Ahsan Al-Hadîts

BOOK ID

سرشناسه : احمدی، حبیب الله، 1338 -

Ahmadi, Habibullahi

عنوان قراردادی : زیباترین سخن: (پژوهشی در علوم قرآنی) . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور : Ahsan Al-Hadîts : Analisis Tekstual Ulumul Quran/ Habibullah Ahmadi; penterjemah:Imam Ghozali.

مشخصات نشر : Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری : 218 ص.

فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/262/169، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 8.

شابک : 978-964-195-034-9

وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

موضوع : قرآن -- اعجاز

موضوع : قرآن -- علوم قرآنی

شناسه افزوده : غزالی، امام، مترجم

شناسه افزوده : Ghozali, Imam

شناسه افزوده : جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده : Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره : BP86/الف 25ز9049519 1393

رده بندی دیویی : 297/158

شماره کتابشناسی ملی : 3649489

P:1

Point

P:2

Habibullah Ahmadi

pusat penerbitan dan

penerjemahan internasional al Musthafa

penerjemah:

Imam Ghozali

Ahsan Al-Hadîts

Analisis Tekstual Ulumul Quran

Ahsan Al-Hadîts Analisis Tekstual Ulumul Quran

penulis: Habibullah Ahmadi

penerjemah: Imam Ghozali

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-034-9

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

P:3

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

P:4

Daftar Isi

Profil IICT..........................................................................xiii

Bab I Pendahuluan . . ................................................................. 1

Definisi . .......................................................................... 2

Signifikansi ...................................................................... 3

Metode . ........................................................................... 7

Signifikansi Kalam .......................................................... 8

Hierarki Kalam. .............................................................. 11

Keajaiban Kalam ............................................................. 11

Al-Quran; Kalam Mutakhir ........................................... 12

Melawan Al-Quran ........................................................ 13

Tantangan Al-Quran ...................................................... 17

Rahasia Mukjizat ............................................................ 21

Kerapuhan Fondasi “Shorfah” . . .................................. 23

Hakikat Mukjizat ............................................................ 25

Al-Quran dan Hukum Kausalitas ................................ 26

Mukjizat dan Tauhid . .................................................... 29

Al-Quran dan Mukjizat ................................................. 31

Imperatif Mukjizat .......................................................... 33

Keabadian Mukjizat ....................................................... 34

Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Mukjizat ..................... 35

Mukjizat Rasional . ......................................................... 37

Mukjizat dan Karamah .................................................. 38

Mukjizat dan Sihir .......................................................... 42

Perbedaan Lain . ..............................................................44

Dimensi Mukjizat Al-Quran . ........................................45

P:5

Bab II Estetika Ujaran: Aspek Mukjizat Teks Ujaran 49

Mukjizat Balaghah (Retorika) ....................................... 50

Kriteria Ujaran. ................................................................ 51

a. Seleksi Huruf . 51

b. Seleksi I’râb . 61

c. Komposisi Kalimat . 64

d. Contoh Lain . . 71

Sekilas Perbandingan . 74

Pertama . 74

Kedua . . 75

Ketiga . 78

Al-Quran dan Kinâyah . 80

Al-Quran dan (Alegori) . . 84

Al-Quran dan (Metafora) . . 91

Perbedaan Isti’ârah . 91

Keindahan Isti’ârah . 94

Isti’ârah dalam Al-Quran . . 94

Contoh Lain . 95

Kontinuitas Kebenaran . 99

Sajak .100

Klasifikasi Sajak .101

1. Sajak Mutawâzî . .................................................... 102

2. Sajak Mutawâzin . ...........................................................104

3. Sajak Mutarraf . . .................................................... 105

Badî’ . . 107

Tashdîr . . 107

Tibâq . . 108

Iltifât . 110

Bab III Ujaran Estetik: Aspek Mukjizat Makna Ujaran.......113

Dimensi Keilmuan Al-Quran . ...................................... 114

Dimensi Eksistensial Manusia . . . ..........................................115

P:6

Tamts l

Isti’arah

Al-Quran dan Teologi . 118

Al-Quran dan Hakikat Manusia . 122

Dua Unsur, Dua Kecenderungan . 123

Dua Tuntunan, Dua Takdir . 126

Al-Quran dan Keluarga . 127

Al-Quran dan Masyarakat . 130

Masyarakat Metodik . 130

Sunnatullah dalam Tatanan Sosial . 131

Kemenangan Haq . 131

Iman dan Persatuan . 132

Ujian Ilahi . 134

Al-Quran, Politik, dan Hubungan Internasional . 137

Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia . 139

Perjanjian . 139

Keadilan . 140

Berbuat Kebaikan . 141

Menjalin Persahabatan dengan Kafir . 143

Menerima Wilayah Orang Kafir! . 144

Menjaga Rahasia . 145

Kecerdasan Politik dan Pertahanan . 145

a. Permusuhan Kaum Kafir . 147

b. Konspirasi dan Pengkhianatan Kaum Kafir 148

c. Agen Mata-mata Kaum Kafir . 148

Al-Quran dan Persoalan Hukum . 152

Hak Asasi dan Hukum Perdata . 152

Hukum Pidana . 153

Mukjizat Saintis Al-Quran . 158

Kabar Al-Quran . 158

Perputaran Benda-benda Angkasa . 162

Fenomena Udara . 165

Al-Quran dan Hujan . 167

P:7

Al-Quran dan Awan . ............................................................. 169

Keharmonisan Al-Quran . ...................................................... 171

Al-Quran Abadi Sepanjang Masa . ....................................... 179

Al-Quran dan Ragam Makna ............................................... 181

Efektivitas Al-Quran ......................................................... 182

Ummi . ................................................................. 189

Aspek Mukjizat Angka . ......................................................... 191

Orang-orang Tercela dalam Sejarah .................................... 193

Musailamah Kadzdzab ..................................................... 193

Sajah binti Harits ............................................................... 195

Daftar Pustaka ............................................................................ 197

Indeks . ......................................................................................... 199

Iklan Buku

Kondisi Rasulullah

ix

P:8

Transliterasi Arab

Gambar

P:9

Gambar

P:10

PROFIL IICT

institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan memulai

aktivitasnya pada tahun 1372 HS/1994 M di atas sebuah paradigma

pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemikiran sarjana dunia

Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe: tradisionalisme, modernisme,

dan modern-isme religius. Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka

dengan modernitas, menghadapi berbagai konsep dan teori baru,

menempatkan tradisi sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam

kondisi apa pun. Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi

modernitas secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran

dan reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kompatibel

dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma

ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.

Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada posisi

diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga

dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemikiran

modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsipal

dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsep-konsepnya.

Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam

bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan,

paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung pada negasi

total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan paradigma humanisme

serta mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh aspek

masyarakat. Di antara dua paradigma ini, Modernisme religius –dan

terutama paradigma Pemikiran Pembaruan– tampil konsisten dalam

menjunjung tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang pergaulannya

dengan konsep-konsep modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi

dan mereproduksi pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep

modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah terma-terma

seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan

p:xi

P:11

makna khasnya dibanding dengan kebebasan, demokrasi, dan keadilan

sosial sebagaimana yang dipahami dalam paradigma modern.

Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran Pembaruan

meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut pandangnya dalam

upaya mendefinisikan realitas, mencapai kebenaran, dan menjelaskan

sistem nilai. Atas dasar ini pula, tentu saja, ia melaksanakan agenda

penggagasan teori dan reproduksi pemikiran dalam berbagai bidang:

hukum, budaya, ekonomi, politik, dan sosial.

Sekaitan dengan ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan

lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan di tingkat

internasional. Tidak hanya menanggapi kritis sekularisme dan humanisme

sebagai dua pandangan dunia yang dominan di Barat, karyakarya

ini juga dengan kekuatan kritis yang sebanding menganalisis

dan menyangkal paradigma kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah

pemikiran baru di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas

Islam dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.

Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad

DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE

AND THOUGHT (IICT)

p:xii

P:12

Bab I Pendahuluan

Definisi

p:1

ULUMUL QURAN merupakan terminologi yang merujuk pada

sehimpunan topik seputar Al-Quran—selain pula berfungsi sebagai

alat bantu dalam menafsirkan dan memahami kandungannya

dengan benar. Berdasarkan pengertian ini, serangkaian disiplin

keilmuan yang berhubungan dengan tata bahasa Arab seperti Al-

Sharf ( Morfologi), Al-Nahw (Sintaksis), dan Al-Ma‘ânî wa Al- Bayân

( Retorika) bukan termasuk bidang kajian Ulumul Quran. Demikian

pula dengan Tafsir yang merupakan ilmu memahami ayat Al-

Quran.

Dengan kata lain, Ulumul Quran adalah disiplin keilmuan

seputar topik-topik yang mendeskripsikan ihwal Al-Quran. Di

antaranya, surah Makkiyyah dan surah Madaniyyah, kondisi turunnya

ayat, seluk-beluk wahyu, metode pengumpulan Al-Quran, ayat

muhkam dan ayat mutasyâbih, pembacaan [teks] yang sahih, mukjizat,

dan topik-topik lainnya. Adapun telaah mengenai ayat Al-Quran

berikut maknanya termasuk dalam disiplin ilmu Tafsir, bukan

Ulumul Quran. Sebagai contoh, berkenaan dengan topik ayat-ayat

muhkam dan mutasyâbih, Ulumul Quran berupaya mendedah makna

konseptualnya, menyuguhkan metode sahih untuk memahami ayat

mutasyâbih, serta berbagai tema terkait lainnya. Begitu pula dengan

ihwal yang menyangkut ayat-ayat nâsikh dan mansûkh. Adapun

mengenai mana ayat muhkam dan mana ayat mutasyâbih, serta

bagaimana mengorientasikan yang kedua kepada yang pertama,

bukan lagi ranah kajian Ulumul Quran, melainkan ilmu tafsir.

Oleh karena itu, melakukan telaah langsung [kandungan] ayat

mutasyâbih atau ayat nâsikh dalam disiplin Ulumul Quran merupakan

sebentuk pencampuradukan dengan ilmu tafsir. Kerancuan seperti

ini terlihat jelas dalam sebagian karya Ulumul Quran yang dikarang

akhir-akhir ini. Ulumul Quran, pada dasarnya, merupakan bidang

kajian seputar formula dan metode yang digunakan dalam disiplin

p:2

Tafsir; mirip dengan telaah atas metode dan kaidah Ushul Fikih yang

diorientasikan untuk diaplikasikan dalam bidang Fikih.

Signifikansi

Ulumul Quran dan studi Al-Quran terbilang sangat signifikan. Ini

mengingat status kitab suci ini sendiri sebagai mata air pengetahuan,

pedoman hidup dan, pada hakikatnya, sebagai kitab pegangan

bagi umat manusia. Agenda yang digariskan di dalamnya

merupakan alternatif satu-satunya untuk dimanfaatkan agar

tertanam dalam jiwa individu sehingga potensi dirinya

teraktualisasi. Karena itu, setiap individu yang mengabaikan

fitrahnya sendiri karena mengabaikan Tuhannya akan selalu

menemui jalan buntu. Sebab, dengan mengabaikan Tuhan, dia telah

mengabaikan tujuan, “Dan bahwasanya kepada Tuhan-mulah kesudahan

(segala sesuatu)” (QS An-Najm [53]: 42).

Mengabaikan tujuan, pada gilirannya, mengakibatkan

dirinya kehilangan jalan. Sampai-sampai dirinya lupa kalau dia

sesungguhnya makhluk yang punya keterikatan dengan Allah Swt.

Sikap mengabaikan ini malah akan membuatnya menganggap diri

sebagai individu yang otonom, berdiri sendiri, dan mengedepankan

pemikirannya sebagai kriteria. Al-Quran mengidentikkan sikap

mengabaikan Tuhan dengan mengabaikan diri sendiri, “Orang-orang

yang lupa kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri

mereka sendiri” (QS Al-Hasyr [59]: 19). Demikian pula sebaliknya,

sebagaimana diungkapkan Nabi Saw, “Barangsiapa mengenal

dirinya pasti mengenal Tuhannya”. Maksudnya, pengenalan diri

akan berujung pada pengenalan Tuhan.

Individu yang hanya memikirkan diri sendiri ( egosentris),

keuntungan material, dan hasrat kebinatangannya, bukanlah sosok

yang mendapat petunjuk. Selain pula tidak layak diposisikan

sebagai penunjuk jalan. Pasalnya, dia hanya mengerahkan daya

pikirnya untuk merajut benang ke sekeliling dirinya; sampai-sampai

p:3

dia terperangkap dalam rajutan benangnya sendiri, “Mereka telah

disibukkan oleh diri mereka sendiri” (QS Ali ‘Imran [3]: 154).

Begitu pula halnya dengan orang yang teralienasi, yang

menganggap fantasi dan imajinasi sebagai daya pikir. Individu

semacam ini akan bergerak berlawanan dengan arah [gerak] agama.

Dia tidak mampu menemukan jalan yang dapat mengantarkannya

ke tujuan yang benar. Sebab, angan-angannya sudah dipupuk

sedemikian rupa demi menyimpang dari kebenaran. Akibatnya,

yang dia temukan hanyalah kesesatan, “Maka tidak ada sesudah

kebenaran itu melainkan kesesatan” (QS Yunus [10]: 32). Al-Quran

telah mendefinisikan individu semacam itu sebagai manusia penipu,

angkuh, dan suka berkhayal.

Jalan yang benar hanya ditemukan individu yang berpola

pikir qurani.(1) Yaitu, individu yang mengakui wahyu sebagai

pengetahuan terbaik, percaya pada agama bukan menciptakan dan

merekayasa agama, serta hanya mengharapkan jalan dari Allah dan

menempuhnya sambil memohon pertolongan-Nya, “Tunjukilah kami

jalan yang lurus” (QS Al-Fatihah [1]: 6). “Dan hanya kepada Engkaulah

kami mohon pertolongan” (QS Al-Fatihah [1]: 5).

Dia senantiasa mengingat Tuhan hingga menemukan pintu

petunjuk Al-Quran terbuka di hadapannya. Selain pula meyakini betul

bahwa Al-Quran itu satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan

dirinya dari mara bahaya, “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan

petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9).

Berdasarkan perspektif ini, di satu sisi, kajian seputar Al-Quran

dan Ulumul Quran (guna merumuskan kesimpulan yang sahih

darinya), merupakan suatu keniscayaan. Sementara di sisi lain,

khazanah ilmu dan pengetahuan qurani sangatlah mendalam.

Karenanya, agar dapat menyelami kedalaman lubuk khazanahnya

itu, selain fitrah yang bening dan hati yang jernih, diperlukan pula

p:4


1- 1 Maksud adjektif “qurani” dalam konteks ini adalah berpijak di atas sumber utama keagamaan yang, di samping Al-Quran, juga mencakup Ahlul Bait Nabi Saw.

telaah dan penelitian. Pengetahuan qurani hanya dapat dirangkai

melalui tadabbur ( kontemplasi dan menalar), bukan lewat

prasangka dan sikap taklid buta yang tak berdasar. Upaya manusia

memanfaatkan Al-Quran berhubungan dengan bobot kajian dan

tingkat kecermatan, selain hati yang bening dan jernih. Semakin

mendalam telaah yang dilakukan, semakin mendalam dan luas pula

visi yang dimiliki. Hanya saja, tadabbur Al-Quran mustahil dilakukan

tanpa menggunakan metode yang sahih. Dalam pada itu, Ulumul

Quran merupakan disiplin ilmu yang merumuskan metode-metode

yang dimaksud.

Dari sisi berikutnya, berkaitan dengan topik kajian dan wawasan

keilmuan, setan senantiasa membisikkan keraguan-keraguan.

Akibatnya, muncul sikap skeptis, bahkan penyelewengan di tengah

generasi muda. Sebagian pihak tanpa sadar meyakini hipotesisnya

sendiri sebagai konklusi, seraya mengklaimnya sebagai ajaran dan

pemikiran agama. Kalangan semacam ini sangat menekankan soal

kepakaran dan melarang kalangan non-pakar untuk terlibat dalam

perhelatan tersebut. Namun anehnya, tatkala memasuki diskursus

keagamaan, mereka seolah-olah melupakan prinsipnya sendiri.

Mereka sekonyong-konyong tampil layaknya pakar agama. Padahal,

mereka tak memiliki kepakaran yang memadai untuk memahami

sumber-sumber agama (Al-Quran dan Ahlul Bait Nabi Saw).

