnya kosakata yang sulit dicerna dan komposisi
yang kabur (tidak fasih). Bahkan dalam sejumlah kasus, Al-Quran
lebih cenderung memilih komposisi kalimat yang lain ketimbang
menggunakan beberapa kosakata Arab yang dalam bahasa ibunya
tergolong fasih namun menurutnya punya bobot relatif berat (kurang
fasih). Umpama berkenaan dengan kosakata “bata” yang dalam
bahasa Arab pada umumnya diistilahkan dengan qarmad atau âjur.
Namun Al-Quran menganggap kedua kosakata ini kurang fasih.
Karena itu, sewaktu membutuhkan makna leksikonnya, Al-Quran
pun mengubah komposisi ujarannya minus kedua kosakata tersebut
seraya menggunakan istilah “tanah liat matang”.
Sewaktu menuturkan kisah Fir’aun yang memerintahkan
menterinya, Haman, untuk membangun sebuah istana yang
menjulang tinggi dari bahan batu bata agar dirinya dapat naik ke
puncaknya dan mengambil kabar dari Tuhan Musa as, Al-Quran
menggunakan kosakata “tanah liat matang” ketimbang âjur dan
qarmad. “Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian
buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat
Tuhan Musa” (QS Al-Qashash [28]: 38). (Perhatikanlah, betapa
seorang dungu yang congkak ingin mengambil kabar dari Tuhan?!)
Atau kosakata aradhûn yang merupakan bentuk jamak dari ardh dan
dianggap agak berat (kurang fasih). Saat hendak mengutarakan
makna leksikon dari kosakata ini, Al-Quran pun menggunakan
ungkapan lain, “Allah alladzî khalaqa saba samâwât wa min al-ardh
mitslahunna”: Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi (QS Al-Thalaq [65]: 12).
Dalam kasus lubb yang diartikan dengan “akal”, perpindahan
dari huruf lâm sebagai rakhwah syadîdah kepada huruf bâ’ tasydîd relatif
memberatkan. Karena itu, Al-Quran pun tidak menggunakannya
p:56
seraya meletakkan kata qalb atau fu’âd sebagai gantinya (tentu saja
keduanya juga memiliki kriteria lain yang boleh jadi pula menjadi
fokus perhatian). Namun demikian, kosakata pluralnya, albâb, justru
dipandang tidak problematik sehingga acap digunakan di banyak
tempat. Seperti, “Wa lakum fî al-qishâsh hayât-un yâ ulî al-albâb”: Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 179). Juga, “Wa tazawwadû, fa inna
khair al-zâd al-taqwâ, wa-ittaqûni yâ ulî al-albâb”: Dan berbekallah, maka
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku
hai orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 197). Perjalanan yang
ditempuh teramat jauh dan melelahkan. Jika tidak membawa bekal
yang cukup, seorang musafir niscaya bakal putus asa dan tertinggal
jauh. Oleh karenanya, agar tidak sampai mengalami kondisi semacam
itu, segeralah membekali diri dengan ketakwaan.
Al-Quran memilih kata na‘am atau balâ yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan dengan tingkat kekhususan tertentu. Kata balâ
digunakan dalam konteks pertanyaan yang ujarannya menggunakan
huruf hamzah istifhâmiyyah yang bermuatan negasi namun hasilnya
justru afirmasi. Seperti dalam kalimat ikrar terhadap ‘ubudiyyah
(penghambaan atau penyembahan) dan rububiyyah (kepemilikan
dan kepengaturan) Allah Swt disebutkan, “A lastu bi rabbikum, qâlû
balâ”: Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, “Betul (Engkau
Tuhan kami)” (QS Al-A’raf [7]: 172). Akan tetapi, bila yang digunakan
adalah kata na‘am, maka kandungan maknanya akan menjadi negatif.
Bila mereka menjawab, “na‘am”, maknanya akan menjadi “a lasta bi
rabbinâ”: bukankah Engkau Tuhan kami. Implikasi yang sama juga
akan berlaku pada ayat, “Alasta hâdzâ bi al- haqq, qâlû balâ wa rabbinâ”:
bukankah (kebangkitan) ini benar? Mereka menjawab, “Sungguh benar,
demi Tuhan kami” (QS Al-An’am [6]: 30).
Manakala digiring ke hadapan api neraka lalu ditanya,
bukankah kiamat dan azab itu benar adanya, orang-orang yang
mengingkari Allah Swt dan hari kiamat (hari kebangkitan) pun
p:57
akan segera menjawab, sungguh benar [adanya]. Adapun kata na‘am
digunakan dalam konteks pertanyaan yang ujarannya menggunakan
hal istifhamiyah (yang menunjukkan pertanyaan), seperti “Fa hal
wajadtum mâ wa‘ada rabbukum haqq-an, qâlû na‘am”: maka apakah
kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu
menjanjikannya (kepadamu)? Mereka (penduduk neraka) menjawab,
‘Benar’ (QS Al-A’raf [7]: 44).
Khusus berkenaan dengan penggunaan kata halumma, ta‘âl,
ilayya; ketika sedang berada di atas (tempat yang lebih tinggi) dan
bermaksud mengajak orang kedua datang ke tempatnya, orang
pertama harus menggunakan kata ta‘âl yang artinya “naiklah ke
atas”. Adapun jika posisinya sejajar atau berada lebih bawah dari
orang kedua, maka orang pertama mesti menggunakan kata halumma
atau ilayya.
Dalam mengekspresikan imbauan dari Allah Swt agar menuju
kepada-Nya, yang bermakna mengarah “ke atas”, Al-Quran
menggunakan kata ta‘âl seperti: “Qul yâ ahl al-kitâb, ta‘âlaw ilâ kalimatin
sawâ’ baynanâ wa baynakum allâ nabudu illâ-Allâh”: Katakanlah, ‘Hai
Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah’ (QS Ali ‘Imran [3]: 64). Juga, “Ta‘âlaw qâtilû fî sabîl-i-Allâh”:
Marilah berperang di jalan Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 167).
Namun, saat mengekspresikan ajakan seorang manusia kepada
manusia lain, Al-Quran pun menggunakan kata halumma dan ilayya:
“Qad ya‘lam-u-Allâh-u al-mu‘awwiqîn minkum wa al-qâ’ilîn li ikhwânihim
halumma ilaynâ wa la ya’tûn-a al-ya’s illâ qalîl-an”: Sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu
dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada
kami.’ Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar (QS
Al-Ahzab [33]: 18). Juga, “Halumma syuhadâ’akum alladzîn-a yasyhadûn-a
anna-Allâh-a harama hâdzâ”: Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat
mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan
p:58
yang kamu) haramkan ini (QS Al-An’am [6]: 150).
Berkenaan dengan mengalirnya air dari kedalaman batu
dalam kasus mukjizat Nabi Musa as, Al-Quran menerapkan
kata inbajasa yang memiliki kekhasan penggunaan berikut, “An-
’idhrib bi ‘ashâka al-hajar, fa-inbajasat minhu itsnatâ asyrat-a ‘ayn-an”:
Pukullah batu itu dengan tongkatmu! Maka memancarlah darinya dua
belas mata air (QS Al-A’raf [7]: 160).
Sekaitan dengan kata rafa‘a dan nataqa yang bermakna
“mengangkat ke atas”, Al-Quran menggunakan rafa‘a dalam kasus
diangkatnya gunung Thursina: “Wa rafa‘nâ fawqakum al-thûr” : Dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atas (kepala) mu (Bani Israil) (QS
Al-Baqarah [2]: 63). Akan tetapi, ketika bermaksud menyampaikan hal
lain yang bersifat khusus, di mana sesuatu yang diangkat mengakar
di perut bumi, sebagaimana ungkapan Al-Quran, “Wa aljibâl-a
awtâd-an”: Dan gunung-gunung sebagai pasak (QS An-Naba’ [78]:
7), kata yang digunakan adalah nataqa yang bermakna mencabut dan
mengangkat: “Wa idz nataqnâ al-jabal-a fawqahum ka ’annahu zdullah”:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan
bukit itu naungan awan (QS Al-A’raf [7]: 171).
Dalam konteks tanah yang siap ditanami, digunakan kata
khusyû‘ yang bermakna “tunduk dan penerimaan”—sebagai sarana
untuk mengingatkan ihwal kondisi ini: “Wa nin âyâtih-i tarâ al-ardh
khâsyi‘ah, fa idzâ anzalnâ ‘alayhâ al-mâ’ ihtazzat wa rabat, inna alladzî
ahyâhâ la muhyi al-mawtâ”: Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-
Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami
turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya
Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati (QS
Fushshilat [41]: 39).
Adapun saat bermaksud mengalihkan perhatian pada kondisi
lain, di mana mati (tandus) dan hidup (subur)nya tanah tidak
terjadi hanya sekali, melainkan selalu berulang setiap tahun, dan
tanpa diragukan sedikit pun, menjadi analog dari hari kebangkitan
p:59
dan hidup kembalinya orang-orang yang sudah mati, Al-Quran pun
menggunakan kata hamada: sesuatu yang bernyala api namun telah
padam, “Wa tarâ al-ardh hâmidat-an fa idzâ anzalnâ ‘alayhâ almâ’
ihtazzat wa rabat wa anbatat min kulli zawj-in bahîj”: Dan kamu lihat
bumi ini kering (dahulu hidup dan telah padam), kemudian apabila telah
Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS Al-Hajj [22]:
5). Fenomena dramatis ini terjadi berulang-ulang; lantas, bagaimana
mungkin manusia yang selalu menyaksikannya, meragukan [realitas]
hari kebangkitan?
Terkait dengan pelengkap kata kerja raghiba, bila transitif dengan
min, akan bermakna “kedekatan”; namun bila transitif dengan ‘an,
akan memiliki arti “jauh”: “Wa man yarghab-u ‘an millat-i Ibrâhîm-a
illâ man safiha nafsah”: Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim
(maksudnya setiap agama samawi yang benar), melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 130). Maksudnya,
ireligiusitas (kondisi tidak beragama) identik dengan kebodohan,
kedunguan dan irasionalisme.
Demikianlah serangkaian contoh seputar kriteria seleksi huruf
dan kosakata dalam Al-Quran. Setiap seleksi huruf atau kata cenderung
didasarkan pada harmoni ujaran seraya menghindari digunakannya
kata-kata yang, bahkan, kurang akrab sekalipun. Begitulah
keseluruhan isi Al-Quran. Selain mukjizat, mustahil hal yang sama
dapat dilakukan. Pasalnya, siapa orator ulung dan ahli pikir yang
menguasai seluruh kriteria [seleksi] huruf, kata, dan komposisinya,
juga harmoni khas antarkosakata? Adakah manusia paling cerdas
dan wawasannya paling mumpuni yang sanggup mempertahankan
dan tidak abai terhadap seluruh kriteria tersebut sewaktu mengekspresikan
wawasannya dalam bentuk ujaran?
p:60
I‘râb (penguraian kata dan perubahan harakatnya), bila
disandangkan pada rangkaian huruf, selain ibarat pakaian
yang ditempelkan ke tubuh sebagai penutup, adakalanya juga
mengakibatkan pergeseran makna.
I‘râb yang tepat dan selaras akan menciptakan keindahan ujaran,
sebagaimana pakaian yang cocok untuk tubuh. I‘râb yang tidak
harmonis laksana pakaian kedodoran dan tidak berbentuk, sehingga
menjadikan ujaran terasa berat dan nihil keindahan. I‘râb yang tidak
akurat akan menghilangkan tempo dan irama huruf-huruf.
Dalam beberapa kasus, perubahan suatu i‘râb mengakibatkan
perubahan keseluruhan makna semantik ujaran. Seperti perbandingan
kata qadara-yaqdiru yang berarti “mengukur” dan “ukuran” dengan
kata qadara-yaqduru dari kata qudrah yang bermakna “kekuatan dan
kemampuan”. Berkenaan dengan kasus Nabi Yunus as, disebutkan,
“Fa zdanna an lan yaqdir-a ‘alayh: Lalu dia menyangka bahwa Kami
tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya)” (QS Al-Anbiya’ [21]:
87). Juga, “Allah-u yabsut-u al-rizq-ali man yasyâ’-u wa yaqdir: Allah meluaskan
rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS
Ar-Ra’d [13]: 26). Melalui penjelasan ini, ayat suci Al-Quran memiliki
perspektif yang sahih. Adapun qadara-yaqduru yang berarti kekuatan
dan kemampuan, tidak relevan untuk diterapkan dalam kisah Nabi
Yunus as, karena tak seorang nabi pun yang menganggap Allah Swt
tak punya kekuatan dan kemampuan terhadap dirinya.
Contoh lain, ‘asyiya-ya‘sya dalam figura ‘alima-ya‘lamu bermakna
“rabun malam”. Adapun ‘asyâ-ya‘syû dalam figura nashara-yanshuru
memiliki arti “berpura-pura buta”. Dalam kasus orang-orang yang
pura-pura buta (menutup mata) agar tidak sampai menyaksikan
ayat-ayat (tanda-tanda) kebenaran, Al-Quran mengatakan: “Wa man
ya‘syu ‘an dzkr al-rahmân nuqayyidh lahu syaytâ-an fa huwa lahu qarîn”:
Barang siapa yang menutup mata (berpaling) dari pengajaran Tuhan Yang
Maha Pemurah (Al-Quran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan)
p:61
maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (QS Al-
Zukhruf [43]: 36). kata ya‘syu di awal ayat ini dipahami dalam arti
‘asyâ-ya‘syu. Dalam hal ini, bukan penderita rabun malam sebagai
sebentuk cacat jasmani, yang menjadi objek kecaman dan ancaman.
Demikian pula, dalam melakukan seleksi i‘râb, Al-Quran amat
memperhatikan seluruh aturan dan kriteria estetik. Saat menceritakan
azab [yang diderita] kaum Tsamud yang berkesinambungan
hingga mencerabut eksistensi mereka secara radikal—lantaran
pembangkangan dan kelancangan menyembelih unta Nabi Saleh
as—lewat alunan berikut, Al-Quran mengekspresikan kontinuitas:
“Fa ‘aqarûhâ fa damdama ‘alayhim rabbuhum bi dzanbihim fa sawwâhâ:
Dan mereka menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan
mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan mereka (dengan
tanah)” (QS As-Syams [91]: 14). Paralelisme huruf dâl dengan mîm
serta pengulangan keduanya dengan menggunakan i‘râb fathah
secara beruntun berperan dalam mengekspresikan makna azab yang
bersifat kontinyu dan radikal.
Hal serupa juga tercermin dalam kisah yang berkenaan dengan
kaum ‘Ad. Saat menuturkan soal angin ribut yang berkesinambungan
siang-malam menimpa kaum tersebut selama beberapa hari, Al-
Quran mendekorasi huruf-hurufnya dengan kriteria bunyi yang
selaras dengan peristiwa dan kesinambungannya lewat penggunaan
i‘râb yang akurat: “Wa amma ‘Âd fa uhlikû bi rîh-in sharshar-in ‘âtiyah”:
Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang
sangat dingin lagi amat kencang (QS Al-Haaqqah [69]: 6). Pilihan huruf
shâd yang tergolong huruf shafîr dan bermakna “meniup”, dengan
pengulangan shar dan i‘râb fathah, menjelaskan kesinambungan, juga
suara gemuruh angin ribut, dalam alunan yang begitu indah. Betapa
akuratnya pilihan huruf-huruf dan i‘râb yang dilakukan Al-Quran
sekaitan dengan bunyi serta tiupan angin topan yang sedemikian
mengerikan dan menakutkan?
p:62
Contoh lainnya, “Wa al-layl-i idzâ ‘as‘as, wa al-shubh-i idzâ tanaffas”:
Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh
apabila telah bernafas (fajarnya mulai menyingsing) (QS At-Takwir [81]:
17—18). Pilihan huruf ‘ain dan sîn berikut pengulangan keduanya
dengan menerapkan i‘râb fathah secara beruntun dan berulang-ulang
menjelaskan kemunculan momen malam hari secara bertahap. Lalu,
pilihan kata tanaffas yang ditambahkan dengan tâ’ (menambahkan
huruf dengan sendirinya menambahkan arti—penj.) serta
pilihan harakat fathah secara beruntun, mendeskripsikan fase-fase
kemunculan momen subuh hari. Seolah-olah dalam beberapa saat,
momen gelap malam dirasakan sangat membebani, lalu kemunculan
momen subuh hari memberikan perasaan lega dalam bernafas.
Saksikanlah, betapa indah, harmonis, dan luwes irama serta ekspresi
Al-Quran dalam melukiskan realitas eksternal dan inderawi berupa
munculnya momen pagi dan malam hari secara beruntun dan
bertahap? Siapakah yang mampu menciptakan ujaran semacam ini?
Dalam kasus digiringnya para penghuni neraka ke kobaran api,
yang dimulai dengan proses penangkapan dan pembelengguannya,
Al-Quran menyatakan, “khudzûh-u fa ghallûh, tsumma al-jahîm fa
shallûh, tsumma fî silsilat-in dzar‘uha sab‘ûn-a”: (Allah berfirman,)
Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian
masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian
belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta (QS Al-
Haaqqah [69]: 30-32). Pilihan kata ganti jamak laki-laki dalam ujaran
perintah berikut pengulangannya, serta pilihan kata-kata yang sesuai
dengan kompisisi dan i‘râb yang tepat, mereeksikan harmoni dan
koherensi unit-unitnya. Sementara itu, alunan ujarannya terasa elok
dan mengalir.
Karenanya, saat keindahan hakiki dan alunannya harmonis
dengan kata-kata serta rangkaian i‘râb-nya dibarengi lantunan
indah dan suara merdu seorang qari’ Al-Quran, betapa besar pesona
yang dipancarkan sehingga mampu menjadikan lawan bicara
p:63
atau pendengar terpukau dan terpaku di tempatnya. Oleh karena
itu, dianjurkan untuk membaca Al-Quran dengan lantunan suara
yang indah dan merdu, “Segala sesuatu memiliki rasa manis dan
keindahan. Rasa manis dan keindahan Al-Quran terletak pada
(alunan) suara merdu nan indah.”(1)
Kombinasi dan kesatuan serta alunan merdu Al-Quran dalam
lantunan dan suara indah Rasulullah Saw inilah yang mengguncang
hati orang-orang keras kepala serta melembutkan emosi manusia
berhati batu seperti Walid, sekaligus mematahkan keangkuhan
dan kebebalannya. Bacaan Al-Quran yang dilantunkan Nabi Saw
juga membuat kaum mukmin dan kafir terpukau. Begitu pula,
bacaan Al-Quran yang dilantunkan para imam as mampu menyetop
langkah orang-orang yang berlalu-lalang di gang-gang sekaligus
menginterupsi mereka dari kesibukan bekerja.
Demikianlah lantunan Al-Quran yang dibaca siang dan malam,
selalu saja mengguncangkan hati dan menjadikan air mata mengalir
di pipi. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-
Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah” (QS Az-
Zumar [39]: 23). Pilihan i‘râb yang tepat sangat menentukan lantunan
irama suatu ujaran. Karena itu, dengan bersikap selektif terhadapnya
akan menjadikan ujaran sebagai yang terindah dan terbaik.
Komposisi kalimat merupakan leimotiv estetika ujaran dan
ujaran estetik. Pada bagian sebelumnya, uraian seputar seleksi
huruf, kata, dan i‘râb berkisar pada upaya mempertahankan tolok
ukur keindahan ujaran. Sedangkan dalam soal komposisi kalimat,
pokok persoalannya berkisar pada kemampuan berujar secara apik
p:64
dan tepat, serta fasih dan ekspresif. Ketidakmampuan dalam bidang
ini menyebabkan suatu ujaran akan invalid dan tidak bernilai.
Pola susunan atau komposisi kalimat menentukan keindahan
atau keburukan serta ekspresif tidaknya maksud pengujar. Pasalnya,
keselarasan antara ujaran dengan kondisi pengujar dan audiens
sepenuhnya berbeda. Kondisi tersebut adakalanya menuntut sikap
mengagung-agungkan ( glorifikasi), merendahkan ( humiliasi),
motivasi, peringatan dan penyampaian berita gembira, kinâyah
(alegori atau metonimi), atau analogi dan isti‘ârah ( metafora).
Tipologi kalimat harus diseleksi teliti berdasarkan skema kriteriakriteria
tersebut. Unsur-unsur pokok ujaran, seperti subjek, predikat,
dan objek, serta korelasi antara fâ‘il (pelaku) dan kata kerja dalam
mendahulukan dan mengakhirkan, jamak dan tatsniyah (berjumlah
dua), kalimat ismiyyah (nominal) atau fi‘liyyah (verba), istimrârî
(menunjukkan kesinambungan) atau non-istimrârî, serta puluhan
unsur lainnya sangat menentukan kualitas komposisi kalimat. Jelas,
dikarenakan keterbatasan ilmunya, manusia tak akan pernah mampu
menguasai semua rumus dan rahasia tersebut. Akibat senantiasa
dibayang-bayangi kelupaan dan kelalaian, manusia tidak selamanya
mampu mengingat semua hal yang telah dipelajarinya untuk
mencipta ujaran terindah. Sementara Allah Swt Yang Mahatahu tidak
pernah mengalami kondisi lupa. Dia menerapkan seluruh parameter
keindahan dalam kalam-Nya, serta mengungkapkan ujaran dengan
solid dan indah sedemikian rupa, sampai-sampai tak satu pun
kekuatan yang mampu menandinginya. Salah satu dimensi estetik
Al-Quran berkorelasi dengan formasi dan komposisi kalimat yang
merupakan ihwal maknawiah dan nonmaterial, sekaligus mewadahi
seluruh keindahan sintaksis dan semantiknya. Sekaitan dengannya,
akan dikemukakan sejumlah ayat Al-Quran sebagai contoh.
Dalam kasus banjir bandang yang sangat dahsyat di masa Nabi
Nuh as, secara ajaib (mu‘jizati), air menyembur dari dalam tanah
serta turun dari langit. Keduanya mengakibatkan debit air meluap
p:65
hingga melebihi puncak gunung yang tinggi, lalu menenggelamkan
semuanya. Hanya beberapa gelintir manusia yang berada dalam
kapal Nabi Nuh as saja yang berhasil selamat. Allah Swt berkehendak
menyudahi tragedi ini dalam skema mukjizat sehingga keadaan
kembali normal dalam tempo cepat, bukan secara berangsur-angsur.
Karena, bila berlangsung secara bertahap, niscaya seluruh manusia
dan yang berada dalam kapal [Nabi Nuh as] juga akan menemui
ajalnya. Allah Swt menghendaki, dalam skema mukjizat, air bah
segera berlalu agar kapal tersebut dapat kembali berlabuh di tepian.
Intensi ini dijelaskan Al-Quran dengan beberapa kalimat pendek nan
indah tiada tara: “Wa qîla yâ ardh-u ibla‘î mâ’aki wa yâ samâ’-u iqla‘î wa
ghîdha al-mâ’ wa qudhiya al-amr-u wa istawat ‘alâ al-jûdiy wa qîla bu‘dan
li al-qawm al-zdâlimîn”: Dan difirmankan, “Hai bumi telanlah airmu,
dan hai langit ( hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun
diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan,
“Binasalah orang-orang yang lalim” (QS Hud [11]: 44).
Pertama-tama, akan dikemukakan makna sejumlah kosakata
yang termaktub dalam ayat tersebut.
Kata bala‘a berarti “menelan sesuatu secara sekaligus”,
sebagaimana binatang menelan mangsanya secara sekaligus. Kata
qala‘a berarti “mencerabut sesuatu sampai ke akarnya”, seperti
mencerabut pohon atau gigi. Kata ghîdha artinya “air menyerap ke
dalam sesuatu”.
Awalnya, Allah Swt memberikan perintah-Nya kepada bumi
untuk menelan habis airnya. Perintah takwini (antonim dari syar’i) ini
menjadikan air yang tadinya memancar dari dalam tanah kembali
surut ke perut bumi. Allah Swt juga memerintahkan langit memutus
curahan air hujannya. Dengan kata lain, air yang sampai saat itu
masih deras berjatuhan dari langit bak air terjun mendadak berhenti
sedemikian rupa hingga bekas-bekasnya tidak tampak. Kala itu, air
yang jatuh dari langit maupun yang memancar dari dalam tanah
sekonyong-konyong lenyap. Jika air yang memancar dari dalam tanah
p:66
kembali ke perut bumi, lantas ke manakah air yang jatuh dari langit
( hujan)? Lenyapnya air hujan tentu bukan lewat proses penguapan
(evaporasi). Sebab, proses tersebut bakal memakan waktu bertahuntahun
lamanya sehingga bertolak belakang dengan keinginan untuk
menjadikannya lenyap dalam tempot cepat.
Secara tekstual ayat ini memperlihatkan bahwa bumi hanya
menelan habis air yang dipancarkannya sesuai perintah-Nya, “Hai
bumi telanlah airmu.” Dari kalimat wa ghîdha al-mâ’, dapat dipahami
bahwa air yang jatuh dari langit ( hujan), sebagaimana air yang
memancar dari perut bumi, lenyap karena kembali ke tempatnya
semula. Artikel Alif- lam dalam kata al-mâ’ merupakan ‘ahd dzikri
dan bermakna air bah yang telah disinggung sebelumnya, yaitu
gabungan dari air tanah dan air hujan. Makna kalimat ya‘shimunî min
al-mâ’ berdasarkan arti ghîdha adalah bahwa semua air kembali ke
tempat semula. Air yang memancar dari dalam tanah akan kembali
ke perut bumi. Sementara air yang turun dari langit juga kembali
ke laut. Pasalnya, air langit merupakan air laut yang mengalami
evaporasi dan jatuh ke atas tanah dalam bentuk butiran air hujan.
Perubahan air hujan menjadi air laut sesuai perintah takwini Ilahi itu
berlangsung dalam tempo seketika.
Menariknya lagi, selain dilandasi teks ayat secara harfiah—
sebagaimana kesimpulan di atas, pemahaman ini juga selaras dengan
sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa air tanah ditelan bumi
sementara air hujan kembali ke laut dan mengitarinya. Imam Shadiq
as mengatakan, “Bumi menelan airnya sementara air langit ( hujan)
menjadi laut di sekitar dunia.”(1) Saat itu, perintah telah dilaksanakan
seiring dengan terwujudnya kehendak Ilahi dan berakhirnya tragedi.
Bahtera berlabuh Nabi Nuh as berhasil selamat dan berlabuh dengan
aman di atas sebuah bukit—yang menurut beberapa riwayat terletak
di Mosul, Irak.(2)
p:67
Di akhir tuturan, Al-Quran mengemukakan falsafah dari tragedi
Ilahi ini—mengingat Al-Quran bukanlah buku cerita belaka, bukan
pula buku sejarah yang sekadar memuat kisah hidup orang-orang
sebelumnya. Bila menuturkan suatu peristiwa, Al-Quran niscaya akan
memetik manfaat dan pelajaran darinya. Dalam hal ini, azab Ilahi
digelontorkan akibat kezaliman mereka sendiri. Selama bertahuntahun,
mereka menolak dan tidak merespon seruan Ilahi. Bahkan
pembangkangannya sedemikian rupa, sampai-sampai mereka
menutup telinga dan wajah dengan pakaiannya demi menutup
mata vis-a-vis risalah kebenaran. “Mereka memasukkan anak jari mereka
ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka
tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat” (QS Nuh
[71]: 7). Inilah balasan untuk kaum yang bersarang dalam sangkar
kepura-puraannya sendiri, berkeras meneruskan pembangkangan
dan penyelewengannya melawan kebenaran, serta tak pernah sekali
pun berniat menyimak pesan kebenaran.
Seruan menerus nabi (pembawa) cahaya dan petunjuk bukan
hanya tidak memengaruhi jiwa mereka melainkan bahkan
mengakibatkan mereka semakin jauh berpaling dari Allah Swt dan
kebenaran. “Sesungguhnya aku (Nuh) telah menyeru kaumku malam
dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran)” (QS Nuh [71]: 5 dan 6). Kaum yang hujjah atasnya sudah
utuh dan lengkap ini memang berhak diganjar laknat Ilahi. Masa
diturunkannya azab telah tiba seiring nabi besar Ilahi (Nabi Nuh) as
memohon kepada Allah Swt Yang Mahakuasa, “Ya Tuhanku, janganlah
Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas
bumi” (QS Nuh [71]: 26).
Sekarang, dalam ayat-ayat yang menjadi subjek pembahasan,
dikemukakan soal peristiwa agung berupa terkabulnya doa Nabi
Nuh as yang mengawali dijatuhkannya vonis akhir. “Hingga apabila
perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air” (QS Hud [11]:
40). Instruksi telah dikeluarkan dan air pun menyembur dari tanur.
p:68
Sedemikian, sehingga pada akhirnya, tidak satu pun jalan keluar
yang tersisa untuk meloloskan diri dari ancaman tragedi ini, “Tidak
ada yang melindungi hari ini” (QS Hud [11]: 43).
Setelah tragedi tersebut berlalu, Al-Quran mengemukakan
falsafah sejarah dan peristiwanya, “Dan dikatakan, ‘Binasalah orangorang
yang lalim’” (QS Hud [11]: 44). Nasib buruk yang tercipta
akibat kezaliman dan pembangkangan kaum tersebut bukan hanya
dikhususkan bagi kaum itu. Melainkan juga bagi setiap kalangan
yang melawan kebenaran. Mereka akan sama-sama mengalami nasib
yang destruktif. Karena, “Maka sekali-kali kamu tidak akan menemukan
perubahan bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunah Allah itu” (QS Fathir [35]: 43).
Sebagaimana disaksikan, rangkaian ayat tersebut diawali
dengan kalimat seruan, “Hai bumi”, dan diakhiri dengan ujaran,
“Binasalah orang-orang yang lalim”. Fakta ini tentu saja mengandungi
hikmah yang sangat mendalam. Selain itu, dan Al-Quran juga
menjelaskan maksud ujarannya dalam satu komposisi kalimat
yang sarat keindahan. Jika hendak membuat film cerita atau serial
televisi, seorang sutradara harus menulis ratusan halaman buku dan
menghabiskan berpuluh-puluh gulungan pita seluloid (atau cakram
perekam) demi menjelaskan berbagai konsepsi dan keistimewaannya.
Kendati begitu, mereka tetap tak akan pernah mampu menandingi
keindahan dan kesegaran Al-Quran.
Cobalah perhatikan, sejauh mana tingkat kefasihan, kedalaman,
dan keindahan Al-Quran? Bila ingin memperoleh jawaban
lebih terperinci atas pertanyaan tersebut, maka mau tak mau,
pembahasannya harus bergeser dan masuk ke ranah ilmu tafsir.
Sementara topik utama yang menjadi pusat kajian dalam karya ini
adalah Ulumul Quran. Karena itu, analisis yang diikhtiarkan tidak
akan memasuki detail pembahasan yang bersifat spesifik; melainkan
hanya menyinggung sekelumit poin yang menjadi fokus perhatian
kalangan sarjana ilmu tafsir dan Ulumul Quran. Tujuannya agar
p:69
pesona keindahan Al-Quran semakin berkilau dan orang-orang kian
tak berdaya di hadapan Al-Quran.
Ada baiknya perhatian pembaca difokuskan pada persoalan
berikut: mengapa kalangan sastrawan Arab bersikap menyerah saat
diwahyukannya ayat-ayat ini? Kalangan pakar yang punya otoritas
untuk menyeleksi syair-syair terbaik dan paling fasih hasil karya
mereka sendiri, lalu menuliskannya di tirai Ka’bah dengan tinta
emas seraya menggantungkannya di dinding Ka’bah dengan penuh
bangga, tiba-tiba tertunduk malu dan bergegas menanggalkan tirai
kebanggaannya(1) itu manakala ayat-ayat tersebut diwahyukan.
Kalangan yang keras kepala dan angkuh itu benar-benar menyerah
di hadapan keagungan Al-Quran tatkala diwahyukan ayat yang
memfirmankan, “Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada
mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk
kepadanya” (QS Asy-Syu’ara’ [26]: 4).
Almarhum Syahristani, dalam kitabnya yang indah, Mu’jizah
Khalidah, mengemukakan sekitar 30 poin keindahan ayat ini (QS
Hud [11]: 44). Beberapa di antaranya adalah kesesuaian wazn (figura)
ibla‘î dengan aqli‘î, metafora keduanya, asosiasi langit dan bumi,
penyebab berlabuhnya bahtera yang diistilahkan dengan ghîdha
al-mâ’, atensi terhadap kelayakan azab Ilahi lantaran akumulasi
perbuatan mereka, keringkasan ujaran, tidak mengemukakan subjek
(pelaku) secara tegas dengan meletakkan kata kerja pasif, kesatuan
makna, keindahan dan ekspresionisme ujaran, relevansi sistematika
ujaran dengan realitas eksternal, dan sebagainya.
Sebagai tambahan, eksposisi filsafat sejarah sebagai pelajaran
yang dapat dipetik berbagai generasi menjadi fokus perhatian ayat
ini berdasarkan dua perspektif. Pertama, keselamatan Nabi Nuh
as beserta orang-orang yang menyertai beliau dan kaum Mukmin
merupakan sunah Ilahi (baca: sunnatullah) yang berlaku di tengah
umat manusia. Ini dapat diintisarikan dari kalimat wa istawat ‘alâ al-
p:70
jûdiy. Kedua, kehancuran para pembangkang dan orang-orang zalim
lantaran akumulasi perbuatan buruknya juga merupakan sunah Ilahi
lainnya. Ini dapat dipahami dari kalimat wa qîla bu‘d-an li al-qawm alzhâlimîn.
Fakta ini lebih tegas disinggung dalam ayat lain, “Kemudian
Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera,
dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)” (QS Al-
A’raf [7]: 64). Inilah contoh keindahan dan mukjizat Al-Quran.
Siapakah yang punya kemampuan berujar semacam ini?!
Al-Quran merupakan kitab keimanan, pemerintahan, politik,
hukum, pendidikan, dan akhlak. Sebagai pedoman untuk menyusun
undang-undang dalam bidang hukum pidana demi menjamin
keamanan sosial dan mengantisipasi tindak kriminalitas, Al-Quran
mengungkapkan sebaris kalimat pendek namun berbobot, indah,
dan mendalam tiada tara, “Wa lakum fî al-qishâsh hayât-un yâ ulî
alalbâb”: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 179). Ayat ini terdiri dari
delapan kata. Tiga kata memiliki peran vital. Qisas adalah pembalasan
atas pembunuhan dan tuntutan reaktif terhadap hal serupa; bukan
pembunuhan aktif. Kata hayât-un bermakna “kehidupan”. Sedangkan
kalimat ulî al-albâb (orang-orang yang berakal) mengisyaratkan bahwa
dasar hukumnya adalah akal dan kebijaksanaan, bukan emosi dan
perasaan. Ringkasnya, tujuan (berupa keamanan sosial), hanya akan
tercapai jika qisas dilaksanakan tanpa pandang bulu.
Target utama pelaksanaan qisas bukanlah membunuh (sebagai
balasan atas pembunuhan yang dilakukan pihak terhukum).
Melainkan mengenyahkan fenomena pembunuhan sampai ke
akarakarnya. Dalam pada itu, tujuan berupa keamanan sosial
tidak dapat direalisasikan dengan cara si pelaku diasingkan, dihukum,
dijebloskan ke penjara, dan sejenisnya—sebagaimana
dapat
p:71
disaksikan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Lebih dari itu,
dengan mengandalkan perasaan dan pandangan irasional, banyak
pihak yang berusaha mati-matian menghapus hukuman mati—
yang semakin menjauhkan masyarakat dari kondisi aman secara sosial.
Mau tak mau, tujuan tersebut hanya mungkin tercapai dengan
cara balas bunuh. Pasalnya, saat memahami jika membunuh maka
dirinya juga akan dibunuh (sebagai balasan yang setimpal), niscaya
seseorang tidak mau membunuh sekaligus tidak akan terbunuh.
Darah orang lain, juga darahnya sendiri, relatif lebih aman dan
terjaga. Mengingat hukum dan praktiknya mesti didasarkan rasio,
masyarakat yang menginginkan terciptanya kehidupan yang aman
secara sosial harus meminimalisasi perasaan dan kecenderungan untuk
memaafkan seraya melaksanakan qisas yang dilandasi hikmah
dan kearifan. Bagian akhir ayat ini menyuguhkan penjelasan cukup
mendetail seputar dalil hukum dan kandungannya.