Lewat kesimpulan-kesimpulan yang dangkal dan mentah, kalangan

ini menyulut berbagai keraguan di sana-sini. Sementara itu,

sebagian pihak lain, lantaran didorong besarnya rasa permusuhan

terhadap kebenaran, terus berusaha menyimpang dari kebenaran.

Untuk mematahkan skeptisisme ini seraya merumuskan struktur

akidah yang benar, diperlukan kajian dan penelitian mendalam

terkait dengan Al-Quran dan Ulumul Quran.

Di samping semua itu, kemenangan revolusi Islam Iran pimpinan

Imam Khomeini ra menciptakan spektrum baru yang sangat luas.

Selain pula melahirkan pergeseran pandangan umat manusia terhadap

p:5

Islam di ranah pengetahuan, politik, pemerintahan, hubungan sosial,

hukum, pendidikan, dan sebagainya. Fenomena menakjubkan ini

telah mengarahkan perhatian dan optimisme pada Hauzah Ilmiyah

(pusat-pusat kajian keagamaan–penj.) serta kalangan ulama

Islam. Jadinya, melalui jalan ini, mereka dapat menentukan arah

dan langkah bagi diri sendiri. Karenanya diharapkan agar (kajian

seputar wawasan qurani) semakin digalakkan oleh kalangan

peneliti demi menuai hasil yang gemilang. Berkat anugerah Ilahi,

kini badai kencang penghancur kesesatan, dan luapan semangat

revolusi, telah meruntuhkan sendi-sendi kekuasaan Fir’aun sampai

ke akar-akarnya. Hukum Ilahi telah menggantikan pemerintahan

setan. Orang-orang yang mendambakan tegaknya pemerintahan

Islami, sedang menyaksikan harapannya jadi kenyataan. Tegaknya

pemerintahan Ilahi dan menurunnya luapan emosi khalayak, serta

menjaga bangunan pemikiran dan memperdalam keimanan bersama,

terutama kawula muda, mengharuskan kalangan ulama Hauzah

dan intelektual kampus untuk memublikasikan wawasan Ilahi

secara gamblang dengan ulasan yang ekspresif dan argumentatif.

Dengan semua itu, niscaya keimanan masyarakat akan terlindungi

dari segala marabahaya. Seiring dengannya, setiap ajaran sesat tidak

akan mampu menyulut kebimbangan atau menggiring pemikiran

individu ke kanan maupun ke kiri.

Sekarang, tugas besar melapisi pengetahuan agama dengan

argumentasi kuat yang dapat diemban semua kalangan, baik anak-anak,

remaja, maupun kawula muda, berada di pundak kaum ulama

dan intelektual. Mereka bertanggung jawab mematahkan berbagai

keraguan dan kekaburan dengan argumentasi kokoh dengan

optimal. Tujuannya untuk mensterilkan domain hati agar menjadi

kawasan iman yang aman dan altar yang nyaman untuk mengingat

Allah Swt. Mereka bertugas membangun benteng pertahanan yang

kokoh di sekeliling ranah pemikiran agama agar tidak mampu

ditembus setan atau makhluk liar mana pun.

p:6

Metode

Motivasi ini, khususnya pascakemenangan revolusi Islam Iran, mendorong

kemunculan gerakan-gerakan baru dalam bidang pengkajian.

Berbagai pusat studi didirikan dan telah menjalankan aktivitasnya

dalam berbagai skala. Walaupun di antara pusat-pusat studi itu belum

terjalin hubungan dan kerja sama, serta kurang sistematis dan kerap

mengulang-ulang pekerjaan, namun lahan garapannya sedemikian

luas. Karenanya, bila seluruh fasilitas dan sumber daya manusia di

Hauzah Ilmiyah dikerahkan khusus untuk menelaah topik Ulumul

Quran, niscaya masih ada celah untuk menampung. Ringkasnya,

tema pilihan untuk kajian ini adalah i‘jâz (kemukjizatan) Al-Quran.

Tema ini sejak dulu menjadi bahan perbincangan yang cukup intensif

dalam kajian Ulumul Quran.

Sejak Al-Quran pertama kali diturunkan, boleh dibilang, tidak

ada tema seputar Al-Quran yang lebih banyak diperdebatkan

melebihi masalah i‘jâz. Dalam tulisan ini—berkat pertolongan Allah

Swt—tema-tema pembahasan semaksimal mungkin akan diuraikan

secara lugas dan gamblang, seraya menghindari pengutipan istilah

dan pendapat yang dapat menyebabkan pembahasan melebar

ke mana-mana. Tentu saja karya sederhana ini memanfaatkan

pandangan para pengkaji Ulumul Quran dan ahli tafsir yang telah

menuangkan gagasan dan menggoreskan ucapan-ucapan memikat

seputar “kalam terindah” (Al-Quran—penj.). Kita memohonkan

ampunan bagi mereka yang telah mendahului kita dari segi waktu

dan keutamaan. Kita semua berhutang budi terhadap seluruh usaha

dan kerja keras mereka. Karena, “Dan orang-orang yang paling dahulu

beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang

yang didekatkan (kepada Allah Swt)” (QS Al-Waqi’ah [56]: 10–11). Kita

berharap, kalangan generasi mendatang akan melakukan yang sama

terhadap kita.

Pusat kajian kali ini berkisar pada “kalam terindah”, yaitu Al-

Quran. Karena itu, karya tulis ini diberi judul “ Kalam Terindah”,

p:7

yang disadur dari ayat “Allah telah menurunkan perkataan yang paling

baik” (QS Az-Zumar [39]: 23).

Signifikansi Kalam

Kalam (ujaran) merupakan fenomena komunikasi di tengah

kebanyakan makhluk hidup. Sarana komunikasi paling rumit di

antara makhluk hidup di alam ini adalah ujaran. Melalui kata-kata,

makhluk hidup saling memahami rahasia dan intensi masingmasing.

Kendati komunikasi mayoritas makhluk hidup tidak dapat

dipahami manusia dan menjadi salah satu misteri terbesar, yang

jelas, komunikasi antarbinatang hanya dilandasi insting. Karena

itu, ujaran binatang bersifat monoton, tidak berkembang, dan tidak

mengarah pada kesempurnaan. Semua binatang mendapat anugerah

semacam ini secara seragam. Kekhasan ini sebangun dengan seluruh

keistimewaan hidupnya. Seluruh pola hidup binatang, dengan

kekhasan masing-masing yang luar biasa menakjubkan, semata-mata

berbasis naluriah. Hal ini sangat kontras dengan ujaran manusia

yang memiliki keistimewaan. Manusia selalu melibatkan ikhtiar

dalam ujarannya. Hal itu sekaligus menjadi faktor penyebab

manusia mampu menaiki tangga menuju kesempurnaan atau,

kadang kala, mend-orongnya terjerembab ke level paling rendah.

Perbincangan seputar amanat Ilahi dalam kehidupan manusia

ini memainkan peran yang sangat penting. Sampai-sampai dapat

dikatakan bahwa dalam kehidupan sosial, sarana utama komunikasi

atau relasi dan medium untuk memahami pandangan satu sama lain

adalah ujaran. Bila dicermati dengan lebih seksama, akan dipahami

bahwa sarana utama relasi sosial dan transfer pengalaman serta

alat untuk menciptakan peradaban adalah ujaran terbuka (langsung)

yaitu “bicara” dan ujaran tertutup (tidak langsung) yaitu “tulisan”.

Bicara dan tulisan menjadi sarana bagi terbentuknya tatanan sosial

dan terjalinnya interaksi antarmanusia di berbagai belahan dunia

dan sejarah. Karunia Allah Swt secara cuma-cuma untuk manusia

yang

p:8

terkesan sederhana ini merupakan sendi utama penciptaan, seni,

budaya, dan peradaban. Andaikan karunia ini tidak pernah diberikan

dan manusia bisu (tidak dapat bicara)—sebagaimana fenomena

alam non-manusia lainnya—niscaya kehidupannya bakal nihil dari

peradaban. Dalam kondisi itu, umat manusia tidak mampu berproses

menuju kesempurnaan; mengingat ujaran memainkan peran

kunci sebagai sarana mengekspresikan isi pikiran.

Manusia konon hidup dengan pemikirannya. Bila pemahaman dan

pemikiran manusia sedemikian signifikan—sampai-sampai diklaim

bahwa manusia adalah pemikiran itu sendiri—maka ujaran ibarat

mata rantai yang menyambungkan individu-individu manusia, menautkan

satu pemikiran dengan pemikiran lain, serta isi pikiran dengan

ujung lidah dan alat tulis. Lidah dan alat tulis merupakan medium

ujaran yang memiliki fungsi yang sama dalam ikhtiar melakukan

kajian sekaligus menjernihkan dan memurnikan pikiran dari debudebu

prasangka, untuk disuguhkan ke hadapan umat manusia.

Nilai signifikan ujaran menjadikannya diposisikan sebagai tolok

ukur kesempurnaan dan kekurangan individu manusia. Pasalnya,

keunggulan manusia terletak pada ujarannya. Hati manusia ibarat

gudang tertutup, sementara ujaran adalah kuncinya. Lewat ujaran,

akan tersingkap apakah hati seseorang memuat segudang kecerdasan

atau tak lebih dari sekadar tong kosong nyaring bunyinya,

“Manusia tersembunyi di bawah lisannya.”(1)

Selama seorang tidak berkata

tersimpan cela dan keutamaannya.

Hafizd Syirazi

Kata-kata nan indah yang terujar akan merefleksikan kecerdasan

si Pengujar. Karena, kelebihan manusia terletak pada nilai estetiknya,

p:9


1- 2 Nahj Al- Balâghah, Hikmah 148 392.

“ Nilai setiap orang adalah yang menjadikannya baik atau indah.”

(1)

Berdasarkan semua ini, dalam teks terindah-Nya, Al-Quran,

Allah Swt menyanjung ujaran langsung maupun tidak langsung,

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia

menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara” (QS Al-Rahman

[55]: 1–4). Setelah membubuhi nama-Nya sendiri dengan atribut

indah “Rahman” (Yang Mahapemurah), seraya mengingatkan

pengajaran Al-Quran dan nikmat eksistensial (penciptaan), Allah

Swt lantas mengemukakan keagungan nikmat bayân, yaitu ujaran

langsung (kalam). Adapun berkaitan dengan ujaran tidak langsung

(tulisan), Allah Swt melontarkan pujian berikut, “Demi kalam dan apa

yang mereka tulis” (QS Al- Qalam [68]: 1). Allah Swt bersumpah dengan

fenomena-fenomena agung, seperti qalam (pena) dan hasilnya berupa

tulisan. Tatkala Dia menjelma dalam ujaran indah-Nya, “Demi Allah!

Allah telah menjelma kepada makhluk-Nya di dalam kalam-Nya, akan tetapi

mereka tidak dapat melihatnya”(2)

(dengan mata hati—penj.), Allah Swt

menamakan kata-kata-Nya dengan “ Kalam Terindah”. Dengannya,

pori-pori sontak gemetaran dan hati menjadi tenang serta khusuk.

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar

karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian

menjadi tenang kulit dan hati mereka sewaktu mengingat Allah (QS

Az-Zumar [39]: 23).

Untuk membimbing umat manusia, Allah Swt telah menurunkan

ujaran terindah, yang satu sama lain saling identik. Pembacaan kalam

ini berdampak sedemikian rupa, sehingga kulit-kulit wajah merah

merona dan hati menjadi tenang serta khusyuk kala mengingat-

Nya.

p:10


1- 3 Ibid., Hikmah 81; Bihâr Al-Anwâr, jld 1, hlm 165.
2- 4 Bihâr Al-Anwâr, jld 89, hlm 107.

Hierarki Kalam

Seni elok dalam diri manusia ini secara hierarkis terdiri dari

beragam level. Dimulai dari level paling rendah yang dimiliki orang

dungu yang masih mencampuradukkannya dengan suara binatang.

Hingga level ujaran paling indah. Diapit oleh kedua level ini, terdapat

beragam tingkatan yang jumlah dan variasinya tak terbilang.

Darinya jelas bahwa ujaran merupakan –bagian yang sangat

kecil dari- realitas wujud bergradasi yang meliputi kesempurnaan

dan kekurangan inheren. Kesempurnaan ujaran adalah proporsional

dengan lawan bicara. Dan mengingat kehidupan sosial berproses

menuju kesempurnaan, maka demikian pula dengan ujaran.

Dengan dasar itu pula berbicara dengan manusia sepanjang sejarah

hidupnya. Manakala mencapai tahap final kesempurnaannya, ujaran

pun disebut dengan Ahsan Al-Hadîts ( Kalam Terindah). Huruf-huruf

dan seni berbicara ini mampu menampung manifestasi keindahan

absolut. Jadinya, lewat komposisi kata-katanya yang memikat,

manusia disuguhi segumpal madu segar dan lezatnya tiada tara.

Keajaiban Kalam

Berkenaan dengan wawasan individu, keindahan kalam (estetika

ujaran) dan kalam keindahan (ujaran estetik)(1), dengan berbagai

posisi khasnya yang sedemikian rupa, masih menyisakan ruang

untuk sesuatu yang lebih indah dan superior ketimbang dirinya.

Setiap ujaran nan indah dalam setiap levelnya, cepat atau

lambat, akan memudar (bobot estetiknya) seiring dengan berlalunya

waktu atau ditaklukan oleh keindahan-keindahan lain dan tergerus

transformasi budaya. Pasalnya, semua jenis keindahan artistik

p:11


1- 5 Yang dimaksud dengan “ keindahan kalam” atau estetika ujaran adalah berbagai keindahan harfiah ujaran yang berhubungan dengan tehnik Ma‘ânî, Bayân, dan Badî‘ (retorika dan kefasihan ujaran) dari bentuk lafal dan komposisi kalimat—arfinya indah dalam berujar dan baik dalam bertutur kata. Adapun yang dimaksud dengan “ kalam keindahan” atau ujaran estetik adalah keindahan seputar kandungan atau isi ujaran yang sahih, mendalam, dan kokoh, atau dengan kata lain, bertutur kata dengan baik. Kedua terminologi ini harus selalu diingat sepanjang buku ini.

manusia senantiasa berproses menuju kesempurnaan di ranah

kesenian, berlaku adagium “di atas langit masih ada langit”:

Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang

lebih berpengetahuan” (QS Yusuf [12]: 76).

Akan tetapi, bila batas-batas dunia kehidupan manusia dilampaui

(beyond) hingga berjumpa dengan pencipta ujaran dan keindahan—

yang tak lain berupa keindahan murni mutlak, niscaya tak ada lagi

kemungkinan bagi adanya keindahan yang lebih tinggi. Dia menjelma

sedemikian indah dalam ujaran-Nya. Sehingga, bukan hanya orangorang

bodoh, bahkan para pakar bahasa, sastrawan, dan kalangan

pemikir sekali pun akan bungkam seribu bahasa dan terpaku di

hadapannya. Karena, tangan Allah Swt berada di atas tangan

selain-Nya, “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” (QS Al-Fath

[48]: 10). Subjek pembahasan ini disebut dengan i‘jâz (kemukjizatan)

—yang menantang seluruh manusia untuk menandinginya. Dia

bahkan menurunkan level keindahan ujaran antara diri-Nya dengan

makhluk. Ini dikarenakan relasi ujaran Allah Swt dengan ujaran

manusia ibarat taman bunga nan segar dan subur yang terhampar

di tengah sahara tandus kata-kata. Taman bunga itu menarik semua

umat manusia ke arahnya.

Al-Quran; Kalam Mutakhir

Al-Quran menyalakan lentera hidayah (petunjuk) di suatu negeri

dan masa ketika umat manusia tenggelam dalam lubuk kebodohan

dan mitologi. Kegelapan menyelimuti segala nilai kemuliaan.

Kepercayaan-kepercayaan paling rendah mencekik leher manusia

dan memaksanya memusuhi kebenaran.

Setelah diturunkannya Al-Quran, sejumlah orang yang memiliki

fitrah bersih dan berjiwa terbuka, bergerak menghampiri Al-Quran,

dan mencerap nilai-nilainya. Ibarat medan magnet, Al-Quran

p:12

menarik hati mereka ke arahnya. Orang-orang yang menemukan

kembali barang berharganya yang telah lama hilang dengan serta

merta tunduk dan terkesima di hadapannya. Setelah menerima

kalam terindah itu, siang malam mereka pun sibuk membaca dan

menyelami maknanya. Nuansa Al-Quran yang dipenuhi keindahan

semakin nyata bagi mereka. Hari demi hari, kekaguman mereka

terhadap kedalaman dan keluasan samudera pengetahuan dan

keindahannya yang tak bertepi ini kian bertambah. Kedalaman

pengetahuannya tak dapat ditakar dan keindahannya tak berujung!