Coba perhatikan dengan seksama soal bagaimana Al-Quran yang
kandungan maknanya sedemikian indah dan mendalam, menyusun
undang-undang hukum pidana serta menerapkannya dalam kehidupan
nyata. Jika dilaksanakan secara konsisten, niscaya semua itu
akan menjadi kunci bagi tercapainya keamanan sosial. Jenis wawasan
dan hukum ini mustahil dimiliki manusia bila tidak ada wahyu
Ilahi. Kalimat yang dipilih Al-Quran dalam ayat: “Yu‘allimukum mâ
lam takûnû ta‘lamûn”: Mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 151), dan bukannya mâ lâ ta‘lamûn “apa
yang tidak kamu ketahui”, menjadi bukti yang nyata bahwa jika
tidak ada wahyu, manusia tak akan pernah mengetahuinya.
Kandungan dan keindahan harfiah Al-Quran bukan ihwal yang
dapat dijangkau kemampuan manusia. Karenanya, sekalipun seseorang
meletakkan kalimat yang dianggap paling indah di samping
ayat ini (katakanlah, punya cita rasa dan makna yang nyaris sama),
umpama: al-qatl anfâ min al-qatl “Pembunuhan lebih menolak
p:72
pembunuhan”, niscaya keindahan Al-Quran jauh lebih berkilau.
Karena, kalimat ini tidak implisit kehidupan, melainkan hanya
menyoal pembunuhan yang tentunya bertolak belakang dengan target
[utama dilaksanakannya qisas]. Kalimat ini juga tidak berorientasi
pada penjelasan seputar penyebab hukum. Maksud utama dari
kalimat tersebut hanyalah berkisar pada praktik pembunuhan yang
jelas-jelas tidak menjamin fenomena pembunuhan bakal enyah untuk
selama-lamanya. Selain itu, kadar keindahan dan komposisi ujaran
ayat di atas tidak dapat dibandingkan dengan kalimat seperti itu.
Demikian pula dengan kasus kiamat. Al-Quran mengabadikan
pertanyaan sejumlah orang tentang kapan terjadinya kiamat:
“Yas’alûnaka ‘an al-sâ‘ah ayyâna mursâhâ”: Mereka menanyakan kepadamu
tentang kiamat, ‘Bilakah berlabuh (terjadi)nya?’ (QS Al-A’raf [7]: 187).
Kata mursâ derivat dari rasâ wa rasat al-safînah, bahtera berhenti
[berlabuh] di dermaga sehingga tidak berjalan:(1) merupakan kategori
ruang dan waktu. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah tempat
berlabuhnya bahtera (pelabuhan atau dermaga). Sekaitan dengan
tragedi air bah dalam kisah Nabi Nuh as, disebutkan, “Bismi-Allâhi
majrehâ wa mursâhâ”: Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan
berlabuhnya (QS Hud [11]: 41).
Berlabuhnya bahtera yang menandakan berakhirnya perjalanan
berlangsung setelah proses berlayar telah usai. Pada umumnya,
bahtera berlabuh di dermaga untuk mengambil atau mengosongkan
muatan. Sekarang, Allah Swt mengungkapkan soal kedatangan
kiamat dengan frasa mursâhâ. Apa maksudnya? Bahtera manakah
yang hendak menurunkan jangkarnya? Ekspresi apakah yang
meliputi kondisi ini? Bukankah ungkapan tersebut, menurut
pendapat sejumlah pemikir besar(2), bermakna bahwa sistem ranah
wujud ibarat suatu kumpulan entitas yang saling berhubungan satu
sama lain dalam sebuah bahtera yang sedang bergerak? Maksudnya,
p:73
umat manusia di planet bumi ini bagaikan para penumpang bahtera
yang suatu hari kelak akan tiba di tujuan saat bahtera itu berhenti
dan berlabuh. Hari itu adalah momen bahtera tiba di tujuan dan
bermaksud mengosongkan muatannya. “Dan apabila bumi diratakan,
dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong” (QS
Al-Insyiqaq [84]: 3-4). “Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat
(yang dikandung)nya” (QS Al-Zalzalah [99]: 2).
Inilah ekspresi keindahan, kelembutan, dan kedalaman yang
tercermin dari jawaban terhadap pertanyaan seputar kiamat. Adakah
orang cerdas dan jenius yang punya kemampuan untuk menjawab
pertanyaan semacam ini? Tidakkah mukjizat Al-Quran itu terletak
keindahan harfiah dan maknawinya? Apakah struktur ujaran dan
komposisi kata-kata seperti itu bukan sebuah mukjizat?
Ujaran Sa‘di, sosok orator ulung, barangkali sudah berusia
sekitar 700 tahun. Kendati begitu, rangkaian syairnya dalam Guleston
(Taman Bunga) laksana taman bunga yang masih segar dan harum
semerbak. Dalam mahakaryanya itu, dia mendeskripsikan bahwa
segala fenomena hukum alam selalu berputar demi [memenuhi]
hajat manusia. Sosok pujangga yang tiada tanding dalam soal seleksi
ujaran, prosa yang memikat dan mengalir, hikmah, nasihat, dan katakata
bijak ini menguraikan kenyataan ini secara prosais dan puitik
dalam satu setengah halaman lebih. Akhirnya, dia menyimpulkan:
Awan, angin, bulan, bintang,
dan falak sibuk bekerja.
Hingga kau peroleh roti, maka janganlah
kau makan dengan kelalaian dan sia-sia.
p:74
Sa‘di mengarahkan perhatian manusia pada berbagai kenikmatan
Ilahi lewat kata-kata pilihan dan terbaik. Lalu, letakkanlah prosa
menawan ini persis di sebelah ayat Al-Quran yang menyatakan:
“Wa sakhkara lakum mâ fî al-samâwât-i wa mâ fî al-ardh”: Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
(QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Syair karya Sa‘di terdiri dari 200 kata, sementara
jumlah kosakata ayat Al-Quran kurang dari 20. Pun, Sa‘di
hanya memperhatikan rangkain kenikmatan yang terlihat secara indrawi
seperti awan, bulan. dan matahari. Sedangkan ayat Al-Quran
memproyeksikan tatapannya ke seluruh nikmat yang bertebaran di
jagat raya dalam jumlah tak terbilang.
Sa‘di hanya mengedepankan kausa final dan tujuan. Sementara
ayat Al-Quran memunculkan ingatan pada sumber awal eksistensi
alam semesta, kausa pelaku, juga tujuan final yang Maha Awal dan
Maha Akhir. Kata sakhkhara bermakna “Allah Swt menundukkan
untuk kalian”. Walaupun Sa‘di bertutur indah, namun keindahan
ayat makin tak terkira manakala menolak analogi antara keduanya.
Demikianlah perbedaan antara kalam Sang Khaliq (Pencipta) dengan
ujaran makhluk—seindah apa pun ujaran itu.
Firdausi adalah sosok penyair epik (syair kepahlawanan)
berbahasa Parsi. Sepenuhnya, dia dapat diklaim sebagai seniman
dalam bidang ujaran dan tak tertandingi dalam melantunkan epik.
Di tengah kalangan berbahasa Parsi, sajak-sajaknya diakui sangat
indah. Ujarannya juga begitu fasih dan ekspresif. Cermatilah,
bagaimana sosok yang sangat mahir berpuisi ini menciptakan karya
seni dengan melukiskan kepahlawanan dan ketangkasan seseorang.
Setelah menuturkan narasi keberanian dan kepahlawanan, dia lantas
memuji pahlawan imajiner dalam benaknya sebagai berikut:
p:75
Pada hari perang sang pahlawan perkasa
dengan pedang, busur, kapak, dan panah.
Memenggal, mengoyak, menebas, dan mengikat
kepala, dada, kaki, dan tangan prajurit.
Simaklah karya seni ini! Betapa tertib, fasih, ekspresif,
mendalam, dan memikatnya retorika yang digunakan dalam lariklarik
sajaknya, yang sepenuhnya berbalut keindahan. Maksudnya
adalah memenggal sederatan kepala dengan sabetan pedang tajam,
mengoyak dada-dada dengan tusukan anak panah, mematahkan
kaki-kaki dengan hentakan kapak, serta mengikat tangan-tangan
dengan tali busur. Firdausi bermaksud mengekspresikan tokoh
imajiner di benaknya sebagai pahlawan yang gagah berani. Sampaisampai,
kekuatan dan kecepatannya tidak memberi kesempatan
bagi musuh untuk melawan, apalagi menyerang, sedetik pun. Dalam
sekejap, musuh langsung tumbang di tangan sang pahlawan yang
gagah perkasa.
Adapun berkenaan dengan syair pilihan, paling indah, dan
berbobot, dapat dikatakan sebagai berikut.
Pertama, tidak disebutkan maksud dan tujuan pemenggalan
serta pengoyakan itu. Padahal, fenomena membunuh manusia hanya
bernilai jika ditujukan untuk memberangus kejahatan sampai ke akarakarnya
seraya menggantikannya dengan nilai- nilai kemanusiaan
dan ketuhanan. Jika bukan itu tujuannya, maka fenomena membunuh
manusia identik dengan kekejaman dan kesadisan, yang bukan cuma
nihil dan jahat, melainkan bahkan sepenuhnya bertentangan dengan
nilai- nilai atau norma-norma kehidupan.
Selain itu, skema yang digambarkan firdausi dalam konteks
penggunaan senjata perang bersifat klasik yang sudah tidak relevan
dengan kenyataannya (pedang hanya untuk memenggal kepala,
anak panah untuk mengoyak dada, kapak mematahkan kaki, dan
tali busur untuk mengikat tangan). Padahal, prajurit masa kini acap
p:76
mengincar kepala, tangan, dada, dan kaki lawan-lawannya dengan
sebilah pedang.
Selain itu, dari perspektif lain, ilustrasi kepahlawanan yang
digambarkannya juga tidak realistis dan lebih mirip dengan mitos.
Pasalnya, belum pernah terjadi sekali pun pertempuran semacam
itu. Seorang jawara yang sangat perkasa sekalipun niscaya hanya
mampu memenggal, mengoyak, mematahkan, dan menyandera.
Peperangan sekaligus menyerang dan bertahan. Jelasnya lagi,
menyerang musuh dan menerima serangan musuh. Peperangan
yang hanya mengandalkan serangan, bukanlah peperangan,
melainkan hanya sebuah permainan. Peperangan adalah: “Jika kamu
(pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu
pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa” (QS Ali ‘Imran
[3]: 140), dalam satu atau dua kali pertempuran. Peperangan juga,
“Lalu mereka membunuh atau terbunuh” (QS Al-Taubah [9]: 111).
Seyogianya sanjungan terhadap prajurit diujarkan dalam bentuk
verbalisasi daya tahannya dalam menghadapi musuh. Selain pula
memaparkan keberanian, kepahlawanan, kegagahan, kekuatan, dan
semangatnya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi
mereguk butiran madu kesyahidan dengan wajah berseri.
Sewaktu menyanjung kepahlawanan para prajurit yang
mengusung dan kepahlawanan para prajurit Islam.
Dalam hal ini, target yang dipatok adalah mengenyahkan
gerombolan manusia perusak yang telah menyeleweng dari
jalur kebenaran serta berupaya menghalang-halangi orang lain
menempuhnya. Mereka terdiri dari para pemimpin kaum kafir, yang
sikap permusuhannya terlihat jelas dalam dua peperangan; Badr dan
Uhud. Al-Quran juga menyatakan, “Maka perangilah para pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang
yang tidak dapat dipegang janjinya” (QS Al-Taubah [9]: 12).
Selain itu, digambarkan pula soal kegigihan, kesabaran, ketahanan
menghadapi intimidasi musuh, serta ketabahan menghadapi petaka
p:77
peperangan. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang
di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh” (QS As-Shaff [61]: 4). Bangunan yang
dilumuri timah atau tembaga akan berdiri kokoh dan kuat. Dalam
pada itu, para prajurit Islam menghadapi serangan musuh bak
sebarisan gunung yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan.
Sekaitan dengan kasus tersebut, Al-Quran menyanjung
kegigihan dan kesabaran semacam ini, “Dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan” (QS Al-Baqarah
[2]: 177). Sanjungan Al-Quran sedemikian indah dan mendalam,
sekaligus realistis; bukan sekadar mitos atau rekaan imajinasi.
Dalam hal ini, yang umumnya dipercaya masyarakat luas dan dapat
memotivasi kawula muda terjun ke medan tempur adalah alasan
yang bersifat adikodrati sekaligus realistis, alias bukan sekadar
produk imajinasi dan mitos belaka—sebagaimana yang banyak
disuguhkan para penulis novel picisan kontemporer.
Demikian pula saat Firdausi bermaksud mengemukakan
kejayaan dan kehancuran sepanjang sejarah yang selalu datang dan
pergi silih berganti seraya mengklaim bahwa irama kehidupan tidak
pernah monoton. Setelah mengungkapkan kisah peperangan secara
terperinci, serta kabur dan tersungkurnya Rakhush (nama kuda
imajiner yang artinya “pemberi cahaya“—penj.) milik Rustam,
Firdausi berdendang:
Demikianlah tradisi perang
adakalanya kalah, ada pula menang.
Keindahan, kepadatan, dan seleksi kosakata dalam ucapan di
atas memang layak disanjung, namun bait ini dirangkai Firdausi
setelah ia membawakan kisah yang panjang itu.
p:78
Al-Quran mengungkapkan kenyataan ini dalam peristiwa perang
Badr dan Uhud sebagai berikut, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran)
itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”
(QS Ali ‘Imran [3]: 140). Suatu kali, kalian akan menang lantaran
keimanan dan semangat juang. Dan suatu kali juga, kalian bakal
dikalahkan musuh akibat kerapuhan iman dan pembangkangan
perintah sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Meskipun termaktub
dalam ayat-ayat jihad dan dimaksudkan untuk mengungkapkan
sasaran berjihad serta pergantian waktu, komposisi kalimatnya
benar-benar seirama dan senada dengan konteks sebelum dan
sesudahnya.
Kalau pun kalimat ini dimaknai secara terpisah, konsepsinya
yang mendalam dan memikat tetap utuh terjaga: “Kami pergilirkan
kekuasaan di antara manusia secara bergantian.” Dalam hal ini,
penyebab awal ( causa prima) dan Tauhid tindakan Tuhan (tawhîd
af’âlî) sepenuhnya tetap diperhatikan; bahwa pergiliran (pergantian)
ini sepenuhnya berlangsung di tangan Kami yang merupakan asal
mula eksistensi dan sumber otoritas. Bersamaan dengannya, Al-
Quran mulai menyinggung maksud pergantian ini, sebagai ujian bagi
umat manusia di mana semua orang akan meleleh dalam tungku
api ujian sehingga yang murni akan terpisah dari yang tidak murni.
Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur
sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim,
dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa
mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir (QS Ali ‘Imran
[3]: 140-141).
Demikianlah segelintir contoh yang dimaksudkan untuk
membandingkan antara ucapan orator ulung yang menguasai retorika
dan kalangan cerdik cendekia di satu sisi, dengan kalam indah
Ilahi
p:79
di sisi lain. Pada dasarnya, dari setiap aspeknya, kedua hal tersebut
mustahil dibandingkan. Keindahan Al-Quran sedemikian agung
dan tiada batas sehingga tak satu pun ujaran yang layak disejajarkan
dengannya.
Telah disinggung sebelumnya bahwa al-Quran menaruh
perhatian penuh pada seluruh kaidah yang dapat menciptakan
keindahan dan kedalaman suatu ujaran. Salah satu estetika lafal dan
parameter keindahan ujaran adalah kinâyah (alegori atau metonimi).
Kinâyah adakalanya digunakan sebagai imperatif keindahan. Dalam
beberapa kasus yang dianggap tidak layak untuk menyebutkan nama
atau status secara eksplisit atau dikarenakan alasan-alasan lain yang
tidak ingin diekspresikan, umumnya pengujar akan menggunakan
ungkapan kinâyah. Kinâyah juga digunakan dalam konteks eksplorasi
pembahasan. Dalam hal ini, saat pengujar bermaksud menguraikan
pembahasannya secara mendalam dan berharap agar audiens menerimanya.
Ini mengingat penyebutan status atau nama secara
eksplisit berpotensi menyulut gesekan antara pengujar dengan audiensnya
yang mulai cenderung menolak dan sikap antipati. Dalam
kasus semacam ini, kinâyah digunakan agar ujaran lebih efektif demi
menghindari reaksi negatif dari pihak audiens. Dalam upaya menetapkan
imperatif inilah “kinâyah punya nilai lebih (maksudnya,
lebih ekspresif) dibandingkan dengan menyebut sesuatu secara eksplisit”.
Atau “kinâyah jauh lebih berkesan dalam jiwa”.
Dalam percakapan sehari-hari pada semua bangsa, terdapat
sejumlah ungkapan kinâyah dan peribahasa—yang pada dasarnya
banyak memiliki kesamaan dan kesepadanan (paralelisme) di antara
berbagai budaya yang berbeda. Hanya saja lafal yang digunakan
mengalami perubahan tertentu, sesuai dengan perbedaan bahasa.
Cermatilah sejumlah kasus ujaran berbentuk kinâyah di bawah ini.
p:80
Dalam bahasa Parsi, individu yang tidak mengekspresikan
kesulitannya dan sebaliknya selalu memperlihatkan dirinya riang
gembira dalam kondisi tersulit, umumnya disebut “memerahkan
wajah dengan tamparan”. Kalimat ini mengungkapkan maksud yang
sangat dalam. Pada umumnya, raut wajah seseorang yang hidup
berkecukupan serta mendapatkan berbagai jenis nikmat Ilahi akan
memantulkan perasaan senang sedemikian rupa, sampai-sampai
raut wajahnya merah merona. Dalam pada itu, orang fakir yang
bermaksud menjaga kehormatannya akan berusaha agar orang lain
tidak mengetahui kondisi hidupnya. Untuk itu, dia pun menampar
wajahnya sendiri agar merah merona, layaknya orang yang hidup
berkecukupan. Di kalangan bangsa Arab, saat bermaksud melukiskan
keberanian seseorang secara mendalam, terdapat ungkapan, “Tali
bahu pedang fulan panjang.” Tali bahu pedang yang panjang
mengisyaratkan postur tubuh yang tinggi sekaligus kinâyah untuk
badan yang tegap.
Al-Quran banyak menggunakan kinâyah. Dalam berbagai kasus,
kinâyah diungkapkan dengan berbagai imperatif yang berbeda. Seluruh
lembaran al-Quran mengaplikasikan teknik artistik ini dalam
konteks estetika ujarannya. Juga, dikarenakan wawasan estetikanya
sedemikian sempurna, menyeluruh, dan absolut, maka rangkaian
ekspresinya pun begitu memikat dan mendalam. Karena itu, dalam
semua dimensinya, al-Quran dikategorikan sebagai kalam terindah,
sebagaimana akan dikemukakan dalam beberapa contoh berikut.
Dalam sejumlah kasus, menyebutkan nama atau status secara
eksplisit dianggap tidak layak. Seperti, pergi ke kamar kecil, yang
umumnya diungkapkan lewat kinâyah lantaran adanya konvensi
untuk menjaga ujaran dan tata krama. Bahkan suatu kinâyah yang
terus-menerus diujarkan, berangsur-angsur akan berubah status
dan posisinya menjadi ujaran biasa yang bersifat eksplisit. Dalam
kasus semacam ini, Al-Quran akan mengganti ungkapan tersebut
dengan kinâyah lain. Berkenaan dengan membuang hajat, al-Quran
p:81
menyebutkan: “Atau apabila salah seorang di antara kalian telah kembali
dari tempat buang air (baca: parit)” (QS Al-Maidah [5]: 6). Bangsa
Arab—bahkan mungkin semua orang—yang hendak membuang
hajat di gurun pasir, umumnya akan mendatangi tempat (dataran)
rendah dan parit-parit. Karenanya, fenomena “kembali dari tempat
tersebut” menjadi kinâyah dari aktivitas membuang hajat. Selain
sangat ekspresif, ungkapan ini juga terkesan santun. Juga berkenaan
dengan hubungan suami-istri yang tidak layak untuk diungkapkan
secara eksplisit. Kosakata yang umumnya digunakan untuk aktivitas
ini adalah “menyentuh” (berhubungan intim secara fisik). “Atau
apabila kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS Al-Maidah
[5]: 6).
Kalimat “menyentuh istri” dalam konteks ujaran ini sepenuhnya
mengekspresikan maksud yang dikandungnya, sekaligus memenuhi
unsur-unsur tata krama dalam berbahasa. Karena, tidak setiap
sentuhan dengan istri mengharuskan seseorang menggunakan air.
Secara spesifik, kalimat tersebut diorientasikan untuk mengungkapkan
hukum tayammum (bersuci dari hadas dengan debu—penj.). Seorang
Muslim tentunya mengetahui, mana “sentuhan” (hubungan badan)
yang mengharuskannya bersuci dan mandi, mana yang tidak. Dalam
pada itu, al-Quran memfirmankan bahwa dalam kondisi tidak ada
air, sentuhan yang mengharuskannya bersuci harus disucikan
dengan cara bertayammum.
Dalam konteks ini, terdapat pula ungkapan kinâyah lain yang
diujarkan dengan kosakata “pergaulan” (kontak kulit atau badan).
Allah Swt berfirman: “Maka sekarang gaulilah mereka” (QS Al-Baqarah
[2]: 187), Maksudnya, saat para istri telah suci dari kebiasaan bulanan
(haid atau menstruasi), para suami dapat menggauli mereka
(melakukan hubungan suami istri). Seorang Muslim tentunya
mengetahui pergaulan yang dilarang saat istri sedang datang bulan.
Larangan ini pun dijelaskan lewat kinâyah berikut: “Dan janganlah
p:82
kamu mendekati mereka (berhubungan suami-istri), sebelum mereka suci”
(QS Al-Baqarah [2]: 222). Kali ini, ayat tersebut mencabut larangan
itu lewat kinâyah yang berbeda (pergaulan).
Dalam mengemukakan pembahasan-pembahasan yang berat,
umpama saat bermaksud menyinggung ketergantungan kuat
manusia terhadap dunia, al-Quran menggunakan kalimat itstsâqaltum
yang berasal dari kata tsiql (beban berat) dengan tambahan beberapa
huruf. Ketergantungan ini menghalangi mereka berjihad di jalan
Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu, “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,”
kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?” (QS At-Taubah [9]:
38). Seakan-akan, mereka merasa berat [untuk melangkahkan kaki]
di muka bumi.
Dalam kasus berhentinya kecamuk perang yang membebani
pundak bangsa, negara, dan rakyat, al-Quran menyatakan,
“Sampai perang meletakkan beban-beban beratnya (baca: sampai perang
berhenti)” (QS Muhammad [47]: 4). Seolah-olah dengan berhentinya
peperangan, rangkaian beban yang memberat di pundak seketika
terlepas, sehingga negara dan rakyat diliputi perasaan tenang dan
ringan serta dapat bernafas lega.
Berkenaan dengan kasus kematian dan kehancuran orangorang
sombong yang barangkali membuat sejumlah pihak bersedih
hati, Al-Quran menegaskan tentang betapa nihilnya peristiwa itu.
Ditandaskannya [Al-Quran] bahwa kematian dan kehancuran
mereka sama sekali tidak berisiko apa pun. Juga, tidak terjadi
sesuatu pun yang berkenaan dengannya. Dalam bahasa Parsi, kasuskasus
semacam ini diungkapkan sebagai “air tidak bergerak dan
tetap diam”. Al-Quran memfirmankan, “Maka langit dan bumi tidak
menangisi mereka (QS Ad-Dukhan [44]: 29).” Ujaran ini bernuansa
kinâyah yang bermakna kematian dan kehancuran mereka sama
sekali tidak bernilai sehingga tidak layak dijadikan objek ratapan
dan kesedihan. Sebaliknya, di pihak lain, kematian individu yang
p:83
memiliki pengaruh positif dan bermanfaat bagi makhluk Allah Swt,
justru diratapi sedemikian rupa. Dalam kasus kesyahidan Imam Husain
as, misalnya, dikatakan bahwa langit dan bumi meratapinya, “Tujuh
[lapis] langit dan bumi meratap karena kesyahidan beliau [Imam Husain]
as.”40
Sekaitan dengan sikap keras vis-à-vis kaum kafir atau
pembangkang, diujarkan, “Bunuhlah mereka sedemikian rupa agar
dahaga bumi dapat terpuaskan lantaran menghirup darah mereka.
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi” (QS Al-Anfal [8]: 67).
Berkaitan dengan penisbatan sesuatu terhadap ihwal yang mustahil
[eksis atau terjadi], Al-Quran mengungkapkan kinâyah yang amat
mendalam sebagaimana berikut: “Orang-orang takabur atau congkak
tidak akan masuk ke dalam surga sehingga unta masuk ke lubang jarum.”
Dalam hal ini, benda sebesar unta mustahil dapat masuk ke lubang
jarum jahit. Ujaran ini tentunya mampu dicerna pemahaman semua
kalangan.
Al-Quran mengilustrasikan kemustahilan orang-orang sombong
mendapatkan surga dan rahmat Ilahi sebagai berikut: “Dan tidak
(pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum” (QS Al-
A’raf [7]: 40).
Inilah beberapa contoh dari berbagai kinâyah yang diungkapkan
Al-Quran secara menawan dan mendalam.
Penggunaan tamtsîl (alegori) dan tasybîh ( similarisasi) dalam
suatu ujaran memungkinkan makna atau intensi dapat disampaikan
dengan lebih baik dan dalam tempo cepat. Dalam konteks perhelatan
ilmiah dan intelektual, keduanya merupakan sarana terbaik untuk
memudahkan pemahaman [audiensi].
40 Wasâ’il Al-Syi‘ah, jld 1, hlm 393.
Tamts l
p:84
Memilih alegori yang bersifat ekspresif dan sederhana sekaligus
mudah dicerna pemahaman semua kalangan merupakan salah satu
teknik dalam seni berbicara. Semua ujaran yang termaktub alam Al-
Quran—yang sangat kaya dan penuh penjelasan serta wawasan
yang mendalam—niscaya dapat dipahami semua kalangan. Memang,
terdapat pula ungkapan atau ulasan Al-Quran yang dari segi kedalamannya
hanya dapat dicerna pemahaman pembaca atau audiens
yang cerdas dan rasional. Namun demikian, ungkapan yang sama
juga akan dikemukakan secara sederhana dan ekspresif di tempat
(surah atau ayat) lain untuk semua lapisan audiens lewat penggunaan
alegori (tamtsîl). Oleh karena itu, salah satu dimensi mukjizat
Al-Quran adalah audiensnya tidak bersifat spesifik, melainkan berasal
dari seluruh lapisan masyarakat yang niscaya memiliki tingkat
pemahaman dan wawasan berbeda-beda.
Tidak seperti kitab-kitab lain, Al-Quran sejak awal ditulis tidak
menentukan secara spesifik audiensnya memiliki tingkat pemahaman
dan wawasan tertentu. Dengan kata lain, Al-Quran menulis
dan berujar untuk semua kalangan dengan tingkat pemahaman dan
kecenderungan yang beragam. Muatan Al-Quran dialamatkan kepada
semua lapisan sosial, mulai dari kalangan sarjana agama dan
universitas, kawula muda dan orang dewasa, hingga anak-anak dan
kaum remaja. Ringkasnya, kitab suci ini memosisikan seluruh
lapisan masyarakat, dengan semua perbedaannya, sebagai audiens.
Tak seorang pun mampu mengujarkan sesuatu yang dapat diterima
dan dipahami semua kalangan. Suatu ujaran yang khusus ditujukan
kepada anak-anak, umumnya akan membuat orang-orang dewasa
merasa kejenuhan mendengarkannya. Sebaliknya, bila khusus
ditujukan kepada kalangan dewasa, umumnya kaum remaja dan
anak-anak muda akan cepat merasa bosan mendengarkannya atau
tidak mampu memahaminya. Lantas, bagaimana mungkin sebuah
kitab mampu menjadikan semua kalangan manusia sebagai audiens
sekaligus dapat memetik manfaat darinya?
p:85
Al-Quran acap kali mengemukakan ulasan mendalam yang terkait
dengan beragam topik dengan memanfaatkan serangkaian
alegori yang bersifat indriawi, konkret, dan mudah dipahami semua
kalangan. Alegori-alegori yang dipilihnya juga sedemikian terang
sekaligus memikat. Jadinya, pihak audiens mampu mempersepsi materi
yang diulas dengan jelas, sekaligus meniscayakan hakikat atau
realitas yang hendak dikemukakan menjelma secara nyata.
Berkenaan dengan konsepsi haq dan batil, Al-Quran
mengemukakan beragam ulasan yang mendalam, Di antaranya,
deskripsi seputar konsistensi dan stabilitas haq (kebenaran), serta
inkonsistensi dan instabilitas kebatilan. Dalam hal ini, alegori yang
digunakan Al-Quran adalah: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya” (QS
Ibrahim [14]: 24–25). “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan
bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun” (QS Ibrahim [14]: 26), dan
bakal tumbang hanya dengan sekejap hembusan angin. Dalam
konteks kebatilan, tidak disinggung masalah “buah”. Pasalnya,
kebatilan tidak pernah berbuah. Dalam alegori di atas, terlihat jelas
bahwa pohon yang tidak memiliki akar menancap kuat, kalaupun
sempat tumbuh dan menghijau, niscaya dalam hitungan hari akan
goyah dan tidak stabil. Dan tak lama kemudian, ia pun akan
segera layu, menguning, untuk kemudian mengering.
Siapakah yang tidak mampu merasakan elokuensi (kefasihan)
dan keindahan alegori yang sangat ekspresif ini? Alegori tersebut
mengekspresikan maksudnya dengan sedemikian indah dan
mendalam, sehingga para penggembala di gurun sahara sekalipun
dapat memahaminya secara komprehensif dan dosen-dosen di
kampus juga dapat menerimanya dengan utuh.
p:86
Al-Quran juga mengalegorikan haq dan kebatilan dengan air
dan buih yang mengapung di atasnya. Kebenaran atau haq bagaikan
air jernih dan segar yang jatuh dari langit guna menyuburkan
lahan pertanian dan menghijaukan tanam-tanaman sekaligus
menjadikannya berbuah. Air bersifat lestari dan kekal selama-lamanya.
Adapun kebatilan laksana buih di permukaan air yang terbentuk
akibat gelombang air membentur sesuatu yang menghalanginya.
Buih tersebut memiliki bentuk fisik yang manipulatif; terlihat
menggembung, namun isinya kosong. Karenanya, ia tidak langgeng
dan bakal lenyap dalam sekejap.
Allah telah menurunkan air ( hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api
untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti
buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai
sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaanperumpamaan
(QS Ar-Ra’d [13]: 17).
Karakter air dan buih yang mengapung sangat gamblang dan
mampu dipersepsi semua kalangan secara indriawi. Begitu dengan
karakter haq dan kebatilan. Secara alegoris, sebagaimana air dan
buih, karakter haq dan kebatilan juga bersifat riil, dapat diindra,
dan mudah dipahami semua lapisan audiens.
Demikian pula halnya dengan konteks kegundahan dan
kegelisahan kaum musyrik yang telah melepaskan tempat bersandar
dan berlindung yang hakiki, yaitu Allah Swt, lalu menggantinya
dengan selain-Nya. Dalam konteks ini, Al-Quran menyebut tempat
mereka bersandar dan berlindung mereka sebagai rapuh dan
tak berpondasi seraya mengalegorikannya dengan rumah labalaba,
p:87
rumah yang paling lemah. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat
rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah labalaba”
(QS Al-‘Ankabut [29]: 41). Alangkah ekspresif dan simpelnya
alegori tersebut, sekaligus dapat dipahami semua audiensnya!!
Terkait dengan gambaran seputar kekhawatiran, kerisauan,
serta tidak adanya tempat berlindung bagi kaum musyrik manakala
diancam berbagai marabahaya. Al-Quran juga mengemukakan
alegori yang begitu memikat. Dari aspek kejiwaan, ujar Al-Quran,
kaum musyrik bagaikan sekelompok orang yang dilepaskan dalam
posisi tergantung di udara. Dalam kondisi ini, mereka tentu akan
menjadi mangsa burung dan menemui ajalnya. Atau diterpa angin
topan lalu terhempas ke sebuah tempat nan jauh yang nihil dan
gersang. “Dan barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah,
maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung,
atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS Al-Hajj [22]:
31). Ketersesatan orang-orang musyrik (yang senantiasa diliputi
perasaan takut dan dikepung marabahaya akibat tak adanya tempat
berlindung dan nihilnya tujuan), diakibatkan tidak adanya pegangan
hidup, keterjebakan dalam situasi rawan bahaya dan ketakutan,
serta tiadanya tempat bernaung selain Allah Swt. “Dan sekali-kali aku
tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya” (QS Jin
[72]:
22). Sebab, hanya Allah Swt semata yang mampu menganugerahkan
perasaan tenang dalam setiap ancaman ketakutan dan marabahaya:
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS Quraisy [106]: 4).
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram
(QS Ar-Ra’d [13]: 28).
Pun dalam kasus seluruh aktivitas kaum kafir yang tidak
[pernah] membuahkan hasil apa pun serta sama sekali tidak realistis
p:88
alias hanya imajiner belaka, yang akan diperlihatkan pada momen
yang telah ditentukan. Al-Quran mengklaim seluruh aktivitas
mereka tak ubahnya fatamorgana [oase] di tengah gurun sahara
yang panas menyengat. Lalu, orang-orang menyangkanya sebagai
oase sehingga bergegas menuju ke arahnya. Namun, bukan hanya
tidak dapat melepaskan dahaga, orang-orang itu bahkan akan
semakin dicekik rasa haus lantaran tenaganya telah terkuras untuk
melakukan sesuatu yang percuma.
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya
sesuatu apa pun (QS An-Nur [24]: 39).
Di lain pihak, berkenaan dengan amal kebajikan kaum Mukmin,
dinyatakan bahwa infak mereka ibarat sebutir benih yang tumbuh
bercabang tujuh dan di setiap cabangnya terkandung seratus benih
[baru]. Artinya, benih itu berkembang hingga 700 kali lipat; dan Allah
Swt akan menggandakannya (menjadikannya dua kali lipat) bagi
siapa pun yang dikehendaki, yakni menjadi 1400 kali lipat. Tidak
hanya cukup dengan mengungkapkan jumlah lipatan tersebut, Al-
Quran juga menyebutkan bahwa rahmat dan berkah Ilahi tiada
terbatas, dan balasan serta pahala pun tiada akhir.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al-
Baqarah [2]: 261).
p:89
Kasus lainnya adalah hilangnya perhatian terhadap ayat-ayat
Ilahi, tidak dimanfaatkannya nikmat berpikir dan merenung kendati
telah dibekali potensi dan kekuatan pikir sehingga menyeret ke
lembah kebodohan dan kedunguan, serta melangkah tanpa tujuan
yang jelas. Juga kasus orang-orang yang merintangi hidayah
menyentuh dirinya dan selalu berpura-pura tidak memahami apaapa
sehingga seruan Ilahi tidak berdampak apa pun pada dirinya.
Berkenaan dengan semua kasus itu, Al-Quran mengilustrasikan:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal” (QS Al-Jumu’ah [62]: 5). Bagi seekor keledai, beban yang
dipikulnya sama sekali tidak berbeda: apakah itu seonggok kitab
samawi atau sebongkah batu dari gurun sahara. Manusia yang
membungkam pemahaman dan perasaannya, serta tidak menaruh
perhatian pada kata-kata kebenaran, tak ubahnya binatang yang
memikul kitab.
Inilah sejumlah alegori yang digunakan Al-Quran untuk
memperjelas ujarannya serta mengulas berbagai topik pengetahuan.
Dalam Al-Quran maktub banyak contoh alegori yang tidak dapat
dkemukakan seluruhnya dalam tulisan ini. Namun demikian, dari
beberapa contoh di atas, minimal, beberapa kriteria alegori seperti
daya ekspresi, elokuensi (kefasihan), juga kedalamannya, terungkap
dengan jelas. Kekuatan pengujar serta ketajaman analisis dan daya
ekspresi alegorinya, yang dikombinasi dengan seluruh kriteria
estetika ujaran, sudah tentu melampaui kemampuan manusia.
Keindahan, keluwesan, dan kesederhanaannya sehingga mudah
dipahami semua audiens juga jelas terlihat dalam seluruh alegori
yang dikemukakannya.
Alegori yang digunakan Al-Quran mengapresiasi konsepkonsep
yang serius dan tema-tema yang sulit lewat modus inderawi
dan visual. Tentunya dalam hal ini tidak dikemukakan klaim
bahwa manusia tidak mampu mengungkapkan kinâyah atau alegori
p:90
sebagaimana Al-Quran. Pasalnya, Al-Quran sendiri tidak mengklaim
demikian. Tantangan Al-Quran mengacu pada pembuatan
surah, bukan ayat atau komposisi kalimat. Namun demikian, Al-
Quran senantiasa memenuhi seluruh prasyarat utama keindahan,
sedemikian rupa sampai-sampai menjadikannya sebagai ujaran terindah
yang melampaui potensi dan kemampuan manusia. Kendati
boleh jadi, suatu komposisi kalimat atau petikan ayat Al-Quran juga
tergolong sebagai mukjizat.