Di tengah kehidupan mereka, kata-kata terindah hanyalah Al-Quran

dan kalam Ilahi.

Sebagian pihak yang tidak mengimani Al-Quran dan berusaha

melawannya, senyatanya juga selalu membincangkan Al-Quran.

Masing-masing mereka dengan caranya sendiri-sendiri berupaya

keras mencari kelemahan dan menandinginya. Oleh karena itu,

boleh dibilang bahwa sejak awal diturunkan hingga hari ini, Al-

Quran selalu menjadi buah bibir di kalangan Mukmin dan para

penentangnya.

Melawan Al-Quran

Upaya melawan Al-Quran bukan hanya dilancarkan dengan satu

cara dan modus. Masing-masing pihak yang sinis terhadap Al-Quran

umumnya menggunakan cara tertentu demi memenuhi ambisinya

serta menjustifikasi pertentangan dan permusuhannya itu.

Sejumlah individu menganggap Al-Quran sebagai kalam

(ujaran) biasa (maksudnya, bukan kalam Ilahi—peny.). Mereka

meyakini pembawa ujaran itu (Nabi Muhammad Saw—penj.)

sebagai manusia biasa yang memiliki potensi intelektual dan tingkat

kecerdasan yang luar biasa. Hanya dengan menjalin hubungan

selama beberapa hari dengan beberapa guru, dia mampu menyusun

kalam semacam itu. Umpama, disebutkan bahwa beliau Saw selama

berhari-hari menemui seorang pandai besi yang berasal dari kerajaan

p:13

Romawi. Mereka lantas menjadikan cerita itu sebagai dalih bahwa

beliau Saw mempelajari Al-Quran dari pandai besi tersebut, untuk

kemudian menisbatkannya kepada Allah. “Dan sesungguhnya Kami

mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan

oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’”

Sebagai jawaban kepada kalangan semacam ini, Al-Quran

menyatakan, “Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)

Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa Ajam, sedang Al-Quran adalah

dalam bahasa Arab yang terang” (QS An-Nahl [16]: 103). Pandai

besi tersebut sama sekali tidak menguasai bahasa Arab. Lantas,

bagaimana mungkin dia mengajarkan Al-Quran yang sedemikian

fasih dan bernilai susastra teramat tinggi kepada Nabi Saw?

Kalangan lain secara tidak masuk akal dan hanya mengandalkan

omong-kosong dan imajinasi pribadi dalam menilai Al-

Quran, mengatakan, “Ini bukanlah apa-apa! Kalau mau, kita mampu

membuat buku seperti Al-Quran. Kita tidak berbicara seperti Al-

Quran karena di dalamnya (Al-Quran) tidak termaktub apa pun

selain dongeng fiktif belaka. Sedangkan kami tidak ingin membicarakan

dongeng fiktif!”

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata,

“Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini),

kalau kami menghendaki niscaya kami dapat mengatakan yang seperti

ini, (Al-Quran) ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang

terdahulu (QS Al-Anfal [8]: 31).

Kalangan lain menyaksikan dengan jelas kehidupan dan keistimewaan

pribadi Nabi Saw. Mereka tahu betul, beliau Saw tidak

pernah belajar kepada seorang guru pun. Sementara di sisi lain,

mereka memahami kefasihan dan keindahan ritme puitik Al-Quran.

Karenanya, mereka tidak punya celah untuk mengatakan bahwa

Al-Quran hanyalah teks biasa. Untuk mengelak dari keharusan

p:14

mengakui Al-Quran (sebagai kalam Ilahi), mereka pun mengklaim

bahwa Al-Quran hanyalah syair dan Muhammad Saw sebagai penciptanya.

Bahkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang penyair yang

kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya (kematiannya)” (QS

At-Thur [52]: 30).

Bahkan diada-adakannya (atas nama Allah Swt), bahkan dia

sendiri seorang penyair (QS Al-Anbiya’ [21]: 5).

Al-Quran sebagai jawaban terhadap mereka, Al-Quran dengan

tegas menyatakan:

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan

bersyair itu tidaklah layak baginya (QS Yasin [36]: 69).

Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair,

(walaupun) sedikit sekali kamu beriman kepadanya

(QS Al-Haaqqah [69]: 41).

Kelompok lain mengetahui betul bahwa kendati meski bernuansa

syair, Al-Quran tidak identik dengan syair-syair konvensional yang

dikenal di tengah umat manusia. Namun mereka tetap mengatakan

bahwa syair ini diperoleh dari bangsa jin:

Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan

kami karena seorang penyair gila (yang kemasukan jin)?

(QS As-Shaaffat [37]: 36).

Beberapa pihak lain mengklaim bahwa Al-Quran bukan syair

melainkan prosa yang dijadikan sajak dan berasal dari bangsa jin.

p:15

Mereka berkata, ‘Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang

lain) lagi pula seorang yang gila (kerasukan jin)’” (QS Al-Dukhan

[44]: 14).

Dalam menanggapi mereka, Al-Quran menandaskan bahwa

Nabi Saw tidak kerasukan jin. Adapun perkataan beliau Saw, sematamata

wahyu samawi.

Teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila (kerasukan jin).

Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan

lagi pemberi penjelasan” (QS Al-A’raf [7]: 184).

Tatkala menyaksikan seluruh upaya itu tidak membuahkan hasil,

sementara keangkuhan dan hawa nafsu mencegah mereka tunduk

di hadapan kebenaran dan Al-Quran, mereka tak punya cara lain

kecuali mengklaim kalimat-kalimat suci itu sebagai [mantra-mantra]

sihir belaka. Walid bin Mughirah al-Makhzumi, tokoh kafir dan

sastrawan Arab, pernah berjalan di sekitar Ka’bah dan mendengar

lantunan malakût (gaib) bacaan Al-Quran dari lisan Rasulullah Saw.

Saat itu, Nabi Saw tengah membaca permulaan surah Ghafir [40].

Lantunan merdu bacaan itu menyelubungi hati Walid yang keras

sekaligus membungkam kesadarannya. Dia bahkan sempat tidak

mengenali siapa dirinya. Ketika bertemu dengan sekumpulan

temannya, dia tak mampu menyembunyikan perubahan dirinya di

mata mereka. Kontan mereka menanyakan penyebabnya.

Keindahan dan kelezatan Al-Quran sedemikian memengaruhi

Walid; sampai-sampai dia tidak mampu menutupi keadaannya

sendiri. Dia pun mengakui keindahan dan keajaiban Al-Quran, seraya

berkata, “Aku mendengar sebait perkataan dari Muhammad Saw

yang [aku yakin] bukan berasal dari ujaran manusia, juga bukan

dari ujaran bangsa jin. Sungguh kata-kata itu sedemikian indah dan

nikmat. Bagian paling atas menghasilkan buah, sedangkan paling

p:16

bawahnya mengakar kuat. Ia (kata-kata itu) sangat agung dan tak

ada yang mampu menandinginya.”(1) Saksikanlah! Seorang musuh

memberi kesaksian semacam itu! Keutamaan [Al-Quran] benarbenar

disaksikan sang Musuh. Walid, sosok yang angkuh, mengalami

kebingungan; tidak tahu bagaimana mengelak dari keagungan Al-

Quran. Dia berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir belaka.”

Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu

dia berkata, “(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari

(dari orang-orang dahulu)” (QS Al-Muddatstsir [74]: 23 – 24).

Kalangan penentang Al-Quran lainnya berkubang dalam lumpur

kebodohan yang paling rendah. Bukan hanya menolak tunduk di

hadapan kebenaran. melainkan juga dipaksa oleh kedunguannya

untuk melawan [Al-Quran]. Oleh karena itu, mereka berusaha menciptakan

Al-Quran tandingan seraya mengklaim dirinya nabi. Seluk

beluk para pendusta keji ini juga akan diulas dalam tulisan ini.

Tantangan Al-Quran

Tanggapan Al-Quran terhadap serangkaian kebohongan yang

sengaja diciptakan itu bersifat khas dan kasuistik. Selain itu, Al-

Quran juga menyodorkan tanggapan yang bersifat umum. Ini

dimaksudkan sebagai tantangan kepada semua orang, sebagaimana

dalam kata-katanya, “Kalian yang menyebut kalimat-kalimat ini berasal

dari bangsa jin atau manusia, silahkan kumpulkan seluruh jin

dan manusia, lalu buatlah hal yang sama persis dengan Al-Quran.”

Inilah tantangan dan ajakan untuk membuat sesuatu yang persis

Al-Quran. Materi-materi ujaran dimiliki semua orang. Karenanya,

kalian dipersilakan berbicara layaknya Al-Quran. Seruan dan

tantangan Al-Quran ini, di setiap zaman, tanpa kecuali dilontarkan

untuk semua kalangan.

p:17


1- 6 Sîrah Ibn Hisyâm, jld 2, hlm 105; Majma‘ Al- Bayân, jld 10, hlm 386.

Keindahan dan mukjizat Al-Quran sampai pada batas yang

membuatnya mantap dan yakin dalam menyeru semua pihak untuk

menciptakan kalam seperti dirinya. Akan tetapi, tak seorang pun

memiliki kemampuan untuk menandingi Al-Quran. Penjelasan dan

ungkapan Al-Quran sedemikian terstruktur dan konsisten. Karena

itu, tidak terjadi perubahan dan pergeseran tempat sedikit pun. Bila

terjadi perubahan sekecil apa pun di dalamnya, niscaya akan timbul

kerusakan dan inkonsistensi. Ringkasnya, Al-Quran merupakan

mukjizat dan ahsan al-hadîts (kalam terindah).

Kalam Ilahi ibarat sistem keteraturan alam wujud. Sebagaimana

sistem keteraturan alam wujud merupakan manifestasi ilmu, sifat

kesempurnaan, dan keindahan absolut Dzat yang Haq yang bebas

kontradiksi, begitu pula dengan kalam Ilahi yang merupakan

jelmaan kesempurnaan murni yang tidak mengandung cacat dan

kekurangan apa pun.

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali

tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang

tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu

yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya

penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu

cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (QS

Al-Mulk [67]: 3–4).

Setiap kali membelalakkan mata untuk mencari kekurangan

dalam sistem keteraturan alam wujud, niscaya individu tidak akan

mendapatkan apa pun selain rasa letih di mata. Karena, alam wujud

merupakan keteraturan sistemik yang saling berkelindan tanpa

diiringi cacat dan kekurangan apa pun. Setiap kali menyaksikannya,

niscaya akan bertambah rasa heran dan takjub terhadapnya.

Demikian pula dengan sistem kalam Ilahi. Sedemikian teratur

dan indah komposisinya, sampai-sampai kalam tersebut mustahil

p:18

untuk diperbarui. Dekomposisi atau perubahan partikelnya

yang paling kecil sekalipun akan melenyapkan statusnya sebagai

ujaran terindah. Sebagaimana kalam eksistensial alam semesta yang

mustahil diperbarui, kalam tekstual juga tidak memberi

peluang bagi terjadinya perubahan. “Tidak ada perubahan bagi kalimat-

kalimat Allah” (QS Yunus [10]: 64).

Al-Quran mengklaim bahwa kalimat-kalimat itu (Al-Quran)

bersumber dari alam malakût (gaib) yang melampaui (beyond)

kemampuan manusia dan manusia tidak akan pernah mampu berbicara

seperti itu. Jika tidak memercayainya, silakan ciptakan atau

munculkan entitas sepertinya.

Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul

untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan

dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka

menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS Al-Isra’ [17]: 88).

Ataukah mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) membuatbuatnya.”

Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka

mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka orang-

orang yang benar (QS At-Thur [52]: 33-34).

Ini merupakan tantangan pada satu tahap. Lalu, Al-Quran

menurunkan kadar tantangannya dengan berkata:

Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-

Quran itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka datangkanlah

sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah

orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika

kamu memang orang-orang yang benar” (QS Hud [11]: 13).

Lagi-lagi Al-Quran menurunkan kadar tantangannya dengan

berkata:

p:19

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami

wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja)

yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain

Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS Al-Baqarah [2]: 23).

Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuatbuatnya.”

Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka

cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapasiapa

yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah”

(QS Yunus [10]: 38).

Argumentasi dalam bentuk pertanyaan ini memiliki nilai

tersendiri. Mereka sebenarnya mengetahui kebohongan dirinya

sendiri manakala berupaya meyakinkan orang lain bahwa Al-Quran

hanyalah rekaan Muhammad Saw. Namun persoalannya sudah

sedemikian gamblang dan argumentatif sehingga tidak menyisakan

sedikit pun perasaan bimbang. Oleh karena itu, Al-Quran bertanya:

Apakah mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw merekareka

Al-Quran dan berdusta atas nama Allah Swt? Wahai Nabi!

Katakan kepada mereka supaya mengerahkan segenap kekuatan

yang dimiliki, dan mintalah tolong kepada pihak lain, selain Allah

Swt, agar menciptakan satu surah yang identik dengan surah Al-

Quran. Namun, ingatlah, semua itu mustahil terlaksana. Bila dalam

pertandingan ini kalian meminta bantuan kepada kalangan pemikir

dan sastrawan kenamaan sekalipun, kalian tetap tak akan sanggup

melakukannya. Maka dari itu, bersikap tunduk dan pasrahlah di

hadapan kebenaran dan sudahilah keangkuhan dan kecongkakan

kalian. Karena sesungguhnya azab Ilahi sedang mengintai kalian.

Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan

dapat membuat(nya), maka jagalah dirimu dari neraka yang bahan

bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir

(QS Al-Baqarah [2]: 24).

p:20

Sadarlah, sikap membangkang dan menentang kebenaran meniscayakan

turunnya azab Ilahi. Lebih baik bagi kalian setelah menyaksikan

Al-Quran sebagai wahyu yang benar-benar diturunkan dari

sisi Allah Swt dan segera mengakui kebenaran dan statusnya sebagai

mukjizat. “Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu

(ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan

dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka

maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS Hud [11]: 14).

Apakah kalian sudi mengakui kebenaran? Kalian akan membiarkan

hawa nafsu—yang cenderung membangkang— menjadikan

kalian menyimpang dari Al-Quran dan kebenaran?

Inilah tantangan Al-Quran yang bahkan menganggap cukup

dengan sebuah surah saja. Jika seseorang mampu menciptakan satu

surah seperti Al-Kautsar [108], niscaya Al-Quran akan mencabut

klaim keunggulannya yang tiada banding.

Rahasia Mukjizat

Huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat merupakan unsur

formatif ujaran (kalam atau lisan). Setiap ujaran terdiri dari dua

dimensi, yaitu fisik dan non- fisik.

Secara fisik, komposisi dan pola pembentukan serta keindahan

harfiah unsur-unsur formatif ujaran merupakan intensi sang Pengujar

yang disampaikan dan dipahami lewat bunyi-bunyian atau

suara. Adapun secara non- fisik atau semantik, pengujar menyampaikan

poin-poin indah yang tersembunyi dalam wacana ujaran

kepada lawan bicara, seraya menjelaskan dan memaparkan esensi,

makna, dan pemahaman hakikinya. Lebih signifikan dari semua itu,

sekaitan dengan ujaran, adalah komposisi atau formasinya. Semua

individu manusia tentu saja memiliki instrumen yang sama untuk

merangkai ujaran. Namun demikian, suatu ujaran dapat diklasifikasi

sesuai kadar kesempurnaan dan kekurangannya. Beberapa indvidu

mengutarakan maksudnya dengan kualitas rendah, sebagian lagi

p:21

lebih baik, dan yang lain mampu berujar dalam skema keindahan

yang benar-benar sempurna. Estetika ujaran erat berkaitan dengan

kesempurnaan jiwa si pengujar. Semakin besar kesempurnaan dan

pengenalannya terhadap rahasia kata-kata, ujaran akan semakin

fasih, ekspresif, dan berbobot.

Dengan demikian, bila sang pengujar adalah Allah Swt, dapat

dipastikan, tak ada lagi ujaran atau kata-kata yang lebih indah dan

lebih baik darinya. Rahasia mukjizat Al-Quran terletak di sini; kendati

unsur-unsur formatifnya dimiliki semua manusia dengan sama.

Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan ujaran indah

seperti Al-Quran. Pasalnya, Al-Quran berasal dari sumber

kesempurnaan dan keindahan absolut. Mengingat kesempurnaannya

yang serba terbatas, manusia tak akan pernah mampu menciptakan

ujaran seperti itu (Al-Quran). Barangkali salah satu rahasia hurufhuruf

muqatta‘ah(1) dalam Al-Quran adalah bahwa huruf-huruf yang

membentuk ujaran sudah inheren dalam benak semua kalangan; dan

mereka bebas menggunakan alat-alat formatif ujaran. Selain pula

memiliki kesempatan untuk mengerahkan kemampuannya demi mencipta

ujaran dalam komposisi seindah mungkin. Ketidakmampuan

menciptakan ujaran seperti Al-Quran itu dikarenakan komposisi kalimat-

kalimat Al-Quran berasal dari sumber lain yang melampaui

daya jangkau pikiran manusia.

Berdasarkan alasan inilah mereka tidak mampu menciptakan

entitas yang identik dengan ujaran Al-Quran. Tantangan dan ajakan

Al-Quran yang ditujukan pada semua individu untuk menandingi

Al-Quran menjadi berarti bila pihak lawan memiliki kesempatan

untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Kendati senyatanya,

dapat dipastikan bahwa mereka semua tidak akan pernah sanggup

p:22


1- 7 Di permulaan QS 29, kita menjumpai huruf-huruf muqafia‘ah ini. Sebagaimana tampak jelas dari namanya, huruf-huruf ini terlihat sebagai rangkaian huruf yang saling terputus atau terpotong dan secara harah fidak mengkonstruksi pemahaman. Huruf-huruf muqafia‘ah Al-Quran senanfiasa termasuk elemen Al-Quran yang penuh rahasia. Lih., N.M. Syirazi: Tafsir Nemûneh, jld 1, hlm 61—penj.

mengungguli Al-Quran sebab Al-Quran merupakan kalam yang

diwahyukan dari sisi alam malakût (gaib). Namun tetap saja semua

pembangkang diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengerahkan

segenap kemampuannya dalam upaya menghadapi dan menandingi

Al-Quran.

Kerapuhan Fondasi “Shorfah”

Dari uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa shorfah dalam

konteks mukjizat tidak lebih dari ilusi belaka. Menciptakan ujaran

serupa Al-Quran merupakan kemustahilan bagi manusia. Komposisi

kalimat, juga kandungannya, yang sedemikian elok dan memikat,

jauh melampaui kemampuan manusia yang ujarannya paling

indah sekalipun. Kendati manusia bebas menggunakan segenap

kemampuannya untuk mencipta ujaran terindah, namun tetap saja

mustahil baginya untuk menandingi ujaran Al-Quran.

Beberapa pihak mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah mukjizat

dan manusia pada umumnya mampu berujar sebagaimana Al-

Quran (maksudnya, terbuka kemungkinan untuk itu). Namun,

belum adanya orang yang sanggup, baik dulu maupun yang akan

datang, berujar sebagaimana Al-Quran dikarenakan setiap kali individu

bermaksud berujar selevel Al-Quran, Allah Swt dengan serta

merta menjegalnya. Allah membuatnya tenggelam dalam kesibukan

lain atau mencabut kemampuan dan kekuatannya untuk berujar sebagaimana

Al-Quran.

Pandangan ini umumnya disebut dengan shorfah. Teori semacam

itu sama sekali tidak berdasar dalam konteks mukjizat (Al-Quran).

Karena, bila memang demikian, mukjizat Al-Quran berikut tantangan

yang dilontarkannya kepada semua kalangan agar menciptakan

sesuatu yang identik Al-Quran, akan menjadi irasional. Ini sama saja

dengan 10 orang yang mengikuti perlombaan lari. Salah seorang di

antara mereka mengklaim dirinya lebih unggul dari peserta lain yang

dianggapnya tidak memiliki kemampuan berlari seperti dirinya.

p:23

Namun, sesaat sebelum perlombaan dimulai, orang itu lantas

mengikat kaki kesembilan orang lainnya. Tanpa kesulitan yang

berarti, dia pun melenggang sendirian dan memenangi perlombaan.

Shorfah dalam konteks mukjizat nyaris sama dengan contoh tersebut.

Mengingat betapa irasional dan rapuhnya pondasi shorfah kiranya

tidak lagi diperlukan kritik, kajian, dan pembahasan panjang lebar

mengenainya—apalagi sampai menukil pendapat para ulama. Tak

ada manfaat secuil pun yang dapat diperoleh darinya kecuali hanya

membuang-buang umur. Menurut Syahrestani8, kalau saja pendapat

shorfah yang rapuh ini tidak dinisbatkan kepada figur ulama besar

seperti Sayyid Murtadha ra, niscaya ulasan sekilas ini pun sudah

dirasakan sangat berlebihan.

Ringkasnya, mukjizat dapat dianalogikan dengan bahan-bahan

bangunan di tangan sejumlah individu. Bermodalkan bahan-bahan

tersebut, salah seorang dari mereka membuat kandang binatang

yang buruk. Sementara yang seorang lagi membangun sebuah

gubuk kecil yang sangat sederhana. Adapun orang ketiga berniat

membangun rumah yang relatif indah. Untuk itu, dia menyewa

seorang arsitek profesional untuk menggarapnya serta menyiapkan

rancangan bangunan yang kokoh dan indah. Langkah pertama yang

ditempuhnya adalah membuat desain bangunan yang proporsional

dan indah. Kemudian, dengan memanfaatkan bahan-bahan

bangunan terbaik, dia pun mengerjakan dan menuntaskan proyek

pembangunan kawasan perumahan terindah dan paling kokoh, yang

dilengkapi sistem kenyamanan dan seluruh fasilitas modern. Seperti

pencahayaan yang sesuai, ventilasi udara yang cukup, hawa segar,

dan lingkungan yang asri. Dia mendekorasi perumahan itu dalam

komposisi yang terbaik. Harapannya, keunikan dan keunggulannya

secara estetik tidak lekang begitu saja seiring berjalannya waktu serta

tidak tertandingi oleh keindahan apa pun yang datang kemudian.

Dikarenakan memiliki wawasan yang cukup komprehensif seputar

8 Syahrestani: Al-Mu‘jizah Al-Khâlidah, hlm 97.

p:24

jenis-jenis keindahan saat itu dan di masa yang akan datang, sang

Arsitek mampu menciptakan kawasan perumahan terindah dan terbaik.

Dia juga mengetahui betul seluk-beluk keistimewaan kawasan

perumahan yang dibangunnya. Dalam kondisi inilah dilontarkan

tantangan kepada pihak lain untuk membuat hal serupa dengannya

menjadi sah dan dapat dibenarkan.

Anda juga memiliki bahan-bahan yang sama untuk merangkai

kata-kata. Jika meragukan status Al-Quran sebagai wahyu Ilahi,

anda dipersilakan berujar sebagaimana ujaran Al-Quran.

Hakikat Mukjizat

Hukum kausalitas (sebab akibat) dalam korpus alam wujud

merupakan sebuah keniscayaan. Segala entitas yang bukan tergolong

wujud absolut dan mengada secara eksistensial karena kontinjensinya

(mumkin al-wujûd), tercakup dalam hukum kausalitas. Hanya

realitas wujud absolut atau wujud substansial saja yang eksis

“di luar” hukum ini.

Hukum kausalitas juga terpampang jelas di alam materi. Pasalnya,

seluruh fenomena di alam ini muncul dari serangkaian fenomena

lainnya. Umpama, cahaya matahari dan hawa panas berasal dari substansi

api. Tentu saja kausa (faktor penyebab) yang sama-sama kontinjen

(mumkin) ini (yakni, fenomena lain) bukanlah kreator wujud, karena

kreator wujud hanyalah kausa prima, Allah Swt. Akan tetapi, yang

dimaksud dengan sistem kausalitas dalam konteks wujud kontinjen

hanyalah sebatas sebuah fenomena memiliki andil bagi eksisnya

fenomena yang lain.

Tentu saja, kausa dari kemunculan rangkaian fenomena di jagat

alam ini tidak melulu kasat mata. Cukup banyak faktor penyebab

yang tidak mampu dipersepsi secara indriawi. Namun demikian,

invisibilitas faktor penyebab itu tidak otomatis menegasi hukum

sebab akibat. Oleh karena itu, adakalanya faktor-faktor penyebab

tersebut dapat dipersepsi secara indriawi (visibel), kadang kala

p:25

invisibel; juga terkadang menimbulkan efek dan bereaksi secara

alamiah, atau berperan secara spontan dan non-alamiah. Faktor

penyebab visibel maupun invisibel yang beraksi dan bekerja secara

alamiah, pada umumnya dianggap sebagai ihwal yang lumrah.

Namun, jika beraksi dan bekerja secara non-alamiah, maka faktorfaktor

itu akan dianggap sebagai ihwal luar biasa atau sebentuk

mukjizat. Dalam hal ini, mukjizat memiliki dua kriteria. Pertama,

faktor-faktor penyebabnya, baik yang visibel maupun invisibel,

menimbulkan efek tertentu dan, kedua, bersifat spontan.

Kendati begitu, kemunculan fenomena yang disebabkan faktor

yang visibel namun berproses secara nonalamiah, termasuk

pula dalam kategori mukjizat. Juga, manakala hanya faktorfaktor

penyebab invisibel yang secara non-alamiah menimbulkan efek

dan faktor-faktor penyebab visibel sekaligus invisibel berefek secara

non-alamiah; maka semua itu dapat diasumsikan sebagai mukjizat.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa fenomena mukjizat tidak

berlangsung di luar kawasan hukum kausalitas—kendati bukan

termasuk jenis kausalitas yang umum dipahami selama ini.

Al-Quran dan Hukum Kausalitas

Dalam hukum kausalitas, setidaknya terdapat dua asumsi berkaitan

dengan relasi antarkausa. Adakalanya dua kausa eksis secara otonom

dan saling bertentangan satu sama lain, di mana salah satunya boleh

jadi menghalangi efektivitas kausa yang lain. Kondisi semacam ini

diistilahkan dengan “relasi kausa aksidental”. Namun, terkadang

pula, kedua kausa itu saling bekerja sama (kooperatif). Artinya,

efektivitas salah satunya tidak melawan yang lain; malah boleh jadi,

efektivitasnya bersumber dari efektivitas yang lain.

Asumsi pertama seputar relasi kausal antarwujud kontinjen di

atas, tidak relevan bila dikaitkan dengan eksistensi Allah Swt sebagai

kausa prima dan pengendali semua urusan. “Di tangan-Nya kekuasaan

atas segala sesuatu” (QS Yasin [36]: 83). Pasalnya, efektivitas seluruh

p:26

kausa harus berdasarkan izin-Nya dan otonomi mutlak maujud

bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan (tawhîd af‘âlî).

Adapun asumsi kedua memiliki relevansinya jika dihubungkan

dengan Allah Swt (meski bukan berarti hukum kausalitas berlaku

pada wujud-Nya). Maksudnya, kausalitas dan efektivitas rangkaian

kausa wujud mungkin terjadi berkat izin Allah Swt. Sementara

kausa prima yang memuncaki garis vertikal yang meliputi seluruh

kausa adalah Allah Swt. Tegasnya lagi, seluruh kausa menjadi aktif

dengan seizinNya. Api dapat membakar berkat izin dan perintah-

Nya. Kemampuan air untuk menghilangkan rasa dahaga atau

menenggelamkan sesuatu hanya mungkin berkat izin dan perintah

Allah Swt.

Oleh karena itu, selain menerima prinsip kausa prima Allah

Swt, Al-Quran juga mengakui hukum kausalitas yang beroperasi di

alam wujud. Al-Quran menisbatkan kemunculan fenomena kepada

serangkaian faktor penyebab atau, lebih cermatnya, kepada perantara

(mediator). Banyak ayat Al-Quran yang mengindikasikan hukum

kausalitas. Umpama, ayat-ayat yang mengulas doktrin penciptaan

dan takdir. Karena, penciptaan bermakna pengukuran dan takaran(1),

sementara takaran, pengukuran, dan keterbatasan termasuk atribut

dan kriteria yang disandang akibat (maujud yang eksis

karena disebabkan selainnya—peny.). Keterbatasan suatu fenomena

akibat dapat ditinjau dari relasi eksistensialnya dengan wujud

penyebab.

Allah pencipta segala sesuatu (QS Az-Zumar [39]: 62).

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah (QS Al-

A’raf [7]: 54).

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran

(QS Al-Qamar [54]: 49).

p:27


1- 9 Mufradât li Alfâzd Al-Qur’ân, hlm 157.

Rangkaian ayat ini menisbatkan [kemunculan] fenomena pada

perantara-perantara emanasi (wujud) juga mengindikasikan hukum

kausalitas, seperti:

Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (QS Al-

Nazi’at [79]: 5);

Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan

bumi (QS Az-Zumar [39]: 63).

Ayat terakhir diperuntukkan bagi setiap individu yang

menginginkan khazanah semesta itu terbuka agar diterpa emanasi

Ilahi.

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan

(tumbuhtumbuhan) (QS Al-Hijr [15]: 22);

Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (QS Al-

Anbiya’ [21]: 30).

Dalam konteks fenomena sosial, penyebab segenap peristiwa

yang terjadi dinisbatkan pada kehendak dan hasil kerja masyarakat.

Jelasnya, kemunculan suatu fenomena sosial hanya mungkin

dikarenakan sesuatu yang lain.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

(QS Ar-Ra‘d [13]: 11).

Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu

(agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada

mereka air yang segar (rezeki yang banyak) (QS Jin [72]: 16).

Ayat-ayat serupa dengannya, yang banyak termaktub dalam

Al-Quran, telah mengakui peran perantara dengan berbagai ekspresi.

Salah

p:28

satunya yang berhubungan erat dengan prinsip perantara adalah

mukjizat yang dibawa para nabi.

Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat

(mukjizat) melainkan dengan izin Allah (QS Ghafir [40]: 78).

Mukjizat dan Tauhid

Barangkali muncul pertanyaan; apa relevansi hukum kausalitas

dan penisbatan fenomena alam pada faktor penyebab alamiah yang

visibel, maupun invisibel dengan tauhid? Apakah kausalitas suatu

kausa tidak bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan

(tawhîd af‘âlî) yang meliputi hukum alam wujud?

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dikemukakan jawaban

atas pertanyaan ini. Akan tetapi, mengingat nilai pentingnya, persoalan

ini akan kembali dibahas, meski secara sekilas. Sebagaimana

telah dikemukakan di atas, dalam konteks hukum kausalitas,

terdapat dua jenis relasi antarkausa (relasi kausal). Pertama,

kausakausa yang masing-masingnya bersifat otonom, sejajar, dan

saling berlawanan—efektivitas salah satunya menghalangi yang

lain. Kedua, kausakausa yang tidak otonom dan mediator

emanasi (wujud) yang kausalitas dan efektivitasnya bergantung

pada izin kausa prima, yaitu Allah Swt. Keraguan dan pertanyaan

muncul sekaitan dengan relasi kausal jenis pertama. Relasi

kausal ini mustahil dinisbatkan kepada Allah Swt. Adapun kausalitas

jenis kedua, yang diistilahkan dengan relasi kausal vertikal,

tidak bertentangan dengan prinsip tauhid tindakan Tuhan. Pasalnya,

prinsip ini bermakna seluruh efektivitas terjadi dengan seizin Allah

Swt. Juga, semua sumber kausal yang menjadikan selainnya efektif,

akan ada dan efektif dengan izin-Nya.

Demikian pula halnya dengan hukum kausa litas. Artinya, kausa-kausa

mediator menjadi efektif berkat izin-Nya. Api membakar semata mata

dikarenakan izin dan perintah Ilahi. Bila Allah Swt tidak

p:29

mengizinkan, api tidak akan sanggup membakar. Inilah peristiwa

yang dialami nabi besar, Ibrahim Al-Khalil as, yang tidak terbakar

api. “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi

Ibrahim” (QS Al-Anbiya’ [21]: 69). Air juga mampu menenggelamkan

sematamata berkat izin Allah Swt. “Dan Kami tenggelamkan orang-orang

yang mendustakan ayat-ayat Kami” (QS Al-A’raf [7]: 64). Begitu

pula bila makanan mampu membuat kenyang dan dan air sanggup

melepas rasa dahaga berkat izin Allah Swt, “Dan Tuhanku, Yang Dia

memberi makan dan minum kepadaku” (QS As-Syu’ara’ [26]: 79). Karena,

sistem alam wujud secara keseluruhan berada dalam genggaman

kekuasaan Ilahi.