Secara etimologis, isti’ârah bermakna “meminjam”. Dalam
beberapa kasus, suatu kata yang digunakan dalam konteks yang lain
mengalami pergeseran makna sedemikian rupa sehingga berbeda
dengan makna aslinya yang justru dianggap asing. Peristiwa lingual
ini, dalam literatur Arab, disebut dengan isti’ârah.
Isti’ârah ( metafora) termasuk seni menciptakan kelembutan
dan keindahan artistik suatu ujaran secara harfiah. Dalam konteks
ekspresi dan kedalaman suatu ujaran berikut maknanya, isti’ârah juga
memiliki peran yang sangat vital. Mengingat fungsinya yang sangat
signifikan, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu perbedaan antara
isti’ârah dengan kinâyah, majâz, dan tamtsîl atau alegori—sebelum
mengemukakan contoh-contoh isti’ârah dalam Al-Quran.
Keselarasan dan kondisi ujaran senantiasa menciptakan bentuk
khusus bagi pengujar. Jelasnya, posisi dan kondisi ujaran cenderung
berbeda-beda. Ada kalanya pengujar berada dalam posisi
berkatakata secara wajar dengan mengatakan, “Si Fulan sudah
datang.” Terkadang mendeskripsikan kedermawanan atau
keberanian seseorang dengan kata-kata, “Si Fulan seorang
dermawan dan gagah berani.” Namun, kadang kala pula
digunakan alegori guna mendeskrispsikan kedermawanan dan
keberanian dalam level
p:91
berbahasa yang lebih tinggi, “Si Fulan bagaikan lautan dalam hal
kedermawanan dan singa dalam hal keberanian.”
Contoh ujaran pertama bersifat naratif, yang kedua deskriptif, dan
yang ketiga alegoris. Dalam kasus semacam ini, kata-kata digunakan
sesuai makna aslinya dan tidak menyertakan majâz sedikit pun.
Adapun untuk mengeskpresikan kedalaman, harus digunakan
majâz. Umpama, seseorang berkata, “Aku melihat seekor singa
(maksudnya, seorang pemberani) di sekolah.” Dalam ujaran ini, kata
“singa” yang awalnya bermakna “binatang buas” sekaligus menjadi
simbol dan contoh keberanian, digunakan untuk menggambarkan
sosok pemberani. Mengingat konteks penggunaannya menyertakan
qarînah (indikasi) berupa kalimat “di sekolah”, maka ujaran tersebut
dianggap bersifat majâzi. Namun, kendati dari segi deskriptif dan
alegoris lebih mendalam, digunakannya ujaran yang bersifat majâzi
yang disertai qarînah justru melemahkan ketajaman maksud pada
level-level berikutnya. Keistimewaan majâz terletak pada pengalihan
malzum (yang dilazimkan) ke lazim (yang melazimkan). Dengan begitu
[berdasarkan contoh tadi], terjadi peralihan dari singa (malzum)
pada kelazimannya berupa “keberanian”. Ringkasnya, majâz menggunakan
malzum demi makna lazimnya.
Namun adakalanya yang terjadi justru berkebalikan dengan
kasus di atas, yaitu peralihan dari lazim ke malzum. Dalam bahasa
Parsi, terdapat kinâyah yang menyatakan, “Lengan baju si Fulan sudah
usang.” Kinâyah ini bermakna “dia tidak punya apa-apa”.
Usangnya lengan baju merupakan kelaziman atau konsekuensi kefakiran.
Ujaran tersebut mengalihkan makna lazim ke malzum berupa
“kefakiran”. Dalam ujaran ini tidak digunakan majâz dan setiap kata
digunakan sesuai konsepsinya sendiri. Hanya saja, yang dimaksud
ujaran tersebut adalah makna kinâyahnya.
Tak jarang suatu kata digunakan untuk mengungkapkan
suatu makna yang sama sekali tidak memiliki hubungan secara
p:92
konvensional dengannya. Umpama, kata “singa” yang diasosiasikan
dengan sosok manusia pemberani. Tentu saja, maksud pengujarannya
bukanlah sebagai alegori atau majâz yang membutuhkan qarînah.
Melainkan memang bersifat denotatif, dengan satu pengecualian
yang membedakannya dengan ujaran denotatif lainnya; bahwa
berkenaan dengan ujaran tersebut diasumsikan adanya dua unsur
di mana salah satunya bersifat denotatif , dan yang lain diklaim
sebagai denotatif. Misalnya kata “singa” diterapkan pada dua sosok;
yang satu binatang buas dan pemberani, satunya lagi sosok individu
[manusia] yang dimaksud. Dalam pada itu ujaran “si fulan singa”
tidak menyertakan qarînah dan alegori saat menerapkan kata “singa”
dalam konteks penyebutan sosok yang pemberani. Penggunaan ini
secara fundamental berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Dalam
hal ini, kosakata “singa” tidak memiliki relasi apa pun dengan sosok
pemberani; tidak pula terdapat relasi antara lazim dengan malzumnya;
juga bukan alegori ataupun karakterisasi. Melainkan penggunaan
istilah dalam konteks yang berbeda sehingga memiliki makna yang
berlainan. Inilah yang disebut dengan isti’ârah.
Oleh karena itu, isti’ârah bukanlah tasybîh matwi atau similarisasi
implisit. Karenanya tidak dapat dibenarkan jika muncul anggapan
bahwa perbedaannya dengan tasybîh hanyalah bahwa dalam konteks
tasybîh, aspek similaritas atau wajh syabh-nya bersifat eksplisit,
sementara dalam konteks isti’ârah, bersifat implisit. Dalam isti’ârah,
suatu kata atau ujaran digunakan secara denotatif tanpa konotasi.
Inilah poin menawan yang diungkapkan Sakkaki; bahwa isti’ârah
adalah makna harfiah dipostulatkan (haqîqah iddi‘âiyyah). Oleh
karena itu, isti’ârah lebih superior dari seni ujaran lainnya. Tak satu
pun seni ujaran yang setanding isti’ârah dalam hal keindahan dan
kedalamannya. Melalui paparan yang menyertakan sejumlah contoh
kasus ini, perbedaan antara isti’ârah dengan seni ujaran lain kiranya
dapat dipahami.
p:93
Keindahan isti’ârah berkaitan dengan wawasan dan cita rasa pengujar.
Semakin luas wawasan pengujar sekaitan dengan teknikteknik
balâghah (retorika) dan seni ujaran, sekaligus mampu untuk mengaplikasikannya,
semakin memikat dan efektif pula ujarannya.
Isti’ârah merupakan gejala ujaran yang paling indah serta terdiri
dari beberapa tingkatan. Setiap individu dapat menggunakannya
sesuai kapasitas masing-masing. Apapun dari aspek perhatian
penuhnya pada segenap rincian dan kandungan kalam, sekaligus
kejeliannya dalam menerapkan prinsip-prinsip estetika, isti’ârah
yang digunakan Al-Quran benar-benar memenuhi syarat sebagai
mukjizat. Tidak seorang pun yang punya kemampuan dan kapasitas
untuk menandingi ujaran Al-Quran. Dengan menyimak sejumlah
contoh yang berkenaan dengannya, barangkali hal ini akan semakin
jelas.
Berkenaan dengan peristiwa angin topan di masa Nabi Nuh as
yang dituturkan ayat: “Yâ ardh-u ibla’î mâ’aki wa yâ samâ’-u aqli’î”: Hai
bumi telanlah airmu, dan hai langit ( hujan) berhentilah! (QS Hud [11]:
44) Al-Quran menggunakan dua isti’ârah. Salah satunya adalah kata
bal’ yang umum digunakan sekaitan dengan binatang yang menelan
bulat-bulat mangsanya. Kata ini digunakan ayat tersebut sekaitan
dengan perintah terhadap bumi. Sementara yang lain adalah kata
qal’ yang berarti mencerabut sesuatu sampai ke akar-akarnya—yang
digunakan untuk memerintahkan langit.
Air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan bumi dalam
sekejap berpindah tempat. Air yang memancar dari perut bumi
kembali ditelan [bumi], sementara yang diturunkan langit dengan
deras dan terus-menerus seketika itu tercerabut (berhenti total). Betapa
mendalam makna ujaran seputar ditelannya lautan air oleh bumi dan
p:94
tercerabutnya air hujan yang sangat deras sampai ke akar-akarnya
ini. Estetika dan harmoni kedua kosakata ibla’î dan aqli’î benar-benar
tak terbatas. Ini diakui semua pakar retorika, baik yang mengimani
Al-Quran maupun yang tidak. Musuh Al-Quran yang paling keras
sekalipun, seperti Walid, mengakui keindahan dan superioritas Al-
Quran—sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Lingkungan rumah tangga merupakan wahana terbukanya
rahasia istri. Dikarenakan hubungan yang dekat dan berkesinambungan,
pasangan suami istri mengetahui sepenuhnya rahasia
dan kekurangan masing-masing. Sangat jarang individu yang
mampu menyembunyikan rahasia dari pasangannya. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa lingkungan rumah tangga merupakan
ajang tublâ al-sarâ’ir (penampakan rahasia-rahasia).
Sementara di sisi lain, tersebarluasnya rahasia dan skandal
akan menjatuhkan harga diri dan kehormatan sekaligus mencederai
harmoni suci rumah tangga. Tonggak kehidupan adalah harga
diri, kehormatan, kepribadian kuat, dan kemuliaan rumah tangga.
Sementara rumah tangga yang minus tanpa harga diri dan kehormatan
niscaya tidak akan hidup—bahkan “lebih mati” dari orang mati.
Di sisi lain lagi, sebagaimana umum diketahui, dibandingkan
agama dan ideologi lain, Islam memberi perhatian yang lebih besar
pada upaya memperkokoh dan melindungi kelestarian pondasi rumah
tangga. Dengan kata lain, agama Ilahi ini menghendaki jalinan
hubungan suami istri tetap lestari dan menginginkan tumbuhnya kasih
sayang, keakraban, harmoni, dan cinta di tengah lingkungan yang
suci itu. Jika demikian, lantas bagaimana Islam menghadapi problem
ini? Sehingga terbukanya rahasia di lingkungan rumah tangga tidak
berdampak negatif terhadap kekokohan pondasi rumah tangga serta
tidak sampai memicu kekhawatiran para anggota keluarga.
p:95
Untuk menghadapi ancaman ini, Al-Quran menyebut suami
istri sebagai pakaian penutup satu sama lain. Dengan dua kalimat
pendek, namun indah dan mendalam, kitab suci ini mengingatkan
ihwal fundamental untuk tidak membawa rahasia keluar lingkungan
rumah tangga. Hal yang sering mendera dan mengancam keutuhan
rumah tangga adalah terbukanya rahasia internal keluarga ke luar
lingkungan rumah tangga. Terdengarnya informasi rahasia seputar
kehidupan internal oleh pihak lain—kendati masih termasuk sanak
famili atau keluarga dekat, terlebih orang asing—yang dibarengi
bisikan setan, niscaya akan menjatuhkan harga diri. Lebih jauh,
fenomena ini cenderung membuka peluang campur tangan pihak
lain yang tidak pada tempatnya dalam kehidupan internal keluarga.
Lewat metode yang jitu dan cara yang memikat, Al-Quran mengajukan
solusi untuk melawan ancaman ini dengan menegaskan, “Mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS
Al-Baqarah [2]: 187).
Pakaian berfungsi menutupi kekurangan dan hal-hal yang harus
disembunyikan (rahasia-rahasia) pada tubuh. Secara manusiawi,
pakaian berfungsi untuk menjaga kemuliaan, martabat, dan harga
diri. Namun, pakaian akan berfungsi dan dikenakan saat tubuh eksis.
Digunakannya kata “pakaian” sekaitan dengan keterjagaan rahasia
dan kekurangan dalam kehidupan rumah tangga memang terasa
janggal. Di antara keduanya tidak terdapat hubungan struktural.
Namun, lain hal jika istilah itu dipahami sebagai sebentuk isti’ârah
yang diaplikasikan dalam konteks menutupi kekurangan dan rahasia
rumah tangga. Pasalnya, isti’ârah ini menggambarkan pasangan
suami dan istri layaknya pakaian yang menutupi seluruh anggota
tubuh demi menutupi seluruh kekurangan dan rahasia. Komposisi
ujaran ini memuat makna yang mendalam, tiada banding, dan belum
pernah diekspresikan sebelumnya. Sedangkan, dari segi keindahan
harfiahnya, ujaran ini sangat menakjubkan dikarenakan kepadatan
dan keindahannya. Ujaran ringkas ini mencakup makna yang luas
p:96
dan mampu mengatasi berbagai problematika rumah tangga serta
menangkis segala marabahaya yang mengancam keutuhannya.
Al-Quran mengemukakan kisah Nabi Zakaria as yang memohon
anugerah dari Allah Swt berupa seorang putera manakala seluruh
alasan untuk berputus asa keputusasaan sudah membayang di
pelupuk matanya. Di satu sisi, beliau sendiri sudah berusia lanjut dan
renta. Sementara di sisi lain, istri beliau telah mengalami kemandulan
sejak usia muda—terlebih sekarang sudah berusia lanjut. Setelah
menyaksikan berbagai karamah dan keagungan Maryam as, muncul
tekad dan keinginan kuat Nabi Zakaria as untuk memiliki seorang
anak seperti Maryam. Sekalipun kehidupannya di dunia sudah
mendekati titik akhir, sementara rambutnya telah memutih dan
wajahnya mengeriput, juga kondisi rumah tangganya yang tidak
lagi menyisakan asa, utusan Allah Swt ini (Zakaria as) tetap berharap
dan percaya pada rahmat Ilahi. Dalam pada itu, beliau mengutarakan
kondisinya secara terperinci kepada Allah Swt seraya memohon
anugerah seorang anak. Allah Swt mengabadikan dan menceritakan
kisah tersebut dalam ayat: “Ia (Nabi Zakaria as) berkata,
Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa (putus asa) dalam
berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku (QS Maryam [19]: 4).
Ini merupakan penggalan doa Nabi Zakaria as yang selebihnya
dapat dikutip dari ayat-ayat selanjutnya. Tema mukjizat isti’ârah
maktub dalam kalimat Wa isyta’ala al-ara’s-u syayb-an. Kata isyta’ala
bermakna “menyala”. Saat api melahap seluruh kayu bakar, akan
dikatakan, “Api telah menyala.” Lewat paparan bernuansa mukjizat,
Al-Quran dalam ayat ini menggunakan kata “nyala” sebagai ilustrasi
terhadap kondisi usia lanjut yang melahap kepala dan wajah
manusia. Saat itu, rambut dan wajah memutih. Kerutan dan keriput
mengakibatkan kulit wajah dan leher serasa tebal dan kasar. Dua
p:97
gejala di bagian kepala ini menjadi pertanda usia tua. Sebagaimana
kobaran api melahap seluruh kayu bakar, begitu pula dengan
ketuaan yang menyelubungi sekujur kepala dan wajah. Dengan
penuh kelembutan yang khas, Al-Quran menggunakan kata “nyala”
sebagai metafor kondisi usia tua. Ungkapan ini sedemikian ekspresif
dan fasih dalam mengungkapkan maksud dan perspektifnya. Aspek
harfiah dari ujaran ini begitu indah dan menakjubkan serta selaras
dan harmonis dengan kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya.
Ujaran sungguh tak tertandingi atau dapat digantikan ujaran lain.
Fakta inilah yang membuat takjub kalangan pakar bahasa dan sastra.
Sejatinya, nilai keindahan dan kedalaman makna dari ujaran ini
melampaui kemampuan manusia dalam mencipta ujaran.
Pada momen yang lain, Al-Quran menyoroti dampak buruk dari
sikap menolak mensyukuri nikmat Ilahi berupa azab pedih yang tidak
pandang bulu (mencakup semua manusia—penj.). Dalam hal ini,
suatu kaum atau bangsa yang tidak mengapresiasi nikmat material
dan spiritual anugerah Allah Swt, niscaya akan mengalami kesudahan
hidup yang serba sengsara, sementara akibat buruk sedang menanti
mereka. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian
kelaparan dan ketakutan.” Ulasan berikut berkenaan dengan isti’ârah
dalam ayat ini.
Pakaian berfungsi untuk menutupi tubuh. Kata ‘dzawq’ berarti
mencicipi rasa. Dalam konteks ini, istilah tersebut dimaksudkan
sebagai mencicipi (merasakan) ihwal indriawi dan material. Al-
Quran menggunakan dua isti’ârah dalam satu kalimat. Salah satunya
adalah “pakaian”, yang digunakan dalam pengertian menutupi
mereka dengan kelaparan dan ketakutan. Isti’ârah lainnya adalah
“merasakan” yang diaplikasikan dengan makna mengalami rasa
p:98
lapar dan takut. Isti’ârah pertama, “pakaian”, mengindikasikan kemutlakan
kelaparan dan ketakutan yang menyelimuti seluruh
anggota tubuh mereka. Sedangkan isti’ârah kedua mengekspresikan
kemendalaman ancaman tersebut, yaitu merasakan azab Ilahi,
bukan sekadar menyaksikan, mendengar, dan menyentuhnya. Guna
mengekspresikan kemendalaman rasa itu, kata “merasakan” digunakan
sebagai isti’ârah; sementara untuk menunjukkan universalisme
azab Ilahi, digunakan kata “pakaian”. Akibat menolak bersyukur
atas nikmat Ilahi, mereka pun dikepung kelaparan dan ketakutan
dalam semua aspek kehidupan dan anggota tubuhnya. Kegelisahan
dan kefakiran lalu meruntuhkan bangunan kehidupan mereka sampai
ke akar-akarnya. Ekspresi “merasakan” dalam Al-Quran juga
digunakan dalam pengertian merasakan rahmat Ilahi: “Dan apabila
kami merasakan kepada manusia suatu rahmat, sesudah (datangnya) bahaya
menimpa mereka” (QS Yunus [10]: 21). Saksikanlah, sejauhmana
keindahan dan visualisasi isti’ârah. Betapa kompaknya penggunaan
kata “merasakan” dalam konteks spiritual dan rohani, baik yang
menyangkut azab atau rahmat Ilahi.
Dalam pergulatan antara kebenaran versus kebatilan, kekuatan
kebenaran senantiasa keluar sebagai pemenang. Al-Quran
menegaskan, “Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang
batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta
yang batil itu lenyap” (QS Al-Anbiya’ [21]: 18). Dalam ayat ini, kata
damgh digunakan sebagai isti’ârah dengan pengertian tercerai-berainya
otak yang menggambarkan kondisi binasa dan hancur-lebur.
Runtuhnya kebatilan sampai ke akar-akarnya dianalogikan dengan
kondisi otak yang hancur dan tercerai-berai hingga tak ada lagi yang
tersisa. Makna ini dijelaskan dalam berbagai ujaran:
p:99
Dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya (QS Saba’
[34]: 19).
Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tersisa di antara
mereka (QS Al-Haaqqah [69]: 8).
Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum
mereka. Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu
dengar suara mereka yang samar-samar? (QS Maryam [19]: 98).
Inilah beberapa contoh isti’ârah yang maktub dalam Al-Quran.
Pilihan kata dan komposisinya guna mengekspresikan maknanya
yang mendalam benar-benar tiada duanya. Mustahil manusia mampu
merumuskan isti’ârah seindah dan seakurat ini, seraya memenuhi
seluruh prasyarat keindahan suatu ujaran.
Dalam prosa, sajak ibarat rima ( qâfiyah) dalam puisi. Larik
menambah keindahan dan kelembutan puisi; sementara sajak
menciptakan harmoni dan kelembutan suatu prosa.
Manusia memiliki kecenderungan estetik dalam jiwanya. Karena
itu, dia senantiasa tertarik pada berbagai keindahan fenomenal di
alam semesta; terutama keindahan murni dan absolut, yaitu Allah
Swt. Setiap karya seni yang memenuhi prasyarat keindahan niscaya
akan menjadi pusat perhatian. Ujaran atau kalam juga termasuk
karya seni yang semakin indah secara harfiah, lembut secara batiniah,
serta memiliki makna yang mendalam, akan semakin memikat,
banyak diminati, dan memunculkan hasrat kuat untuk mencerapnya.
Dalam pada itu, ujaran yang tidak harmonis dan dangkal cenderung
menjadikan audiens menjaga jarak dan menjauh. Sebaliknya,
ujaran yang indah, harmonis, dan punya makna yang mendalam
akan memikat perhatian audiens serta menjadikannya berhasrat untuk
menyimak.
p:100
Salah satu tolok ukur penting dalam upaya memperindah dan
mempercantik ujaran secara harfiah adalah irama kalimat. Al-Quran
menggunakan tolok ukur artistik ini secara penuh dalam seluruh
ujarannya; seolah-olah seluruh isi Al-Quran merupakan ujaran prosa
yang ekspresif. Terpenuhinya kaidah ini akan menghasilkan
keindahan ujaran yang tiada tara. Irama Al-Quran begitu segar dan
lantunannya sedemikian mempesona, sampai-sampai jika semakin
sering dilantunkan dan diperdengarkan, keindahan dan daya tariknya
juga akan semakin bertambah. Padahal, pengulangan suatu ujaran,
seindah dan semenarik apa pun, pada umumnya menjemukan. Inilah
dimensi lain dari mukjizat Al-Quran—yang jika semakin sering
dibaca secara berulang-ulang, efeknya juga akan semakin bertambah
dan kian menguat.
Sajak termasuk fenomena artistik dan perpaduan retorika
suatu ujaran yang selalu menjadi pusat perhatian para pengujar yang
arif dan fasih. Berdasarkan literatur kesusastraan, sajak terdiri dari
berbagai varian. Dalam pada itu, agar diperoleh pemahaman yang
memadai tentang bagaimana Al-Quran menggunakan seni ujaran
ini, berbagai varian tersebut akan dipaparkan secara sekilas berikut
ini.
Sajak terdiri dari beberapa jenis: mutawâzî, mutawâzin, dan
mutarraf. Yang menjadikan rangkaian sajak yang maktub dalam
Al-Quran memiliki nilai lebih dalam konteks klasifikasi ini adalah
totalitas keindahan harfiah dengan kedalaman maknanya.
Jika dicermati secara saksama, sajak hasil gubahan seseorang
pada umumnya mengandung sejumlah kekurangan. Bahkan,
acap kali terjadi, seorang pengujar baru mengetahui adanya
kekurangan dan menyadari bahwa “maksud ujaran” tidak mewakili
“maksud pengujar” atau tidak menjelaskan maksud utamanya,
setelah sajaknya digubah. Adapun kontras dengannya, sajak-sajak
yang maktub dalam Al-Quran sepenuhnya integral dan harmonis
p:101
dengan konsepsinya yang mendalam, sehingga tidak mengandungi
kekurangan apa pun dalam konteks ujarannya.
Mutawâzî merupakan sejenis sajak paling indah berbentuk kesamaan
dan keserupaan kata-kata di akhir kalimat dari segi nada ( epigram)
dan juga dari segi huruf asli akhir kata, seperti (dalam bahasa Parsi)
ôzôd dengan ôbôd, syôdôb dengan ôdôb, delîr dengan kavîr. Sajak
jenis ini banyak dijumpai dalam Al-Quran, seperti:
Fi sidr-in makhdhûd, wa talh-in mandhûd, wa zdill-in mamdûd, wa
mâa’-in maskûb.
(Golongan kanan) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri,
dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya) dan naungan yang
terbentang luas, dan air yang tercurah (QS Al-Waqi’ah [56]: 28–
31).”
Wa as-syams-i wa dhuhâhâ. Wa al-qamar-i idzâ talâhâ. Wa al
nahâr-i idzâ jallâhâ. Wa al-layl-i idzâ yaghsyâhâ. Wa al-samâ’-i wa mâ
banâhâ. Wa al-ardh-i wa mâ tahâhâ. Wa nafs-in wa mâ sawwâhâ.
Fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Qad aaha man zakkâhâ. Wa
qad khaba man da-ssâhâ. Kadzdzabat Tsamûd-u bi taghwâhâ. Idz
imba’atsa asyqâhâ.
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan
apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya,
dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya,
dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena
mereka melampaui batas, ketika bangkit orang yang paling
celaka di antara mereka (QS Asy-Syams [91]: 1–12).
p:102
Simaklah bagaimana 16 ayat prosais dalam surah penuh berkah
ini disusun dengan bentuk mutawâzî. Pengertian yang dikandungnya
sungguh mendalam dan ekspresif. Setiap kali ayat-ayat prosais ini
direnungkan, niscaya akan dicerap sejumlah makna yang jauh lebih
mendalam. Menariknya lagi, tak satu pun rangkaian ayat prosais itu
memiliki kekurangan dan kelemahan. Fakta ini sendiri sekaligus
menunjukkan aspek mukijzat prosais Al-Quran. Bila tidak demikian
(maksudnya, memiliki kekurangan atau kelemahan), niscaya
manusia mampu menggubah sajak dalam ujarannya dengan segala
kekurangan dan problematiknya.
«وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَیْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِیدِ (16)»
«إِذْ یَتَلَقَّی الْمُتَلَقِّیَانِ عَنِ الْیَمِینِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِیدٌ (17)»
«مَا یَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَیْهِ رَقِیبٌ عَتِیدٌ (18)»
«وَجَاءَتْ سَکْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِکَ مَا کُنْتَ مِنْهُ تَحِیدُ (19)»
«وَنُفِخَ فِی الصُّورِ ذَلِکَ یَوْمُ الْوَعِیدِ (20)»
«وَجَاءَتْ کُلُّ نَفْسٍ مَعَهَا سَائِقٌ وَشَهِیدٌ (21)»
«لَقَدْ کُنْتَ فِی غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَکَشَفْنَا عَنْکَ غِطَاءَکَ فَبَصَرُکَ الْیَوْمَ حَدِیدٌ (22)»
«وَقَالَ قَرِینُهُ هَذَا مَا لَدَیَّ عَتِیدٌ (23)»
«أَلْقِیَا فِی جَهَنَّمَ کُلَّ کَفَّارٍ عَنِیدٍ (24)»
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk
di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu
ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir. Dan datanglah sakaratul maut dengan
sebenarbenarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah
sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah
tiaptiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan
seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam
keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup
(yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Dan yang menyertai dia berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang
tersedia pada
p:103
sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam
neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala” (QS Qaaf
[50]: 16 – 24).
Keindahan rangkaian kata warîd, qa’îd, ‘atîd, tahîd, wa’îd, syahîd,
hadîd, dan ‘anîd, berikut maknanya yang begitu mendalam dan
harmonis, merupakan suatu mukjizat dalam mukjizat. Dalam
menggubah prosa atau syair, seorang penyair atau penulis akan
bergeser dari [orientasi] keindahan dan kemendalaman ujarannya
saat qâfiyah (rima) menjadi tidak beraturan. Berdasarkan itu, mukjizat
Al-Quran tercermin dari kemendalaman makna yang dikandung
serta keindahan ritmik rangkaian harfiahnya.
Contoh berikutnya:
«وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَی (1)»
«مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمْ وَمَا غَوَی (2)»
«وَمَا یَنْطِقُ عَنِ الْهَوَی (3)»
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat
dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya (QS An-Najm [53]: 1 – 3).
Dalam ayat ini, dapat disaksikan bagaimana kata hawâ
diungkapkan sebanyak dua kali dalam dua pengertian yang berbeda,
namun mampu menciptakan kelembutan yang begitu memikat.
Mutawâzin merupakan jenis sajak yang kata-kata di akhir kalimat
dan paragrafnya seirama hanya dalam wazan (bentuk), bukan
(kesamaan) dalam bentuk akhiran. Berikut ini beberapa contohnya
dalam Al-Quran:
p:104
«وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ (1)»
«وَمَا أَدْرَاکَ مَا الطَّارِقُ (2)»
«النَّجْمُ الثَّاقِبُ (3)»
«إِنْ کُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَیْهَا حَافِظٌ (4)»
Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah
yang datang pada malam hari itu? (Yaitu) bintang yang cahayanya
menembus, tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya
(QS Ath-Thariq [86]: 1–4).
dan:
«الْحَاقَّةُ (1)»
«مَا الْحَاقَّةُ (2)»
«وَمَا أَدْرَاکَ مَا الْحَاقَّةُ (3)»
«کَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ (4)»
«فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِکُوا بِالطَّاغِیَةِ (5)»
«وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِکُوا بِرِیحٍ صَرْصَرٍ عَاتِیَةٍ (6)»
«سَخَّرَهَا عَلَیْهِمْ سَبْعَ لَیَالٍ وَثَمَانِیَةَ أَیَّامٍ حُسُومًا فَتَرَی الْقَوْمَ فِیهَا صَرْعَی کَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِیَةٍ (7)»
«فَهَلْ تَرَی لَهُمْ مِنْ بَاقِیَةٍ (8)»
Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari
kiamat itu? Kaum Tsamud dan Ad telah mendustakan hari kiamat.
Adapun kaum Tsamud maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian
yang luar biasa, Adapun kaum Ad maka mereka telah dibinasakan
dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.... seakan-akan
mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).
Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka
(QS Al-Haaqqah [69]: 1–8).
Dalam hal ini, sangat banyak ayat Al-Quran yang kata-kata
akhirnya dikombinasi dengan sajak mutawâzin.
Mutarraf termasuk jenis sajak yang menekankan kesesuaian
huruf-huruf pada kata-kata yang berupa akhiran, yaitu huruf dasar
di akhir kata, seperti syâd dengan ôzôd dalam bahasa Parsi. Berikut
ini beberapa contoh yang maktub dalam Al-Quran:
p:105
A lam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ashhâb al-fîl. A lam yaj’al
kaydahum fî tadhlîl. Wa arsala ‘alayhim tayr-an abâbîl. Tarmîhim bi
hijârat-in min sijjîl: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana
Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia
telah menjadikan tipudaya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-
bondong, Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari
tanah yang terbakar (QS Al-Fiil [105]: 1–4).
Wa al-shubh-i idzâ asfar. Innahâ la ihdâ al-kubar. Nadzîr-an li
albasyar. Li man syâ’a minkum an yataqaddama aw yata’akhkhar:
Dan subuh apabila mulai terang. Sesungguhnya Saqar itu adalah
salah satu bencana yang amat besar, Sebagai ancaman bagi manusia.
(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau
mundur (beriman atau kafir) (QS Al-Muddatstsir [74]: 34–37).
Yâ ayuhâ al-muddatstsir. Qum fa andzir. Wa robbaka fa kabbir.
Wa tsiyâbaka fa tahhir: Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah,
lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu
bersihkan-lah! (QS Al-Muddatstsir [74]: 1–4).
Al-Quran menggunakan berbagai jenis sajak dalam sejumlah
besar ayat-ayatnya. Karenanya, bila dicermati secara saksama, dapat
dikatakan bahwa mayoritas ayat Al-Quran merupakan sajak prosais
yang ditinjau dari segi estetikanya, sungguh luar biasa indah dan
dimensi batiniahnya berbaur dengan mukijizat yang benar-benar
menakjubkan. Aspek sajak inilah yang menjadikan kalangan pakar
dalam bidang susastra mengklaim bahwa Al-Quran merupakan teks
prosais. Klimaknya, mereka pun mengakui ketidakberdayaannya di
hadapan Al-Quran.
p:106
Sampai detik ini, belum seorang pun yang mampu menguasai
dan mengaplikasikan semua rumus dan rahasia estetika ujaran
(yang jika dikuasainya, niscaya akan menciptakan ujaran terindah).
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa acap kali seseorang mampu
mengikuti kaidah- kaidah dasar ujaran dan menguasai beberapa
tolok ukur keindahan berujar. Namun, saat mempraktikkannya
dalam ujaran atau tulisan, dia tidak punya kemampuan untuk
menerapkannya secara keseluruhan. Karenanya, dia pun tidak
mampu mencipta ujaran terindah. Sementara Allah Swt Mahatahu
semua rumus estetika sekaligus Mahamampu menerapkannya. Oleh
sebab itu, kemunculan dan perkembangan retorika dalam bidang
ujaran manusia tidak mengurangi secuil pun keindahan retorik
Al-Quran. Karena, Al-Quran senantiasa dan selamanya mengikuti
seluruh tolok ukur yang justru melampaui kemampuan manusia.
Menurut Baqilani, Al-Quran secara keseluruhan dipenuhi
keindahan dan dekorasi artistik, “ Keindahan-keindahannya
bersinambung.”(1) Di akhir pembahasan seputar mukjizat balâghî
(estetika ujaran) akan disinggung pula sepintas lalu beberapa seni
badî’.
Tashdîr termasuk estetika ujaran yang mengembalikan akhir
ujaran ke awal ujaran, sekaligus merangkum ujaran di akhir sejumlah
surah Al-Quran, yang mengembalikan ujaran akhir suatu surah
ke ujaran awal. Contohnya, surah al-Baqarah yang pada awalnya
membicarakan perihal mabda’ (penciptaan), ma’âd (setelah kematian),
kenabian, dan prinsip-prinsip keyakinan (ushûluddîn). Dan di akhir
surah, tema-tema yang sama (mabda’, ma’âd, kenabian secara umum,
dan prinsip-prinsip keyakinan) kembali diungkapkan.
p:107
Perhatikan pula ayat-ayat Al-Quran berikut:
“Wa yakhsyâ al-nâs-a wa Allâh-u ahaqqu an takhsyâh-u”: Dan
kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk
kamu takuti (QS Al-Ahzab [33]: 37).
“Istaghfirû rabbakum innahu kâna ghaffâr-an”: Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun
(QS Nuh [71]: 10).
“Wa laqad-istuhzi’a bi rusul-in min qablik-a fa hâqa bi-lladzîna
sakhirû minhum mâ kânû bih-i yastahzi’ûn”: Dan sungguh telah
diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada
orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olokolokan
mereka (QS Al-An’am [6]: 10).
“Unzdur kayfa kadzdzabû ‘alâ anfusihim wa dhalla ‘anhum mâ
kânû yaftarûn”: Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap
diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan
yang dahulu mereka ada-adakan (QS Al-An’am [6]: 24).
“Lâ taftarû ‘alâ-Allâh-i kadzib-an”: Janganlah kamu mengadaadakan
kedustaan terhadap Allah (QS Thaha [20]: 61).
“Wa hab lanâ min ladunk-a rahmah, innaK-a Ant-a Al-Wahhâb”:
Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia) (QS Ali ‘Imran
[3]: 8).
Seni ujaran lainnya adalah tibâq, yaitu menggunakan dua
faktor antonim dalam satu kalimat seperti: “Yuhyî wa yumît”:
Menghidupkan dan mematikan (QS Ali ‘Imran [3]: 156); atau, “Wa
tahsabuhum ayqâzd-an wa hum ruqûd”: “Dan kamu mengira mereka
(Ashabul Kahf) itu bangun padahal mereka tidur (mereka tertidur dengan
mata terbuka) (QS Al-Kahfi [18]: 18); juga, “Fa lâ takhsyaw al-nâs wa
ikhsyawn”: “Maka janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
p:108
kepada-Ku (QS Al-Ma’idah [5]: 44); dan, “Akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. Mereka [hanya] mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia” (QS Ar-Rum [30]: 6 – 7); serta, “Keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS Al-Fath
[48]: 29), demikian pula, “Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan
orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan
dan menghidupkan” (QS An-Najm [53]: 43 – 44); dan, “Ia mendapat
pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286).”
Tolok ukur lainnya adalah musyakalah yang berupa
pengulangan kata yang sama persis dengan kata sebelumnya demi
mempertahankan keindahan harfiah suatu ujaran—kendati makna
katanya sudah berubah (berbeda dengan makna sebelumnya) dan
diorientasikan untuk pengertian yang lain—seperti, “Wa jazâ’-u
sayyi’at-in sayyi’at-un mitsluhâ”: Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa (QS Al-Syuraa [42]: 40). Tatkala melakukan
keburukan, seseorang akan mendapatkan keburukan yang serupa.
Dalam hal ini, keburukan [yang disebutkan] kedua tidak dapat
disebut sebagai “keburukan”. Karenanya, digunakan kata sayyi’at
untuk menggambarkan kesamaan dan ganjaran setimpal bagi yang
pertama.
Tolok ukur lainnya adalah al-laff wa al-nasyr, yaitu mengungkapkan
dua hal seraya mengemukakan secara terperinci kekhasan keduanya
secara sistematis. Contohnya adalah kutipan ayat berikut:
Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang,
supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari
sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) (QS Al-Qashash [28]:
73).
p:109
Seni ujaran yang menekankan keindahan harfiah suatu ujaran
berikut pengaruhnya adalah iltifât. Pada praktiknya, seni ujaran ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian audiens dengan mengubah
ubah alur pembicaraan dari “gaib” (orang ketiga), “mutakallim”
(orang pertama), dan “mukhatab” (orang kedua) secara bergantian.
Sebagai contoh, surah Al-Fatihah. Sejak awal hingga ayat,
“[Dia] Yang menguasai hari pembalasan (QS Al-Fatihah [1]: 4),” surah
ini menggunakan dhamir gaib (kata ganti orang ketiga). Kemudian,
secara spontan, berubah haluan dari gaib ke khitab [orang kedua],
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan (QS Al-Fatihah [1]: 5).” Dalam rangkaian
shalat harian, surah nan indah dan punya makna mendalam ini
dibaca berulang-kali. Awalnya, surah ini diujarkan dalam intonasi
yang datar seraya mengasumsikan pihak (yang dibicarakan) sebagai
orang ketiga seraya memandang Dia secara subjektif. Manakala
hubungan yang dijalin semakin erat dan lebih akrab, pengujar pun
menyaksikan sesembahannya hadir sehingga terbentuklah relasi intersubjektif
(antar subjek) yang memungkinkannya berbicara langsung
dengan-Nya, “Hanya Engkaulah sesembahanku. Hanya kepada-
Mulah aku menyembah. Dan hanya kepada-Mulah aku memohon
pertolongan.”
Iltifât berperan penting dalam hal keindahan dan efektivitas ujaran.
Umpama, ayat yang mengatakan: “Dan Tuhan memberikan kepada mereka
minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu” (QS
Al-Insan [76]: 21 – 22). Inti ayat ini berkisar pada jamuan
Ilahi di surga. Nikmat apakah yang disuguhkan Allah Swt bilamana
secara langsung menjamu manusia surgawi? Minuman jernih dan
segar yang khusus disediakan sebagai balasan bagi penghuni surga.
Dengan meneguk minuman itu, para penghuni surga akan langsung
putus hubungan dengan selain Allah Swt. Saat itu mereka hanya
p:110
menaruh harapan kepada-Nya. Berkenaan dengan penafsiran ayat
di atas, terdapat sebuah riwayat yang mengatakan, “(Minuman itu)
menyucikan mereka dari segala sesuatu selain Allah.”(1)
Perubahan orientasi dari orang ketiga (gaib) ke orang pertama
(mutakallim) terdapat dalam ayat: “Mahasuci Allah, yang [Dia] telah
memperjalankan hamba-Nya (Muhammad Saw) pada suatu malam dari Al-
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya”
(QS Al-Isra’ [17]: 1).
Perpindahan posisi dari orang kedua ke orang ketiga maktub
dalam ayat, “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di
daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam
bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada
di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya” (QS Yunus [10]: 22).
Sedangkan pergeseran dari orang pertama ke orang kedua
terdapat dalam ayat, “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang
telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan?” (QS Yaasiin [36]: 22).
Adapun dari orang pertama ke orang ketiga maktub dalam ayat,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Kautsar atau nikmat
yang banyak (di antaranya pengetahuan-pengetahuan wahyu). Maka
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsar
[108]: 1–2).
Alhasil, topik utama pada bagian pertama ini berkisar di
seputar tema estetika harfiah ujaran yang disebut sebagai mukjizat
retorik. Tentunya sudah banyak karya tulis yang disusun secara
spesifik dan mendetail seputar tema mukjizat Al-Quran. Namun
demikian, ulasan di atas dengan segala kekurangannya tentulah
dirasakan belum representatif. Pasalnya, topik utama dalam kajian
mukjizat Al-Quran bersinggungan pula dengan ranah pengetahuan
lainnya, khususnya ahkâm berikut kandungannya—yang tidak dapat
p:111
diabaikan dalam konteks mukjizat Al-Quran. Berdasarkan itu, bagian
kedua dari tulisan ini akan dikhususkan untuk mengulas topik yang
dimaksud.
p:112
p:113
TOPIK UTAMA yang telah diuraikan panjang lebar sebelumnya
berkisar pada estetika harfiah ujaran—kendati telah disinggung pula
kandungannya secara sepintas lalu. Pada bagian ini, yang menjadi
pokok pembahasan adalah ujaran yang indah serta aspek mukjizat
kandungan Al-Quran.
Kandungan Al-Quran yang bersumber dari (alam) malakut
(gaib) dan wahyu merupakan sebentuk mukjizat dalam konteks
wawasan manusiawi. Maksudnya, produk wahyu dalam bidang
epsitemologi, yurisprudensi (hukum-hukum fikih—penj,), ideologi,
etika (akhlak), pemerintahan dan politik, sosiologi, ekonomi, dan
sebagainya merupakan mukjizat.
Seluruh pengetahuan Ilahi melampaui daya jangkau kecerdasan
manusia. Tanpa bantuan wahyu, manusia mustahil mampu
merasakan. Tentu saja ini bukan dimaksudkan untuk mengklaim
bahwa Al-Quran memiliki pandangan dalam semua tema ilmiah—
kendati beberapa pihak mengklaim dan menganggap demikian
berdasarkan ayat-ayat seperti: “Dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lawh Mahfuzd)” (QS
Al-An’am [6]: 59). Namun, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
sebuah kitab disebut lengkap dan sempurna bila menguraikan seluruh
formula dan permasalahan yang menjadi tema pembahasannya,
sekaligus mengungkapkan pandangan yang berkenaan dengannya.
Sementara itu, sebagai kitab [suci] ihwal manusia, Al-Quran
memberi bimbingan, pengetahuan, serta panduan dalam berbagai
ranah keilmuan, seperti budaya, akhlak, ibadah, politik, sosial,
kesejahteraan, ekonomi, hukum, aturan pidana, dan sebagainya. Di
semua ranah pengetahuan itu, Al-Quran tidak melewatkan satu pun
tema pembahasan.
Dari segi potensi manusia yang tidak berbatas, wawasan
wahyu juga tak terbatas. Oleh karena itu, kesempurnaan program
hidup manusia hanya terwujud lewat tuntunan wahyu. Hanya
p:114
wahyu saja yang mampu mengajarkan manusia perihal seluruh
aspek kehidupan. Inilah klaim Al-Quran, “Dan mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah [2]: 151). Wahyu
menyampaikan serangkaian pengetahuan yang tanpanya, manusia
mustahil merasakannya. Mengingat tema ini sangat signifikan dan
istimewa, juga agar ulasan dan keterangan seputar beberapa pokok
permasalahan menjadi jelas, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu
dua hal mendasar, yaitu kapasitas manusia dan klaim wahyu. Baru
setelah itu, pembahasan akan bergeser pada tema-tema lainnya.
Dari segi kapasitas dan potensi keilmuannya, manusia merupakan
maujud tanpa batas. Potensi yang dimilikinya melampaui potensi
seluruh makhluk lain, termasuk malaikat. Potensi dan kapasitas ini
hanya dapat dipahami via wahyu Al-Quran. Tanpanya, tak seorang
pun mampu memahami dimensi eksistensial manusia.
Berkenaan dengan potensi eksistensial manusia, Al-Quran
mengungkapkan bahwa saat diciptakannya manusia, para malaikat
sempat bertanya-tanya soal apa tujuan diciptakannya makhluk itu.
Persisnya lagi, manakala mengetahui keinginan Allah Swt yang terkait
dengan masalah ini, mereka kontan bertanya kepada-Nya ihwal
maksud diciptakannya manusia. “Apakah Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?”
(QS Al-Baqarah [2]: 30). Dalam menjawab pertanyaan ini, Allah Swt
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
(QS Al-Baqarah [2]: 30). Kalimat ini merujuk pada kapasitas keilmuan
manusia. Dalam redaksi yang lain, ujarannya menjadi, “Jika mengetahui
hakikat ini, niscaya kalian tidak akan pernah bertanya.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah
p:115
kepada-Ku nama-nama itu jika kamu memang orang-orang yang
benar!” (QS Al-Baqarah [2]: 31)
Manusia punya kemampuan untuk mempelajari dan menguasai
seluruh ilmu pengetahuan serta realitas keberadaan—suatu
kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain, termasuk malaikat.
Karena itu, tatkala mengetahui hakikat tersebut, para malaikat
pun memperoleh jawaban atas pertanyaan mereka. Kontan
mereka bersujud kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki
kemampuan untuk merasakan semua hakikat tersebut.
Kemampuan belajar manusia sungguh tidak terbatas, Dalam pada
itu, ketidakterbatasan ini berbanding terbalik dengan ilmu-ilmu alam
dan fisikawi. Pasalnya, upaya mempelajari ilmu-ilmu semacam itu,
seluas apa pun, tetap saja terbatas. “Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan
melainkan sedikit” (QS Al-Isra’ [17]: 85), Kemampuan belajar yang
tak terbatas ini hanya berbanding lurus dengan wawasan keilmuan
wahyu Ilahi seperti Al-Quran. Rasa dahaga ini hanya dapat terpuaskan
oleh kelezatan wahyu dan kejernihan wawasannya berupa serangkaian
pengetahuan puncak yang tidak mampu dipikul maujud mana pun.
Dalam konteks ini, Al-Quran menyatakan bahwa bila Kami menurunkan
Al-Quran kepada gunung-gunung yang kokoh, niscaya mereka tak
akan mampu memikulnya, bahkan akan pecah berkeping-keping. Padahal
gunung merupakan simbol kekokohan.
Pada umumnya, individu yang memiliki ketegaran mengagumkan
akan dianalogikan sebagai gunung yang berdiri kokoh.
Akan tetapi, gunung yang dianggap kokoh ini ternyata tidak memiliki
kesanggupan untuk mengemban Al-Quran; sementara manusia
mampu dan punya kapasitas untuk memikulnya. “Kalau sekiranya
Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah” (QS Al-
Hasyr [59]: 21). Manusia yang mampu memikul beban amanat ini
p:116
memiliki kapasitas untuk menampung hakikat pengetahuan qurani
yang tiada batas.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas seperti
menerima Al-Quran termasuk dalam kategori amanat) kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia (QS Al-Ahzab [33]: 72).
Oleh karenanya, kapasitas tanpa batas, menuntut pula wawasan
yang tak terbatas. Sementara itu, ilmu-ilmu produk pikiran
manusia, dengan segenap keterbatasannya, tak akan pernah mampu
mengoptimalisasi kapasitasnya. Dari sisi ini, kebutuhan manusia
terhadap pengetahuan wahyu bersifat abadi. Manusia, sosok pencari
kesempurnaan, selalu membutuhkan wahyu. Pasalnya, ranah
pengetahuan wahyu melampaui daya pikir manusia. Sejauh
apa pun manusia berpikir, ranah pengetahuan wahyu tetap
melampaui semua hal yang telah dipelajarinya.
Wahyu merupakan pengajaran qudsi ( Ilahi). Tanpa asistensi
wahyu, rangkaian pengetahuan tersebut mustahil dirasakan. “Dan
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-
Baqarah [2]: 151). Dari aspek keilmuan, manusia adalah manifestasi
dari “kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi” (QS Hud
[11]: 123; QS An-Nahl [16]: 77). Manusia meneguk cairan ilmu yang
jernih dan murni dari sumber tersebut, bahkan dia mampu mencapai
level tertinggi sehingga secara langsung dan tanpa dibatasi kotoran
alam material, meneguk cairan suci dari sisi Allah Swt tanpa mediasi
malaikat wahyu (Jibril): Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-
Quran dari sisi (Allah) Yang Mahabijak lagi Mahatahu” (QS An-Naml
[27]: 6). Posisi ini diakui malaikat kesempurnaan dan keindahan:
“Bila aku maju sedikit lagi maka aku akan terbakar.”(1)
p:117
Sekarang, untuk mengklarifikasi kandungan ayat: “Dan
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah
[2]: 151) dan pengetahuan wahyu yang dapat dirasakan manusia,
akan diuraikan lebih jauh sejumlah hal yang dikemukakan Al-
Quran. Ini dimaksudkan agar mukjizat kandungan Al-Quran bukan
hanya dianggap sekadar klaim belaka, melainkan memang bersifat
faktual.
Teologi (wawasan ketuhanan) dan penyembahan Allah Swt
merupakan tema pokok yang dibahas dalam Al-Quran. Memang,
pengetahuan tentang Tuhan dikategorikan sebagai yang paling
gamblang dan bersifat fitriah. Namun karena terkontaminasi berbagai
keraguan tanpa dasar dan sikap skeptis yang berlebihan, ranah
pengetahuan ini pun tak ayal menjadi semakin kabur dan samarsamar.
Akibatnya, muncul banyak perdebatan hangat seputar masalah
ini. Karena itu, Al-Quran lantas memfokuskan upayanya untuk
menepis segenap keraguan tersebut agar fitrah manusia yang mengenal
Tuhan kembali hidup dan berkembang. Dan pada akhirnya,
manusia pun kembali pada dirinya sendiri. Al-Quran menyebut
para nabi sebagai juru-ingat terhadap hakikat pengenalan diri:
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang
yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka” (QS Al-Ghasyiah [88]: 21–22).
Upaya mengingatkan ditujukan untuk menggugah kesadaran seseorang
yang sebenarnya tahu masalah namun lalai. Dalam pada itu,
Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa para nabi diutus untuk
mengembangkan fitrah dan rasio manusia, bukan mengajarkan soal
ketuhanan.
p:118
Dan mereka (para nabi) membuka simpanan dan tambang akal
untuk mereka (manusia).(1)
Dalam memperkenalkan Tuhan kepada manusia, Al-Quran
mengatakan, “Adakah keraguan seputar keberadaan Tuhan? Mungkinkah
kalian meragukan eksistensi Tuhan? Mungkinkah orang
yang berenang di tengah lautan meragukan eksistensi air?” “Apakah
ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS
Ibrahim [14]: 10). Menurut Al-Quran, manajer alam semesta adalah
Kekuatan yang Mahamampu mengendalikan sistem yang harmonis,
kompak, dan indah ini; itulah Allah Swt Yang Mahamulia dan
Hakim yang mengungguli semua kekuatan lain. “Maka bagi Allahlah
segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-
Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijak” (QS Al-Jatsiah [45]: 36–37).
Al-Quran juga menjadikan prinsip ke-tuhan-an sebagai bukti
keesa-an Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan merupakan wujud sempurna
yang eksistensi-Nya tidak terbatas. Prinsip ketidakterbatasan
ini pada gilirannya memustahilkan pluralitas wujud. “Allah menyaksikan
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyaksikan yang demikian itu)” (QS Ali ‘Imran [3]: 18).
Berkenaan dengan sifat-sifat Allah Swt yang baik dan indah, Al-
Quran mengemukakan ihwal mukjizat seraya menjelaskan bahwa
seluruh sifat jamal dan tanda-tanda kesempurnaan hanyalah milik
Allah Swt semata. “Hanya milik Allah asmaulhusna” (QS Al-A’raf [7]:
180). Keindahan dan kesempurnaan apa pun yang engkau saksikan,
dimiliki Allah Swt dalam level yang paling puncak. “Dan Allah
mempunyai sifat yang Mahatinggi” (QS An-Nahl [16]: 60), sekaligus
awal dari seluruh kesempurnaan lainnya. Al-Quran menyebut dan
mengatributkan seluruh sifat jamal kepada Allah Swt karena “seluruh
kesempurnaan dan keindahan-Mu semata-mata sempurna
p:119
dan indah”. Dalam upaya menyucikan Allah Swt dari segala bentuk
similarisasi dan rivalisasi, Al-Quran menegaskan, “Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia” (QS As-Syura [42]: 11), sebagai negasi
terhadap keserupaan apa pun dengan selain-Nya. Ini sebagaimana
kita, misalnya, bermaksud menyucikan seseorang dari sifat buruk,
seperti kekikiran, dengan mengatakan, “Orang seperti Anda tidak
kikir, apalagi engkau.” Kandungan dari ungkapan pendek nan indah
ini benar-benar mendalam sekaligus menegasi segala kekurangan
di sisi Allah Swt. Ungkapan ini menolak segala sifat yang tidak
selaras dengan prinsip ketuhanan—yang diistilahkan sebagai penafi-
an dengan sifat Jalâl. Ayat ini merupakan induk dari ayat-ayat yang
menjelaskan sifat Allah Swt.
Karena Allah Swt merupakan mabda’ (asal-muasal) juga ma‘âd
(kepulangan), tujuan dan titik tolak, Al-Quran pun memperkenalkan
asal-muasal dan kepulangan secara berimbang. Kitab suci ini
lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah ma‘âd dan mabda’
ketimbang pada tema-tema yang lain. Al-Quran memandang ihwal
ma’âd sebagai sebuah keniscayaan. Mau atau tidak mau, semua
manusia akan kembali ke hadirat Ilahi. “Hai manusia, sesungguhnya
kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka
pasti kamu akan menemui-Nya” (QS Al-Insyiqaq [84]: 6). Perjumpaan
manusia dengan Allah Swt merupakan suatu kepastian. Karena
datang dari–Nya, ia juga akan kembali pada-Nya. “Sesungguhnya kami
milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali” (QS Al-
Baqarah [2]: 156). Bimbingan Al-Quran perihal ma‘âd meniscayakan
manusia menemukan sifat-sifat dan manifestasi keindahan Ilahi,
sehingga dapat merasakan kebahagiaan dan keagungan, “Di tempat
yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa” (QS Al-Qamar [54]: 55).
Dalam kondisi itu, manusia mereguk segala nikmat yang tiada
batas berikut surga ridhwan-Nya. Kepastian ini diperolehnya kala
mendengar firman yang menegaskan: “Dan masuklah ke dalam surga-
Ku” (QS Al-Fajr [89]: 30).
p:120
Al-Quran juga berupaya menuntun umat manusia melangkahkan
kaki di jalan Allah dan bergerak ke arah-Nya: “Maka segeralah kembali
kepada Allah” (QS Al-Dhariyat [51]: 50). “Dan berlomba-lombalah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu” (QS Ali ‘Imran [3]: 133). “Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”
(QS An-Nazi’at [79]: 40–41). Di sisi lain, Al-Quran menakut-nakuti
orang yang kabur dari Allah Swt dan keridhaan-Nya: “Maka ke
manakah kamu akan pergi?” (QS At-Takwir [81]: 26). Kembalilah kalian
pada hakikat kesempurnaan dan keindahan absolut; itulah Yang
Awal dan Yang Akhir, Mabda’ dan Ma‘âd, Yang Lahir dan Yang
Batin. “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin”
(QS Al-Hadid [57]: 3). Allah Swt lebih awal dari segala sesuatu yang
dianggap sebagai “yang awal”; lebih akhir dari segala sesuatu yang
dipandang sebagai “yang akhir”; lebih kasat mata (tampak secara
lahiriah) dari segala sesuatu yang diklaim sebagai “kasat mata”; dan
meliputi segala sesuatu yang dipandang sebagai “yang tidak kasat
mata (batiniah)”.
Al-Quran menyebut ma‘âd sebagai ajang persinggahan abadi
umat manusia. Untuk berjumpa dengan ridhwan Allah, jalan yang
harus ditempuh adalah menentang hawa nafsu dan melangkah di
jalan Allah Swt, jalan ketakwaan. Al-Quran memandang manusia
sebagai musafir, hingga dirinya sampai di tujuan, yaitu berjumpa
Allah Swt. “Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesuatu)” (QS An-Najm [53]: 42). Seraya itu, Al-Quran menyerukan
dengan lantang dan ekspresif bahwa para musafir memerlukan bekal
untuk perjalanan panjang ini. Bekal dimaksud adalah ketakwaan
yang menjelma dalam sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang
dilarang serta mengerjakan segenap perintah dan kewajiban Ilahi.
“Dan berbekallah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”
(QS Al-Baqarah [2]: 197).
p:121
Agar di akhir perjalanannya tidak berhadapan dengan murka
Ilahi, juga tidak dicekam kekhawatiran mendapatkan azab yang,
“Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim [14]: 7), Al-
Quran pun menuntun manusia menuju ampunan dan keridhaan
Ilahi. Tuntunan itu sama sekali tidak dibayang-bayangi kekurangan
dan marabahaya apa pun. “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9). Siapakah
yang mampu mengemukakan rangkaian pengetahuan yang pada
hakikatnya berasal dari alam malakut ini? Adakah tuntunan terbaik
bagi umat selain wahyu Ilahi? Seluruh pengetahuan tersebut
merupakan manifestasi konkret dari: “Dan mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah [2]: 151), yang meliputi
totalitas kandungan Al-Quran. Secara keseluruhan, Al-Quran
membincangkan soal Tuhan, yaitu mabda’, ma‘âd, dan asmâ’ul husna.
Upaya terbesar Al-Quran adalah menarik perhatian manusia pada
pengetahuan dan mabda’ al-faydh (sumber emanasi). Dalam sebagian
besar ayatnya, Al-Quran membicarakan ihwal Allah Swt. Dalam pada
itu, kosakata “Allah” sebagai yang terindah dalam dunia ujaran,
paling banyak digunakan Al-Quran di berbagai tempat. Allah Swt
menjelma di tengah umat manusia dalam bentuk yang paling indah
sebagai kalam-Nya, Al-Quran. “Sesungguhnya Allah telah menjelma
untuk makhluk-Nya dalam kalam-Nya.”(1)
Bukankah kearifan puncak semacam ini merupakan mukjizat
kandungan dan ujaran Al-Quran yang menjadikannya sebagai kalam
terindah? Jika tidak demikian, siapa pun dipersilahkan menyusun
ujaran yang serupa dan selevel dengan salah satu ujaran Al-Quran!
Pengenalan ihwal dimensi eksistensial manusia berikut segenap
kebutuhannya mustahil dilakukan tanpa dukungan ajaran wahyu.
Individu yang hanya mengandalkan ikhtiar dan intelektualitasnya
p:122
semata, dipastikan tidak akan mampu menganalisis seluruh dimensi
eksistensial dan spiritual manusia. Termasuk memperoleh informasi
mendetail dan cermat seputar dimensi-dimensi psikisnya guna
memenuhi segala tuntutan kebutuhannya. Semakin kencang manusia
berusaha mengenal dirinya, semakin tersingkap dihadapannya
berbagai keajaiban eksistensialnya. Hingga pada satu titik, dengan
segala kelemahan dan ketidakberdayaannya, dia akan mengakui
bahwa manusia itu pada hakikatnya maujud yang tak dapat dikenali.
Sementara itu, yang mampu mengenal manusia hanyalah Tuhannya.
Ini sebagaimana Dia memuji diri-Nya seusai menciptakan manusia
dalam bentuknya yang paling indah, “Maka Mahasuci lah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al-Mukminun [23]: 14). Allah Yang
Mahatahu dan Mahabijak, mabda’ (sumber) kreasi insan, mengetahui
betul seluruh kandungan batin dan jiwa manusia. Dia benar-benar
mengetahui jalan mana yang semestinya ditempuh umat manusia
demi mencapai tujuan. Dalam Al-Quran, Dia mengemukakan
serangkaian prinsip utama dengan cara yang terbaik sehingga
manusia dapat memanfaatkan wawasan wahyu untuk mengenal
hakikat dirinya dan menentukan jalan yang harus ditempuh. Lalu,
dia pun bergerak ke tujuan dengan menapaki jalan yang telah
digariskan wahyu untuknya.
Dalam banyak kesempatan, Al-Quran mengemukakan dua unsur
penciptaan manusia. Ini mengingat eksistensi manusia terdiri dari
roh dan jasad. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga secara
eksistensial terkait dengan ihwal material dan spiritual. Dalam pada
itu, penciptaan manusia berasal dari dua unsur yang saling terkait;
unsur material dan jasmaniah di satu sisi, serta unsur spiritual di sisi
lain. Berdasarkan alasan inilah, Al-Quran menisbatkan asal-muasal
jasad manusia pada unsur air dan tanah liat. “Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”
p:123
(QS Al-Mukminun [23]: 12). Namun demikian, hakikat eksistensial
manusia berupa ruhnya berasal dari alam malakût, “Dan Aku telah
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Ku” (QS Al-Hijr [15]: 29).
Adanya dua unsur eksistensial dalam konteks penciptaan
manusia ini pada gilirannya meniscayakan munculnya dua
kecenderungan yang sejalan dengan masing-masing unsur tersebut.
Unsur malakûti memiliki kecenderungan pada asal-muasalnya
berupa alam malakût. Karena itu, segenap kecenderungan fitriah
manusia niscaya berorientasi dan bergerak menuju Allah Swt. Dalam
hal ini, kecenderungan fitrah yang tidak terbatas selalu mendorong
manusia untuk mengenal dan menjalin hubungan dengan sumber
penciptaan dirinya. “ Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu” (QS Ar-Rum [30]: 30). Sejak itulah, manusia tercipta
dengan fitrah pengenalan dan penghambaan kepada Allah Swt.
Sebaliknya, unsur material manusia juga memiliki kecenderungan
pada sumber eksistensialnya berupa alam mulk ( fisis) dan material.
Sebagaimana fitrah berorientasi ke alam malakût, karakter
material manusia cenderung pada kesesatan. Manusia menyadari
sepenuhnya dua kecenderungan tersebut dalam dirinya. “Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya” (QS As-Syams [91]: 7–8).
Maksud ungkapan “penyempurnaan jiwa” adalah bahwa manusia
mengetahui berbagai kecenderungan fitriah dan orientasi dasar
fisiknya. Kecenderungan fitriah senantiasa mengajak manusia ke arah
kesempurnaan dan kesucian, demi menjadikannya superior vis-à-vis
malaikat yang karenanya para malaikat bersujud di hadapannya.
Kecenderungan fitriah berorientasi pada cahaya, kejernihan, dan
cinta. Berkat kecenderungan ini pula, manusia memiliki potensi
untuk memahami realitas secara keseluruhan. “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam asma’ (hakikat-hakikat) seluruhnya” (QS Al-Baqarah [2]:
31). Orientasi fitrah hanyalah kesempurnaan—yang menjadikan
para malaikat bersujud: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’” (QS Al-Baqarah [2]: 34).
p:124
Dalam konteks amal kebajikan dan upaya menyucikan diri,
manusia mampu mencapai kedudukan tinggi. Sedemikian rupa,
sampai-sampai dia siap mengorbankan diri atau mendahulukan
kepentingan orang lain ketimbang dirinya sendiri. “Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)” (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Orang-orang semacam ini tidak hanya bersikap adil dan mengambil
haknya sendiri (sikap qana’ah), melainkan bahkan rela melepaskan
hak-haknya demi kepentingan orang lain, kendati mereka sendiri
sangat memerlukannya. Penyucian dan penguatan aspek fitriah
memiliki potensi untuk dikembangkan sedemikian rupa, sehingga
tidak terbatas pada lingkup yang sempit seperti ini. Dimensi
ketakwaan dan penyucian tidak berujung dan akan terus berlanjut
tanpa akhir hingga titik nihilnya keinginan terhadap sesuatu selain
Allah Swt dan tak ada lagi keinginan selain keinginan Ilahi.
Dan kalian tidak menghendaki, kecuali bila dikehendaki Allah (QS Al-
Insan [76]: 30).
Di lain pihak, dimensi material atau fisik manusia yang berhubungan
dengan watak bawaannya memiliki kecenderungan yang
juga tidak terbatas. Manusia bersifat kikir dan serakah. Dari segi
wataknya, manusia enggan mengulurkan tangan untuk memberi bantuan.
Dari segi kecenderungan alamiahnya, manusia selalu menuntut
lebih dan berlebihan, “Berlebih-lebihan telah melalaikan kamu” (QS
At-Takatsur [102]: 1). Kecenderungan untuk berlebih-lebihan telah
melalaikan kalian dari mengingat Allah Swt. “Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah
(dan tidak bersabar), dan apabila dia mendapat kebaikan dia amat kikir”
(QS Al-Ma’arij [70]: 19 – 21). “Dan manusia itu menurut tabiatnya
kikir” (QS An-Nisa’ [4]: 128).
p:125
Berdasarkan tabiat alamiahnya pula, manusia amat lalim dan
bodoh. “Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh” (QS Al-
Ahzab [33]: 72). Kelaliman dan kebodohannya juga tidak terbatas.
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena
dia melihat dirinya serba cukup” (QS Al-‘Alaq [96]: 6–7). Kelaliman
manusia mencapai puncaknya saat mengklaim: “Akulah tuhanmu
yang paling tinggi” (QS An-Nazi’at [79]: 24). Watak Firaunisme dan
keangkuhan dimiliki semua orang. Alhasil, semua manusia memiliki
kecenderungan alamiah tanpa batas hingga titik lâ ilâha illâ-Allâh
(Tiada tuhan selain aku), di mana kekuasaan dan otoritas hanyalah
“otoritasku” vis-à-vis lâ ilâha illâ-Allâh yang merupakan kecenderungan
fitriah. Kecenderungan dua arah ini tiada batas, karena: “Ada
dua kelompok orang rakus tak pernah kenyang, pencari ilmu dan pencari
dunia.”(1)
Dua kecenderungan yang bergejolak dalam diri manusia ini dituntun
dua faktor eksternal. Kecenderungan fitriah dituntun oleh
Allah Swt, para nabi, dan malaikat. Sementara kecenderungan
watak alamiah dituntun oleh setan. Pesan Allah Swt: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (QS As-Syams [91]: 9).
Adapun misi setan: “Dan sesungguhnya beruntunglah orang yang menang
pada hari ini” (QS Thaha [20]: 64), yang menganggap kemenangan
berupa dominasi dan hegemoni.
Risalah Allah Swt bertujuan menyeimbangkan keinginankeinginan
hawa nafsu: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Sementara misi setan justru menggelorakan tuntutan-tuntutan
hawa nafsu: “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini” (QS Ali ‘Imran [3]: 14). Risalah Allah Swt merupakan
seruan pada shirât mustaqîm: “Dan bahwa ini adalah jalan-Ku
yang
p:126
lurus, maka ikutilah dia” (QS Al-An’am [6]: 153). Sedangkan misi setan
adalah menutup jalan yang lurus itu dan menghalang-halanginya:
“Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau
yang lurus” (QS Al-A’raf [7]: 16). Tujuan dan ujung jalan Allah Swt
adalah kenikmatan dan surga; sementara jalan setan berakhir pada
kesengsaraan dan api neraka. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS An-Nazi’at [79]:
40–41). Adapun setan: “Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyalanyala”
(QS Fathir [35]: 6).
Inilah gambaran seputar roh dan jiwa, kecenderungan-kecenderungannya
yang saling bertentangan, jalan, jurang, dan takdir manusia
dalam perspektif Al-Quran. Sebagai kitab petunjuk dan cahaya, Al-
Quran menyediakan tuntunan secara tematik dalam semua bidang;
mengabarkan perihal mabda’ (asal-muasal) penciptaan, kecenderungankecenderungan,
garis-garis pedoman, dan takdir manusia, seraya
mengatakan: “(Al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia”
(QS Ali ‘Imran [3]: 138). Apakah rangkaian pengetahuan semacam ini
termasuk ilmu-ilmu kreasi manusia? Mampukah manusia mengenali
hakikat diri, kecenderungan, jalan, dan takdirnya tanpa bantuan
wahyu? Bukankah pengetahuan-pengetahuan tersebut berasal dari
wujud hakiki dan alam malakût sehingga menjadi manifestasi dari:
“Dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-
Baqarah [2]: 151). Tidakkah rangkaian pengetahuan ini menjadi pertanda
bahwa kandungan dan ujaran estetik Al-Quran merupakan
mukjizat?
Institusi keluarga merupakan basis pembentukan masyarakat.
Bila institusi ini memiliki karakter normatif, niscaya masyarakat
yang terbentuk darinya juga akan menjadi penjelmaan norma
p:127
norma. Manusia yang tidak mengenal norma keluarga tidak akan
pernah sukses melakukan perbaikan diri dan pendidikan. Kokohnya
nilai- nilai spiritual dan normatif institusi keluarga akan menciptakan
keberhasilan dalam mencapai tujuan dibentuknya keluarga.
Al-Quran memberikan banyak perhatian dan penghormatan pada
institusi keluarga. Bukan hanya terhadap dua pilar ragawi keluarga
yaitu suami istri, Al-Quran juga amat memperhatikan dua pilar
spiritual untuk memperkokoh pondasi dasar institusi keluarga yang
berfungsi mempererat hubungan kedua pilar ragawi. Dalam perspektif
Al-Quran, mengekspresikan rasa cinta antarsuami dan istri, serta
sikap memaafkan satu sama lain merupakan elemen dasar institusi
keluarga. Melalui kedua eleman dasar inilah, Al-Quran menambah
kekokohan institusi keluarga sedemikian rupa, sampai-sampai angin
topan problema sekalipun tidak akan mampu membuatnya bergeming
barang sejengkal. Bangunan rumah tangga seperti ini tidak akan
menyulut kekhawatiran. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang” (QS Ar-Rum [30]: 21). Pernikahan ditempuh
untuk menjamin ketenangan dan ketenteraman. Dengan cinta,
kasih sayang, dan sikap saling memaafkan, setiap pasangan suami
istri dapat meraih tujuan ini. Al-Quran menyebut pasangan suami
dan istri sebagai pakaian bagi pasangannya. “Mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqarah
[2]: 187). Sungguh kalimat pendek ini menciptakan mukjizat—yang
penjelasan tentangnya telah dikemukakan sebelumnya. Dalam
konteks pergaulan hidup keluarga, Al-Quran dalam kalimat pendek
mengungkapkan beberapa catatan penting: “Dan bergaullah dengan
mereka secara patut (makruf)” (QS An-Nisa’ [4]: 19). Dalam bergaul
dengan istri, jagalah sopan santun dan tata krama serta bersikaplah
manusiawi sebagaimana yang diridhai Allah Swt.
p:128
Terjaganya nilai-nilai tersebut akan menciptakan ketenteraman,
martabat, dan anak-anak yang saleh di tengah keluarga. Inilah
beberapa ajaran Al-Quran yang diorientasikan untuk mengokohkan
basis keluarga serta menjaga nilai-nilai dan norma-normanya. Menjalin
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, pergaulan yang baik
dan rasional, menjaga rahasia dan kekurangan, sikap memaafkan
kesalahan, menghindari hal-hal yang dapat menyulut malapetaka,
saling menghormati, serta kaidah-kaidah lain merupakan penjabaran
dari komposisi kalimat yang singkat, padat, dan memikat itu. Coba
kesampingkan dan tanggalkan nilai- nilai serta norma-norma
tersebut dari perspektif tentang keluarga. Perspektif minus wahyu
yang marak dewasa ini menganggap pasangan suami istri sematamata
dua maujud ragawi yang hidup berdampingan. Jelas, kondisi kehidupan
keluarga semacam ini niscaya kosong dari jalinan kasih
sayang.
Institusi keluarga berdasarkan perspektif tersebut yang marak
dewasa ini tidak menyinggung soal cinta dan sikap memaafkan.
Selain pula tidak mempermasalahkan pendidikan dan pembenahan
diri serta ketenangan dan ketenteraman. Akibatnya, keluarga yang
mengusung perspektif ini senantiasa diselimuti kekhawatiran,
kegundahan, dan keributan (antarsuami istri). Di lingkungan keluarga
di Barat dan berbagai belahan dunia pada hari ini, perbincangan seputar
undang-undang keluarga terasa kering dan gersang lantaran tidak
memberi ruang bagi tumbuhnya kasih sayang dan perasaan cinta.
Oleh karena itu, banyak keluarga di Barat yang belum sepenuhnya
terbentuk, terpaksa harus bubar dan berantakan. Juga, banyak keluarga
pada masa kini yang sama sekali tidak memperhatikan, masalah
pendidikan. Mereka lebih suka menitipkan anaknya di tempat pengasuhan
anak. Tempat-tempat semacam itu pun mengemban tugas
untuk menjaga anak-anak [titipan]. Akibatnya, kehidupan manusia
berawal di tempat penitipan dan pengasuhan anak, lalu diakhiri di
panti jompo. Tidak tersedia ruang
p:129
bagi mekarnya cinta orang tua terhadap anak, atau cinta anak pada
orang tua! Inilah produk keilmuan manusia yang cenderung dibesarbesarkan.
Ini pula kehidupan ragawi dan fisikawi yang sekarang
justru sangat diagung-agungkan.
Lewat perbandingan sekilas antara ajaran Al-Quran dengan
produk dunia yang konon beradab, terlihat jelas bahwa ajaran Al-
Quran dalam bidang kehidupan keluarga (sebagaimana dalam
bidang-bidang lainnya) berasal dari alam malakût. Tanpa bantuan
wahyu, manusia tak akan pernah mampu meraih dan mencapai
kondisi sebagaimana yang diajarkan Al-Quran tersebut. Inilah
mukjizat kandungan Al-Quran yang wawasannya di berbagai bidang
melampaui kemampuan manusia. Siapa pun yang tidak meyakini
hal ini, dipersilahkan untuk menciptakan satu nilai dan norma yang
identik dengan nilai- nilai dan norma-norma yang diajarkan Al-
Quran.