Seluruh efektivitas, yang dipersepsi baik maupun buruk,

sematamata terjadi berkat izin Allah Swt. “Kerajaan langit dan bumi

adalah kepunyaan Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 107). Kepemilikan langit

dan bumi mutlak berada di tangan Allah Swt, “Di tanganNya kekuasaan

atas segala sesuatu” (QS Yasin [36]: 83). Malakût (alam gaib) dan

ranah batin segenap eksistensi berada di tangan Allah Swt. “Dan

tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khasanahnya; dan Kami

tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (QS Al-

Hijr [15]: 21).

Efektivitas kausa- kausa invisibel yang inheren dalam keburukan

seperti sihir, juga terjadi berkat izin Allah Swt, “Dan mereka itu (ahli

sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali

dengan izin Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 102). Kebaikan dan mukjizat

pun terjadi berkat izin Allah Swt. “Tiada seorang pun yang akan memberi

syafaat kecuali sesudah ada izinNya” (QS Yunus [10]: 3). “Tiada yang

dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS Al-Baqarah [2]:

255). Siapakah yang mampu memberi syafaat dan pengaruh dalam

konteks kebaikan selama Allah Swt tidak memberikan izin? “Aku

(Isa Al-Masih) membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian

aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah”

(QS Ali ‘Imran [3]: 49).

p:30

Kesimpulannya, setiap mukjizat yang diperagakan setiap nabi

semata-mata berasal dari izin Ilahi. “Dan tidak ada hak bagi seorang

Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin

Allah” (QS Ghafir [40]: 78). Oleh karena itu, dalam konteks tawhîd

af‘âli, mukjizat (dalam hal ini, seorang nabi hanya bertindak sebagai

agen mediasi—sebagaimana semua agen mediasi lainnya) sama sekali

tidak bertentangan dengan prinsip Tauhid. Fakta hujan turun dari

gumpalan awan, sengatan panas berasal dari api, cahaya memancar

dari matahari semata-mata bersumber dari kausa prima dan penyebab

awal alam eksistensi, yaitu Allah Swt. Ini identik dengan tawhid

qurani sekaligus menihilkan segala keraguan seputar independensi

kausa selain kausa prima dan politeisme.

Al-Quran dan Mukjizat

Al-Quran mengafirmasi mukjizat sebagai dasar esensial bagi

validitas klaim kenabian. Selain mengamini hukum kausalitas,

Al-Quran juga mengemukakan soal efektivitas kausa- kausa visibel

dan invisibel dalam konteks kebatilan (umpama, sihir). Juga

mengungkapkan efektivitas kausa- kausa visibel dan invisibel dalam

konteks kebenaran–sebagaimana menjelma sebagai jiwa-jiwa suci

para nabi dan mukjizatnya.

Al-Quran mengabadikan puluhan kasus mukjizat para nabi

terdahulu. Jiwa-jiwa nan suci ini mampu menghasilkan mukjizat

berkat izin Ilahi. Umpama, berubahnya tongkat Nabi Musa as

menjadi ular.

Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu

menjadi ular yang sebenarnya (QS Al-A’raf [7]: 107).

Demikian pula dengan tangan beliau yang memancarkan

kemilau cahaya.

p:31

Dan ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu

menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya

(QS Al-A’raf [7]: 108).

Atau terangkatnya gunung Thursina di atas kepala Bani Israil:

Dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (QS Al-Baqarah

[2]: 63).

Kisah lainnya adalah terbelahnya laut dan terciptanya titian

jalan yang kering di tengahnya:

Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu (QS Thaha

[20]: 77).

Ini sebagaimana kobaran api yang tiba-tiba berubah dingin dan

menyelamatkan Nabi Ibrahim as.

Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah

bagi Ibrahim’ (QS Al-Anbiya’ [21]: 69).

Berkenaan dengan Nabi Saleh as, Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu.

Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu” (QS Al-A’raf [7]: 73).

Berkat mukjizat kenabian Nabi Saleh as, seekor unta sekonyongkonyong

keluar dari balik batu sehingga kaum Tsamud dapat

mengambil manfaat dan berkah dari air susunya.

Sekaitan dengan Nabi Isa as yang mampu menghidupkan orang

yang sudah mati serta mengobati orang-orang yang menderita lepra

dan semisalnya,

p:32

Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu

tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari

tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi

seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang

yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan

aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah” (QS Ali ‘Imran

[3]: 49).

Terdapat puluhan mukjizat lain hasil kreasi nabi-nabi terdahulu.

Al-Quran juga menyebut dirinya sebagai mukjizat kekal dan abadi

bagi Nabi Muhammad Saw—sebagaimana telah diulas dalam bab

“Tantangan Al-Quran”. Ini tidak lagi dapat disangsikan. Sayang,

sejumlah penafsir Al-Quran yang menganut saintisme seraya

mengedepankan interpretasi yang sangat subjektif, mengemukakan

bahwa rangkaian mukjizat yang dikemukakan Al-Quran sebagai ilmu

pengetahuan (sains) belaka. Seyogyanya dalam upaya menafsirkan

Al-Quran, seorang juru tafsir tidak memaksakan hipotesis atau

subjektivismenya. Juga, saintisme semestinya tidak sampai memicu

penolakan terhadap dimensi keilahian mukjizat-mukjizat tersebut.

Imperatif Mukjizat

Mukjizat merupakan sebuah kemestian atau imperatif untuk

menjustifikasi klaim kenabian. Pada galibnya, seorang nabi

akan mengklaim dirinya membawa risalah Ilahi dan ucapannya

semata-mata ucapan Allah Swt, bukan berasal dari dirinya. Guna

membuktikan kebenaran klaim itu dan agar setiap orang tidak

dapat begitu saja mengklaim dirinya nabi pembawa risalah Ilahi,

diperlukan mukjizat. Dengannya, seorang nabi dapat meyakinkan

khalayak manusia atas kebenaran klaimnya. Karena, mereka tidak

begitu saja mengiyakan klaim seseorang. Mereka umumnya akan

menuntut bukti-bukti dan argumen yang masuk akal.

p:33

Nabi-nabi menggunakan mukjizat sebagai dalil untuk

membuktikan [kebenaran] risalahnya demi menepis keraguan

umat manusia dan akhirnya beriman kepada mereka. “Dan jika

kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan

kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah (saja) yang

semisal Al-Quran itu” (QS Al-Baqarah [2]: 23). Kalian sama sekali

tidak memiliki kemampuan semacam itu. Karenanya, ketahuilah,

ini adalah mukjizat, dan klaim Nabi bahwa dirinya benar-benar

utusan Allah Swt untuk kalian, memang benar adanya. Saat kalian

menyaksikan mukjizat Al-Quran, segeralah tunduk dan berserah

diri pada kebenaran.

Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu)

itu maka (katakanlah olehmu,) Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran

itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan

selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS

Hud [11]: 14).

Oleh karena itu, imperatif mukjizat para nabi pada dasarnya

untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian mereka. Mukjizat

terjadi secara kondisional di setiap masa. Dalam pada itu, Al-Quran

merupakan mukjizat abadi sepanjang masa dan diperuntukkan bagi

semua generasi. Aspek mukjizatnya terletak pada semua dimensinya

yang tidak lekang oleh berlalunya waktu atau tertandingi oleh karya

seni yang muncul kemudian. Berdasarkan itulah, Al-Quran menjadi

mukjizat abadi dalam skema risalah Rasulullah Saw untuk semesta

alam.

Keabadian Mukjizat

Dari uraian sebelumnya, telah diperoleh jawaban yang cukup

jelas seputar misteri keabadian mukjizat. Selain pula dipahami

soal bagaimana suatu mukjizat senantiasa hidup dan abadi di

p:34

setiap ruang dan waktu (spasio-temporal). Apabila suatu mukjizat

bercorak material, niscaya efektivitasnya juga serba terbatas dan

akan memudar seiring berlalunya waktu. Ini sebagaimana mukjizat

para nabi terdahulu (pra-Rasulullah Saw) yang hanya efektif untuk

umat, lokasi, dan zamannya sendiri.

Perubahan api yang asalnya panas menjadi dingin serta

selamatnya Nabi Ibrahim as dari jilatannya merupakan mukjizat

untuk umat di tempat dan tempo itu, termasuk yang menyaksikan

langsung kejadian tersebut. Perubahan tongkat Nabi Musa as menjadi

ular hanya memberikan efek kepada para ahli sihir dan orang-orang

yang saat itu berkerumun di lapangan pertandingan (Nabi Musa as

versus kawanan ahli sihir bayaran Fir’aun—peny.). Seperti itu pula

seluruh mukjizat para nabi, termasuk mukjizat Nabi Muhammad

Saw. Namun, manakala mukjizat yang dimaksud tidak berdimensi

fisik, semisal berbentuk komposisi dan makna ujaran, saat itu pula

status mukjizatnya tidak terbatasi secara spasio-temporal, sehingga

berlaku untuk selamanya. Misteri keabadian mukjizat Al-Quran juga

dapat dijelaskan dari perspektif ini; bahwa Al-Quran tidak termasuk

kriteria [mukjizat] yang bersifat material dan fiskal, yang karenanya

tidak terbatas secara spasio-temporal. Al-Quran adalah mukjizat

Ilahi yang abadi untuk selama-lamanya.

Ilmu Pengetahuan ( Sains) dan Mukjizat

Hubungan antarfenomena alam satu sama lain merupakan

ihwal yang gamblang. Namun, nyaris mustahil untuk memindai

(mencermati) kausa seluruh fenomena, lantaran itu melampaui

(beyond) batas-batas pengetahuan manusia. Senyatanya, individu

manusia, sekalipun mengerahkan seluruh ilmunya, mustahil mengenali

kausa seluruh fenomena. Adapun observasi ilmiah yang dilakukan

terkait dengannya (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan

dan sains) hanya sekadar membantunya membuka beberapa jalan

dan sedikit menyingkap selubung misterinya. Alhasil,

p:35

masih banyak misteri alam semesta yang sampai hari ini masih belum

juga terkuak.

Tentu saja, kondisi misterius dari kausa- kausa berbagai

fenomena bukanlah satu-satunya tema dalam seluruh pembahasan

mukjizat. Pasalnya, karakter non-alamiah dari efek kausa juga menjadi

prasyarat yang menentukan. Oleh karena itu, sekalipun ilmu

pengetahuan sukses menyingkap tabir misteri dari kausa- kausa

invisibel yang berhubungan dengan ihwal fisikawi, proses mukjizat

tetap terus berlangsung dan tidak berakhir di situ.

Perubahan material dapat terjadi dalam beberapa bentuk;

materi menjadi materi lain, materi ke energi akibat proses ekspansi ,

serta energi ke materi lewat proses kompresi. Dalam pada itu, kendati

misteri kausa-kausanya masih belum tersingkap sampai hari ini,

namun dikarenakan berlangsung secara wajar dan alamiah, maka

semua perubahan itu pun dipersepsi sebagai ihwal yang lumrah

dan normal. Sekalipun, sebagaimana terjadi pada masa kini, sains

berhasil menyingkap rangkaian misterinya dan sesegera mungkin

mengotak-atiknya dengan menggunakan alat-alat laboratorium

yang sangat canggih, semua itu tetap saja diasumsikan sebagai ihwal

yang lumrah dan alamiah, bukan mukjizat. Pasalnya, efektivitas

kausa- kausa dalam konteks mukjizat berlangsung dalam modus

non-alamiah dan berproses melalui jiwa-jiwa [manusia] suci, bukan

dengan menggunakan seperangkat instrumen dan eksperimen di

laboratorium.

Oleh karena itu, proses dan hasil penyingkapan misteri material

dalam kasus-kasus seperti itu tidak sampai menegasi mukjizat.

Katakanlah manusia sudah mampu mengubah sebatang kayu

menjadi seekor ular dalam waktu sesingkat mungkin lewat medium

komputer. Artinya, manusia berhasil menyingkap misteri kehidupan

berkat ilmu pengetahuan dan sukses menciptakan kondisi

hidupnya [menjadi lebih baik] dengan alat-alat [canggih]. Lalu Allah

Swt, Sumber Wujud, meniupkan roh [kehidupan] padanya. Tetap

p:36

saja objek ini tidak tergolong mukjizat. Lebih jauh, fenomena ini

(mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular dengan alat-alat

teknologis) juga tidak menegasi mukjizat. Pasalnya, seorang nabi

yang memperagakan mukjizat (dengan mengubah tongkat kayunya

menjadi seekor ular) dengan jiwa sucinya, bukan dengan sarana alatalat

teknologis.

Dalam konteks mukjizat, efektivitas kausa- kausa visibel dan

invisibel berlangsung secara spontan dan non-alamiah lewat

medium jiwa para nabi. Perkembangan ilmu pengetahuan yang

berhasil mengungkap faktor-faktor material suatu mukjizat tidak

serta merta menegasi status mukjizatnya. Perbedaan fundamental

antara mukjizat dengan alat-alat teknologis terletak di titik ini. Selain

itu, mukjizat senantiasa menjadi faktor dominan dan tidak sekalipun

tertandingi oleh faktor lain. Jelas mustahil seorang nabi menghendaki

mukjizat sementara terdapat satu atau lebih faktor yang menghalangi

kejadiannya. Adapun berkenaan dengan kausa- kausa instrumental

(alat-alat), acap dijumpai suatu fenomena yang sudah diprediksikan

sedemikian matang [bakal terjadi] justru tidak terjadi. Ini disebabkan

proses terjadinya fenomena itu dihentikan oleh kausa- kausa invisibel

atau kausa- kausa visibel lainnya. Inilah poinnya, mukjizat merupakan

penyebab dominan dan tidak terpengaruh faktor apa pun.10

Mukjizat Rasional

Inti bahasan sebelumnya berkenaan dengan kasus rangkaian

mukjizat yang terjadi dalam lingkup materi. Seperti mukjizat para

nabi terdahulu, termasuk mukjizat Nabi Besar Islam Muhammad

Saw. Dengan kata lain, rangkaian pertanyaan yang boleh jadi

muncul seputar perkembangan ilmu pengetahuan yang menegasi

fakta mukjizat hanya relevan dijawab (dan sudah dilakukan) dalam

konteks mukjizat yang bersifat material.

10 Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân, jld 1, hlm 83.

p:37

Adapun jenis mukjizat lain tidak berdimensi material dan

bersifat metafisis atau melampaui ranah fisis. Karena itu, mukjizat

jenis ini tidak terbatas secara spasio-temporal. Dengan sendirinya,

rangkaian pertanyaan di atas secara penuh dan menyeluruh tertolak.

Al-Quran termasuk jenis mukjizat ini. Artinya, mukjizat Al-Quran

tidak bersifat material sehingga terbatas secara spasio-temporal.

Mukjizat Al-Quran yang berhubungan dengan komposisi dan makna

kalimat beserta seluruh dimensinya–yang akan diulas kemudian—

merupakan mukjizat berdimensi maknawi dan rasional. Oleh karena

itu mukjizat ini bersifat abadi. Dengan kata lain, mukjizat Ilahi ini

berlaku untuk selamanya serta di semua ruang dan waktu. Mukjizat

ini tidak akan tergerus berbagai dinamika kultural atau lekang oleh

berlalunya waktu.

Lebih menakjubkan lagi, Al-Quran sebagai mukjizat rasional,

menjelmakan dirinya dalam diskursus kebudayaan (kultural)

dan kebahasaan (lingual). Padahal, kultur dan bahasa senantiasa

mengalami perubahan dan perkembangan seiring bergantinya

generasi dan peradaban secara universal. Akan tetapi, sekalipun Al-

Quran berada dalam korpus teks dan ujaran, status mukjizatnya tetap

terjaga dari pengaruh dinamika dan perubahan (kultural dan lingual)

dengan berbagai dimensinya. Mukjizat ini selamanya tetap menjadi

ujaran terindah yang kerap menyuarakan tantangan kepada kaum

penentang untuk menciptakan ihwal yang serupa dengan dirinya

(Al-Quran). Ringkasnya, Al-Quran selalu menjadi yang terbaru di

tengah semua hal yang baru.

Mukjizat dan Karamah

Kiranya cukup tepat dalam kesempatan ini untuk mengemukakan

perbedaan antara mukjizat dengan karamah. Sebelum menjelaskan

perbedaannya, ada baiknya diulas terlebih dahulu persamaan

keduanya. Pada dasarnya, tidak terdapat pebedaan sedikit pun

antara mukjizat dan karamah. Keduanya sama-sama bermakna

p:38

pengoperasian secara efektif serangkaian kausa visibel dan invisibel

secara non-alamiah melalui jiwa-jiwa suci dan bersih. Selain

pula samasama berasal dari figur-figur salih dan hamba-hamba

pilihan Ilahi. Ini mengingat jalan menuju kesempurnaan terbuka

dan terbentang bagi semua orang dengan peluang yang sama.

Dengan menempuh jalan kebenaran ( haqq), semua orang dapat

mencapai tahap-tahap [eksistensial] tertentu sehingga menjadi

manifestasi asmâ’ul husna Ilahi. Manusia mampu meleburkan diri

ke dalam corak Ilahi. “ Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik

shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah”

(QS Al-Baqarah [2]: 138). Dengan mencelupkan atau meleburkan

diri ke dalam corak Ilahi; corak manakah yang lebih indah

dari corak Ilahi? Keindahan manakah yang lebih paripurna dari

keindahan insan beriman?! Manusia beriman (mukmin) pada praktiknya

efektivitas juga mampu menjadi representasi, mata, telinga,

lidah, dan tangan Allah Swt.

Aku menjadi pendengarannya yang mendengar dengannya

dan penglihatannya yang melihat dengannya, lidahnya yang

berbicara dengannya dan tangannya yang bekerja dengannya

...(1)

Lantaran mendekatkan diri dengan amal-amal sunah dan

melangkah di atas shirâth mustaqîm, individu semacam ini akan

mencapai satu tahap di mana Allah Swt menjadi pendengaran dan

penglihatannya sekaligus. Artinya, Allah Swt seakan-akan mendengar

lewat telinganya, melihat melalui matanya, berbicara dengan lidahnya,

dan bertindak dengan tangannya. Individu seperti ini menjadi

jelmaan sifat-sifat dan perbuatan Ilahi. Dalam kondisi demikian,

berdasarkan kehendak dirinya dan, tentu saja, seizin Allah Swt,

dia mampu menciptakan karamah, menyembuhkan orang sakit,

p:39


1- 11 Bihâr Al-Anwâr, jld 67, hlm 22.

atau menghidupkan orang mati, Kemampuan semacam ini tidak

hanya milik eksklusif para nabi.

Menjadi jelmaan shirâth mustaqîm termasuk keistimewaan khas

para wali Allah Swt, bukan para nabi-Nya. Dalam sejarah umat

manusia, banyak hamba Allah Swt yang salih, baik berjenis kelamin

laki-laki maupun perempuan, yang mampu mencapai posisi spiritual

ini. Seumpama, figur-figur besar yang sering menjadi bahan perbincangan

banyak kalangan dari waktu ke waktu, seperti para Imam

as, Siti Maryam (ibunda Nabi Isa as), dan Fatimah Zahra as.

Dari perspektif ini, tidak terdapat perbedaan sedikit pun antara

mukjizat dengan karamah. Karena keduanya, sebagai faktor penyebab

dominan, bermakna pengoperasian secara efektif serangkaian

kausa secara tidak lazim atau non-alamiah. Perbedaan keduanya

hanya terletak pada imperatif dan alasan kreatifnya. Mukjizat dimaksudkan

untuk menjustifikasi klaim kenabian. Seorang nabi

memeragakan mukjizat agar risalahnya diakui benar dan diterima

umat manusia. Adapun orang-orang yang memiliki karamah tidak

menyuarakan klaim semacam itu. Berdasarkan alasan-alasan lain

dan menurutnya perlu dilakukan, dia menghidupkan orang mati,

menyembuhkan orang sakit, menurunkan hujan, dan sejenisnya.

Tentu saja ini bukan berarti pemilik karamah juga dapat begitu

saja mengklaim kenabian yang dijustifikasi lewat karamahnya, sebagaimana

nabi dengan mukjizatnya. Pasalnya, risalah merupakan

tugas Ilahi yang diserahkan lewat momen pelantikan, dan diturunkan

sesuai dengan kebutuhan umat manusia. “Allah lebih mengetahui

di mana Dia menempatkan risalahNya” (QS Al-An’am [6]: 124).

Allah Swt mengetahui, kepada siapa tugas kerasulan dan kenabian

itu harus diserahkan. Semua orang yang telah menghuni maqam

wilayah (menjadi wali) niscaya tidak akan menantikan kedatangan

seorang rasul. Karena, kenabian (dan kerasulan) telah berakhir seiring

dengan diutusnya pembawa misi Ilahi paling mutakhir, yaitu

Rasulullah Saw.

p:40

Adapun untuk menjadi seorang wali, tidak diperlukan proses

pelantikan. Jalan untuknya terbuka lebar bagi semua orang tanpa

kecuali. Bahkan, jalan yang sama juga terbuka lebar untuk semua

kalangan yang menyalahgunakan kedudukan spiritual ini. Seumpama

Bal’am Ba’ura yang telah menjadi wali, namun sebenarnya tidak

memiliki kapasitas dan kelayakan. Kegilaannya terhadap kedudukan

(posisi sosial politik) mendorongnya menyempal dari jalan kebenaran

sehingga kehidupannya berakhir jauh lebih hina dari jenis kehinaan

mana pun.

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan

kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab),

kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti

oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang

yang sesat (QS Al-A’raf [7]: 175).

Tokoh lainnya adalah Samiri yang menyalahgunakan kedudukan

spiritualnya. Hawa nafsu telah menyesatkannya sedemikian rupa,

sampai-sampai dia menjadikan agama Allah Swt sebagai ajang

bermain-main. Di akhir hayatnya, manusia buruk dan hina ini harus

mengalami nasib yang amat menyedihkan serta ditimpa azab yang

tiada tara mengerikannya. “Samiri berkata, “Aku mengetahui sesuatu

yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak

rasul (malaikat Jibril) lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku

membujukku”” (QS Thaha [20]: 96). Yakni, Samiri melemparkannya

kepada seekor anak sapi demi menciptakan fitnah memuja anak sapi.

Pada akhirnya, dia berhasil menjadikan umat menyempal dari jalur

agama. Samiri bukan orang biasa alias punya kedudukan khusus.

Tapi dia tak punya kelayakan. Hawa nafsu telah mengeluarkannya

dari jalur kebenaran seraya menyulut fitnah dalam konteks agama.

Akibatnya, dia didera hukuman sedemikian pedih; sampai-sampai

menjadikan orang lain pun berusaha menjauh darinya. Kisah tentang

p:41

dirinya cukup panjang dan mendetail. “Berkata Musa, ‘Pergilah kamu,

maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat)

mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku)’” (QS Thaha [20]: 97).

Ini kontras dengan kenabian yang juga merupakan kedudukan

dan maqam Ilahi. Individu yang menyandang status nabi tidak akan

pernah menyempal dari [misi kenabian]nya, menyalahgunakan

kedudukannya, atau menjadikan agama Allah Swt sebagai ajang

bermain-main dan menyulut fitnah. Karena mengetahui seluruh

rahasia dan ujung perjalanan manusia, niscaya Allah Swt akan

menyerahkan beban risalah kepada sosok yang mampu memikul

amanat ini ke tujuannya sedemikian konsisten dan sanggup

melaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya (QS

Al-An’am [6]: 124).

Mukjizat dan Sihir

Dalam bab-bab sebelumnya, sudah disinggung soal sihir dan mukjizat,

yang keduanya memberi pengaruh pada rangkaian kausa. Juga

telah dikemukakan bahwa keduanya sama-sama tidak bertentangan

dengan prinsip tauhid. Karena, dan efektivitas keduanya hanya

mungkin berkat izin Allah Swt. Pada saat yang bersamaan, dalam

beberapa aspeknya, terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara sihir

dan mukjizat. Sihir menggunakan cara dan metode khusus sebagai

prasyarat. Hanya dengan menggunakannya, seorang ahli sihir

akan berhasil mempraktikkan sihirnya. Tanpa memenuhi prasyarat

itu, sihir yang dipraktikannya tidak akan efektif. Adapun mukjizat

tidak memiliki prasyarat apa pun. Mukjizat dapat terjadi dengan

seizin Allah Swt dalam setiap kasus yang memuat kebaikan. Demikian

pula, mukjizat merupakan faktor penyebab dominan yang tak

akan pernah tertandingi (atau terpengaruh) faktor-faktor lain. Sementara

sihir adakalanya dapat ditaklukkan, di mana efektivitas

p:42

ahli sihir dihalang-halangi atau digagalkan faktor lain. Meskipun

dalam kasus ini, dia telah memenuhi semua prasyarat (agar sihirnya

berhasil).

Selain itu, efektivitas sihir berlangsung di ranah imajinasi dan

hanya berupa ilusi, bukan realitas eksternal yang bersifat konkret.

Dengan meramal mantera dan melakukan ritual-ritual tertentu, seorang

ahli sihir menciptakan ilusi dalam imajinasi khalayak di sekitarnya,

yang kemudian membayangkannya sebagai sesuatu yang riil. Mereka,

misalnya, mempersepsi seutas tali yang tergeletak di atas tanah sebagai

ular yang hidup dan bergerak-gerak. Kondisi ini merupakan

sejenis pengendalian imajinasi dan manipulasi kesan-kesan indriawi

(mata).

Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang

dan menjadikan orang banyak itu takut (QS Al-A’raf [7]: 116).

Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada

Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka (QS

Thaha [20]: 66).

Sebaliknya, ranah efektivitas mukjizat adalah realitas eksternal.

Artinya, di alam nyata dan bersifat konkret (di luar ranah imajinasi

dan bukan berupa ilusi–penj.), tongkat kayu benar-benar berubah

menjadi seekor ular yang riil.

Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga

tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya (QS Al-A’raf [7]: 107).

Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan

benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu

(QS Asy-Syu’ara’ [26]: 45).

Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka

kerjakan (QS Al-A’raf [7]: 118).

p:43

Perbedaan Lain

Mengingat pentingnya hukum syariat seputar sihir, kiranya cukup

tepat dalam kesempatan ini untuk menyinggung pula perbedaan lain

antara sihir vis-à-vis mukjizat. Kegiatan sihir dikategorikan sebagai

dosa besar—kendati secara fenomenal, hanya mungkin terjadi

dengan seizin Allah Swt. Akan tetapi, dari perspektif syariat, sihir

digolongkan sebagai kegiatan yang sangat negatif dan haram, sampaisampai

al-Quran mengecamnya sedemikian rupa. “Dan tidak

akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang (QS Thaha [20]:

69).” Berkenaan dengannya, Imam Shadiq as mengatakan, “Ahli

tenung dan ahli sihir terkutuk.”12 Kegiatan ini sedemikian dilarang,

sampaisampai mempelajarinya (demikian pula dengan mengajarkannya)

dikategorikan sebagai sebentuk kekafiran (maksudnya,

kafir dalam konteks perbuatan).

Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as mengatakan, “Barangsiapa

mempelajari sesuatu dari sihir sedikit atau banyak maka dia telah kafir.”13

Ungkapan ini pun berlaku pula dalam kasus “perdukunan”

dan “ramalan”14 —yang diklaim sebagai melepaskan diri dari

agama Nabi

12 Wasâ’il Al-Syî‘ah, jld 12, hlm 103.

13 Ibid., hlm 107.

14 Diperlukan ruang dan waktu khusus untuk menjelaskan ilmu-ilmu ganjil ini. Namun, agar

uraian dalam tulisan ini menjadi lengkap, akan dijelaskan sekilas tentangnya. Ilmu-ilmu ganjil

ini adakalanya bersifat material dengan mengubah unsur-unsur tertentu menjadi benda-benda.

Sekarang, ilmu ganjil jenis ini memiliki cakupan yang cukup luas, khususnya sekaitan dengannya.

Dikarenakan senanfiasa mengubah unsur-unsur menjadi benda-benda tertentu, ilmu ini fidak

lagi dikategorikan sebagai ilmu-ilmu ganjil. Terlebih bila itu bergantung pada kecepatan tangan

(memanipulasi pandangan) atau sulap.

Terdapat pula ilmu yang menggunakan rangkaian huruf atau angka, di mana berdasarkan jadwal

tertentu, memungkinkan untuk dikeluarkannya nama-nama makhluk gaib dan malaikat. “Ilmu

himia” (mantera) yang pada prakfiknya berupa menjalin hubungan dengan roh atau makhluk gaib

serta menyingkap kejadian-kejadian di masa mendatang, termasuk dalam kategori ini. Ada pula

“ilmu limia” yang ditujukan untuk mengendalikan dan menundukkan ruh-ruh falak dan bangsa jin

serta meminta bantuan mereka dalam sejumlah hajat. Berikutnya, “ilmu simia” yang menggunakan

cara mengkonsentrasikan keinginan serta pemanfaatan potensi-potensinya guna mengendalikan

ihwal gaib dalam benda-benda alam. Bentuk paling lengkap darinya adalah sihir yang diprakfikkan

lewat mantera, rapalan, dan ritus-ritus khusus. Perbedaannya dengan perdukunan terletak pada

metodenya. Sebab, perdukunan hanya mungkin lewat bantuan jin yang seakan-akan mampu

memperoleh kabar dari alam gaib. Perdukunan umumnya berkisar pada kabar-kabar gaib perihal

p:44

Muhammad Saw. Imam Shadiq as juga mengatakan, “Barangsiapa

melakukan perdukunan dan merujuk kepada dukun maka ia telah

berlepas diri dari agama Muhammad Saw.”15

Kesimpulannya, Allah Swt amat membenci kegiatan sihir,

sampai-sampai menetapkan hadd (hukuman) berupa hukuman mati.

Nabi Saw menegaskan, “Ahli sihir dari kaum Muslimin dibunuh dan

ahli sihir dari kaum kafir tidak dibunuh.”16 Demikian pula dengan

fatwa-fatwa yang dikemukakan kalangan pakar fikih. Seperti Imam

Khomeini ra yang berkata, “Barangsiapa berbuat sihir, hendaknya

dibunuh jika dia berasal dari kalangan Muslimin dan dijatuhi adab

(dihukum) bila dia seorang kafir.”17 Ini merupakan peringatan keras;

bahwa perbuatan buruk tersebut akan menuai ancaman hukum

seperti ini. Pasalnya, kegiatan sihir dapat mengakibatkan tersebar

luasnya kerusakan dan kebiadaban, serta termasuk jebakan setan

yang paling berbahaya.

Dimensi Mukjizat Al-Quran

Mukjizat Al-Quran berikut segenap dimensinya senantiasa

menjadi objek kajian para sarjana qurani. Sejumlah pakar dalam

disiplin fashâhah dan balâghah (retorika) meyakini bahwa secara

fundamental, mukjizat ini tidak dapat dideskripsikan (secara

rasional). Dengan kata lain, mukjizat [Al-Quran] merupakan ihwal

yang hanya dapat dicerap lewat perasaan dan pemahaman intuitif.

Manusia tidak akan mampu menjelaskan keindahan ujarannya.

Sakkaki berkomentar, “ Mukjizat hanya dapat dimengerti (secara

intuitif) dan tidak dapat dideskripsikan.”18 Ibnu Abil Hadid juga

menyatakan, “Mengenali [sesuatu] yang fasih dan lebih fasih, indah

dan lebih indah, manis dan lebih manis, tinggi dan lebih tinggi dari

masa depan atau masa lalu.

15 Ibid., jld 12, hlm 108.

16 Ibid., jld 18, hlm 574.

17 Tahrîr Al-Wasîlah, jld 2, hlm 477.

18 Dikufip dari Al-Tamhîd, jld 4, hlm 45.

p:45

kalam merupakan ihwal yang tidak dapat dipahami [secara rasional]

kecuali dengan merasakannya (mengintuisinya) sendiri.”19

Memang, kedahsyatan mukjizat dan kefasihan kalam

merupakan ihwal yang hanya dapat dicerap intuisi. Namun

demikian, keindahannya tetap dapat digambarkan hingga level

tertentu. Barangkali yang dipersoalkan para figur besar tersebut

adalah tentang betapa sulitnya menjelaskan hakikat kefasihan serta

rumus-rumus (rahasia-rahasia)nya dengan benar dan akurat. Kalau

tidak, tentunya sepanjang sejarah sejak Al-Quran diturunkan, sudah

banyak artikel dan berjilid-jilid buku yang ditulis berkaitan

dengan mukjizat Al-Quran.