Selain menyuguhkan pandangan khas ihwal individu manusia,
Al-Quran juga memaparkan pandangannya tentang masyarakat
berikut segenap tradisinya.
Al-Quran mengkhususkan sebagian besar ayatnya untuk mengulas
sejarah dan takdir yang menimpa kalangan pemimpin dan umat
terdahulu. Namun Al-Quran bukan bermaksud sekadar bernarasi.
Apa yang dikemukakan Al-Quran dimaksudkan untuk memotivasi,
mengungkap sebab-sebab kejadian, sekaligus memberi nasihat dan
peringatan seputar akibat dan takdir yang harus mereka alami.
Mengingat statusnya sebagai kitab pedoman dan tuntunan, Al-
Quran berkewajiban untuk menjelaskan berbagai perbuatan berikut
akibatnya berupa takdir yang bakal dialami. Dalam pada itu, Al-Quran
memandang masyarakat sebagai sistem tata perilaku dan undangundang,
sehingga suatu perbuatan, terlebih yang berskala
p:130
sosial, meniscayakan takdir tertentu. Dalam mengungkapkan nasib
yang dialami Bani Israil dalam skema hubungan nasib generasi
mendatang dengan nasib generasi sebelumnya, Al-Quran secara
filosofis menjelaskan kesatuan dan kesamaan takdir akibat kesamaan
perilaku atau perbuatan. “ Hati mereka serupa” (QS Al-Baqarah [2]:
118). Keputusan-keputusan mereka serupa dan sebangun. Inilah
penjelasan seputar pelaksanaan undang-undang dalam kehidupan
bermasyarakat; suatu penjelasan yang terkait dengan sunnah Ilahi
yang tidak mengalami perubahan apa pun. “Sunnah Allah yang berlaku
atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali
tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS Al-Ahzab [33]:
62). Setiap perilaku atau perbuatan niscaya mengakibatkan nasib
tertentu yang sebangun. Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara
generasi terdahulu dan yang akan datang.
Al-Quran meyakini kemenangan haq dan para pengikutnya visà-
vis kebatilan beserta para pengusungnya sebagai suatu kepastian
dan sunnah Ilahi (sunnatullah) yang tidak akan berubah.
Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu
yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil
itu lenyap (QS Al-Anbiya’ [21]: 18).
Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada
harganya (QS Ar-Ra’d [13]: 17).
Maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan
mereka sehancur-hancurnya (QS Saba’ [34]: 19).
Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”
(QS Al-Mujadalah [58]: 21).
Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS
Ash-Shaaffat [37]: 173).
p:131
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang
yang beriman (QS Ghafir [40]: 51).
Dari rangkaian ayat di atas, dapat kita pahami bahwa sekalipun
kehendak Ilahi berpihak pada kemenangan haq dan para pengikutnya
vis-à-vis kebatilan, namun kemenangan ini tidak diberikan secara
cuma-cuma. Al-Quran menegaskan bahwa umat Islam bakal meraih
keagungan asalkan mau mengikuti serangkaian metode yang
dikemukakannya.
Al-Quran menyeru umat Islam pada keimanan. Berkat keimanan,
kemenangan niscaya dapat diraih. Keimanan juga meniscayakan
datangnya pertolongan Ilahi. “Sesungguhnya Kami menolong rasulrasul
Kami dan orang-orang yang beriman” (QS Ghafir [40]: 51). Dan
nikmat Ilahi hanya turun karena adanya keimanan.
“Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
( agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air
(QS Jin [72 ]: 16). Jika melangkah di
jalan Allah Swt yang lurus, niscaya kalian akan mereguk berbagai
kenikmatan khusus Ilahi. Sunnatullah menetapkan, kemenangan
umat Islam hanya mungkin lewat persatuan. Bila bersatu kesatuan,
memiliki arah yang sama, serta berserah diri secara total kepada Allah
Swt, niscaya umat Islam akan meraih kebebasan dan kemuliaan.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah” (QS Ali ‘Imran
[3]: 103). Bersatu dan bangunlah solidaritas di antara kalian semua
seraya berpegang teguhlah pada urwatul wutsqa Ilahi (buhul tali
Allah yang amat kuat). Umat Islam harus bersatu dan seiring sejalan
seumpama dua saudara yang selalu bersama dalam suka maupun
duka: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (QS Al-
Hujurat [49]: 10). Bila mereka saling bergandeng tangan dan bersatu
padu melawan musuh: “Dan mereka (seperti) satu tangan menghadapi
yang segar ( rezek i yang banyak)”
p:132
orang-orang selain mereka,”(1) niscaya pertolongan Ilahi akan meliputi
mereka. Karena: “Tangan Allah bersama jama’ah.”(2) Maksudnya, tangan
pertolongan dan kekuasaan Allah Swt inheren dalam persatuan
[umat Islam].
Menurut sunnatullah, kemenangan hanyalah ilusi jika kekuatan
tidak diorganisir dengan baik. Perpecahan dan fanatisme kelompok
yang bertentangan dengan sunnatullah dan keharusan sosial, akan
mengakibatkan harapan dan impian bersama seputar kemuliaan hidup
tidak akan pernah terwujud. Kehendak dan usaha kolektif mampu
mengubah takdir. Inilah sunnatullah yang menetapkan terjadinya
peristiwa sosial dan perubahan takdir berdasarkan kehendak kolektif.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra’d
[13]: 11). “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri” (QS Al-Anfal [8]: 53). Merupakan sebuah kekeliruan besar
jika setiap orang membayangkan dirinya terpisah dari umat Islam.
Masyarakat Islami dihuni individu-individu yang saling
berhubungan dan berkaitan satu sama lain. “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu)” (QS Ali ‘Imran [3]: 200).(3)
Semua individu harus seiring sejalan sambil bergandengan tangan
dan bersatu padu dalam melangkah menuju arah yang sama. Sebab,
takdir umat manusia saling berhubungan satu sama lain.
p:133
Ujian dan tantangan termasuk sunnatullah yang berlaku di
tengah kehidupan sosial. Selama umat Islam tidak menghadapi
kesulitan, dan selama keimanan serta kesabaran mereka belum diuji,
pertolongan dan kemenangan juga tidak akan direalisasikan. Umat
yang mengharap pertolongan dan kemenangan dalam melawan
kesulitan, namun hanya berdiam diri di rumah, niscaya tidak akan
pernah meraih apa pun kecuali kenistaan.
Kemuliaan dan keagungan tidak dapat diperoleh dengan
mencegat kafilah dagang; melainkan diraih dengan cara melawan
kekuatan militer dan bersabar menghadapinya. Kemuliaan dan
kekuatan akan dilatih dengan menghadapi kelompok yang punya
kekuatan. “Dan kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai
kekuatan senjatalah yang untukmu” (QS Al-Anfal [8]: 7). Dalam
peristiwa perang Badr, kalian ingin berhadapan dengan kelompok
tidak bersenjata yang membawa barang dagangan agar memperoleh
harta rampasan perang dengan mudah. Namun Allah Swt
memperhadapkan kalian dengan sekelompok kekuatan bersenjata
dari kaum Quraisy (dalam perang Badr), agar lewat peperangan
berdarah itu, para pemimpin kaum kafir dapat kalian enyahkan;
agar ketajaman pedang-pedang kalian menyabet dan merobohkan
para pembesar kafir yang merintangi jalan Allah; agar orang-orang
semacam Abu Jahal dan Syaibah dan Utbah sedemikian terhina
sehingga api dendam atas kematian mereka merampas ketenangan
Abu Sufyan dan antek-anteknya.
Kaum Muslim menyerang mereka (kaum kafir) dengan cara yang
dahsyat sehingga membuat kalangan pemuka kaum kafir Quraisy
mengalami trauma berat. “Dan Allah menghendaki untuk membenarkan
yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,
agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)
walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”
(QS Al-Anfal [8]: 7–8). Karena, kaum kafir dan pembangkang hanya
p:134
akan lenyap dengan sabetan pedang tajam (peperangan). Pedanglah
yang akan mengusir para penjajah tanah Quds, bukan ucapan
memohon, bukan pula lewat meja perundingan dan janji-janji palsu
perdamaian. Inilah sunnatullah dan tidak ada perubahan di
dalamnya. Umat Islam harus diuji di tengah serangkaian peristiwa,
seraya mengembang banyak kesulitan agar mampu meraih cita-cita
dan martabatnya. Karena, kemuliaan dan kewibawaan masyarakat
terletak pada perjuangan melawan kesulitan; sementara kemenangan
dan keberhasilan diraih lewat ujian. “Jika kamu (pada perang Uhud)
mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang
Badar) mendapat luka yang serupa” (QS Ali ‘Imran [3]: 140).
Perlu diketahui, kekuatan dan kekuasaan dipergilirkan dari satu
tangan ke tangan lain berdasarkan sunnatullah. “Dan masa (kejayaan
dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan orang-orang kafir)” (QS Ali ‘Imran [3]: 140). Dengan
begitu, kalangan mukmin sejati dipisahkan dari orang-orang yang
hanya mengklaim dirinya beriman (padahal tidak). Agama Allah
akan berkuasa di tengah masyarakat, dan pada gilirannya, umat
Islam mampu menentukan nasibnya sendiri. Dengan syarat, mereka
mengikuti rangkaian ketetapan dan sunah ini; dan mereka pun akan
meraup hasil yang diharapkan. Ketidakpedulian terhadap semua itu
akan membuahkan kehinaan, perpecahan, dan ketundukan di bawah
telapak kaki pihak lain. Dalam pada itu, sunnatullah menetapkan
untuk memberi pertolongan pada kaum Mukmin yang terlibat dan
berkiprah secara aktif di kancah politik, sosial, dan peperangan. Bukan
Mukmin yang sibuk mencari kenyamanan minus penderitaan. Bukan
pula Mukmin yang lalai, sudi dinistakan, atau hanya menyandang
atribut beriman namun pada hakikatnya tidak.
Agama Allah tegak berkat keberkahan dari upaya pembelaan
kaum mujahidin (para pejuang di jalan Allah). Bila tidak ada pedang
(perjuangan yang dikobarkan) para pembela kebenaran ini, niscaya
p:135
para pemimpin kaum kafir tidak hanya leluasa merusak masjidmasjid
yang menjadi basis kemuliaan dan ibadah Islam. Melainkan
bahkan akan meruntuhkan biara-biara atau pusat-pusat doa dan
munajat persis di depan pelupuk mata para penghuninya. “Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerejagereja,
rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS Al-Haj [22]: 40). Bila tidak
ada para pembela haq dan Allah Swt tidak mencegah kaum mufsid
(perusak) dan kafir melalui tangan-tangan para pembela agama,
niscaya biara-biara, gereja-gereja, masjid-masjid, dan seluruh pusat
peribadahan akan dihancurkan. Di mana pun tercium aroma agama,
itu tak lain berkat ketangguhan pedang para pembela agama.
Agama tidak tegak dengan sendirinya. Senjata agama di hadapan
kaum imperialis adalah pedang nan tajam. Nabi Muhammad Saw,
nabi cahaya dan rahmat, juga menegaskan prinsip dasar bahwa
kebesaran umat Islam diraih berkat pedang-pedang para pembela
agama yang gigih bertempur. “Sesungguhnya Allah memuliakan umatku
dengan kaki kuda-kuda perang dan tombak-tombak runcing.”(1) Rasulullah
Saw menyanjung [peran dan fungsi] pedang dengan pujian tiada
tara. Pedang kemenangan yang memberantas kekafiran sampai
ke akar-akarnya sekaligus mengokohkan pondasi agama bernilai
sedemikian agung tiada banding. “Sesungguhnya satu pukulan pedang
Ali (pada perang Khandaq) lebih baik dari ibadah seluruh jin dan manusia.”(2)
Sunnatullah menetapkan kemenangan umat Islam. Khususnya saat
bendera kebenaran berkibar di atas pundak dan pedang Dzul Fiqar
menari-nari di tengah kecamuk perang. Kemenangan mustahil
diperoleh oleh Muslim yang sudi dinistakan dan bersekutu dengan
kaum zionis Yahudi.
p:136
Inilah beberapa sunnatullah dalam tatanan sosial kemasyarakatan
sebagaimana dijelaskan Al-Quran—tentu saja penjelasan terhadap
seluruh sunnah yang maktub di dalamnya memerlukan buku
tersendiri. Beberapa gambaran tersebut merupakan sikap Al-Quran
dalam mengungkapkan metodologi dan keajegan sunnah-sunnah
Ilahi.
Inilah contoh tuntunan Al-Quran berkenaan dengan kehidupan
bermasyarakat. Ini pula pesan-pesan wahyu yang tidak dapat
ditemukan padanannya. Inilah manifestasi dari ayat: “Dan
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah
[2]: 151). Ini pula contoh aspek mukjizat dari kandungan dan ujaran
estetik Al-Quran.
Salah satu keunggulan khas Al-Quran dibandingkan kitabkitab
samawi sebelumnya adalah kemampuannya menyodorkan
program komprehensif dan paripurna yang meliputi berbagai
dimensi kebutuhan manusia. Berdasarkan perspektif ini, Al-
Quran tidak terbatas secara spasio-temporal. Dengan kata lain,
Al-Quran mengusung misi dan risalah universal. Universalisme
dan globalisme risalah Al-Quran tidak hanya terbatas pada ayatayat
yang mengklaim seperti itu. Umpama, ayat yang mengatakan:
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya” (QS Saba’ [34]: 28). Atau: “Muhammad itu sekalikali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi” (QS Al-Ahzab [33]: 40).
Ayat-ayat tersebut dengan sendirinya melontarkan klaim soal
universalisme Al-Quran. Namun, yang terpenting adalah bahwa
kandungan Al-Quran melegitimasi klaim ini. Artinya, kandungan
dan isi Al-Quran, dari segi pandangan dunia ( worldview) dan
ideologi, seyogianya memiliki kapasitas untuk mengatur dunia.
Jelas, agama yang mengklaim seperti ini hanyalah agama yang ikut
p:137
andil dan berpartisipasi dalam segenap urusan politik dan hubungan
internasional. Karena, pengelolaan yang valid didasarkan pada
hubungan yang dijalin dengan selainnya. Sebaliknya, agama dan
ideologi yang mengabaikan pentingnya hubungan dengan selainnya
akan terkucil dari khalayak internasional. Selain pula tidak mampu
memberlakukan aturan [sosial] yang legitim di kawasannya sendiri–
terlebih untuk kepentingan masyarakat internasional. Kehidupan
sosial manusia bersifat interaktif. Dalam hal ini, jika interaksi sosial
tidak dikelola dengan cara benar, niscaya tak akan pernah tercipta
sebuah tatanan universal.
Klaim Islam sebagai pembawa risalah universal dapat dibenarkan
bila mampu menjalin hubungan dengan berbagai kelompok
masyarakat, bangsa, dan negara. Karena, dalam masyarakat Islami,
tidak semua warganya beragama Islam (Muslim) atau penduduk
dunia tidak seluruhnya memeluk Islam. Dalam kehidupan
dunia, selalu ada isme dan keyakinan lain, seperti syirik dan Ahlul
Kitab. Bila sebuah agama mengklaim mampu mengatur dunia,
dirinya harus mampu menjelaskan posisi dan sikapnya di hadapan
berbagai keyakinan dan kelompok lain. Karena, sama sekali tidak
berdasar bila sebuah agama mengklaim seperti itu namun bersikap
ekstrim dan eksklusif, yakni memutus hubungan dengan berbagai
keyakinan dan kelompok lain.
Al-Quran memiliki pengetahuan sahih ihwal nilai-nilai Ilahi
dan manusiawi. Termasuk pengetahuan mendetail seputar mentalitas
berbagai kelompok dan aliran keyakinan. Sekaitan dengan
dunia politik dan hubungan antarbangsa, Al-Quran menyuguhkan
prinsip dasar dan strategi yang permanen. Ini tentu saja merupakan
aspek mukjizat dari kandungan Al-Quran yang menyusun strategi
dan aturan prinsipil berdasarkan pemahaman komprehensif terhadap
realitas dan seluruh norma sosial.
Di samping hak-hak sosial dan politik, masyarakat Islam juga
mengakui hak-hak manusia dari segi kemanusiaannya—apa pun
p:138
latar agama dan aliran keyakinan yang dianutnya. seraya pula
menghormati hak-hak tersebut. Menciptakan hubungan yang
harmonis sesama manusia, bersikap dan bergaul dengan cara
baik, saling menghormati, serta memegang teguh kesepakatan dan
perjanjian internasional merupakan beberapa prinsip dan strategi
mendasar Islam.
Menjalin hubungan, saling berinteraksi, dan bersikap rasional
terhadap sesama merupakan pondasi yang mendasari politik Islam.
Al-Quran mengungkapkan posisi dan sikapnya yang tegas dan konsisten
dalam satu kalimat: “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia (QS Al-Baqarah [2]: 83).” Bersikap baiklah terhadap sesama
manusia. Hormatilah hak asasi sesama manusia dalam konteks
hubungan sosial dan politik tanpa memandang agama dan aliran
keyakinan yang dianutnya. Prinsip dasar ini dijelaskan Imam Ali
bin Abi Thalib as berkenaan dengan kasus wali dan hakim Islami,
“Tumbuhkan kasih sayang terhadap rakyat di hatimu… karena mereka itu
adalah salah satu dari dua jenis; saudaramu dalam agama atau sesamamu
dalam penciptaan.”(1) Karenanya, hak asasi mereka harus dihormati.
Beliau as juga mengatakan, “Dan berlaku adillah kepada rakyat.”(2)
Salah satu pandangan konsisten Al-Quran dalam berhadapan
dengan orang lain adalah menghormati perjanjian, dan kesepakatan.
Al-Quran menghormati konvensi dalam berbagai bidang kehidupan
serta memperlakukannya sebagai sebuah nilai dan hak publik.
Bahkan, kendati kesepakatan itu dibuat dengan pihak musuh
sekalipun, Al-Quran tidak mengizinkan untuk membatalkannya
p:139
secara sepihak. “Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabnya” (QS Al-Isra’ [17]: 34). Dalam kasus musuh [Islam], Al-
Quran menyatakan: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu
seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang
yang bertakwa” (QS Al-Taubah [9]: 4). Instruksi ini mengharuskan
kaum Muslim untuk komit terhadap perjanjian yang dibuat dengan
kaum musyrik yang jelas-jelas memendam kedengkian terhadap
Islam dan kaum Muslim. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al-Maidah [5]: 82).
Terhadap musuh semacam ini pun, perjanjian dan hak asasi manusia
tetap harus dihormati —sebagaimana keharusan menghormati isi
perjanjian politik dan militer [dengan pihak kawan].
Menegakkan keadilan di tengah masyarakat menjadi prinsip
mendasar lainnya yang memainkan peran kunci dalam interaksi
sosial. Keadilan merupakan modal dan sumber tegaknya masyarakat
manusiawi serta kelanggengan suatu pemerintahan.
Al-Quran benar-benar menjaga prinsip mendasar ini dan
melarang keras, dalam kondisi apa pun, untuk diabaikan. Ancaman
terhadap keadilan terdiri dari dua hal. Pertama, dorongan mementingkan
atau mengambil manfaat untuk diri sendiri (egosentrisme)
atau orang lain yang memiliki kedekatan (nepotisme), atau
motivasi pribadi lainnya. Kedua, sikap memusuhi dan membenci
pihak lain. Inilah dua faktor umum yang dapat menjadikan seseorang
melawan keadilan. Al-Quran mengisyaratkan masing-masing
kasus tersebut: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun
p:140
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu” (QS An-
Nisa’ [4]: 135). Kecenderungan memuaskan kepentingan pribadi
dan orang dekat jangan sampai menyebabkan kita keluar dari jalur
keadilan. Pasalnya, kepentingan pribadi, orang dekat, atau temanteman
merupakan alasan yang paling kuat untuk menistakan
keadilan; dan inilah yang sangat dilarang Al-Quran.
Adapun alasan kedua berupa sikap bermusuhan cenderung mendorong
seseorang mudah mengabaikan hak-hak orang lain, yang berarti
pula menista keadilan. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-
Maidah [5]: 8). Lantas, bagaimana kita menjaga diri agar tetap bersikap
adil?
Tidak hanya keadilan, Al-Quran juga menganjurkan untuk
berbuat baik terhadap sesama, termasuk orang-orang non-Muslim.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu (maksudnya adalah orang-orang kafir).
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS Al-
Mumtahanah [60]: 7).
Beberapa prinsip mendasar ini (baik dalam konteks pergaulan,
perjanjian, keadilan, berbuat baik) harus senantiasa diperhatikan
dan dipegang teguh dalam berinteraksi sosial dengan sesama.
Dalam hal ini, keharusan untuk berbuat baik dalam interaksi
sosial merupakan prinsip yang bersifat umum. Sementara ketiga
prinsip mendasar lainnya merupakan strategi Al-Quran dalam
interaksi politik. Pasalnya, posisi dan sikap Al-Quran diorientasikan
p:141
untuk menciptakan perdamaian, ketenteraman, serta keterjagaan
prinsip mendasar “berbuat baik dalam interaksi sosial”. Dengan
mendasarkan prinsipnya pada “penghormatan terhadap hak asasi
manusia”, universalisme risalah Al-Quran menjadi jelas dan terbukti
dengan sendirinya, Dan agama seperti ini dipastikan bakal mampu
mengatur dunia. Pasalnya, dengan mengusung serangkaian prinsip
mendasar ini, agama tersebut mampu mengakomodasi seluruh
kelompok dalam masyarakat di berbagai belahan dunia yang
berbeda-beda dari segi ide dan agama.
Menjalin hubungan dengan berbagai kelompok, ras, dan bangsa
merupakan prinsip mendasar dan konsisten yang terbentuk dari
sikap saling memahami, toleransi, dan hidup berdampingan secara
rukun. Mengingat ideologi dan kelompok lain tidak sama dalam
bersikap, begitu pula dengan sikap Al-Quran dalam menghadapi
mereka. Karena itu, di samping prinsip-prinsip mendasar yang
telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula aturan lain yang harus
diperhatikan guna menciptakan hubungan yang harmonis. Dalam
hal ini, Islam dan Al-Quran mengemukakan aturan yang didasarkan
pada perbedaan ideologi dan keyakinan masing-masing.
Dalam konteks masyarakat yang Islami, terdapat serangkaian
tolok ukur dan prinsip mendasar seperti iman, kesabaran, dan
ketegaran. Namun, berkenaan dengan kelompok di luar Islam, sikap
dan posisi yang diambil Al-Quran dilandasi sikap dan posisi pihak
lain yang berbeda. Al-Quran mengklasifikasi individu non-Muslim
dalam dua kategori: Musyrik dan Ahlul Kitab. Tentu saja kedua
kelompok ini berbeda kadar permusuhan dan kebenciannya vis-àvis
Islam. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’” (QS
Al-Ma’idah [5]: 82). Dapat saksikan, sejauhmana perbedaan di antara
p:142
kedua kelompok Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tersebut. Satu
kelompok terdiri dari: “orang-orang yang paling keras permusuhannya.”
Sementara yang lain: “yang paling dekat persabahatannya.” Sama
dengannya, kaum musyrik juga diklasifikasi dalam dua kategori:
kelompok yang membangkang dan tidak membangkang.
Interaksi sosial politik Al-Quran dengan kelompok-kelompok
ini didasarkan pada sikap dan posisi berbeda yang diambil mereka.
Beberapa prinsip harus benar-benar diperhatikan agar terjalin
interaksi dengan pihak lain sekaligus menjadikannya cenderung
dan terpikat pada kebenaran. Di samping itu, Al-Quran senantiasa
mengingatkan bahwa jalinan interaksi dengan pihak orang asing
jangan sampai berdampak negatif sehingga mengancam identitas
masyarakat dan umat Islam—sebagaimana akan kami jelaskan
kemudian dalam pembahasan seputar prinsip-prinsip dan strategi
mendasar yang berkenaan dengannya.
Menjalin hubungan atau berinteraksi dengan kaum kafir, bahkan
Ahlul Kitab, harus sedemikian rupa sehingga tidak sampai terjalin
persahabatan dengan mereka. Membangun hubungan berbeda dengan
saling berkasih sayang dan menjalin persahabatan. Kesepakatan untuk
bersahabat dapat menimbulkan bahaya, di mana salah satu
pihak dapat terpengaruh perangai atau kebiasaan pihak lain secara
mendalam.
Sekalipun meyakini jalinan hubungan dan pergaulan antarmanusia
sebagai prinsip mendasar, namun pada saat yang sama, Al-Quran
melarang menyepakati perjanjian persahabatan dengan kaum kafir,
terlebih jika interaksi itu mengarah kepada terjalinnya persahabatan
dengan mereka. Pasalnya, hal ini dapat membahayakan masyarakat
Islami dengan pengaruh kekafiran mereka. “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
wali-wali (teman-teman setia) yang kamu sampaikan
p:143
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang” (QS
Al-Mumtahanah [60]: 1). Ayat ini melarang keras kaum Mukmin
menjalin persahabatan dengan kaum kafir. Dan, jika kata wali
dimaknai sebagai kepemimpinan, maka maknanya menjadi tidak
dibolehkan menerima wilayah (kepemimpinan) orang-orang kafir.
Bila menyepakati perjanjian persahabatan merupakan sesuatu
yang terlarang, demikian pula dengan menerima kekuasaan dan
kepemimpinan orang-orang kafir. Oleh karena itu, dalam menjalin
hubungan dengan orang-orang kafir, khususnya kalangan pembangkang
yang keras kepala, tidak dibolehkan menerima wilayah
mereka. Tidak selayaknya mereka menjadi pengambil keputusan
dalam urusan kaum Muslim.
Dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik
kaum Muslim dilarang berada di bawah kuasa orang-orang kafir.
Kiranya cukup jelas, petaka apa saja yang bakal terjadi akibat menerima
kekuasaan mereka. Kekuasaan orang-orang kafir tak lain dari
kuasa kekafiran dan kerusakan yang akan melucuti identitas hakiki
masyarakat Islami, seraya menjadikannya senafas dan seagama dengan
mereka. “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai
musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti-(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir (QS Al-
Mumtahanah [60]: 2).” Kemurtadan dan memeluk agama mereka
merupakan akibat final dari menerima wilayah dan kepemimpinan
kaum kafir. Dengan memperhatikan ancaman ini, Al-Quran secara
gamblang dan universal menjelaskan sikap dan posisinya.
Dengan alasan apa pun, Al-Quran tidak membolehkan masyarakat
Islam menerima secuil pun kekuasaan kaum kafir. “Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
yang beriman” (QS An-Nisa’ [4]: 141). Inilah prinsip mendasar
yang bersifat universal serta meliputi seluruh
p:144
bidang keyakinan, budaya, ekonomi, politik, sosial, dan hak asasi
manusia. Mempertahankan prinsip mendasar ini berperan penting
dalam melindungi masyarakat Islam serta mempertahankan identitas
keislaman. Dan, kalau pun terpaksa harus menjalin hubungan
dengan pihak kafir, maka seluruh prinsip mendasar tersebut harus
dijunjung tinggi.
Menjaga rahasia merupakan prinsip mendasar lainnya yang
menjadi fokus perhatian Al-Quran dalam konteks interaksi
sosial politik. Demi mempertahankan identitas dan jatidirinya,
masyarakat Islami harus bersikap ekstra hati-hati sekaitan dengan
rahasia-rahasianya. Tak satu pun pihak luar yang dapat dibiarkan
menyusup ke tubuh masyarakat Islami dan pusat-pusat pengambilan
keputusannya. Karena, bila pihak musuh sampai berhasil menyusup
ke pusat-pusat pengambilan keputusan dan menyerap berbagai
informasi rahasia, niscaya masyarakat Islami bakal terancam dan
mudah ditaklukan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu” (QS Ali ‘Imran [3]:
118). Dengan kata lain, janganlah menjadikan orang-orang asing dan
di luar kaum Muslim sebagai kepercayaan dan tempat menyimpan
rahasia. Karena, mereka tidak akan sungkan untuk menciptakan
kerusakan di tengah kaum Muslim. Dengan mengetahui rahasiarahasia
kaum Muslim, pihak musuh akan merepotkan mereka
sekaligus menciptakan kesulitan yang sangat besar.
Prinsip mendasar lainnya dalam konteks interaksi sosial politik
dengan pihak eksternal adalah senantiasa mengasah kecerdasan
p:145
dan kepekaan terhadap situasi dan kondisi, serta pengambilan
keputusan, politik di berbagai belahan dunia.
Al-Quran mengingatkan masyarakat Islam agar waspada terhadap
gerakan-gerakan politik dan keputusan pihak asing, terutama di bidang
militer, agar tidak sampai terkecoh. Para pejabat publik dan
pengelola administratif masyarakat Islami tidak boleh merasa aman dari
bahaya atau ancaman musuh dan orang-orang asing. Mereka harus
selalu membuka mata lebar-lebar dan bersikap waspada terhadap
gerak-gerik musuh. Tentunya hal ini hanya mungkin terwujud bila
mereka mengetahui dinamika politik, strategi, dan agenda-agenda
musuh. Dengan begitu, mereka dapat senantiasa siap siaga dan
menyusun pertahanan demi menghadapi kekuatan musuh. “Dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata” (QS An-Nisa’
[4]: 102). Hendaknya selalu siaga dan bersikap waspada vis-à-vis
pihak musuh. Karena, kaum kafir menanti-nanti kelengahan kalian.
Mereka menunggu kalian lengah dalam hal persiapan militer,
pertahanan, dan ekonomi. Saat itulah mereka akan menyerang dari
segala arah dengan sekonyong-konyong serta menghancurkan kalian.
“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan
harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus” (QS An-
Nisa’ [4]: 102).
Dapat disaksikan, bagaimana Al-Quran menjelaskan mentalitas
dan strategi yang dirancang musuh. Di ranah politik, Al-Quran
tampil sebagai penerang, penunjuk jalan ( hidayah), dan penuntun.
Karenanya, prinsip: “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia (QS
Ali ‘Imran [3]: 138),” tampak lebih jelas dalam sikap dan posisi ini.
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9). Ringkasnya, dapat dikatakan
bahwa di semua ranah dan realitas konkret, Al-Quran memberikan
bimbingan yang tak tertandingi. Pengambilan sikap dan keputusan
Al-Quran dalam menghadapi kaum kafir yang bersikap memusuhi
benar-benar berbeda.
p:146
Berkenaan dengan relasi politik, Al-Quran membedakan
kaum kafir pembangkang dan kaum musyrik keras kepala dengan
selainnya. Oleh karena itu, dalam kasus orang-orang selain mereka,
prinsip dasar yang diusung adalah pergaulan yang baik, perdamaian,
dan saling menjalin kontak. Sementara sikap yang diambil sekaitan
dengan kaum kafir pembangkang justru sangat keras. Tentu saja
ini bukan sikap mengabaikan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.
Justru demi menghidupkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, Al-
Quran harus bersikap tegas terhadap mereka sekaligus memutuskan
hubungan. Alasan Al-Quran sangat jelas; lantaran penentangan dan
kesombongan mereka di hadapan haq serta keinginan memerangi
para pengusung kebenaran, sikap keras dan keputusan tegas ini
mau tak mau harus diambil. Berkenaan dengan masalah ini, Al-
Quran menjelaskan sikapnya—bahkan bersifat kasuistik, partikular,
dan strategis. Seiring menjelaskan mentalitas kaum kafir penentang,
terutama kaum Yahudi, Zionis, dan imperialis dunia, Al-Quran
mendeklarasikan sikap keras dan tegas vis-à-vis mereka. Dalam
konteks ini pun, Al-Quran menguraikan strategi musuh seraya
memberikan pedoman soal bagaimana harus menghadapi mereka.
Berikut adalah beberapa pokok pembahasan Al-Quran yang akan
disinggung secara ringkas.
Salah satu ambisi dan rencana kaum kafir pembangkang dan
kalangan imperialis dunia adalah memerangi dan memusuhi Islam
dan kaum Muslim secara kontinyu. Mereka tidak segan-segan
menggunakan setiap cara dan kesempatan untuk menyulut api
peperangan. Kalau pun pada satu momen, api peperangan tidak disulut
pihak musuh, itu bukan berarti mereka menanggalkan sikap
permusuhannya. Melainkan lebih dikarenakan mereka gagal dan
mengalami kekalahan. Silahkan simak tuntunan Al-Quran yang
mengandungi aspek mukjizat ini:
p:147
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya
mereka sanggup” (QS Al-Baqarah [2]: 217).
Dalam menguraikan prinsip mendasar lainnya seputar keharusan
mengenali musuh yang membangkang, terutama kaum Zionis, Al-
Quran juga mengungkapkan berbagai konspirasi mereka melawan
Islam dan umat Islam. Mereka dan kaum imperialis senantiasa berkonspirasi
melawan kemuliaan dan keagungan umat Islam dengan cara
menyulut perpecahan dan merusak persatuan umat Islam. Mereka
berambisi untuk mencabik-cabik dan mencincang kaum Muslim agar
mudah dilahap. Mereka selalu berusaha mengobarkan api fitnah
dan pertengkaran di antara negara-negara Islam dan kaum Muslim.
Inilah fakta yang terpampang di etalase sejarah, khususnya dewasa
ini.
Dalam menjelaskan kebusukan ini, Al-Quran menyatakan: “Dan
kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka”
(QS Al-Maidah [5]: 13). Kalian senantiasa mengetahui berbagai
pengkhianatan dan rencana busuk Israel dan kaum Zionis Yahudi
melawan kaum Muslim. Mereka selalu melancarkan konspirasi
melawan umat Islam.
Al-Quran memaparkan secara cermat dan gamblang soal
merumuskan strategi politik melawan musuh seraya menyuguhkan
contoh kasusnya. Al-Quran mengungkap sejumlah kasus
pengkhianatan kaum kafir, terutama kaum Zionis Yahudi, seraya
menyebut mereka “audiens kebohongan” dan mata-mata. “Dan (juga)
di antara orang-orang Yahudi itu amat suka mendengar (berita-berita)
bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain” (QS
Al-Maidah [5]: 41). Sebagian kaum Yahudi, selain suka mendengar
p:148
kebohongan, juga menjadikan dirinya telinga dan mata orang lain—
dalam arti, menjadi mata-mata. Bila kebiasaan memata-matai untuk
[kepentingan] orang lain hanya terbatas pada kasus orang-orang
Yahudi di Khaibar, lantas buat apa Al-Quran mengutarakan masalah
ini.
Memata-matai untuk [kepentingan] orang lain merupakan tindakan
yang selalu mereka lakukan. Saat ini pun dapat disaksikan, mereka
menjadi telinga dan mata, atau agen mata-mata yang hina, kaum imperialis
dunia dan dengan cara itu melanggengkan kenistaan hidup.
Dapat disaksikan, bagaiman dinas intelijen Israel “Mossad” dalam
membeberkan dan menjual informasi, terutama ihwal kawasan
Timur Tengah, kepada kaum kafir pembangkang. Tidakkah hari ini
kaum Zionis menjadi budak yang bergelantungan di ketiak kaum
imperialis dunia? Tidakkah mereka berada di bawah kekuasaan imperialis
dunia dalam kondisi hina dan nista? Mereka sama sekali tak
punya kemuliaan dan keagungan. Sebaliknya, stempel kehinaan telah
melekat kuat di dahi kaum Zionis untuk selama-lamanya. “Dan
ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan” (QS Al-Baqarah [2]:
61). Mereka melanggengkan kehidupan yang penuh kehinaan
dengan menggantungkan diri dan hidupnya pada kaum imperialis
dunia. “Dan tali dari manusia” (QS Ali ‘Imran [3]: 112). Sekarang ini,
belenggu kaum imperialis dunia melingkari leher kaum Zionis. Mereka
sudi menjadikan dirinya informan dan mata-mata kaum imperialis
dunia. Al-Quran menyikapi mentalitas semacam ini dengan sikap
yang sangat tepat.
Al-Quran memperingatkan soal ancaman bahaya yang mereka
tebarkan di tengah masyarakat Islami. Seraya pula mengungkap
berbagai kejahatan mereka dengan menperkenalkan identitas dan
tindak-tanduk musuh secara lengkap, melarang umat Islam menjalin
persahabatan, persekutuan, kepemimpinan, dan hegemoni mereka,
serta menginstruksikan para pejabat di negeri Muslim dan umat
Islam untuk bersikap keras terhadap mereka.
p:149
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29).