Beberapa sarjana Muslim telah menghasilkan karya tulis

berharga yang mengulas secara panjang lebar tema-tema seputar

estetika ujaran dan relevansinya dengan Al-Quran. Semisal, Miftâh

Al-‘Ulûm (Kunci Ilmu-ilmu) karya Sakkaki, Dalâ’il Al-I‘jâz (Dalil-dalil

Mukjizat) karangan Jurjani, Qônûn Al-Ta’wîl buah tangan Ibnu Arabi,

I‘jâz Al-Qur’ân karya Baqilani, I‘jâz Al-Qur’ân karangan Rummani,

Al-Mu‘jizah Al-Khâlidah karya Syahristani, Al-Naba’ Al-‘Azdîm, dan

lain-lain atau dalam ilmu Ma’ânî dan Bayân (retorika) serta relevansinya

dengan Al-Quran atau mukjizatnya merupakan kajian tersendiri dan

khusus dijadikan objek telaah mereka. Masing-masing dari mereka,

seraya mengerahkan seluruh kemampuannya dalam hal estetika

ujaran, menuangkan gagasannya yang brilian sekaitan dengan ujaran

terindah (Al-Quran). Di antara buku-buku yang telah disebutkan,

sebagiannya lebih banyak mengulas soal estetika teks atau ujaran.

Sementara sebagian lainnya menaruh perhatian lebih besar pada

estetika muatan Al-Quran.

Tak dapat dipungkiri, khazanah estetika Al-Quran terdiri dari

beragam dimensi, yang karenanya tidak mungkin direduksi dan

dijejalkan ke dalam beberapa topik pembahasan. Ini mengingat

secara tekstual, keindahan teks suci Al-Quran tidak memiliki tolok

19 Ibnu Abil Hadid: Syarh Nahj Al- Balâghah, jld 7, hlm 216.

p:46

ukur tertentu (dengan kata lain, tolok ukurnya sangat bervariasi—

peny.). Begitu pula dengan cakupan maknanya (yang juga tidak

dapat dibatasi). Rata-rata individu manusia tidak memiliki wawasan

yang komprehensif mengenainya. Sampai sekarang pun, masih

tak terbilang jumlah rumus dan rahasia yang belum terungkap, baik

dari segi keindahan kalam (estetika ujaran) maupun kalam keindahan

(ujaran estetik). Khazanah estetika Al-Quran tidak terbatas. Al-

Quran, menurut Imam Ali as, figur Al-Quran natiq (Al-Quran yang

hidup), merupakan, “Lautan yang dalamnya tak dapat diduga (dan

dasarnya tak tersentuh).”20 Sementara dari segi daya tahannya, kekokohan

Al-Quran sedemikian rupa, hingga tak mungkin bergeming oleh

guncangan apa pun. “Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan

baik dari depan maupun dari belakangnya” (QS Fushshilat [41]: 42).

Ringkasnya, estetika Al-Quran dapat diklasifikasikan ke dalam

dua kategori. Pertama, kategori yang berhubungan dengan estetika

harfiah ujaran yang sebelumnya telah diistilahkan dengan “estetika

ujaran”. Kedua, berkenaan dengan estetika makna ujaran yang diistilahkan

dengan “ujaran estetik”. Tentu saja, kedua kategori ini ibarat

dua sisi dari mata uang yang sama. Namun, sebagai objek analisis,

klasifikasi terhadapnya kiranya perlu dilakukan. Dalam hal ini, estetika

Al-Quran dapat ditinjau dari segi harfiah maupun maknawiahnya.

Kendati senyatanya, Al-Quran secara keseluruhan memuat estetika

ujaran sekaligus ujaran estetik.

Berdasarkan itu, uraian selanjutnya akan berkisar pada dua topik

berikut; “estetika ujaran” dan “ujaran estetik”. Namun perlu dicatat,

ulasan terperinci mengenai estetika ujaran membutuhkan pula

beberapa penjelasan seputar Ma’ânî— Bayân (disiplin retorika). Sementara

ulasan seputar ujaran estetik bersinggungan dengan ranah

ilmu tafsir. Akan tetapi, mengingat tulisan ini hanya dimaksudkan

sebagai kajian ringkas dan menyoal tema-tema pokoknya, kedua

disiplin tersebut tidak akan dibahas secara khusus dan mendetail,

20 Nahj Al- Balâghah, Pidato 198 315.

p:47

melainkan hanya cukup menyebutkan poin-poin pentingnya

saja yang dianggap relevan dengan topik pembahasan—berkat

pertolongan Allah Swt.

p:48

Bab II Estetika Ujaran: Aspek Mukjizat Teks Ujaran

Point

p:49

Mukjizat Balaghah ( Retorika)

TOPIK ESTETIKA ujaran terdiri dari tiga subtopik yang sekaligus

menjadi tolok ukurnya—kendati tak seorang pun memiliki

kemampuan untuk mengenali dan memahami seluruh tolok ukur

keindahan serta menerapkannya dalam setiap ujaran. Berikut adalah

ketiga sub-topik tersebut—terlepas apakah klasifikasi ini disetujui

atau tidak:(a) Ma’ânî,21 (b) Bayân,22 dan (c) Badî‘.23

Sub-topik pertama diorientasikan untuk menjaga posisi dan

harmoni ujaran. Sementara sub-topik kedua dimaksudkan agar

penyampaian intensi [pengujar] tidak sampai menemui kesulitan

dan kendala yang berarti. Adapun sub-topik ketiga berkisar pada

konstruksi dan dekorasi ujaran, atau estetika teks dan makna ujaran.

Kemampuan menguasai seluruh tolok ukur yang berkenaan

dengan ketiga sub-topik tersebut akan menjadikan suatu ujaran

sebagai yang terindah. Ketiga tolok ukur ini juga punya peran

mendasar, baik dalam hal seleksi huruf, i‘râb (penguraian), maupun

komposisi kata-kata dan kalimat. Pada mulanya, sebelum melakukan

kajian dan pembahasan ini, penulis sempat beranggapan hanya

komposisi kata dan kalimat Al-Quran berikut kandungannya saja

yang berstatus mukjizat. Namun kemudian, sesuai ulasan yang akan

dikemukakan, berkat pertolongan pemilik ujaran terindah (Allah

Swt), tampak jelas bahwasanya seluruh elemen Al-Quran, termasuk

21 Dalam kitab Al-Îdhâh  ‘Ulûm Al- Balâghah karya Jalaluddin Al-Qazwini, disebutkan, “Yang

dimaksud dengan ilmu Ma‘ânî terbatas pada delapan bab yang mengenai hal-hal berikut: a. Isnâd

Khabarî, b. Musnad ilaih, c. Musnad, d. Muta’allâqat Fi’il, e. Qashr, f. Insyâ’, g. Fashl wa Washl, h.

Îjâz, Itnâb, dan Musâwâh.”—penj.

22 Seperfi Tasybîh, Majâz, dan Kinâyah—penj.

23 Melipufi al-muhassinât al-lafdhiyyah (estefika harah) dan al-muhassinât al-ma’nawiyyah

(estefika makna). Al-muhassinât al-lafdhiyah idenfik dengan al-jinâs (dua lafal serupa dalam

ucapan namun berbeda dalam makna), al-iqbâs (kufipan), dan saja’. Adapun al-muhassinât

al- ma’nawiyyah sama dengan al-tawriyah (ujaran lafal lafat mufrad dengan dua makna, dekat

dan eksplisit namun fidak dimaksudkan serta jauh dan implisit namun dimaksudkan),

alitbâq, almuqâbalah (mengungkapkan dua makna atau lebih, kemudian menyertakan antonimnya

secara berurutan), dan sebagainya. Disadur dari Ali Al-Jarim Mustafa Amin: Al- Balâghah

Al-Wâdhihah— penj.

p:50

seleksi huruf dan i‘râb-nya, merupakan mukjizat. Tidak satupun

pemikir yang sanggup menciptakan keindahan layaknya Al-Quran.

Karena Al-Quran secara keseluruhan itu indah, bahkan yang paling

terindah. Berdasarkan itu, pertama-tama akan diuraikan seluk-beluk

seleksi huruf, i‘râb, dan komposisi.

Kriteria Ujaran

a. Seleksi Huruf

Point

a. Seleksi Huruf

Tak dapat dipungkiri, huruf sebagai unsur formatif ujaran

(sebelum ujaran terbentuk) memiliki koherensi struktural dengan

huruf lainnya (relasi antarhuruf). Beberapa jenis ilmu yang bersifat

unik, baik yang dapat dibenarkan maupun yang sesat, seperti ilmu

sihir dan astrologi, bergantung pada efektivitas huruf-huruf. Dari

segi makhraj (lokus ujaran), terdapat kriteria khusus yang berkenaan

dengan rangkaian huruf dan bunyinya. Makhraj dan kekhasan masingmasing

huruf sepenuhnya memiliki fungsi yang berbeda dalam hal

bunyi dan irama ujaran. Dari perspektif kriteria inilah, huruf (dalam

ilmu Tajwid—penj.) dibagi ke dalam 16 kategori:(1) jahriyyah (suara

keras) dan hamsiyyah (suara bisikan), syadîdah (keras) dan rakhwah

(lemah), muthabbaqah (tertutup) dan munfatîhah (terbuka), musta‘liyah

(tinggi) dan munkhafidhah (rendah), munzaliqah (naik) dan mushammanah

(turun), qalqalah, shafîr (dengusan), layyinah (lembut),

dan lain-lain.(2)

Kriteria makhraj dan bunyi huruf berperan penting dalam hal

komposisinya dan, terutama, i‘râb, dari segi kefasihan, ekspresi, dan

estetikanya. Perpindahan [bacaan] dari satu huruf ke huruf lain tidak

selalu sama bobotnya. Dalam beberapa momen, [rangkaian huruf

yang dibaca] terasa ringan dan mudah, namun dalam momen yang

lain terasa berat dan sulit. Berbagai kekhasan ini memiliki fungsi yang

berbeda dalam menciptakan bunyi dan irama ujaran, termasuk

kadar

p:51


1- 24 Dalam kitab lain disebutkan sampai 17 dan 19 kategori—penj.
2- 25 Al-Tamhîd, jld 5, hlm 228.

keindahan dan keburukannya. Dalam sejumlah riwayat, disinggung

pula soal efektivitas huruf-huruf, seperti pengaruh bacaan surah al-

Fatihah dalam menyembuhkan orang sakit. Kendati pengaruh teks

dan kandungan surah [Al-Fatihah] menduduki posisi yang utama,

namun riwayat juga menyinggung soal pengaruh huruf-hurufnya.

Dikarenakan tidak memuat huruf fa’ yang merupakan salah satu

unsur formatif kata âfah (penyakit), maka surah ini memiliki pengaruh

yang cukup besar dalam menyembuhkan orang sakit.

Allah Swt tidak menurunkan satu surah pun dari Al-Quran

kepadamu (Muhammad) kecuali terdapat (huruf) fâ’ di dalamnya

sedangkan setiap (huruf) fâ’ berasal dari âfah (penyakit) selain

(surah) Al-Fatihah. Maka sesungguhnya di dalamnya tidak

terdapat fâ’.(1)

Terdapat riwayat dari Imam Shadiq as yang berkenaan dengan

huruf-huruf dalam ujaran basmalah (bismillâh). Beliau menyatakan

bahwa huruf bâ’ berasal dari kata bahâ’ullâh (keagungan Allah Swt),

sîn dari sana’ullâh (ketinggian Allah Swt), dan mîm dari mulkullâh

(kerajaan Allah Swt).(2)

Juga diriwayatkan, “Barangsiapa yang ingin diselamatkan

Allah Swt dari 19 Zabaniyah (malaikat penjaga neraka) hendaknya

membaca bismillâhirrahmânirrahîm karena [ujaran ini] berjumlah 19

huruf(3) sehingga Allah Swt menjadikan setiap hurufnya sebagai

tameng dari masing-masing mereka.”(4)

Karena dapat mengakibatkan efektivitas suatu ujaran, sekaligus

bunyi dan iramanya, yang khas, maka seleksi huruf juga harus

benar-benar diperhatikan dalam proses kombinasi huruf-huruf satu

p:52


1- 26 Sanat Al-Bihâr, jld 1, hlm 344.
2- 27 Bihâr Al-Anwâr, jld 82, hlm 51; Al-Durr Al-Mantsûr, jld 1, hlm 8.
3- 28 Huruf Arabnya berjumlah 19, yaitu bâ’, sîn, mîm, alif, lâm, lâm, hâ’, alif, lâm, râ’, hâ’, mîm, nûn, alif, lâm, râ’, hâ’, yâ’ dan mîm—penj.
4- 29 Majma‘ Al- Bayân, jld 1, hlm 19, dengan sedikit perbedaan redaksional dengan Al-Durr Al-Mantsûr, jld 1, hlm 9.

sama lain agar pengujaran menjadi mudah ( fasih) dan ekspresif,

serta jauh dari kesulitan, inkonsistensi, dan inkoherensi. Seumpama,

meletakkan beberapa huruf yang sama-sama berjenis makhraj, seperti

huruf-huruf halq, dapat mengakibatkan kesulitan (berat). Pergeseran

dari mahmûsah rikhwah ke mahmûsah syadîdah atau jahriyyah juga

dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman dalam benak

lawan bicara. Ulasan seputar kriteria-kriteria ini termaktub secara

terperinci dalam buku-buku ( tajwid atau qirâ’ah).

Pembahasan kali ini hanya akan menyinggung masalah hurufhuruf

yang memiliki fungsi khusus. Selain pula cara menyusunnya

dalam komposisi kata atau kalimat yang dapat akan menimbulkan

perbedaan efektivitas, juga bunyi dan irama, suatu ujaran, yang

tentunya bergantung pada kekhasan tersebut. Pengujar yang

terampil dan piawai niscaya mengenali seluk-beluk kriteria-kriteria

tersebut dan sepenuhnya memanfaatkan semua itu saat melontarkan

ujaran. Lantaran turun dari sisi Allah Swt Yang Mahatahu, Al-Quran

sangat berdisiplin sekaitan dengan kriteria-kriteria tersebut. Sampaisampai,

dalam ujarannya yang memuat kata-kata atau kalimat yang

paling banyak sekalipun, Al-Quran tetap ekspresif, fasih, dan sangat

memikat.

Perhatikanlah kalimat anulzimukumûhâ, yang terdiri dari 10

huruf dengan satu tanda baca (tanda tanya), serta tiga kata ganti

orang pertama (jamak dan tunggal perempuan). Betapa fasih dan

ekspresifnya ungkapan pendek namun memuat banyak huruf ini

dalam menjelaskan kandungan maknanya. Juga klausa fasayakfîkahum

Allâh yang terdiri dari 13 huruf dengan pengulangan beberapa huruf

yang sama; betapa fasih dan ekspresifnya kalimat ini, dengan tetap

terjaga keutuhan komposisinya dan kekayaan maknanya hingga

pembaca atau pendengar mengiranya tak lebih dari sepatah kata.

Demikian pula dengan kalimat layastakhlifannahum fi al-ardh yang

terdiri terdiri dari 10 huruf, namun sangat fasih dalam pengujaran

dan ekspresif dalam [menjelaskan] kandungan atau isinya.

p:53

Memilih kata untuk mengutarakan maksud, serta menyusun

kata-kata guna menciptakan bunyi dan irama ujaran memiliki peran

yang sangat signifikan. Selain itu, menjaga harmoni dari komposisi

ujaran serta seleksi kata-kata yang tepat, terutama yang mirip satu

sama lain, merupakan upaya yang sangat penting dan memainkan

peran menentukan dalam konteks estetika ujaran dan ujaran estetik.

Aplikasi rumus-rumus ini secara konsisten, terutama dalam karya

sastra dan bahasa Arab yang sangat kaya dan berbobot dari segi kosakatanya,

padahal banyak sekali kata-kata yang nyaris mirip bunyi

dan maknanya, sangatlah sulit. Barangkali pula, salah satu alasan

dipilihnya bahasa ini sebagai bahasa Al-Quran adalah kriterianya

yang menciptakan mukjizat itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam sistem bahasa ini, terdapat beberapa

ujaran untuk menyatakan turunnya hujan dengan kadar kelebatan

yang berbeda. Untuk awal turunnya hujan, digunakan kata rasysy.