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang lalim (QS Al-Mumtahanah
[60]: 9).
Persoalan ini pun kini memiliki bukti nyata. Seakan ayat ini
baru sekarang diturunkan berkenaan dengan situasi dan kondisi
politik Timur Tengah dan tingkah pola Bani Israel yang merampas
tanah suci Quds. Kalam Al-Quran senantiasa aktual di setiap masa.
Ia bukan sekadar memuat ulasan seputar prinsip-prinsip mendasar
dan bersifat umum. Sikap Al-Quran di hadapan mereka juga telah
dikemukakan; bukan dengan berunding, karena mereka tidak akan
pernah memegang teguh janji dan kesepakatan. Sikap Al-Quran adalah:
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang
janjinya” (QS At-Taubah [9]: 12).
Sikap dan posisi Al-Quran adalah melawan serangan para agresor
dan imperialis dunia. Sikap Al-Quran adalah: “Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS Al-
Anfal [8]: 60). Umat Islam harus mengerahkan seluruh potensi dan
kekuatan yang meliputi berbagai dimensi, utamanya pertahanan diri
dan peperangan, untuk menghadapi musuh.
Sikap Al-Quran selalu menyadari dan mewaspadai konspirasi
dan rencana busuk musuh. Bahkan, kita diimbau untuk tidak
abai terhadap rangkaian konspirasi sejumlah pihak yang secara
lahiriah menjalin hubungan serta meneken perjanjian dan kesepakatan
dengan umat Islam. Karena, dalam banyak kasus, kaum
p:150
musyrik menjalin hubungan politik serta meneken perjanjian dan
kesepakatan saat kondisinya lemah dan tidak berdaya. Akan tetapi,
manakala memiliki kekuatan yang memadai dan mendapatkan
momen yang tepat, perjanjian dan kesepakatan itu tidak lagi
bermakna di mata mereka.
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan
orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan
terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap
kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian” (QS At-Taubah [9]: 8),
dan akan membatalkannya secara sepihak. Sikap Al-Quran dalam
menghadapi trik politik ini adalah bersikap penuh waspada. Saat
mereka ditengarai sedang menyusun konspirasi dan rencana busuk
serta bermaksud membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan
hiraukan lagi perjanjian dan kesepakatan itu. Segera hadapilah
konspirasi dan niat buruk mereka di saat yang tepat.
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan
cara yang sama. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat” (QS Al-Anfal [8]: 58). Merekalah yang memulai lebih
dulu tindakan licik ini. Oleh karena itu, lakukanlah hal yang serupa.
Dengan begitu, kalian tidak bisa dituding menginjak-injak hak asasi
manusia. Karena telah merasakan pengkhianatan pihak mereka,
kalian tidak boleh lagi menghiraukan perjanjian dan kesepakatan itu.
Inilah beberapa ayat Al-Quran yang berkenaan dengan
hubungan politik dan bagaimana mengatur pengambilan keputusan
serta menetapkan sikap dunia Islam di hadapan pihak asing. Tentu
saja sebagian ayat ini berhubungan dengan masalah pertahanan
dan peperangan—sebagaimana telah disinggung secara singkat.
Keputusan dan sikap Al-Quran, baik dalam menjelaskan prinsip-prinsip
mendasar dan topik-topik universal maupun menyuguhkan
strategi politik dan cara membela diri, sangat jelas dan transparan,
serta sesuai dengan kenyataan sepanjang masa.
p:151
Aspek mukjizat Al-Quran dalam mengatur hubungan politik
dan misi universal terdapat pada fakta bahwa semua itu berasal
dari ilmu, wawasan, dan informasi valid seputar seluk-beluk semua
kelompok manusia, berdiri tegak di atas paradigma dan nilai yang
konsisten, serta selaras dengan situasi dan kondisi yang berkembang
di setiap zaman. Di dunia politik, kalam Al-Quran selalu segar dan
baru. Sikap dan keputusan yang benar, akurat, dan cermat seperti ini
melampaui daya jangkau pemahaman dan kemampuan manusia—
terlebih bila mengingat dunia politik adalah dunia kemungkinan. Bila
umat Islam mengusung paradigma tersebut dengan mantap, niscaya
kedigdayaan dan keagungan bakal diraih. Apabila menjadikan
prinsip-prinsip mendasar ini sebagai tolok ukur politiknya, niscaya
pula umat Islam tidak akan pernah hidup di bawah penindasan kuasa
kaum kafir ofensif. Sangat disayangkan, kondisi umat Islam saat ini
sangat menyedihkan. Kita sama-sama berharap, segera datangnya
momen nilai- nilai Islam menjadi fokus perhatian dan dijunjung
tinggi-tinggi.
Di kancah kehidupan sosial, semua hal yang menyangkut hakhak
manusia terus dikembangkan dalam berbagai istilah. Di antaranya
yang paling menonjol adalah hak asasi, hukum perdata, dan
hukum pidana. Melaksanakan hukum termasuk tanggung jawab
utama suatu sistem pemerintahan. Pihak yang berkuasa dapat disebut
berhasil bila mampu memenuhi seluruh hak-hak dan kebutuhan
rakyatnya. Tentu saja di dunia ini, sistem yang menjamin penuh dan
memperhatikan betul hak-hak semacam ini sangat jarang dijumpai.
Setiap sistem—sejalan dengan kepentingannya—cenderung
tidak menghiraukan beberapa hak—terutama hak-hak dan hukum
p:152
yang berpotensi menggoyang sendi-sendinya. Al-Quran menciptakan
sistem hukum sedemikian rupa sehingga mencakup semua hak
manusia. Al-Quran mewajibkan sistem yang berkuasa sebagai
sistem Ilahi, untuk memenuhi hak-hak asasi rakyat yang berada di
pundak penguasa. Juga hukum perdata yang berkenaan dengan
hak rakyat dengan rakyat, serta hukum pidana yang diorientasikan
untuk memberantas tindak kriminal. Pada akhirnya, semua itu dapat
menjamin hak rakyat secara keseluruhan dan legitim, sehingga
menciptakan situasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat.
Dalam sistem Ilahi, aturan hukum disusun sedemikian rupa
sehingga manakala undang-undang Ilahi dilaksanakan dengan benar,
tak seorang pun yang merasa khawatir haknya bakal dinistakan
kalangan aparat hukum atau orang lain (sesama rakyat). Penjelasan
seputar dimensi hukum Islam, seperti hak asasi dan hukum perdata,
menuntut ruang dan waktu yang lebih luas. Namun, agar memahami
aspek mukjizat Al-Quran sekaitan dengan aturan hukum, kiranya
cukup dikemukakan beberapa ayat yang berkenaan dengannya.
Hukum pidana dapat diklasifikasikan dalam dua kategori.
Pelaksanaan kategori pertama memerlukan pengajuan dan gugatan
pihak yang berhak, seperti hak untuk qishash yang baru dapat
direalisasikan bila ahli waris menuntut darah dan qishash. Tanpa
tuntutan dan gugatan tersebut, hakim tidak berhak menjalankan
hukum. Karena hak dan hukum semacam ini ditetapkan langsung
dari sisi Allah Swt (menyangkut hak-hak manusia): “Dan barangsiapa
dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya” (QS Al-Isra’ [17]: 33). Hukum jenis ini dapat
diistilahkan dengan hukum pidana sipil.
Kategori kedua merupakan hukum pidana yang dalam
pelaksanaannya, tuntutan seseorang tidak memberi pengaruh.
p:153
Lebih dari itu, saat muncul kasus dalam konteks ini, hakim berhak
melaksanakan hukum, seperti had (hukuman) yang ditetapkan sebagai
pidana bagi orang-orang yang mengganggu ketertiban umum
sekaligus mengakibatkan kerusakan di tengah masyarakat.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya) (QS Al-Maidah [5]: 33).
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah (QS An-Nur [24]: 2).
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Rangkaian hukum pidana semacam ini dibebankan oleh Allah
Swt ke pundak hakim untuk dilaksanakan manakala seluruh
persyaratannya telah terpenuhi. Tentu saja target keduanya adalah
menjamin terpenuhinya hak-hak manusia. Artinya, kategori kedua
hukum pidana ini ditetapkan untuk menjamin ketertiban sosial, serta
kehormatan dan martabat individu, sehingga para mufsid (pelaku
kerusakan di muka bumi) harus ditindak tegas. Peperangan antara
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi melawan
agama Allah Swt merupakan puncak penistaan hak-hak manusia.
Karena menjaga agama menjadi hak terbesar umat manusia dalam
kehidupan sosial. Barangsiapa menistakan hak ini, berhak diberi balasan.
Dalam melawan kerusakan dan kedegilan, hukum tetap harus
dilaksanakan kendati tidak ada gugatan dan pengaduan. Artinya,
hukum tetap akan dilaksanakan dengan atau tanpa
p:154
pengaduan dan gugatan. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan
hukum pidana yang berlaku di Barat. Di sana, cukup dengan pembatalan
oleh pihak yang bersangkutan, pelaksanaan hukuman otomatis
terhenti.
Undang-undang disusun untuk menjamin dan memenuhi hak
hidup aman serta melindungi kehormatan masyarakat; inilah langkah
fundamental Al-Quran dalam bidang sosial dan hukum. Prioritas
Al-Quran dalam upaya menyelamatkan masyarakat serta menjamin
kesehatan mentalitasnya adalah menggunakan serangkaian metode
praktis yang tepat dalam membersihkan masyarakat dari segala
jenis kebobrokan dan penyimpangan. Tujuannya agar individu
tidak menemukan jalan menuju kerusakan dan dosa dikarenakan
kebodohan dan ketidaktahuannya. Pasalnya, dosa merupakan
sebuah problematik mental dan gejala kebodohan. “Dan tidak ada
yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh
dirinya sendiri” (QS Al-Baqarah [2]: 130). Manusia bodoh cenderung
berbuat dosa dan berpaling dari agama. Al-Quran berusaha agar di
tengah masyarakat tidak terdapat celah yang berpotensi merangsang
hasrat kaum perempuan atau laki-laki untuk berbuat dosa. Karena,
Al-Quran meyakini kaidah “mencegah lebih baik dari mengobati”.
Memang, tidak pernah ada masyarakat yang benar-benar bersih
dari dosa. Sebaliknya, selalu ada saja individu yang menginjak-injak
kehormatan publik. Dengan kata lain, orang-orang yang dirinya
sama sekali tidak terpengaruh petunjuk dan peringatan senantiasa
eksis sepanjang sejarah. Justru dikarenakan masyarakat punya
karakter bawaan semacam itulah, Al-Quran lalu menyuguhkan
langkah yang tepat untuk mengantisipasi pencemaran dan ancaman
bahaya tersebut.
Manakala upaya mencegah sebagai langkah utama ternyata tidak
menimbulkan dampak positif yang diharapkan, Al-Quran kemudian
mengajukan langkah terapi (pengobatan). Tentunya, dalam hal ini,
kondisi ketercemaran dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima.
p:155
Al-Quran memandang dosa dan pendosa ibarat tumor. Bila dibiarkan
hidup di tengah masyarakat, niscaya pada saatnya kelak, tumor
ganas ini akan menjalar ke seluruh pembuluh darah dan mengancam
kehidupan banyak orang. Al-Quran meyakini bahwa masyarakat
hidup dengan agama. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan
Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu” (QS Al-Anfal [8]: 24). Kaum Mukmin
harus memenuhi seruan Allah Swt dan Rasul-Nya Saw yang menyeru
pada kehidupan. Karena kehidupan manusia yang diserukan Allah
Swt adalah agama-Nya.
Al-Quran meyakini dosa dan apostasi (pengingkaran terhadap
agama) sebagai ancaman kehidupan tersebut. Karenanya, Al-Quran
secara serius memerangi gejala ini; tak ubahnya dokter ahli yang
berpengalaman dalam menghadapi penyakit kanker. Seorang dokter
ahli yang berpengalaman dan mengetahui bahaya kanker, niscaya
akan melakukan operasi untuk mengangkat dan mencerabut
tumor dari tubuh pasien. Meskipun tak jarang orang-orang dekat
atau pasien itu sendiri menyangka sang dokter sedang melakukan
kekejaman. Tudingan ini jelas bersumber dari ketidaktahuan. Karena
dicerabutnya benjolan tumor atau kanker dimaksudkan untuk
menyelamatkan hidup si Pasien. Dengan demikian, dorongan emosional
yang berkenaan dengannya sangat tidak berdasar dan irasional.
Dalam merumuskan dan menjalankan hukum pidana, Al-Quran
sepenuhnya mendasarkan diri pada rasio dan hikmah, seraya tidak
membiarkan dorongan emosional yang irasional mengancam dan
membahayakan keselamatan masyarakat. Al-Quran menyatakan,
barangsiapa yang secara sengaja melanggar martabat hidup
seseorang serta melakukan pembunuhan, secara rasional, harus
divonis qishash. “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal” (QS Al-Baqarah [2]: 179).
Al-Quran menegaskan, vonis bagi orang-orang yang membahayakan
ketertiban sosial dan kehormatan publik, termasuk kalangan
p:156
penentang agama Allah Swt, adalah hukuman mati. Al-Quran juga
memiliki aturan dan ketetapan yang khas untuk kasus-kasus lain.
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh ....” (QS Al-Maidah [5]: 33) Juga: “Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah” (QS An-Nur [24]: 2). Dalam
kasus ini, belas kasihan, perasaan, dan emosi merupakan tindakan
irasional dan mengancam kehidupan masyarakat.
Begitulah Al-Quran memerangi kerusakan. Bukankah undangundang
pidana yang disusun semacam ini merupakan sebuah
mukjizat dari aspek kandungan kitab suci itu? Mampukah manusia
merancang undang-undang semacam ini? Dunia hari ini yang diklaim
sebagai beradab bukan hanya tidak mampu menyusun undangundang
semacam ini secara persis, melainkan bahkan menghalangi
banyak orang untuk mematuhinya. Bahkan beberapa pihak yang
mengklaim dirinya pembela hak asasi manusia memandang undangundang
semacam ini sebagai sejenis kekejaman dan bertentangan
dengan hak asasi manusia.
Dalam pandangan mereka, mengapa kehidupan seseorang
harus terancam hanya lantaran melakukan sebuah kesalahan?
Untuk apa tangan orang yang melakukan tindak kriminal mencuri
harus dipotong? Jelas, pandangan ini tak jauh beda dengan perasaan
irasional dalam kasus operasi tumor dan kanker. Masyarakat yang
konon beradab dewasa ini masih belum mengenal undang-undang
semacam ini, apalagi menyusunnya. Undang-undang yang sejalan
dengan akal dan hikmah semacam ini juga tidak disusun dan
diberlakukan untuk masa tertentu. Maka dari itu, keberatan yang
menyatakan bahwa aturan hukum ini hanya cocok untuk masa
silam saat Al-Quran diturunkan, bukan masa sekarang yang sudah
beradab, sama sekali tidak relevan .
p:157
Inilah ulasan seputar beberapa topik utama yang maktub
dalam Al-Quran yang dimaksudkan sebagai contoh aspek mukjizat
kandungan dan isi Al-Quran. Tentu saja, masih ada sejumlah topik
lain yang berkenaan dengan mukjizat Al-Quran. Seperti ekonomi,
dialog, etika, dan sebagainya. Namun, mengingat ruang dan waktu
yang terbatas, semua itu sengaja tidak dipaparkan di sini.
Dalam konteks ujaran estetik Al-Quran, salah satu kasus yang
diungkap Al-Quran berkenaan dengan kabar gaib. Lewat serangkaian
kabar sahih yang disampaikan seputar era sebelum diwahyukannya
Al-Quran dan fenomena masa depan, kitab suci ini memperlihatkan
aspek mukjizat lain dari kandungannya.
Dalam mengemukakan fenomena yang berkaitan dengan umat
terdahulu, Al-Quran tidak memusatkan perhatian pada aspek
historisnya. Seumpama soal kapan dan di mana peristiwa itu terjadi.
Melainkan lebih menekankan aspek pelajaran dan tuntunannya.
Meski demikian, Al-Quran tetap menuturkan kisah-kisah historis
yang terbilang fenomenal secara terperinci. Pengungkapan berbagai
aspek peristiwa sejarah secara spesifik benar-benar melampaui
wawasan manusia. Karena itulah, saat mengungkapkan peristiwa
masa lalu, Al-Quran selalu mengingatkan bahwa semua itu
merupakan kabar gaib mustahil dijangkau daya pikir manusia.
Di akhir kisah Nabi Yusuf as, Allah Swt berfirman: “Demikian itu
(adalah) di antara berita-berita yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad)” (QS Yusuf [12]: 102). Kisah menakjubkan dan memikat
yang diberi predikat sebagai kisah terindah ini: “Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik” (QS Yusuf [12]: 3), merupakan salah
satu kabar gaib yang Kami wahyukan kepadamu.
p:158
Berkenaan dengan kisah Siti Maryam as, setelah menjelaskan
keistimewaan pola didik dan asuh Nabi Zakaria as terhadap Maryam
as selama itu, Al-Quran menceritakan keinginan Zakaria as untuk
memiliki anak seperti Maryam. Keinginan ini muncul setelah beliau
menyaksikan kesucian dan ketakwaan Maryam. Allah Swt pun
menganugerahkan Nabi Yahya as kepada beliau. Berkenaan dengan
ketakwaan dan kesucian Maryam as, Al-Quran menyatakan: “Yang
demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan
kepada kamu (wahai Muhammad)” (QS Ali ‘Imran [3]: 44).
Setelah mengemukakan rincian kisah banjir bandang di masa
Nabi Nuh as, Al-Quran menegaskan: “Itu adalah di antara berita-berita
gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu
mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini” (QS Hud [11]:
49).
Ringkasnya, seluruh kejadian di masa lalu yang disebutkan dalam
Al-Quran di banyak ayatnya merupakan mukjizat lain Al-Quran.
Karena kitab suci ini memaparkannya secara cermat dan mendetail
untuk generasi yang akan datang. Demikian pula dengan peristiwaperistiwa
yang terjadi setelah turunnya Al-Quran. Ini merupakan
aspek lain dari kabar gaib yang disampaikan Al-Quran. Pasalnya,
suatu peristiwa terjadi tak lama setelah Al-Quran mengabarkan
perihal kepastian terjadinya.
Sebelum Shulh ( perjanjian damai) Hudaibiyah, Rasulullah Saw
bermimpi bahwa kaum Muslim memasuki Masjidil Haram. Mimpi
itu membuat kaum Muslim bersuka cita. Mereka sangat menantikan
momen memasuki Masjidil Haram pada tahun itu juga. Akan tetapi,
yang terjadi tidaklah demikian. Dalam kondisi tersebut, segerombolan
munafik mulai mengejek dan melemahkan mental umat Islam. Saat
itulah diwahyukan sebuah ayat yang menyatakan bahwa mimpi
Rasulullah Saw benar dan haq adanya. Al-Quran pun menegaskan
bahwa kaum Muslim akan memasuki Masjidil Haram. “Sesungguhnya
Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya
p:159
dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur
rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”
(QS Al-Fath [48]: 27). (Mengisyaratkan pada dua manasik ibadah
umrah).
Kabar gaib Al-Quran ini terjadi setahun sesudahnya, persisnya pada
tahun ketujuh Hijriah. Momen yang disebut dengan tahun umrah
qadha’, kaum Muslim berbondong-bondong memasuki Makkah dan
melaksanakan ibadah umrah sebagaimana yang telah diperkirakan
Al-Quran.
Kasus lain seputar kabar gaib Al-Quran adalah informasi tentang
kemenangan pasukan Romawi vis-à-vis Persia pada masa itu. Pada
masa Rasulullah Saw, orang-orang Persia berhasil menaklukkan
pasukan Romawi. Lalu Al-Quran mengabarkan bahwa orang-orang
Romawi akan segera mengalahkan pasukan Persia. Selang beberapa
tahun (kurang dari 10 tahun), peritiwa itu pun terjadi. “Telah dikalahkan
bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu
akan menang, dalam beberapa tahun(1) (lagi)” (QS Ar-Rum [30]: 2–4).
Masih banyak kasus lain sebagaimana telah dikemukakan
dalam berbagai buku yang khusus ditulis sekaitan dengannya.
Umpama, surah Al-Lahab [111] yang berkenaan dengan kasus Abu
Lahab dan istrinya. Juga surah Al-Kautsar [108] yang berhubungan
dengan ihwal terputusnya keturunan musuh Rasulullah Saw yang
keras kepala, ‘Ash bin Wa’il. Penyebutan kasus-kasus tersebut hanya
dimaksudkan sekadar sebagai contoh semata.
Mukjizat dan Ilmu Pengetahuan
Berbagai tema yang berada dalam jangkauan kecerdasan manusia
senantiasa dijadikan bahan telaah yang acap kali menghasilkan pengetahuan
ilmiah seputar rahasia fenomena alam. Sepanjang sejarah
sains, telah dilakukan sejumlah riset dan telaah yang membuahkan
hasil teoritis yang mengagumkan lantaran dirancang sedemikian
rupa. Namun demikian, terdapat pula serangkaian telaah
p:160
dan penelitian ilmiah yang hanya berhenti sebatas hipotesis semata.
Pasalnya, setelah bertahun-tahun lamanya kajian dan penelitian itu
dilakukan, hasilnya tetap nihil. Ini lebih disebabkan skala jangkauan
ilmu pengetahuan yang serba terbatas. Selain pula tak ada jaminan
bahwa suatu hipotesis niscaya korespon dengan kenyataan. Karena
itulah, banyak hal yang sebelumnya dipercaya sebagai teori ilmiah,
sebenarnya hanyalah sekadar asumsi semata yang kekurangan dan
kelemahannya baru terungkap setelah dilakukan kajian dan penelitian
yang mendalam. Sering pula terjadi suatu teori ilmiah diterima
sebagai kebenaran final, namun di kemudian hari, dikoreksi oleh
teori lainnya atau kesalahan-kesalahannya terungkap.
Pasang-surut semacam ini inheren dalam sejarah sains. Nyaris
tak ada teori ilmiah yang bersifat final—kendati sains itu sendiri
tak punya dasar untuk menjadi pandangan final (yang tuntas dan
komprehensif). Al-Quran bukanlah kitab yang menjadikan teori
ilmiah sebagai target utama. Karena, subjek pembahasan Al-Quran
adalah manusia dan tema pokoknya berkisar pada problematik eksistensial
guna membimbing umat manusia. Kendati demikian, Al-
Quran juga mengulas berbagai fenomena alam semesta serta mengungkap
teori ilmiah seputar penciptaan dan asal–usul alam
semesta, berikut proses pengaturan dan rangkaian misterinya.
Semua itu dimaksudkan untuk menuntun manusia kepada sumber
pemberi wujud.
Al-Quran tidak mengabaikan satu masalah pun yang berhubungan
dengan petunjuk [untuk] manusia. Namun, dalam mengemukakan
rangkaian fenomena alam berikut pengelolaannya, Al-Quran menyuguhkan
berbagai teori yang korespon dengan kenyataan. Oleh
karena itu, klaim bahwa Al-Quran membicarakan semua tema sains
tidak terlalu signifikan—kendati beberapa kalangan mengklaim seperti
itu, sebagaimana terlihat jelas dalam ucapan-ucapan Ghazali.(1)
p:161
Ulasan teoritis Al-Quran ihwal fenomena alam memiliki
keistimewaan yang khas; bahwa dikarenakan itu bersumber dari
wawasan Ilahi, niscaya selalu korespon dengan kenyataan dan
mustahil salah atau keliru. Inilah aspek mukjizatnya. Kebenaran
teoritisnya juga bersifat final. Hal ini tentu saja memerlukan
kecerdasan paripurna yang melampaui intelegensia manusia.
Sementara itu, teori ciptaan manusia hanya sebatas prasangka dan
asumsi (bila dikaitkan dengan teori-teori sejenis lainnya, sebagaimana
dalam siklus teori ilmiah—peny.). Oleh karena itu, teori ciptaan
manusia kebanyakan akan kembali menjadi sebuah hipotesis dan
kekurangannya akan terungkap (lewat penemuan teori atau hipotesis
baru, begitu seterusnya—peny.). Adapun teori Al-Quran secara
keseluruhan selaras dengan kenyataan dan mustahil bertentangan
dengannya. Dalam pada itu, kajian ilmiah terhadap sejumlah teori
yang dikemukakan Al-Quran memerlukan waktu hingga bertahuntahun,
bahkan berabad-abad, lamanya.
Sekalipun tema-tema ilmiah yang dikemukakan Al-Quran
senantiasa korespon dengan realitas, namun semasa diturunkannya
kitab suci ini, umumnya semua itu dianggap sepi atau tidak didukung
sedikitpun pun keterangan tentangnya. Ini sekaligus dapat menjadi
bukti tak terbantahkan bahwa wahyu Al-Quran adalah mukjizat
Ilahi. Berikut adalah beberapa kasus yang terkait dengannya.
Teori ilmiah yang berkenaan dengan kemunculan dan perputaran
planet-planet di ruang angkasa senantiasa mengalami perubahan.
Bahkan sejumlah teori saling bertolak-belakang. Semisal, apakah
matahari, bulan dan bumi bergerak atau tidak? Dan apakah planetplanet
itu bergerak melintasi garis putar atau garis lurus?
Teori astronomi ptolemeus (Ptolemaic system) yang mendominasi
alam pikir manusia selama berabad-abad lamanya, mengasumsikan
bahwa langit ibarat kulit bawang yang saling mengitari dan melapisi.
p:162
Teori ini meyakini bahwa bumi tidak bergerak sekaligus menjadi pusat
jagat raya. Masih berdasarkan teori ini, falak dipandang tak ubahnya
hamparan papan yang transparan dan lembut, sementara bintanggemintang
bagaikan mata cincin perak yang ditempelkan di situ.
Semasa turunnya Al-Quran, seperti itulah asumsi spekulatif yang
mendominasi alam pikir Yunani, Semenanjung Arab, dan sekitarnya.
Kepercayaan terhadap teori ini berlanjut hingga abad pertengahan
(age of medieval). Pascarenaisans (kebangkitan ilmu pengetahuan)
yang bermula di belahan Barat, teori-teori abad pertengahan mulai
digugat dan dipertanyakan. Ilmu-ilmu astronomi dan perbintangan
juga memanfaatkan kebangkitan ini. Teori-teori baru yang bersifat
ilmiah dan sesuai dengan kenyataan sekaitan dengan sistem tata
surya mulai bermunculan; sementara teori astronomi ptolomeus makin
redup dan berangsur-angsur ditinggalkan. Lantaran teori astronomi
baru mulai diterima dan diminati banyak kalangan, anggapan bahwa
langit ibarat kulit bawang, atau falak bagaikan bentangan papan
transparan yang ditempeli bintang-gemintang, serta asumsi ihwal tidak
bergeraknya bumi, pun sepi dari perbincangan. Teori-teori tersebut
semakin terlihat tidak berdasar. Dalam pandangan ilmu astronomi
kontemporer, seluruh benda langit selalu dalam kondisi bergerak.
Jelasnya lagi, seluruh bintang, bulan, matahari, dan planet senantiasa
berputar dalam gerak rotasi (berputar pada porosnya) maupun
revolusi (mengelilingi pusat tata surya atau matahari).
Al-Quran menginformasikan fakta ini jauh sebelum ilmu
pengetahuan mengungkapnya. Berkenaan dengan perputaran
matahari, bulan, juga bumi, Al-Quran menyuguhkan pandangan
berikut: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam
pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada falak
(garis edarnya)” (QS Yaasiin [36]: 40). Sebelum menjelaskan makna
ayat di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian “ falak”.
Pada masa turunnya Al-Quran, sebagian kalangan menganggap
falak ibarat bentangan papan transparan nan lembut yang ditempeli
p:163
bintang-gemintang. Konsepsi ini jelas tidak selaras dengan makna
falak itu sendiri. Sebab, dalam bahasa Arab, falak bermakna orbit
(garis edar), bukan jism yang bersifat transparan; dan sains dewasa
ini pun membuktikan hal tersebut. Kitab Mufradat memaknai “ falak”
sebagai lokus peredaran bintang-gemintang, “Dan falak adalah tempat
peredaran bintang-bintang.”(1)
Ibnu al-Atsir, dalam kitab Al-Nihâyah, berkata, “ Falak adalah orbit
bintang-bintang di langit.”(2) Al-Munjid juga menuliskan demikian.(3)
Syahrestani, dalam kitab Al-Hay’ah wa Al-Islâm (Astronomi dan
Islam), juga menyebutkan arti sebagaimana di atas dari kalangan
pakar bahasa lainnya.(4)
Berangkat dari penjelasan singkat ini, dapat dipahami bahwa
beberapa ayat tersebut membicarakan ihwal munculnya siang dan
malam, serta gerak matahari dan bulan, yang secara paralel juga
membahas gerak bumi. Al-Quran menjelaskan kemunculan siang dan
malam dengan gerakan matahari dan bulan dalam konteks tertentu,
saat menyatakan: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan
dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar
pada falak (garis edarnya)” (QS Yaasiin [36]: 40). Jadinya, kemunculan
siang dan malam bermula dari beredarnya benda-benda angkasa
di orbitnya yang barangkali mengisyaratkan perputaran bumi
pada orbitnya sendiri (rotasi) sehingga memunculkan kondisi
siang dan malam. Ringkasnya, terlepas dari penjelasan harian yang
mengindikasikan perputaran matahari dan bulan yang pada orbit
khusus di angkasa yang tanpa batas (ibarat ikan yang berenang di
laut lepas), ayat ini menyinggung soal perputaran matahari pada
orbit mintaq al-burûj (zodiak) dan perputaran bulan pada fasefasenya
yang berjumlah 27. Gerakan putaran bulan sendiri selama
27 malam di berbagai fasenya yang berbeda dapat dipersepsi secara
p:164
inderawi oleh penduduk bumi. Karena, dalam ayat digunakan kata
jamak: kull-un fî fala-in yasbahûn: “Masing-masing beredar pada falaknya
tersendiri”. Barangkali yang dimaksud ayat ini juga termasuk bintangbintang
atau planet-planet lain yang semuanya berputar pada orbit
masing-masing. Inilah pandangan realistis Al-Quran seputar gerak
benda-benda angkasa yang korespon dengan kenyataan. Dalam ayat
ini ditegaskan soal gerak putar matahari dan bumi—sebagaimana
sekarang terbukti bahwa teori tersebut diterima sebagai kebenaran
final. Selain itu , dalam ayat ini juga implisit ihwal rotasi bumi.
Gerak putar bumi dapat dipahami dari ayat: “Dan kamu lihat
gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan
sebagai jalannya awan” (QS An-Naml [27]: 88). Gunung-gunung
bagaikan awan yang menggumpal di pundak bumi. Ketika bumi
bergerak, gunung-gunung itu juga ikut bergerak. Dan masih banyak
lagi ayat-ayat semacam ini yang menjelaskan seluk-beluk bintang
dan planet serta kekhasan ilmu astronomi.
Al-Quran bukan buku yang disusun layaknya buku ilmiah, yang
menempatkan tema-tema tertentu dalam bab khusus sebagai bahan
kajian.
Metode Al-Quran dalam menguraikan teori yang berkenaan
dengan berbagai tema kajian secara ilmiah, filosofis, sosiologis, dan
ideologis, seraya menyertakan tuntunan dan bimbingan, adalah
dengan menempatkannya dalam bab yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, pandangan dan komentar Al-Quran sekaitan dengan
suatu peristiwa tertentu tidak dapat disarikan hanya dari satu atau
beberapa ayat; melainkan harus dengan menengok seluruh ayat yang
menyinggung masalah tersebut. Ada sejumlah isyarat dalam ayatayat
Al-Quran berkenaan dengan masalah asal muasal fenomena
udara, seperti angin, awan, hujan, serta hubungannya dengan
pancaran sinar matahari, pergantian malam dan siang, rotasi bumi,
p:165
serta perubahan [suhu dan tekanan] udara. Sebelum mengemukakan
sejumlah ayat yang berkenaan dengannya, terlebih dahulu akan
dijelaskan secara ringkas ihwal fenomena udara.
Angin dihasilkan dari pergerakan udara. Pancaran langsung sinar
matahari ke titik tertentu, plus tekanan udara, mengakibatkan suhu
yang panas pada kawasan tertentu. Adanya faktor yang menghalangi
pancaran langsung sinar matahari (umpama, gumpalan awan) atau
menjadikan sinar tersebut memancar secara tidak langsung, serta
sudut deviasi matahari, akan merupakan udara dingin di kawasan
lain. Perpindahan suhu panas ini mengakibatkan perubahan cuaca
dan terbentuknya angin. Di pihak lain, rotasi bumi dari dua arah
memiliki pengaruh besar dalam menciptakan hembusan angin. Di satu
sisi, rotasi bumi mengakibatkan perubahan suhu udara di berbagai
belahan bumi. Sementara di sisi lain, menyebabkan perubahan suhu
di sejumlah kawasan yang berhadapan langsung dengan matahari,
juga terbentuknya gumpalan awan yang dihasilkan dari pergerakan
udara dari satu tempat ke tempat lain. Artinya, berkat pergerakan
udara, awan pun berpindah dari satu titik ke titik lain, serta
menyebabkan turunnya hujan dan suhu udara di berbagai wilayah.
Dengan demikian, turunnya hujan, sebagaimana terbentuknya
angin, merupakan akibat dari pancaran sinar matahari, rotasi bumi,
serta pergantian siang dan malam. Dalam peristiwa ini, sekaitan
dengan fenomena turunnya hujan, gerak angin memainkan peran
lain, di samping menggerakan awan. Karena, hujan atau salju tidak
akan turun selama belum terjadinya proses pembuahan. Artinya,
selain menambah tekanan dan berperan dalam proses pembuahan
tumbuh-tumbuhan, angin juga berperan dalam peristiwa turunnya
hujan dan salju.
Sebagaimana diketahui, pancaran sinar matahari mengakibatkan
menguapnya air laut. Uap air itu kemudian mengalami kristalisasi
dalam bentuk partikel-partikel (unsur-unsur) yang sangat kecil
dan menggantung di udara. Karena sangat kecil dan ringan, serta
p:166
tidak saling tersambung satu sama lain dan tidak memiliki berat
jenis, partikel-partikel ini pun ditarik oleh gravitasi bumi. Angin
membawa partikel-pertikel tak kasat mata yang kaya mineral dari
permukaan laut dan menghasilkan partikel-partikel uap di udara.
Saat itu, partikel-partikel tersebut menghasilkan berat jenis dan
saling melebur satu sama lain, yang kemudian melayang turun
dalam bentuk hujan.
Berkenaan dengan salju, setelah saling melebur, partikel-partikel
kecil itu menghasilkan lapisan-lapisan tipis salju berkat kelembaban
udara tertentu. Saat itulah butiran-butiran salju melayang turun
ke atas tanah. Perhatikanlah soal bagaimana proses pembuahan
yang berlangsung melalui angin, sangat berperan penting dalam
pembentukan hujan air dan salju. Fakultas meteorologi atau aerologi
dewasa ini baru menemukan fakta ini—yang penjelasan lebih
mendetailnya dapat ditemukan dalam buku-buku yang berhubungan
dengannya.60 Semasa turunnya Al-Quran, tidak seorang pun yang
memiliki informasi ihwal fenomena ini; sementara teori-teori
astronomi kuno masih dominan pada saat itu.
Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, akan dikemukakan
sejumlah ayat Al-Quran yang menyinggung masalah ini.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi;
Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebe-saran Allah) bagi
kaum yang memikirkan (QS Al-Baqarah [2]: 164).
60 Ruj., Bôd va Bôrôn (Angin dan Hujan).
p:167
Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan
Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah
matinya; dan pada perputaran angin terdapat pula tandatanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal (QS Al-Jatsiyah [45]: 5).
Pada ayat pertama, topik yang dibicarakan berkisar pada
penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam, juga
kucuran [air dari] langit. Jelas, pergantian siang dan malam yang
merupakan efek rotasi bumi, berperan dalam proses turunnya hujan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, rotasi bumi berperan
penting dalam perpindahan sinar matahari; juga temperatur udara
yang menyebabkan terciptanya angin, dan gerak angin yang menciptakan
hujan. Dalam pada itu, ulasan yang dikemukakan berkisar
pada gerak putar angin yang menciptakan gumpalan awan.
Begitu pula pada ayat kedua. Setelah membicarakan soal pergantian
siang dan malam, objek pembahasan lalu diarahkan pada
curahan [air dari langit] langit—sebagaimana termaktub dalam ayat
pertama.
Bila dicermati secara saksama, kedua ayat tadi, juga ayat-ayat
serupa lainnya, menunjukkan hubungan antarfenomena udara. Harmoni
ujaran yang di berbagai tempat menjelaskan fenomena udara
secara sistematis, seirama, dan terstruktur, menunjukkan hubungan
kuat semua itu. Di mana fenomena hujan berhubungan dengan
gerak angin, rotasi bumi, pancaran sinar matahari, serta pergantian
siang dan malam. Sebagian kecil misteri alam ini baru belakangan
ini terungkap; sementara Al-Quran telah mengekspresikan pandangan
yang sesuai dengan sains berabad-abad sebelumnya.
Juga berkenaan dengan alam material dan fisikal, Allah Swt telah
menyediakan sistem reproduksi melalui tradisi perkawinan. Dalam
hal ini, Allah Swt berfirman, “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan
p:168
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi
dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS
Yaasiin [36]: 36). Atau menegaskan, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”
(QS Ad-Dhariyat [51]: 49). Sementara itu, proses reproduksi terjadi
ketika masing-masing pasangan saling bertemu. Tugas fotosintesis
di dunia tumbuh-tumbuhan dan masih banyak lagi fenomena-fenomena
lain berada di pundak angin. Allah Swt menjadikan angin sebagai
sarana pembuahan seraya berfirman, “Dan Kami telah meniupkan angin
untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari
langit” (QS Al-Hijr [15]: 22). Peran penting angin dalam pembuahan
pepohonan, seperti pohon kurma dan sebagainya, sudah terlihat
dengan jelas sejak masa silam. Akan tetapi, peran pembuahan dalam
proses turunnya hujan air dan salju, baru terungkap belakangan ini.
Namun dapat disaksikan, bagaimana Al-Quran menjelaskan hubungan
gerak angin dan pembuahan yang tercipta melalui hembusan angin
saat turunnya hujan.
Al-Quran menyatakan “Kami telah mengirim angin sebagai
pembuahan”, saat mengungkapkan sebagian hasil pengiriman angin
yang bertugas membuahi dengan huruf fâ’: “Fa anzalnâ min al-samâ’-
i mâ’-an”. Hasilnya, ‘Kami mengirim air hujan dari langit’. Ayat
ini secara sempurna menjelaskan peran pembuahan dalam proses
turunnya hujan. Sangat jelas, bagaimana Al-Quran menguraikan
proses yang rumit ini secara cermat—saat belum seorang pun yang
memiliki pengetahuan seputar rahasia tersebut.
Berkenaan dengan bagaimana terkumpulnya awan saat cuaca
mendung; individu di muka bumi yang memandang ke langit akan
menyaksikan selapis atap kubah satu lapis, sementara awan berarak
dan bergumpal bagaikan gunung-gunung, yang dari sela-selanya
berjatuhan butiran-butiran salju dan air hujan. Manusia mengungkap
p:169
fakta ini sekitar 100 tahun lalu saat sudah mampu terbang dengan
sayap besi di atas awan seraya menyaksikan panorama indah
formasi awan; sementara Al-Quran telah membicarakan fakta ini berabad-
abad sebelumnya. “Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak
awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian
menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar
dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari
langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung,
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-
Nya” (QS An-Nur [24]: 43). Butir-butir hujan es jatuh dari
celah-celah awan yang saling bergumpal bagaikan gunung itu.
Rahasia lain di balik fenomena alam berkisar pada terciptanya
pelangi berwarna-warni oleh cahaya matahari, fase pembentukan
janin dalam rahim ibu, serta keunikan sidik jari setiap individu yang
niscaya berbeda satu sama lain. Perhatikan ayat ini, “Bukan demikian,
sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”
(QS Al-Qiyamah [75]: 4). Demikian pula puluhan fenomena
misterius lain yang baru berhasil diungkap sains belakangan
ini; sedangkan Al-Quran telah menyingkap selubung fakta ini jauhjauh
hari sebelumnya. Semua ini mengindikasikan aspek mukjizat
saintifik Al-Quran secara jelas dan gamblang. Saat tak seorang pun
mengetahui seluruh rahasia ini, Al-Quran telah menunjukkannya
dengan cara cermat, mendetail, dan tidak kurang suatu apa pun.
Oleh karena itu, semakin menyelami lembah pengetahuan,
manusia akan lebih banyak mengenali karakter ilmiah Al-Quran. Aspek
mukjizatnya pun kian jelas terungkap. Karena, teori-teori ilmiah Al-
Quran sangat cermat dan selaras dengan realitas; jadinya, mustahil
penyingkapan ilmiahnya tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sisi
cakupannya, paparan Al-Quran bersifat universal dan komprehensif.
Karenanya, setiap kali terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,
rahasia-rahasia baru akan tersingkap. Silahkan cermati
p:170
ayat berikut ini: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”
(QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Seiring kemajuan ilmiah yang diperoleh
manusia berkat bantuan ilmu pengetahuan selama berabad-abad,
bahkan jutaan abad, medan rahasia alam semesta ini juga semakin
meluas. Dalam pada itu, pengetahuan manusia seputar rahasia alam
semesta akan terus bertambah.
Melalui penjelasan ini, Al-Quran menyeru umat manusia untuk
mengkaji dan meneliti alam semesta. Pasalnya, semakin banyak
riset yang dilakukan terhadap ayat-ayat Ilahi dan tanda-tanda
yang merepresentasikan jamal (keindahan) Yang Maha Haqq, dia
akan semakin memahami ilmu, pengetahuan, kuasa, keindahan,
hikmah pengaturan, keagungan, dan kebesaran-Nya. Sekaligus pula
mengetahui bahwa seluruh keindahan dan kesempurnaan sematamata
berasal dari-Nya; dan seluruh pujian hanya layak ditujukan
pada-Nya. Hingga pada satu titik, dia menyadari kenyataan bahwa:
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan
semesta alam. Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah
Yang Mahaperkasa lagi Mahabijak” (QS Al-Jatsiyah [45]: 36–37).
Keperkasaan-Nya tak tertandingi kekuasaan lain, dan penciptaan
serta pengaturan-Nya berlandaskan kebijaksanaan.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya
Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan
yang banyak di dalamnya (QS An-Nisa’ [4]: 82).
Lantaran keterbatasan ilmu dan kealpaannya yang menjadikan
petaka ilmiah selalu menghantuinya, manusia umumnya menghasilkan
dan mewariskan sejumlah karya, baik berupa ucapan maupun tulisan,
yang mengandung kekurangan dan kelemahan. Dalam konteks
ucapan, selain kekeliruan dalam hal estetika ujaran,
p:171
manusia juga seringkali terjebak dalam kesalahan yang berkaitan
dengan maknanya. Begitu pula dengan karya tulis yang umumnya
mengandung kekurangan, baik dari segi harfiah maupun maknanya.
Secerdas dan sepakar apa pun, manusia senantiasa merasa perlu
untuk menyunting karya tulisnya secara harfiah berulang kali.
Umpama, ia merasa perlu mengubah komposisi kalimatnya, atau
barangkali menghapus, menambah, dan menguranginya. Sesering
apa pun suntingan dilakukan terhadap suatu tulisan, serta betapa
pun berpengalaman dan telitinya sang Penyunting, tetap saja
terdapat celah untuk diotak-atik dari segi harfiahnya.
Begitu pula dari segi kandungannya; ujaran manusia mengandung
banyak kekurangan. Karena, dari perspektif dua kriteria yang telah
disinggung sebelumnya, ujaran manusia senantiasa menyertakan kesalahan,
kelalaian terhadap sebagian hal, inkonsistensi, pengulangan,
bahkan kontradiksi. Berbagai kekurangan ini sering memantul dari
karya tulis tulisan manusia. Bahkan dalam karya tulis tim riset
berpengalaman, yang dalam penyusunannya saling bekerja sama
dan bertukar pandangan. Tulisan orang jenius sekali pun niscaya
penuh kekurangan. Fenomena ini terkait dengan jenis karya
tulis yang mengulas topik tertentu secara terbatas. Pasalnya, setiap
orang cenderung memilih tema tertentu dan menyusun karya tulis
yang hanya khusus berkenaan dengannya.
Al-Quran merupakan kitab yang mengulas pengetahuan
manusia secara spesifik. Al-Quran secara terperinci menyuguhkan
pembahasan seputar keluarga, sosial, politik, ilmiah, hukum, ekonomi,
dan sebagainya, tak ubahnya fakultas khusus untuk kalangan
spesialis yang mengkaji dan meneliti masing-masing topik tersebut
secara cermat. Ulasan Al-Quran juga sedemikian rupa, sehingga
tidak mengkhususkan bab tertentu bagi masing-masing topik pembahasan—
sebagaimana karya tulis pada umumnya. Dalam pada itu,
pandangan Al-Quran yang berkenaan dengan berbagai bidang ilmu
disebutkan di semua ayatnya. Dengan kekhasan ini, dari
p:172
sisi harfiah, Al-Quran memperagakan kekompakan dan harmoni;
sementara dari segi kandungan, kitab suci ini tidak mengandung
kekurangan dan kelemahan apapun. Seluruh pembahasannya disampaikan
dengan cara yang sangat menakjubkan. Penataan ujarannya
sedemikian rupa, sehingga tidak memberi celah untuk diotak-atik.
Sedangkan dari segi kandungannya, tertutup kemungkinan untuk
menemukan kekurangan dan kontradiksi, melakukan revisi, mengungkap
kesalahan, atau menghapus unsurunsurnya.
Al-Quran adalah kalam yang kompak dan harmonis, dari awal
sampai akhir. Dari segi kandungannya tidak terdapat kerancuan
ujaran apapun. Dalam Al-Quran tidak terdapat ucapan-ucapan yang
usang termakan waktu, atau pandangan yang dipengaruhi faktor
eksternal. Pembahasan-pembahasannya selalu hidup dan ujarannya
senantiasa aktual. Ini dikarenakan pengetahuan murni sang Pemilik
dan Penciptanya, yaitu Allah Swt—yang kebodohan tidak mungkin
menembus haribaan-Nya, dan kelalaian tak pernah menghampiri-
Nya. Karena itu, kekhasan kalam-Nya adalah sifat ilmiah dan kesesuaiannya
dengan kenyataan. Kalam-Nya terbebas dari kerancuan
dan kontradiksi—yang merupakan ciri khas ujaran manusia. Ini sebagaimana
hukum alam dan sistem penciptaan yang tidak memuat
pertentangan dan kekurangan. Al-Quran menyeru manusia untuk
mengaktifkan daya pikirnya serta merenungkan sistem alam semesta,
seraya bertanya, apakah dirinya menemukan adanya kekurangan di
dalamnya?
Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak
seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu
akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah
(QS Al-Mulk [67]: 4–5).
p:173
Berkenaan dengan Al-Quran, kitab suci ini menyeru semua
manusia untuk merenungkannya, “Coba renungkan Al-Quran dalamdalam
dan saksikanlah, apakah kekhasan ujaran manusia berupa
kekurangan, kesalahan, kontradiksi, dan sejenisnya terkandung di
dalamnya?” Bila Al-Quran merupakan ujaran manusia, niscaya kalam
tersebut akan mengandung semua itu. Bila Al-Quran berasal dari
selain Allah Swt, niscaya lewat perenungan sekilas saja akan terlihat
jelas berbagai kekurangan, kontradiksi, dan ketidakserasiannya:
Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran? Kalau kiranya
Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya (QS An-Nisa’ [4]: 82).
Barangkali alasan digunakannya kata banyak dalam ayat tersebut
dimaksudkan bahwa bila Al-Quran yang kerap menyuguhkan
pandangan yang terkait dengan berbagai topik pembahasan (sementara
umum diketahui bahwa pandangan seseorang yang dikemukakan
sekaitan dengan banyak niscaya akan simpang siur dan kontradiktif),
bukanlah ucapan Allah Swt, niscaya akan ditemukan banyak
kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Namun, dikarenakan pada
faktanya berasal dari sisi Allah Swt Yang Mahatahu dan Bijaksana,
Al-Quran pun sedemikian serasi dan harmonis. Mustahil dijumpai
adanya satu pun kesalahan, kekeliruan, atau revisi di dalamnya.
Ini dengan sendirinya merupakan aspek mukjizat lainnya dari
kandungan dan ujaran estetik Al-Quran—kitab suci yang menyeru
semua manusia untuk meminta bantuan kaum cerdik cendekia dalam
mencermati Al-Quran yang, bila ditemui kekurangan sekecil apa
pun di dalamnya, status wahyunya sudah layak diragukan. Namun,
jika tidak, ketahuilah: “Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya” (QS
An-Nisa’ [4]: 166). Barangkali sebagian kalangan beranggapan bahwa
dari segi kandungannya, sangat banyak ayat Al-Quran yang saling
bertentangan; lantas, bagaimana dengan klaim yang menyatakan
p:174
bahwa kalam Al-Quran itu kompak dan harmonis?
Pada awal penelitiannya atas ayat-ayat suci Al-Quran, anggapan
ini sangat mungkin terbersit di benak seseorang. Artinya, sebelum
merenungkan secara mendalam ayat-ayat suci tersebut, tidak tertutup
kemungkinan seseorang menganggap beberapa ayat Al-Quran
saling bertentangan satu sama lain. Misalnya, ayat yang satu secara
umum (mutlak) memberlakukan suatu hukum, sementara ayat yang
lain justru membatasinya. Seumpama, beberapa ayat mutasyâbih
menafikan ayat-ayat lain dan bahkan sebagian ayat menghapus
hukum (menaskh) ayat-ayat lain. Padahal, naskh terjadi manakala
hukum pertama dipandang tidak memadai atau keliru, dan ini—
yang merupakan ciri khas ujaran kalam manusia—kerap dijumpai
dalam Al-Quran. Pandangan sekilas barangkali akan menemukan
disharmoni semacam itu. Namun, bila dicermati lebih jauh, menjadi
jelas bahwa seluruh isi Al-Quran merupakan kalam terpadu. Karena,
dalam Al-Quran, kendati memuat hal-hal yang bersifat ‘âm (umum)
dan khâshsh (khusus), mutlaq dan muqayyad, muhkam dan mutasyâbih,
namun pola “pertentangan” antara ‘âm dan khâshsh serta mutlaq
dan muqayyad, hanyalah prima facie. Bila dicermati dengan saksama,
niscaya akan dipahami dengan jelas bahwa maksud Al-Quran adalah
pembatasan dan khâshsh demi menjaga kemaslahatan-kemaslahatan
lain yang pada awalnya disebutkan dalam bentuk ‘âm. Gaya berujar
semacam ini tergolong rasional dan sah-sah saja—dan sama sekali
tidak mengandung kontradiksi.
Sama halnya dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih yang
seolah-olah saling bertentangan. Rangkaian ayat mutasyâbih, kendati
mencakup pengertian memunculkan syubhah (kesamaran)—
maksudnya, ayat mutasyâbih sebenarnya memiliki pengertian
yang jelas, namun berbaur kesamaran dan keraguan—namun
bila diproyeksikan pada ayat-ayat muhkam, niscaya darinya akan
didapatkan pengertian yang jelas dan muhkam.
p:175
Dengan kata lain, dari segi maknanya, ayat-ayat mutasyâbih sama
sekali tidak kabur. Makna rangkaian kata dan kalimatnya sangat
jelas—pada dasarnya, Al-Quran tidak memuat ujaran atau ayat
yang samar-makna. Kendati, pada saat yang sama, ayat mutasyâbih
memiliki pengertian yang jelas namun menyertakan kesamaran.
Misalnya, “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas
Arasy” (QS Thaha [20]: 5) termasuk ayat mutasyâbih dalam Al-Quran.
Namun, ayat ini, dari segi maknanya, sama sekali tidak samar. Dalam
ayat tersebut, terdapat kata Al-Rahmân yang bermakna Tuhan Yang
Maha Pemurah, ‘alâ yang artinya “di atas”, al-’arsy yakni arasy atau
singgasana, istawâ yang berarti bersemayam. Secara etimologis, ayat
ini dapat diartikan demikian: Tuhan bersemayam di atas singgasana,
yang boleh jadi dipahami sebagai “Dia duduk di atasnya”. Jelas, tak
satu pun makna kata dan kalimatnya yang mengandungi kekaburan.
Namun, kandungan makna ayat ini berpotensi menimbulkan
kerancuan pemahaman. Sebab, boleh jadi beberapa orang akan
bertanya-tanya, mungkinkah Allah Swt berjasad sehingga
bersemayam di atas singgasana. Makna ayat ini, bila diproyeksikan
pada ayat muhkam, seperti “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia” (QS Asy-Syura [42]: 11), di mana semua jasad identik satu sama
lain, niscaya menjadi jelas sekaligus menepis keraguan. Maknanya
yang benar adalah bahwa arasy dan singgasana merupakan metafora
pengaturan dan kekuasaan. Karenanya dapat dipahami bahwa
kedudukan Allah Swt superior dalam hal pengaturan dan kekuasaan.
Dialah Tuhan semesta alam. Setelah mencermati kandungan ayatayat
mutasyâbih dan memproyeksikannya pada ayat-ayat muhkam,
maka seluruh ayat Al-Quran dengan sendirinya menjadi muhkam
itu sendiri, sebagaimana difirmankan Allah Swt, “(Inilah) suatu kitab
yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Mahabijak lagi Mahatahu” (QS
Hud [11]: 1).
p:176
Demikian pula dalam kasus naskh. Bila dicermati secara
seksama, lagi-lagi terlihat dengan jelas bahwa naskh secara umum
tidak termaktub dalam Al-Quran. Dalam pemahaman umum
yang berkaitan dengan naskh, suatu aturan memang disusun serta
diberlakukan secara permanen dan untuk selamanya. Namun,
saat ditemukan sejumlah kekurangan yang melekat pada aturan
tersebut, dengan serta merta diberlakukan aturan lain yang menaskh
dan menghapusnya. Jelas, kondisi ini mustahil terjadi pada
Al-Quran. Kalau pun seolah-olah beberapa ayatnya memiliki
kemungkinan semacam itu, namun dapat dipastikan, anggapan ini
semata-mata berasal dari pengamatan sepintas lalu. Lain hal bila
ayat-ayat tersebut dicermati secara seksama; niscaya akan dipahami
bahwa beberapa hukum sejak awal memang sengaja disusun dan
diberlakukan secara terbatas dan temporal. Karena itu, saat masa
berlakunya telah berakhir, Al-Quran akan mengumumkannya lewat
pemberlakuan hukum baru. Dengan kata lain, sejak awal disusunnya,
hukum yang pertama memang diberlakukan untuk jangka waktu
tertentu. Sedangkan dalam sebagian kasus, bahkan sejak awal telah
dikemukakan bahwa hukum yang dimaksud hanya berlaku hingga
informasi berikutnya. Saat informasi yang dimaksud diumumkan,
masa berlakunya pun berakhir. Tentu saja ulasan mendetail seputar
topik muhkam dan mutasyâbih, nasikh dan mansukh, mesti dipaparkan.
Akan tetapi mengingat terbatasnya ruang dan waktu dan agar
pembahasan tidak melebar ke mana-mana, keharusan tersebut tidak
dapat direalisasikan pada kesempatan ini. Hanya saja, agar tidak
sampai muncul anggapan bahwa sejumlah ayat Al-Quran saling
menafikan dan kontradiktif satu sama lain, akan dikemukakan satu
atau dua contoh seputar nasikh dan mansukh.
Berkenaan dengan kasus perempuan yang ditinggal mati
suaminya, Al-Quran mengatakan dalam salah satu ayatnya: “Dan
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
p:177
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)” (QS Al-
Baqarah [2]: 240). Perempuan yang menjanda—karena ditinggal
mati suami—dapat tinggal di rumah suaminya selama setahun dan
biaya hidupnya mesti dijamin selama itu. Tak seorang pun berhak
memintanya keluar dari rumah itu. Ini sudah menjadi tradisi di
kalangan bangsa Arab pada masa itu. Ayat ini kemudian dijelaskan
dengan adanya ayat iddah wafat yang bagi sebagian kalangan
merupakan ayat naskh. Dalam ayat ini ditegaskan: “Dan orangorang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari” (QS Al-Baqarah [2]: 234).
Boleh jadi dikatakan, ketetapan ini menafikan ketetapan pertama.
Namun, lewat pernyataan dalam aturan kedua, jelas sudah bahwasanya
aturan pertama sejak awal memang dimaksudkan berlaku
untuk sementara waktu. Sedangkan ayat kedua menjadi deklarator
berakhirnya masa berlaku ayat pertama. Kalam semacam ini tidak
dapat dianggap kontradiktif karena dianggap lumrah dalam lingkup
kebiasaan orang-orang berakal, serta dari segi prinsipprinsip ujaran.
Kasus lebih jelas lagi berhubungan dengan para wanita yang
terlibat dalam aksi keji. Berkenaan dengan mereka, Al-Quran pada
awalnya mengatakan: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya” (QS An-
Nisa’ [4]: 15). Bila diperhatikan secara saksama, bagian akhir dari
ayat ini menegaskan bahwa hukum tersebut (mengurung) berlaku
sampai diturunkannya informasi berikut.
p:178
Ayat lain menjelaskan aturan selanjutnya berkenaan dengan
perempuan-perempuan yang tidak bersuami(1): “Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera” (QS An-Nur [24]: 2). Mengingat hukum ini
merupakan informasi lanjutan dari hukum pertama, maka keharusan
mengurung tidak lagi berlaku, melainkan dengan menderanya sebanyak
seratus kali, dan kemudian membebaskannya. Ketetapan ini
bukan tergolong menafikan atau kontradiktif dengan ketetapan pertama;
melainkan lebih sebagai penjelas dan informasi lanjutannya.
Dalam aturan percakapan, semua itu sangat umum terjadi sehingga
tidak dapat dikategorikan sebagai disharmoni atau kontradiksi.
Kultur masyarakat senantiasa mengalami perubahan sebagaimana
kebanyakan fenomena lainnya. Tidak pernah ditemukan dua
generasi manusia memiliki kultur yang identik dalam semua aspek.
Pola pergaulan, bahasa percakapan, cara berpakaian, gaya rambut,
pola komunikasi, dan sebagainya senantiasa berubah-ubah. Seiring
berakhirnya era satu generasi (sekitar 30 tahun), terjadi perubahan
dalam semua aspek tersebut. Persoalannya kemudian, apa yang
berubah? Apakah ilmu dan pengetahuan juga berubah? Apakah
relasi manusia dengan realitas kian mengarah pada kesempurnaan,
atau malah mengalami kemerosotan? Sekalipun merupakan tema
terbaik, namun persoalan relasi manusia dengan realitas tidak akan
dibahas dalam kesempatan kali ini.
Yang terang, perubahan merupakan fakta yang tak dapat
disangkal. Terdapat beberapa riwayat yang menyinggung masalah
ini. Di antaranya, riwayat dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
as, “Janganlah kalian memaksakan kultur atau tradisi kalian kepada anakanak
kalian karena sesungguhnya mereka tercipta untuk suatu masa yang
p:179
bukan masa kalian.”(1) Janganlah Anda berharap anak-anak Anda
memiliki budaya yang sama dengan Anda.
Begitu pula dengan karya tulis yang disusun dalam konteks
kebudayaan di masa hidup penulisnya; tidak dikecualikan dari
prinsip ini. Berlalunya waktu senantiasa menjadikan suatu karya
tulis terasa kuno dan usang, sekaligus memudarkan aspek estetiknya.
Sebab nilai- nilai estetik yang berlaku dalam kultur tertentu akan
pudar seiring berlalunya waktu serta sekaligus digantikan oleh nilainilai
estetik yang muncul kemudian. Tentu saja daya resistensi masingmasing
dari pengaruh tersebut berbeda-beda. Sebagian kultur dan
karya tulis lebih cepat pudar dan terlupakan dalam satu atau dua
generasi (bahkan kurang darinya). Sementara sebagian lainnya lebih
lambat pudar, dikarenakan memiliki keistimewaan yang khas. Bila
dicermati, karya-karya tulis semacam Gulestôn karya Sa‘di, Syohnômeh
karya Firdausi, dan Dîvôn karya Hafez tidak terpengaruh keunggulan
lain seperti koleksium puitik lainnya. Begitu pula dengan Târîkh
Al-Bayhaqi yang bila dibaca dengan seksama, akan memendarkan
keindahan-keindahan baru.
Darinya dapat dipahami bahwa kesempurnaan karya tulis atau
ujaran berhubungan dengan kesempurnaan penulis atau pengujar.
Dalam hal ini, seorang orator ulung mampu menjadikan ujarannya
sedemikian kuat dan indah sehingga tidak memudar dalam tempo
cepat atau dilupakan dalam kebudayaan yang terbentuk di masa
mendatang. Alhasil, ujaran lisan dan tulisan manusia berbeda-beda
dari segi kesempurnaannya. Sekarang, saat kesempurnaan dan
keindahan absolut berbicara, Dia mampu menerapkan seluruh tolok
ukur estetik secara absolut pula dalam konteks ujaran serta
menciptakan kalam nan indah sedemikian rupa, sampai-sampai
memustahilkan adanya kalam atau ujaran lain yang lebih indah
darinya. Karena, Dia Mahatahu segenap tolok ukur keindahan
p:180
dan Mahamampu menerapkannya. Al-Quran memiliki seluruh
keistimewaan ini. Al-Quran adalah satu-satunya kalam yang
memperhatikan seluruh tolok ukur untuk menyusun komposisi
kalam, baik dari segi harfiah maupun maknawi. Karena itulah,
Al-Quran disebut sebagai kalam terbaik atau terindah:
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (atau indah yaitu)
Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
(QS Az-Zumar [39]: 23).
Dengan alasan inilah, segenap keindahan Al-Quran tidak
tertandingi jenis keindahan apapun yang muncul kemudian. Saat Al-
Quran diturunkan, semenanjung Arab secara kultur dan peradaban,
berada pada zaman masa jahiliyah. Namun demikian, Al-Quran
sebagai karya seni yang sangat kaya, dinamis, dan tiada tanding turut
memperkaya khasanah budaya Arab dari aspek seni, keindahan, dan
kesempurnaannya. Dari sudut pandang ini, Al-Quran bukan hanya
tidak terpengaruh dan memudar seiring berlalunya waktu, melainkan
bahkan berlalunya waktu dan tercapainya berbagai kemajuan dalam
bidang ilmu, pengetahuan, dan seni, justru keindahan-keindahan riil
Al-Quran yang sebelumnya tersembunyi menjadi lebih jelas terlihat.
Struktur ujaran Al-Quran sedemikian rupa, sehingga
memunculkan beragam makna, dan pengertian kata-katanya tidak
terbatas dalam satu atau dua makna. Acap kali dijumpai bahwa satu
kata atau ayat Al-Quran memiliki arti yang berbeda-beda namun
semuanya selaras dengan ujarannya secara harfiah serta prinsipprinsip
dasar ujaran. Ini mengingat aspek batin Al-Quran berlapislapis,
sebagaimana diungkapkan sejumlah riwayat, “Sesungguhnya
Al-Quran memiliki batin dan batinnya pun memiliki batin lagi.”(1)
p:181
Batin Al-Quran dapat dirasakan melalui ketakwaan dan kesucian,
bukan dengan prinsip-prinsip dasar ujaran. “Tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS Al-Waqi’ah [56]: 79). Artinya,
hakikat [Al-Quran] tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang
suci dan disucikan.
Lebih dari itu, segi harfiah kitab suci ini pun memiliki kapasitas
untuk menampung beragam kemungkinan. Dalam riwayat para
imam as yang berkenaan dengan masalah ini, dikatakan bahwa Al-
Quran memiliki beberapa arti dan bentuk, serta memiliki berbagai
kemungkinan.(1) Dengan kata lain, Al-Quran sebenarnya mudah
dipahami tak ubahnya (ayat-ayat) muhkam serta dapat dimengerti
dengan jelas—bukan sesuatu yang bersifat ambigu dan samar, atau
diistilahkan dengan mutasyâbih. Sementara, ujaran manusia tidak
memiliki keistimewaan dan kualitas semacam ini. Aspek harfiah
dari ujaran manusia tidak variatif (dalam hal bentuknya), juga tidak
punya kapasitas untuk menampung berbagai kemungkinan makna
yang jelas. Serta tidak mengandung kedalaman dan aspek batiniah
yang berlapis-lapis.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah (QS
Az-Zumar [39]: 23).
Bagian akhir ayat ini menyinggung soal efektivitas Al-Quran
yang begitu menakjubkan.
Ujaran prosais yang secara harfiah seimbang dan indah, serupa
dengan syair. Dan bila sedemikian mendalam dan memikat, akan
diidentikan dengan sihir. Karena, “Sesungguhnya banyak penjelasan
p:182
yang mengandung sihir (yang dapat memengaruhi).”(1) Keindahan
harfiah Al-Quran sedemikian rupa, sampai-sampai berulang kali
disebut sebagai sihir. Seleksi huruf, i’râb, komposisi, dan struktur
kalimatnya sedemikian menawan sehingga menaklukan hati setiap
orang yang mendengarnya. Bila disuarakan dengan lantunan dan
irama yang menarik hati, niscaya ujaran estetik ini akan mengguncang
dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun. Ujaran ini mampu
mematahkan dan menaklukan leher beton dengan keindahannya.
Irama Al-Quran yang menyentuh hati menjadikan bulu roma berdiri,
wajah memerah, dan air mata menetes membasahi pipi.
Siang dan malam, jutaan manusia, ribuan suara, dan berbagai
media massa mengulang-ulang lantunan kalam Al-Quran yang
begitu elok. Lebih menakjubkan lagi, semakin sering diulang,
keindahannya justru semakin memancar. Padahal, mengulang-ulang
suatu ujaran seindah apa pun, akan membuatnya menjemukan dan
membosankan. Kalam Al-Quran merupakan pengecualian. Sama
sekali ia tidak menimbulkan kebosanan, tidak pula tak berpengaruh
pada jiwa. Kenyataan ini diakui kalangan pro maupun kontra Al-
Quran. Lantaran daya tarik dan keindahan kalam inilah, ribuan
majelis qurani digelar pada pagi dan malam hari. Materi-materi
qurani selalu menjadi bahan diskusi dari waktu ke waktu. Bacaan
Al-Quran dilantunkan di setiap tempat. Bahkan Al-Quran menjadi
bacaan rutin majelis umat Islam. Alangkah banyak pendosa yang
hatinya keras, dikarenakan mendengar lantunan ayat-ayat Al-Quran,
menjadi lembut. Mereka pun akhirnya kembali ke pangkuan Al-
Quran. Alangkah banyak individu yang lantaran mendengar kalam
Al-Quran nan indah, sekonyong-konyong terpikat dan menemukan
dalam Al-Quran sesuatu yang dicarinya selama ini. Al-Quran bahkan
memberikan pengaruh pada kalangan individu yang keras kepala
dan bersikap angkuh—namun dikarenakan berjiwa kotor, mereka
pun tak juga condong kepadanya.
p:183
Lantaran aspek mukjizat dan efektivitas Al-Quran, suatu kaum
yang tadinya tenggelam dalam budaya jahiliyah, berubah secara
drastis jadi sekumpulan umat dengan keyakinan baru dan kecintaan
yang begitu mendalam pada kebenaran. Umat Islam yang berkumpul
di sekeliling Rasulullah Saw begitu terpaku pada keindahan Al-
Quran yang beliau sampaikan. Pengaruh Al-Quran terhadap jiwa
sedemikian rupa, sampai-sampai membuat kaum perempuan dan
lelaki, Arab dan Ajam, terpaku dalam pesonanya. Mereka seketika
itu melupakan seluruh kultur jahiliyah. Tak ada kekuatan, ancaman,
dan teror apa pun yang mampu memisahkan mereka dari Al-
Quran. Mereka sudi menanggung siksa musuh yang membencinya,
bahkan siap mengorbankan diri, asal tetap menyatu dengan cita-cita
suci dan Al-Quran.
Daya tarik Al-Quran sedemikian kuat, sampai-sampai mampu
memisahkan anak-anak dari keluarganya; bahkan memisahkan
suami dari istri. Daya tarik Al-Quran benar-benar superior. Kecintaan
terhadap anak atau kasih sayang suami dan istri, juga kecintaan
pada tanah air atau kekayaan dan jabatan, tidak mampu menandingi
kecintaan pada Al-Quran. Di Mekah, kalam paling ekspresif dan
berpengaruh adalah bacaan Al-Quran, yang terujar dari lisan
Rasulullah Saw. Bacaan ini sedemikian menarik hati, sampai-sampai
tidak satu kekuatan pun yang sanggup menandinginya.
Berpikirlah barang sejenak! Pembawa misi Ilahi ini telah diutus
dengan suatu risalah ke tengah bangsa yang semuanya memusuhi
kemuliaan dan kesucian. Namun, bagaimana mungkin figur ini
mampu menghadapi kaum jahiliyah dengan tangan kosong, tanpa
didukung kekuatan manapun? Bagaimana beliau mampu menuntun
mereka pada kebenaran hakiki? Berapakah jumlah sahabat, penolong,
dan modal yang dibutuhkan agar beliau mampu menembus selubung
budaya jahiliyah? Berapa orang yang harus diseru untuk mengikuti
kebenaran?
p:184
Rasulullah Saw tidak memiliki modal dan kemampuan material,
tidak pula kekuatan fisik untuk mengancam dan meneror. Namun
beliau membawa suatu kalam yang penuh daya tarik dan indah
seperti Al-Quran. Beliau Saw membaca Al-Quran siang malam di
sudut Ka’bah dan di tempat lain. Betapa lantunan malakuti, dengan
suara memikat hati dan nada mengguncang jiwa, yang disuarakan
oleh Rasulullah Saw, berubah menjadi mukjizat. Betapa pula bacaan
itu menimbulkan kesan yang tak mungkin ditandingi oleh kesan
yang diraih lewat sarana material. Efek bacaan Al-Quran yang
dilantunkan Rasulullah Saw sedemikian kuat, sehingga mampu
menghentikan langkah orang-orang yang sedang berlalu-lalang.
Mereka sekonyong-konyong terpaku dan terlena sampai berjamjam
lamanya hanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat suci
Al-Quran itu. Efektivitas dan daya tarik Al-Quran-lah yang menarik
perhatian umat manusia tanpa perlu sedikitpun mengeluarkan biaya.
Efektivitas lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan
Rasulullah Saw bahkan menggentarkan musuh yang lantas melarang
orang-orang mendengarkannya. Mereka menghimbau orang-orang
yang berlalu-lalang, para musafir dan peziarah Ka’bah, untuk segera
menutup telinganya saat memasuki Masjidil Haram agar tidak
sampai mendengar bacaan Al-Quran yang dilantunkan Rasulullah
Saw. “Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengar
dengan sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)” (QS Fushshilat
[41]: 26). Inilah ucapan para tokoh dan pemimpin kaum kafir yang
disampaikan pada para pengikutnya. Pasalnya, kesan kalam suci ini
sedemikian kuat. Mereka juga tidak membiarkan orang lain ikut
mendengarkannya. Efektivitas Al-Quran yang menyatu dengan
mukjizat inilah yang mengubah suatu bangsa yang tadinya hidup
jahiliyah menjadi umat Muslim yang beradab, berbudaya adiluhung,
beriman, berakhlak mulia, berbudi luhur, dan mengenal tata krama.
Fakta inilah yang membuat takjub semua orang.
p:185
Abu Sufyan, Akhnas bin Syuraiq, ‘Amr bin Hisyam (Abu
Jahal), dan ‘Amr bin Wahab merupakan sederet figur pembesar
suku Quraisy yang, sebagaimana diketahui semua orang, sangat
memusuhi Al-Quran. Mereka melarang orang-orang menyimaknya
seraya mewanti-wanti untuk mewaspadai sekaligus menjauhi Nabi
Saw, serta tidak mendengarkan bacaan beliau. Karena, mereka tahu
betul bobot Al-Quran dan telah menyaksikan bagaimana kitab ini
mampu menaklukkan jiwa yang keras. Namun, sebenarnya, mereka
sendiri terpesona oleh kefasihan, balâghah, dan keindahan Al-Quran.
Di kesunyian malam, tanpa saling tahu satu sama lain, masingmasing
mereka diam-diam mendatangi rumah Rasulullah Saw dan
selama berjam-jam duduk mendengarkan beliau melantunkan Al-
Quran. Saat fajar menyingsing, mereka sama-sama terkejut karena
saling memergoki masing-masing di situ. Mereka pun merasa malu
dan saling berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan ini. Keesokan
malam harinya pun, masing-masing kembali mendatangi rumah
Rasulullah Saw dengan anggapan bahwa yang lain tidak datang
sebagaimana malam sebelumnya. Tapi lagi-lagi mereka saling
memergoki satu sama lain. Saat itulah mereka berjanji untuk kedua
kalinya, tidak akan lagi mengulangi hal yang sama. Namun, daya
tarik Al-Quran tak mampu mereka bendung. Lagi dan lagi, mereka
mendatangi rumah Rasulullah Saw di malam hari.(1)
Pada suatu hari, Walid bin Mughirah berjalan melewati Ka’bah.
Sekonyong-konyong dia mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-
Quran dari mulut suci Rasulullah Saw yang saat itu sedang membaca
permulaan surah Ghafir [40]. Walid yang dikenal berhati keras benarbenar
dibuat terpesona oleh bacaan Al-Quran. Ia sangat terpengaruh
dan terpikat. Ketika bertemu dengan sekumpulan temannya, dia
tak mampu menyembunyikan perubahan dirinya di mata mereka.
Setelah menanyakan penyebabnya, mereka sadar akan ketertarikan
Walid pada Al-Quran dan menghujaninya dengan berbagai kecaman.
p:186
Abu Jahal mengatakan dengan nada sinis, “Orang-orangmu
berniat memberikan harta benda untukmu agar engkau tidak lagi
duduk di situ sehingga tidak lagi terpesona dengan ucapan-ucapan
Muhammad.”
Keindahan dan kelezatan Al-Quran sedemikian memengaruhi
Walid; sampai-sampai dia tidak mampu menyembunyikan
perasaannya. Mulutnya ternganga sebagai pengakuan jujur atas
keindahan Al-Quran. Dia berkata, “Aku mendengar sebait kata
dari Muhammad Saw yang [aku yakin] bukan berasal dari ujaran
manusia, juga bukan dari ujaran bangsa jin. Sungguh kata-kata itu
sedemikian indah dan nikmat. Bagian paling atas menghasilkan
buah, sedangkan paling bawahnya mengakar kuat. Ia (kata-kata itu)
sangat agung dan tak ada yang mampu menandinginya.”(1) Inilah
pengakuan seorang musuh yang keangkuhannya dikemukakan
Al-Quran dan menjadi penyebab diturunkannya ayat: “Kemudian
dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri … Ini tidak lain
hanyalah perkataan manusia” (QS Al-Muddatstsir [74]: 23–25).
Jubair bin Muth’im merupakan salah seorang tawanan
perang Badr. Dia memasuki Madinah saat Rasulullah Saw sedang
melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Saat itu, Rasulullah Saw
sedang membaca surah At-Thur. Ketika tiba pada ayat: “Sesungguhnya
azab Tuhanmu pasti terjadi” (QS At-Thur [52]: 7), Jubair berkata,
“Hatiku seakan-akan tercerabut.”(2) Dalam versi, disebutkan bahwa
dia berkata, “Hatiku seolah-olah melayang.”(3) Inilah efektivitas
dan aspek mukjizat Al-Quran yang membuat orang yang hanya
mendengar beberapa ayatnya saja, akan langsung kehilangan
kesadarannya.
Thufail bin ‘Amr Dausi, penyair Arab terkemuka, memasuki
kota Mekah. Orang-orang Quraisy berpesan kepadanya agar tidak
mendengarkan ucapan-ucapan Muhammad. Mereka berkata, “Orang
p:187
ini (Muhammad) menciptakan perselisihan dan pertikaian di antara
kami lewat ucapan-ucapannya yang mengandung sihir. Dia telah
mengakibatkan banyak kesulitan bagi kami; memisahkan istri dari
suami, ayah dari anak, saudara dari saudari. Berhati-hatilah, jangan
sampai engkau mendengarkan ucapannya.” Thufail memercayai
kata-kata itu dan menutup telinganya dengan kapas, lalu masuk
ke Masjidil Haram (di masa jahiliyah sekalipun, terdapat tradisi
berziarah ke Baitullah). Dia melihat Rasulullah Saw sedang shalat
di pinggir Ka’bah. Dia tidak mendengar sama sekali suara Nabi
Saw lantaran telinganya tertutup. Tiba-tiba, dia membatin, “Thufail,
engkau itu orang berakal, mengapa harus takut untuk mendengar
ucapan-ucapan Muhammad?” Sejenak dia menyimak ujaran fasih
beliau Saw. Manakala suara bacaan Al-Quran menghujam telinganya,
dia spontan melepaskan kapas di telinganya. Saat itulah dia
dapat leluasa mendengarkan lantunan indah bacaan Al-Quran.
Thufail sedemikian terkesan mendengar dengan kalam Al-Quran,
sampaisampai dirinya langsung menyatakan keislamannya saat
itu juga. Ketika pulang ke daerahnya, dia menyeru keluarga dan
kaumnya untuk masuk Islam; dan mereka pun berbondong-bondong
memeluk agama Islam.(1)
Demikianlah, dengan sangat mudah, suatu kaum memeluk
Islam setelah mendengar lantunan kalam Al-Quran yang begitu
menggugah. Al-Quran menaklukan hati dan membius akal berkat
mukjizatnya yang sedemikian agung. Rasulullah Saw memikat hati
banyak orang dengan modal ini. Demikianlah beliau mengubah
bangsa yang tadinya jahil dan zalim menjadi umat yang beradab,
berbudaya luhur, dan rela berkorban. Demikianlah siang dan malam,
kalam terindah ini senantiasa melembutkan hati, memerahkan wajah,
dan menjadikan air mata mengalir di pipi. “Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang
p:188
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka
di waktu mengingat Allah” (QS Az-Zumar [39]: 23). Inilah efektivitas
Al-Quran. Pembahasan seputar tema utama yang terdiri dari dua
kategori, yakni estetika ujaran dan ujaran estetik, berakhir di sini—
seraya mengingatkan pada beberapa poin penting yang layak
diperhatikan dan dikaji lebih jauh.
Ummi
Mayoritas peminat Ulumul Quran dan ahli tafsir Al-Quran
menyebut kondisi ummi Rasulullah Saw sebagai aspek lain mukjizat Al-
Quran. Dengan kata lain, dikarenakan Nabi Saw tidak belajar (kepada
siapa pun juga), kemunculan suatu kitab nan indah dan mendalam
seperti Al-Quran berbarengan figur agung semacam ini merupakan
sebuah mukjizat. Ayat berikut menjadi dasar argumentasi mereka:
“Katakanlah, ’Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya
kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.’
Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya.
Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS Yunus [10]: 16) Bila
Al-Quran berasal dari diriku sendiri, mengapa aku yang selama ini
hidup bersama kalian selama 40 tahun, tidak menyampaikan kabar
mengenai ucapan-ucapan ini sebelumnya? Karenanya, ketahuilah,
Al-Quran turun dengan kehendak dan iradah Ilahi.
Jelasnya lagi, setiap orang di situ mengetahui betul masa lalu
Nabi Saw. Selama 40 tahun, beliau tak pernah sekalipun mengenyam
pendidikan di sekolah, tidak pula belajar (kepada seseorang), atau
menghadiri pusat-pusat kajian dan pendidikan ilmiah. Beliau
benar-benar sosok yang ummi. Bagaimana mungkin beliau mampu
menciptakan kitab Al-Quran yang memuat berbagai pengetahuan
mendalam serta berpandangan tajam dalam semua bidang keilmuan
dan kehidupan. Keberadaan kitab seperti ini, yang dibawa sosok
ummi yang tidak pernah belajar sekali pun, tentunya mustahil,
kecuali itu adalah mukjizat.
p:189
Berkenaan dengannya, dapat dikatakan bahwa kondisi Rasulullah
saw yang ummi tidak dapat dijadikan argumen seputar mukjizat Al-
Quran. Pasalnya, wawasan Al-Quran bukan termasuk ihwal yang
dapat dikuasai sekalipun oleh orang-orang yang terdidik (semisal,
sarjana lulusan universitas) dan bukan ummi. Bila semua orang
jenius dan cerdas di muka dunia serentak melakukan penelitian dan
kajian terhadapnya selama bertahun-tahun, niscaya mereka tak akan
pernah mampu menciptakan kitab seperti Al-Quran. Pada akhirnya,
mereka akan mengakui ketidakmampuannya, lantaran wawasan Al-
Quran melampaui daya intelektual manusia.
Tantangan Al-Quran ditujukan pada pusat-pusat kajian
ilmiah, seraya memintanya mengumpulkan seluruh pakar untuk
menciptakan yang sama dengan Al-Quran. Namun yakinlah, mereka
tidak akan pernah mampu melakukannya. Karena itu, kondisi
Rasulullah Saw yang ummi tak ada sangkut pautnya dengan mukjizat
Al-Quran. Kalau pun Nabi Saw menghabiskan umurnya di pusatpusat
kajian ilmiah dan pada saat bersamaan, wawasan sakral ini
diwahyukan kepada beliau, maka Al-Quran tetap berstatus mukjizat.
Adapun mengapa Al-Quran menceritakan masa lalu Rasulullah Saw,
menyatakan bahwa beliau itu ummi, dan menegaskan bahwa beliau
tidak pernah menulis, itu karena:
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (sebelum pengangkatan
sebagai nabi atau bi’tsah) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah)
menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu
pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang
mengingkari(mu) (QS Al-‘Ankabut [29]: 48).
Ayat tadi mengindikasikan bahwa Rasulullah Saw tidak
membaca, tidak pula menulis.Namun, ini bukan berarti beliau
“tidak mampu” membaca dan menulis. Salah satu hikmahnya,
agar audiens lebih siap menerima risalah Rasulullah Saw. Karena,
p:190
jika beliau Saw pernah belajar atau menulis, niscaya sebagian orang
yang selalu mencari-cari dalih, akan segera mengklaim bahwa beliau
sendirilah yang menulis kitab tersebut; selain pula terbuka celah
untuk melancarkan propaganda dan fitnah keji, sekaligus menebar
sikap skeptis dan merusak suasana. Untuk menutup kemungkinankemungkinan
semacam ini, Al-Quran pun menandaskan bahwa
sepanjang hayat, Nabi Saw tidak pernah menulis dan membaca.
Ketika Nabi saw mengunjungi seorang pandai besi berkebangsaan
Romawi, mereka kontan mengatakan bahwa Al-Quran merupakan
produk pengajaran manusia, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran
itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’” (QS
An-Nahl [16]: 103). Al-Quran seketika menjawab dengan nada tegas,
“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar
kepadanya bahasa Ajam, sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab
yang terang” (QS An-Nahl [16]: 103). Kehidupan Nabi saw yang terang
benderang dan memiliki kekhasan itu bertujuan untuk menutup
semua celah bagi musuh untuk melancarkan fitnah, sekaligus
mempersiapkan lahan yang sepenuhnya kondisi untuk menerima Al-
Quran. Kondisi ummi Nabi Saw dimaksudkan sebagai lahan yang
subur untuk turunnya Al-Quran dan agama; bukan untuk dijadikan
argumen ihwal mukjizat Al-Quran.
Dalam beberapa tulisan yang baru diterbitkan sekaitan dengan
tema mukjizat Al-Quran, dikemukakan aspek lain mukjizat Al-Quran
yang diistilahkan dengan “mukjizat angka”.
Menurut tulisan-tulisan tersebut, sebagian ujaran qurani
korespon dengan realitas. Juga, banyak kasus yang berkenaan
dengan kata-kata yang saling berlawanan dalam Al-Quran, di mana
lawan kata masing-masing dari segi angka dan bilangannya, ternyata
berjumlah sama. Sebagai contoh, dalam Al-Quran, kata syahr (bulan)
digunakan dalam 12 kasus atau setara dengan jumlah bulan dalam
p:191
setahun. Atau, kata yawm (hari) yang disebutkan sebanyak 365 kali
atau setara dengan jumlah hari dalam setahun. Kata dunyâ (dunia)
dan lawannya, âhirah (akhirat), disebutkan dalam 115 kasus. Iblis
dan isti’âdzah (memohon perlindungan dari godaannya) disebutkan
di 11 tempat. Kata hayât dan lawannya mamât sama-sama disebutkan
sebanyak 145 kali. “Neraka” dan lawan katanya, “surga”, sebanyak
77 kali, rajul (laki-laki) dan lawannya imra’ah (perempuan) sebanyak
24 kali, khayr (kebaikan) dan lawannya syarr (keburukan) sebanyak
68 kali, malaikat dengan lawannya, setan, sejumlah 88 kali, iman
dengan kufur sebanyak 17 kali, tayyib (yang baik) dan lawannya
khabîts (yang buruk) sebanyak 7 kali, rusyd (petunjuk) dan ghayy
(kesesatan) sebanyak 3 kali, qabl (sebelum) dan ba’d 49 kali
(1), dan
seterusnya.
Bila ulasan semacam ini memiliki dasar dan argumen yang kredibel
tentunya akan menarik dan menakjubkan, sekaligus menunjukan
aspek lain mukjizat Al-Quran. Terlebih di masa sekarang, manakala
sains dan teknologi telah berkembang pesat. Dengannya, niscaya
tercipta peluang yang sangat besar untuk melakukan kajian dan studi
yang lebih mendalam. Namun satu hal yang tidak boleh diabaikan;
kesimpulan yang diambil harus bersumber didasari kajian yang serius
dan tidak hanya bersandar pada asumsi dan prasangka. Karena, jika
hanya terbatas pada asumsi semata, maka itu malah akan menyulut
keraguan. Pada sejumlah kasus yang telah disebutkan, beberapa di
antaranya tidak didasarkan pada kajian dan penelitian yang cermat.
Misalnya, kata yawm disebutkan dalam Al-Quran kurang dari 365
kali, sedangkan derivatifnya justru lebih dari 365 kali. Atau, dengan
dasar apa kita memposisikan iblis vis-a-vis isti’âdzah? Mengapa pula
tidak menempatkan setan atau keduanya (iblis dan setan) vis-à-vis
isti’âdzah? Dan beberapa kejanggalan lainnya.
p:192
Semua yang yang telah disebutkan dalam bab estetika ujaran
dan ujaran estetik, sebagai bagian dari pembahasan seputar mukjizat,
berdimensi bayân, yaitu seni mengungkapkan ide dalam berbagai
cara. Juga berdimensi ma’ânî, yaitu wawasan seputar kondisi ujaran.
Ada pun dari dimensi badi‘ berupa tata letak dan dekorasi ujaran
dari aspek kata-kata dan kandungannya. Pastinya, seluruh dimensi
Al-Quran memiliki kapasitas yang tidak terbatas. Semua yang telah
dijabarkan dalam karya tulis ini hanyalah sekelumit dari wawasan
hakiki tentangnya, itu pun sebatas kemampuan. Tulisan ini juga
bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir, yang mengungkap
aspek mukjizat Al-Quran. Karena, ratusan karya tulis nan indah telah
[dan diyakini akan terus] ditulis sekaitan dengan topik ini.
Namun yang jelas, tak seorang pun punya kemampuan untuk
menandingi Al-Quran. Malah, orang-orang yang mati-matian menentang,
melawan, atau menandingi Al-Quran—seberapa banyak pun
jumlahnya—pada akhirnya mengakui ketidakberdayaannya. Alangkah
banyak orang yang berencana menandingi Al-Quran namun saat
membandingkan tulisan dan ujarannya dengan ayat-ayat Al-Quran,
dengan sangat terpaksa merobek sendiri karya tulisnya seraya
berkecil hati dan menahan malu. Mereka enggan memperlihatkan
hasil karyanya. Hanya beberapa orang tidak berakal, tak punya harga
diri, dan tidak tahu malu yang nekat dan blak-blakan menyatakan
penentangannya seraya menistakan dirinya sendiri. Kisah tentang
mereka tercatat dalam sejarah, dan akan disinggung soal cacat dan
kenistaan beberapa dari mereka.
Musailamah, sosok ambisius yang berasal dari Yamamah.
Semasa hidup Rasulullah Saw, dia menemui beliau, berpura-pura
masuk Islam, lalu memohon beliau menyertakannya dalam urusan
p:193
risalah kenabian. Dalam surat yang ditulisnya kepada beliau Saw, dia
membagi kekuasaan dunia ke dalam dua bagian seraya mengatakan
bahwa separuh belahan dunia miliknya, sedangkan separuh lagi
untuk suku Quraisy. Menjawab surat itu, Nabi Saw menulis:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah (utusan Allah) kepada Musailamah
Kadhdhab (Pembohong); Keselamatan diberikan kepada orang
yang mengikuti petunjuk. Amma ba’d. Sesungguhnya bumi
(ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.(1)
Saat itulah Musailamah mengklaim di depan orang banyak,
“Aku turut ambil bagian dalam tugas risalah dan kenabian dengan
Muhammad.” Dia mengklaim kenabian dan saat itu pula memulai
aksinya dengan meniru pola sajak nan indah yang digunakan Al-
Quran, seraya menyusun kata-kata yang senada dengan lantunan
Al-Quran, sebagaimana kalimat berikut ini:
لقد انعم الله علی الحبلی * اخرج منها نسمة تسعی * من بین صفاق و حشی * و احل لهم الخمر و الزنا
ووضع عنهم الصلاة(2) و السل الاطعم * و الدئب * والجذع الازلم *
ما انتهکت اسید من محرم(3) *
الفیل * ماالفیل * و ما ادراک ماالفیل * له ذنب وبیل * و خرطوم طویل(4) *
p:194
Juga dengan meniru surah Al-Kautsar, dia membuat surah
tandingan yang bunyinya:
انا اعطیناک الجماهر * فصلّ لربک وجاهر *
والطاحنات طحنا * والعاجنات عجنا * والخابزات خبزا(1)
dan masih banyak lagi.
Musailamah mengklaim kenabian dirinya di Yamamah,
menyesatkan banyak orang awam, serta mengerahkan penduduk
Yamamah untuk memerangi kaum Muslimin semasa Abu Bakar
berkuasa. Dalam peperangan ini, puluhan qari’ dan juru hafal Al-
Quran terbunuh. Akhirnya, setelah nyawa ratusan orang melayang
dengan sia-sia, Musailamah pun tewas.(2)
Saat Musailamah menyebarluaskan fitnah di Yamamah, seorang
wanita bernama Sajah binti al-Harits juga mengklaim kenabian di
Hijaz. Dia merekrut sejumlah orang bodoh dan mengganggu kaum
yang lemah. Tak lama setelah itu, dia bertolak ke Yamamah. Saat
hendak berangkat ke sana, dia mengatakan:
علیکم بالیمامة * ودقوادفیف الحمامة
فانها غزوةصرامة * لا یلحقکم بعدها ملامة
Ketika memasuki Yamamah, Musailamah mengundang Sajah
ke rumahnya dan membuatkan kemah secara terpisah seraya
menghiasinya. Musailamah lalu menemuinya dan bertanya, “ Wahyu
apa yang turun kepadamu?” Sajah menjawab, “Karena engkau
yang lebih dulu mengklaim kenabian, katakanlah, wahyu apa yang
p:195
telah turun kepadamu?” Musailamah berkata, “Telah turun wahyu
kepadaku bahwa: A lam tara ila rabbika kayfa fa’ala bi al-hablâ
(Tidakkah kamu memperhatikan Tuhanmu bagaimana berbuat terhadap
wanita hamil).” Pada saat itulah, keduanya saling melempar
kata-kata yang lantas diklaim sebagai wahyu. Pertemuan itu diabadikan
sejarah sebagai kebobrokan mereka. Mengingat kandungan dan isi
kata-kata mereka berdua jauh dari etika dan etiket, kami akan tidak
menyebutkannya dalam tulisan ini. Inilah sejumlah contoh pendek
perihal apa yang disebut sebagai ayat-ayat tandingan Al-Quran—
yang justru menjadikan para penyusunnya dicatat sejarah sebagai
orang-orang yang membongkar sendiri kebobrokan pribadinya
dikarenakan ucapannya benar-benar amoral, tidak berdasar, serta
sarat keburukan.
Sosok-sosok lainnya yang juga berusaha menandingi atau bahkan
melawan Al-Quran adalah Thulaihah bin Khuwailid, Aswad ‘Ansi,
Ibnu Muqaffa’, Abu Syakir Daishani, Ibnu Abil ‘Auja, Ahmad bin
Rawandi, Abu Thayyib, Abul ‘Ala Ma’arri, dan nama-nama lainnya.
Bukannya ujaran yang sama persis dengan Al-Quran, mereka malah
menciptakan ujaran yang tak berdasar. Mereka tidak memperoleh
apa pun selain keburukan dan cemoohan. Menceritakan ihwal
mereka kiranya tidak terlalu penting, kalau bukan malah hanya
buang-buang waktu saja. Kedunguan dan mitos yang terpantul dari
ujaran ciptaan mereka sudah cukup membongkar kenistaan semua
nabi palsu itu. Pesan dan misi Al-Quran adalah mengingatkan semua
orang agar tidak sampai menantang Al-Quran. Manusia diimbau
untuk menjauh dari ajang pertandingan melawan Al-Quran agar
tidak sampai digerus azab Ilahi dan keburukan dirinya terbongkar
habis.
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir
(QS Al-Baqarah [2]: 24).
p:196
Atsir, Ibnu: Al-Nihâyah, cet. Ismailiyan.
Balaghi: Âlâ’ Al-Rahmân.
Bazargani, Mahdi: Bod va Boron.
Deraz, Dr.Abdullah: Al-Naba’ Al-‘Azdîm.
Farahidi, Khalil: Kitâb Al-‘Ayn, cet. Jami’ah Mudarrisin, Qom.
Fashlnômeh Puzhuhesyhô-ye Qur’ôni, vol. 1.
Firdausi: Syohnômeh.
Ghazali: Ihyâ’ Ulûm Al-Din.
Hadid, Ibnu Abil (komentator): Syarh Nahj Al- Balâghah .
Hudhairi, Abdul Ali Arusi: Nûr Al-Tsaqalain.
Isfahani, Raghib: Mufradat li Alfâzd Al-Qur’ân.
Eslôm va Hay’at (terj.).
Khalidi: I’jâz Al-Qur’ân.
Khomeini, Imam: Tahrîr Al-Wasîlah.
Majlisi, Muhammad Baqir: Bihâr Al- Anwâr, cet. Beirut.
Majma‘ Al- Bayân, cet. Maktabah al-‘Alamiyah al-Islamiyah.
Makrifat, Ayatullah Muhammad Hadi: Al-Tamhid.
Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Qomi, Syaikh Abbas: Safînat Al-Bihâr, cet. Farahani.
Rifa’i, Adnan: Mu‘jizah Kasyf I’jâz Al-Qur’ân Al-Karîm, cet. 1415.
Sa’di: Gulestôn.
Saleh, Shubhi (komentator): Nahj Al- Balâghah.
Sîrah Ibn Hisyâm.
p:197
Suyuthi, Jalaluddin: Al-Durr Al-Mantsûr, cet. Maktabah Ayatullah
Mar’asyi.
___________: Al-Itqân.
Syahrestani, Hibatuddin: Al-Mu’jizah Al-Khâlidah.
Târîkh Al-Ya’qûbî, cet. Muassasah A’lami.
Thaba’thaba’i, Muhammad Husain: Qur’on dar Eslom.
___________: Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân.
Tsa’alibi: Fiqh Al-Lughah wa Sirr Al-‘Arabiyyah.
Wasa’il al-Syi‘ah, cet. Beirut.
Zarkesyi: Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân.
Zarqani: Manâhil Al-‘Irfân.
p:198
A
‘Ash bin Wa’il 160
Abadi 7, 10, 45, 47, 48, 49, 52, 87,
111, 131, 135, 193
Absolut 25, 32, 36, 39, 95, 114,
135, 194
Âfah 52
Agama 13, 18, 19, 20, 55, 56, 58,
59, 74, 99, 109, 146, 149,
150, 151, 152, 153, 155, 156,
158, 162, 164, 168, 169, 170,
202, 205, 213
Agen mediasi 45
Ahlul Bait 4, 5
Ahlul Kitab 138, 142, 143
Ahsan Al-Hadîts 11
Al-iqtibâs (Kutipan) 50
Al-muhassinât al-ma’nawiyyah
(Estetika Makna) 50
Al-Mu’jizahAl-Khâlidah 187, 198
Al-Munjid 164
Al-Nihâyah 164, 197
Alegori vi, 84, 86, 90
Ali Al-Jarim 50
Analogi 65, 75
Angka 191
Arab 2, 14, 16, 54, 56, 70, 81, 82,
91, 163, 164, 178, 181, 184,
187, 191
Atribut 10, 27, 54, 135
Awan 31, 54, 59, 74, 75, 165,
166, 167, 168, 169, 170,
B
“Bicara” 8
Badî vii, 11, 50, 107
Balâghah 9, 46, 47, 50, 119, 197
Baqilani 46, 107
Batil 86, 87, 99, 131, 134
Bayân 2, 11, 17, 46, 47, 50, 52, 197
Benda-benda Angkasa 162
Bihâr Al-Anwâr 10, 39, 52, 111,
117, 122, 133, 136, 181, 197
Budaya 9, 11, 80, 114, 144, 145,
180, 181, 184
Burhânî 55
C Causa prima 79
D
Daya fikir 200
Daya pikir 4, 117, 158
Dzul Fiqar 136
p:199
E
Efektivitas 26, 27, 29, 30, 31, 36,
37, 39, 42, 43, 51, 52, 53,
110, 182, 184, 187, 189
Egosentris 3
Eksistensi 26, 30, 31, 62, 75, 79,
119, 123
Ekspresif 6, 22, 53, 56, 65, 75, 76,
80, 82, 85, 86, 88, 98, 101,
103, 121, 184
Ekspressif 200
Elokuensi (Kefasihan) 86, 90
Emanasi 28, 29, 122
Epigram 102
Epistemologi 200
Estetika 22, 49, 95
Estetika Ujaran vi, 49
Etika 114, 158, 196
F
Fâ’il 200
Falak 164
Falak 44, 74, 163, 164
Fashâhah 45
Fashlwa washl 200
Fasih 14, 22, 45, 53, 56, 65, 70, 75
Fashâhah 45
Fashlwa washl 200
Fasih 14, 22, 45, 53, 56, 65, 70, 75,
76, 98, 101, 188
Fatimah, az-Zahra, as 40
Fenomena 25, 26, 27, 28, 35,
37, 101, 168
Fenomena udara fantasi 200
Fi’liyyah 200
Fiktif 14
Fir’aun 6, 35, 56
Firdausi 75, 76, 78, 180, 197
Fisik 21, 35, 82, 87, 185
Fisis 38, 124
Fitrah 4, 12, 118, 124
Pondasi 23, 24, 95, 128, 136, 139
Formatif ujaran 21, 22, 51
G
Glorifikasi 65
Guleston 74
H
Hadd (Hukuman) 45
Hafez 180
Hafizd Syirazi 9
Hak-hak Asasi Manusia viii, 139
Hak Asasi 152
Hakikat 25, 122
Halq 53
p:200
Hamsiyyah (Suara Bisikan) 51
Haq 18, 86, 87, 99, 131, 132, 136,
147, 159
Haqq 39, 57, 58, 171
Hasrat 3, 100, 155
Hati 9, 131
Hauzah Ilmiyah 6, 7
Hidayah 12, 90, 146
Hierarki v, 11
Hipotesis 33, 161, 162
Hubungan Internasional viii, 137
Hujan viii, 167
Hukum v, viii, 6, 25, 26, 152, 153,
179
Hukum Ilahi 6
Hukum Perdata viii, 152
Hukum Pidana viii, 153
Humiliasi 65
I
I’jâz (Kemukjizatan) 192, 197
I’jâz Al-Qur’ân 192, 197
I’jâzItnâb 201
I’râb vi, 61
Ibnu Abil Hadid 45, 46, 180
Ibnu al-Atsir 164
Ibrahim Al-Khalil, as. 30
Ideologi 95, 114, 137, 138, 142
Ikhtiar 8, 9, 122
Ilahi 6, 8, 13, 15, 18, 20, 21, 25,
28, 29, 30, 31, 33, 35, 38, 39,
40, 42, 67, 68, 70, 71, 72, 75,
79, 81, 84, 89, 90, 95, 97, 98,
99, 110, 114, 116, 117, 120,
121, 122, 125, 131, 132, 133,
134, 137, 138, 153, 162, 171,
184, 189, 196
Ilmu Ma’ânî 46
Ilmu Pengetahuan vi, viii, 35,
160
Ilmu Tafsir 2
Iltifât vii, 110
Imajinasi 4, 14, 43, 78
Imam Ali, as. 44, 47, 118, 139,
180
Imam as. 40
Imam Khomeini, ra. 5, 45
Imam Shadiq, as. 44, 45, 52, 67
Iman viii, 6, 79, 142, 132
Imperatif v, 33
Individu 3, 4, 39, 42, 122
Indriawi (Visibel) 25
Inheren 11, 22, 30, 133, 161
Inkonsistensi 18, 53, 86, 172
Insyâ 50
Intuitif 45
Invisibel 26, 29, 30, 31, 36, 37,
39
Invisibilitas 25
Iran iv, 5
p:201
ismiyyah 65
Isnâd Khabarî 50
isti’âdzah 192
Isti’ârah 91, 94, 98, 99 istimrâr 55
Itnâb 50
J
jahriyyah (SuaraKeras) 51, 53
Jalâl 120
Jalaluddin Al-Qazwini 50
jamal 119, 171
Jin 28, 88, 132
jism 164
jiwa-jiwa suci 31, 39
Jubair bin Muth’im 187
K
“Kalam Terindah” 7, 10
Kabar viii, 158, 160
Kafir viii, 143, 144, 147, 148
kaidah 3, 80, 101, 107, 129, 155
Kalam (Ujaran) v, 7, 8, 10, 11, 12,
18, 150, 173, 178, 183 kalam
keindahan (Ujaran Estetik)
11, 47
Karamah vi, 38
Kausa (Faktor Penyebab) 25, 26,
27, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 39,
40, 42, 75
kausa-kausa mediator 29
kausa instrumental 37
Kausalitas v, 26
kausa prima 25, 26, 27, 29, 31
kausa visibel 31, 37, 39
Keabadian vi, 34
Keadilan viii, 140
Keajaiban v, 11
Kebahasaan (Lingual) 38 Kebaikan
viii, 30, 141 Kebenaran
vii, 87, 99, 162 Kebudayaan
(Kultural) 38, 180
Kecenderungan vii, 123, 124,
125, 126, 141
Kecerdasan viii, 145
kefasihan ujaran 11 Keharmonisan
viii, 171 Keindahan vi, 16,
18, 39, 78, 80,
90, 94, 104, 107, 119, 183,
187
keindahan artistik 11, 91
keindahan kalam (Estetika
Ujaran) 11, 47, 183
Kemenangan viii, 131, 136
keniscayaan 4, 25, 120 Kepercayaan
12, 163 Kesempurnaan
11
Kinâyah 50, 80, 92
komunikasi 8, 179
konklusi 5
konsisten 18, 42, 54, 72, 139, 142,
152 Konspirasi
viii, 148
kontemplasi 5
Kontinuitas vii, 99
Indeks 203
Konvensional 15, 93
Kooperatif 26
Kreator 25
L
Lawh mahfûzd 203
Layyinah (Lembut) 51
M
Ma’âd 107, 120
Ma’âni, Al- 46, 47, 50
Mabda’ 121
Madaniyyah 2
Mahmûsah rikhwah 53
Mahmûsah syadîdah 53
Majâz 50
Makhraj (Lokus Ujaran) 51
Makkiyyah 2
Makna Ujaran vii, 113
Maknawi 38, 181
Malakût 30, 114, 122
Malakûti (gaib) 124
Manifestasi 11, 18, 39, 117, 120,
122, 127, 137
Mansûkh 2
p:202
Maqam Wilayah (Menjadi Wali)
40
Maqta’iy 55
Maryam, Siti 40, 42, 159, 161
Masyarakat viii, 130, 133, 157
Medium 8, 9, 36, 37
Melampaui (Beyond) 19, 22, 23,
35, 38, 90, 91, 98, 102,
107, 114, 115, 117, 126,
130, 152, 158, 162, 190
Menalar 5
Metafisis 38
Metafora vi, 91
Metafora 65, 70, 91, 176
Metode v, 7, 165
Metodik viii, 130
metonimi 65, 80
Miftâh Al-‘Ulûm 46
Morfologi 2
mufrad 50
mufsid 136, 154
muhkam 2, 175, 176, 177, 182
Mukjizat v, vi, vii, viii, ix, 21, 25,
29, 31, 33, 34, 35, 37, 38, 40,
42, 45, 46, 49, 50, 113, 158,
160, 191
Mukjizat Angka ix, 191
Munfatîhah (Terbuka) 51
Munkhafidhah (Rendah) 51
Munzaliqah (Naik) 51
Murtadha, ra.Sayyid 24
Musâwâh 50 Mushammanah
(Turun) 51 Musnad 50, 183,
197 musnadIlaih 204
Mustafa Amin 50 Mutabbaqah
(Tertutup) 51
p:203
Prasangka 5, 9, 162, 192
Prima facie 175
Prosa 15, 74, 75, 100, 104
Ptolemeus 162
Q
Qadha’ 160
Qâfiyah 100, 104
Qalam 10
Qalqalah 51
Qashr 50
Qirâ’ah 53
Quds 135, 150
R
Ragam Makna ix, 181
Rahasia v, viii, 21, 22, 145, 170
Rakhwah (Lemah) 51, 56
Rasional vi, 37
Relasi 8, 12, 26, 27, 29, 51, 93,
110,
147, 179,
Relasi-kausa aksidental 26
Relasi Antarlausa (Relasi Kausal)
26, 29
Retorika vi, 2, 50
Revolusi 5, 6, 7, 163
Ritme puitik 14
Rummani 46
Mutarraf vii, 105
Mutasyâbih 2, 175, 176, 177, 182
N
Nahw, Al- (Sintaksis) 2
Naluriah 8
Natiq 47
Nilai 9, 10, 12, 20, 29, 76, 80,
98, 101, 128, 129, 130, 138,
139, 152, 180
Non-istimrârî 65
O
Otonom 3, 26, 29
P
Pandangan dunia 137
Pembacaan 10
Pembacaan 2
Pengkhianatan viii, 148
Pengukuran 27
Peradaban 8, 9, 38, 181
Perjanjian viii, 139
Perjanjian 139, 140, 141, 143, 144,
150, 151, 159 Permusuhan viii,
147 Permusuhan 5, 142 Perputaran
viii, 162 Persahabatan
viii, 143 Persatuan viii, 132 Pertahanan
viii, 145 politeisme 31
Politik viii, 137, 145
p:204
S
“Shorfah” v, 23
Sa’di 197
sahih 2, 4, 5, 11, 61, 138, 158
Sains vi, 35
Saintis viii, 158
saintisme 33
Sajah binti Harits ix, 195
Sajak vii, 100, 101, 102, 104, 105
Sakkaki 45, 46, 93
Sana’ullâh (Ketinggian Allah) 52
sastra 54, 98
sastrawan 12, 16, 20, 70
sebab akibat 25
Sejarah ix, 193
sejarah 8, 11, 40, 46, 55, 68, 69, 70,
78, 130, 148, 155, 158, 160,
161, 193, 196
Seni 11, 108, 110
shafîr (Dengusan) 51, 62
Sharf, Al- (Morfologi) 2
Shibghah Allah 39
shirât mustaqîm 39, 40, 126
Shulh 159
Signifikansi v, 3, 8
Sihir vi, 42
similarisasi 84, 93, 120
Siti Maryam 40, 159
skeptisisme 5
spontan 26, 37, 110, 188
Sunnatullah viii, 131, 132, 136
Syadîdah (Keras) 51, 53, 56
syafaat 30
Syahrestani 24, 70, 164, 198
Syahristani 46, 70
Syaibah 134
Syair 75
T
“tadabbur” 5
“tulisan” 8
ta’dzim 205
ta’kid 205
ta’sis 55
Tafsir 2, 3, 22
tahqir 206
Tajwid 51
tajwid 53
takaran 27
Takdir vii, 126
taklid 5
takwini 66, 67
Tamtsil vi
Tatanan Sosial viii, 131
tatsniyah 65
Tauhid v, 27, 29, 31, 79
Tauhid tindakan Tuhan (Tawhid
Af’ali) 27, 29, 79
Teks vi, 49
Tekstual iii, iv
tekstual 19, 46, 67
Teks Ujaran vi, 49
p:205
Teologi vii, 118
Thufail bin ‘Amr Dausi 187
tibaq 206
Tuntunan vii, 122, 126
U
Ujaran vi, vii, 49, 51, 74, 83, 84,
92, 96, 98, 100, 113, 182, 183
ujaran terbuka 8
ujaran tertutup 8
ujian 79, 134, 135
Ummi ix, 189
Ushul Fikih 3 Utbah
134
W
Wahyu 115, 117, 195
Walid bin Mughirah al-
Makhzumi 16
Wazn (Figura) 70
wilayah 40, 144, 166
worldview 137
wujud absolut 25
wujud penyebab 27
wujud substansial 25
p:206