Saat mulai deras, tall, lalu naqah, lalu hatal, dan setelah itu wâbil.(1)

Dalam bahasa Arab, terdapat pula penggunaan sejumlah ujaran yang

berkenaan dengan awan. Gumpalan atau bintik-bintik awan yang

pertama terbentuk disebut nasysy; awan yang bertebaran di udara

disebut sahâb; saat awan mengubah warna langit dan menutupinya

disebut ghamâm; ketika menebarkan bayangan disebut ‘âridh; bila

berbarengan dengan kilat dan petir disebut ‘arâsh; awan tebal yang

berkumpul disebut ghafârah; dan awan putih disebut muzn; .…(2)

Adapun aliran air dari bebatuan dinamakan inbajasa; aliran air

dari sungai disebut fâdha; dari atap diistilahkan wakafa; dari kantong

kulit disebut saraba; dari bejana dinamakan rasyaha; dari mata air

(sumber air) insakaba; dan mengalirnya air dari luka disebut ta‘‘a.(3)

Tsa’alibi menyebutkan berbagai atribut untuk air dalam 55 istilah.

Air mengalir disebut ‘idd. Air yang menggenang (tidak mengalir)

dan satu bagiannya tetap tenang dengan terjadinya gelombang di

p:54


1- 30 Fiqh Al-Lughah wa Sirr Al-‘Arabiyyah, hlm 281.
2- 31 Ibid., hlm 279.
3- 32 Ibid., hlm 285.

bagian lainnya disebut kurr. Air banyak disebut ‘adzb dan ‘adzq. Air

yang menenggelamkan ghamr. Air tanah ghawr. Air yang mengalir

di bawah tanah ghayl. Air yang mengalir di sela-sela pepohonan

ghalal. Air bah dan menggenang gadîr. Air murni qirâh. Air berbau

tidak sedap tapi dapat diminum âjin. Air tidak sedap yang tak dapat

diminum âsin. Air tak sedap dan dingin ghassâq. Air panas sakhin. Air

mendidih hamîm. Air segar fâtir, dan sebagainya.(1)

Kosakata, selain tidak janggal (tidak akrab bagi pembaca/

pendengar—penj.) atau karakternya tidak relevan, harus

dipertahankan kekhasannya dalam upaya menciptakan estetika

ujaran serta mengutarakan intensinya yang paling mendalam.

Mengabaikan keharusan ini akan mengakibatkan suatu ujaran

kehilangan kesegaran dan keindahannya. Sepanjang sejarah,

belum ada seorang pun manusia yang paling piawai dan cekatan

dalam berkata-kata menguasai seluruh kriteria tersebut serta selalu

memperhatikan dan terus mempertahankannya sewaktu berujar.

Sebaliknya, Allah Swt yang Mahatahu rahasia-rahasia dan tak

pernah lupa sekali pun, “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam

[19]: 64), senantiasa mempertahankan seluruh kriteria itu. Inilah

yang menjadikan Al-Quran sebagai ujaran terindah.

Dalam berujar, Al-Quran memperhatikan betul harmoni dan

komposisinya. Jadinya, kosakata yang dipilih selalu tepat dan

relevan dengan kekhasan komposisinya. Seperti dalam momen itnâb

(mengurai kalam) atau îjâz (meringkasnya), ta‘zdîm (mengagungkan)

atau tahqîr (merendahkan), tasywîq (memotivasi) atau tanbîh

(menghukum), ta’sis (mendasarkan) atau ta’kîd (menekankan),

istimrâr (menyambung) atau maqta’iy (memutus), wa‘zd (menasihati)

atau burhânî (berargumen), dan seterusnya. Dengan begitu, kosakata

pilihannya senantiasa akurat atau relevan dan komposisinya juga

tidak menyulitkan pengujarannya.

p:55


1- 33 Ibid., hlm 286.

Al-Quran senantiasa mengkonstruksi ujarannya dengan

serangkaian kosakata yang sudah akrab (di benak audiens) dan tidak

ambigu, dan dalam komposisi yang fasih dan ekspresif. Mustahil

menemukan di dalamnya kosakata yang sulit dicerna dan komposisi

yang kabur (tidak fasih). Bahkan dalam sejumlah kasus, Al-Quran

lebih cenderung memilih komposisi kalimat yang lain ketimbang

menggunakan beberapa kosakata Arab yang dalam bahasa ibunya

tergolong fasih namun menurutnya punya bobot relatif berat (kurang

fasih). Umpama berkenaan dengan kosakata “bata” yang dalam

bahasa Arab pada umumnya diistilahkan dengan qarmad atau âjur.

Namun Al-Quran menganggap kedua kosakata ini kurang fasih.

Karena itu, sewaktu membutuhkan makna leksikonnya, Al-Quran

pun mengubah komposisi ujarannya minus kedua kosakata tersebut

seraya menggunakan istilah “tanah liat matang”.

Sewaktu menuturkan kisah Fir’aun yang memerintahkan

menterinya, Haman, untuk membangun sebuah istana yang

menjulang tinggi dari bahan batu bata agar dirinya dapat naik ke

puncaknya dan mengambil kabar dari Tuhan Musa as, Al-Quran

menggunakan kosakata “tanah liat matang” ketimbang âjur dan

qarmad. “Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian

buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat

Tuhan Musa” (QS Al-Qashash [28]: 38). (Perhatikanlah, betapa

seorang dungu yang congkak ingin mengambil kabar dari Tuhan?!)

Atau kosakata aradhûn yang merupakan bentuk jamak dari ardh dan

dianggap agak berat (kurang fasih). Saat hendak mengutarakan

makna leksikon dari kosakata ini, Al-Quran pun menggunakan

ungkapan lain, “Allah alladzî khalaqa saba samâwât wa min al-ardh

mitslahunna”: Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu

pula bumi (QS Al-Thalaq [65]: 12).

Dalam kasus lubb yang diartikan dengan “akal”, perpindahan

dari huruf lâm sebagai rakhwah syadîdah kepada huruf bâ’ tasydîd relatif

memberatkan. Karena itu, Al-Quran pun tidak menggunakannya

p:56

seraya meletakkan kata qalb atau fu’âd sebagai gantinya (tentu saja

keduanya juga memiliki kriteria lain yang boleh jadi pula menjadi

fokus perhatian). Namun demikian, kosakata pluralnya, albâb, justru

dipandang tidak problematik sehingga acap digunakan di banyak

tempat. Seperti, “Wa lakum fî al-qishâsh hayât-un yâ ulî al-albâb”: Dan

dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang

yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 179). Juga, “Wa tazawwadû, fa inna

khair al-zâd al-taqwâ, wa-ittaqûni yâ ulî al-albâb”: Dan berbekallah, maka

sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku

hai orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 197). Perjalanan yang

ditempuh teramat jauh dan melelahkan. Jika tidak membawa bekal

yang cukup, seorang musafir niscaya bakal putus asa dan tertinggal

jauh. Oleh karenanya, agar tidak sampai mengalami kondisi semacam

itu, segeralah membekali diri dengan ketakwaan.

Al-Quran memilih kata na‘am atau balâ yang digunakan untuk

menjawab pertanyaan dengan tingkat kekhususan tertentu. Kata balâ

digunakan dalam konteks pertanyaan yang ujarannya menggunakan

huruf hamzah istifhâmiyyah yang bermuatan negasi namun hasilnya

justru afirmasi. Seperti dalam kalimat ikrar terhadap ‘ubudiyyah

(penghambaan atau penyembahan) dan rububiyyah (kepemilikan

dan kepengaturan) Allah Swt disebutkan, “A lastu bi rabbikum, qâlû

balâ”: Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, “Betul (Engkau

Tuhan kami)” (QS Al-A’raf [7]: 172). Akan tetapi, bila yang digunakan

adalah kata na‘am, maka kandungan maknanya akan menjadi negatif.

Bila mereka menjawab, “na‘am”, maknanya akan menjadi “a lasta bi

rabbinâ”: bukankah Engkau Tuhan kami. Implikasi yang sama juga

akan berlaku pada ayat, “Alasta hâdzâ bi al- haqq, qâlû balâ wa rabbinâ”:

bukankah (kebangkitan) ini benar? Mereka menjawab, “Sungguh benar,

demi Tuhan kami” (QS Al-An’am [6]: 30).

Manakala digiring ke hadapan api neraka lalu ditanya,

bukankah kiamat dan azab itu benar adanya, orang-orang yang

mengingkari Allah Swt dan hari kiamat (hari kebangkitan) pun

p:57

akan segera menjawab, sungguh benar [adanya]. Adapun kata na‘am

digunakan dalam konteks pertanyaan yang ujarannya menggunakan

hal istifhamiyah (yang menunjukkan pertanyaan), seperti “Fa hal

wajadtum mâ wa‘ada rabbukum haqq-an, qâlû na‘am”: maka apakah

kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu

menjanjikannya (kepadamu)? Mereka (penduduk neraka) menjawab,

‘Benar’ (QS Al-A’raf [7]: 44).

Khusus berkenaan dengan penggunaan kata halumma, ta‘âl,

ilayya; ketika sedang berada di atas (tempat yang lebih tinggi) dan

bermaksud mengajak orang kedua datang ke tempatnya, orang

pertama harus menggunakan kata ta‘âl yang artinya “naiklah ke

atas”. Adapun jika posisinya sejajar atau berada lebih bawah dari

orang kedua, maka orang pertama mesti menggunakan kata halumma

atau ilayya.

Dalam mengekspresikan imbauan dari Allah Swt agar menuju

kepada-Nya, yang bermakna mengarah “ke atas”, Al-Quran

menggunakan kata ta‘âl seperti: “Qul yâ ahl al-kitâb, ta‘âlaw ilâ kalimatin

sawâ’ baynanâ wa baynakum allâ nabudu illâ-Allâh”: Katakanlah, ‘Hai

Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak

ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali

Allah’ (QS Ali ‘Imran [3]: 64). Juga, “Ta‘âlaw qâtilû fî sabîl-i-Allâh”:

Marilah berperang di jalan Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 167).

Namun, saat mengekspresikan ajakan seorang manusia kepada

manusia lain, Al-Quran pun menggunakan kata halumma dan ilayya:

“Qad ya‘lam-u-Allâh-u al-mu‘awwiqîn minkum wa al-qâ’ilîn li ikhwânihim

halumma ilaynâ wa la ya’tûn-a al-ya’s illâ qalîl-an”: Sesungguhnya

Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu

dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada

kami.’ Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar (QS

Al-Ahzab [33]: 18). Juga, “Halumma syuhadâ’akum alladzîn-a yasyhadûn-a

anna-Allâh-a harama hâdzâ”: Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat

mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan

p:58

yang kamu) haramkan ini (QS Al-An’am [6]: 150).

Berkenaan dengan mengalirnya air dari kedalaman batu

dalam kasus mukjizat Nabi Musa as, Al-Quran menerapkan

kata inbajasa yang memiliki kekhasan penggunaan berikut, “An-

’idhrib bi ‘ashâka al-hajar, fa-inbajasat minhu itsnatâ asyrat-a ‘ayn-an”:

Pukullah batu itu dengan tongkatmu! Maka memancarlah darinya dua

belas mata air (QS Al-A’raf [7]: 160).

Sekaitan dengan kata rafa‘a dan nataqa yang bermakna

“mengangkat ke atas”, Al-Quran menggunakan rafa‘a dalam kasus

diangkatnya gunung Thursina: “Wa rafa‘nâ fawqakum al-thûr” : Dan

Kami angkatkan gunung (Thursina) di atas (kepala) mu (Bani Israil) (QS

Al-Baqarah [2]: 63). Akan tetapi, ketika bermaksud menyampaikan hal

lain yang bersifat khusus, di mana sesuatu yang diangkat mengakar

di perut bumi, sebagaimana ungkapan Al-Quran, “Wa aljibâl-a

awtâd-an”: Dan gunung-gunung sebagai pasak (QS An-Naba’ [78]:

7), kata yang digunakan adalah nataqa yang bermakna mencabut dan

mengangkat: “Wa idz nataqnâ al-jabal-a fawqahum ka ’annahu zdullah”:

Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan

bukit itu naungan awan (QS Al-A’raf [7]: 171).

Dalam konteks tanah yang siap ditanami, digunakan kata

khusyû‘ yang bermakna “tunduk dan penerimaan”—sebagai sarana

untuk mengingatkan ihwal kondisi ini: “Wa nin âyâtih-i tarâ al-ardh

khâsyi‘ah, fa idzâ anzalnâ ‘alayhâ al-mâ’ ihtazzat wa rabat, inna alladzî

ahyâhâ la muhyi al-mawtâ”: Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-

Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami

turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya

Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati (QS

Fushshilat [41]: 39).

Adapun saat bermaksud mengalihkan perhatian pada kondisi

lain, di mana mati (tandus) dan hidup (subur)nya tanah tidak

terjadi hanya sekali, melainkan selalu berulang setiap tahun, dan

tanpa diragukan sedikit pun, menjadi analog dari hari kebangkitan

p:59

dan hidup kembalinya orang-orang yang sudah mati, Al-Quran pun

menggunakan kata hamada: sesuatu yang bernyala api namun telah

padam, “Wa tarâ al-ardh hâmidat-an fa idzâ anzalnâ ‘alayhâ almâ’

ihtazzat wa rabat wa anbatat min kulli zawj-in bahîj”: Dan kamu lihat

bumi ini kering (dahulu hidup dan telah padam), kemudian apabila telah

Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan

berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS Al-Hajj [22]:

5). Fenomena dramatis ini terjadi berulang-ulang; lantas, bagaimana

mungkin manusia yang selalu menyaksikannya, meragukan [realitas]

hari kebangkitan?

Terkait dengan pelengkap kata kerja raghiba, bila transitif dengan

min, akan bermakna “kedekatan”; namun bila transitif dengan ‘an,

akan memiliki arti “jauh”: “Wa man yarghab-u ‘an millat-i Ibrâhîm-a

illâ man safiha nafsah”: Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim

(maksudnya setiap agama samawi yang benar), melainkan orang yang

memperbodoh dirinya sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 130). Maksudnya,

ireligiusitas (kondisi tidak beragama) identik dengan kebodohan,

kedunguan dan irasionalisme.

Demikianlah serangkaian contoh seputar kriteria seleksi huruf

dan kosakata dalam Al-Quran. Setiap seleksi huruf atau kata cenderung

didasarkan pada harmoni ujaran seraya menghindari digunakannya

kata-kata yang, bahkan, kurang akrab sekalipun. Begitulah

keseluruhan isi Al-Quran. Selain mukjizat, mustahil hal yang sama

dapat dilakukan. Pasalnya, siapa orator ulung dan ahli pikir yang

menguasai seluruh kriteria [seleksi] huruf, kata, dan komposisinya,

juga harmoni khas antarkosakata? Adakah manusia paling cerdas

dan wawasannya paling mumpuni yang sanggup mempertahankan

dan tidak abai terhadap seluruh kriteria tersebut sewaktu mengekspresikan

wawasannya dalam bentuk ujaran?

p:60

b. Seleksi I’râb

I‘râb (penguraian kata dan perubahan harakatnya), bila

disandangkan pada rangkaian huruf, selain ibarat pakaian

yang ditempelkan ke tubuh sebagai penutup, adakalanya juga

mengakibatkan pergeseran makna.

I‘râb yang tepat dan selaras akan menciptakan keindahan ujaran,

sebagaimana pakaian yang cocok untuk tubuh. I‘râb yang tidak

harmonis laksana pakaian kedodoran dan tidak berbentuk, sehingga

menjadikan ujaran terasa berat dan nihil keindahan. I‘râb yang tidak

akurat akan menghilangkan tempo dan irama huruf-huruf.

Dalam beberapa kasus, perubahan suatu i‘râb mengakibatkan

perubahan keseluruhan makna semantik ujaran. Seperti perbandingan

kata qadara-yaqdiru yang berarti “mengukur” dan “ukuran” dengan

kata qadara-yaqduru dari kata qudrah yang bermakna “kekuatan dan

kemampuan”. Berkenaan dengan kasus Nabi Yunus as, disebutkan,

“Fa zdanna an lan yaqdir-a ‘alayh: Lalu dia menyangka bahwa Kami

tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya)” (QS Al-Anbiya’ [21]:

87). Juga, “Allah-u yabsut-u al-rizq-ali man yasyâ’-u wa yaqdir: Allah meluaskan

rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS

Ar-Ra’d [13]: 26). Melalui penjelasan ini, ayat suci Al-Quran memiliki

perspektif yang sahih. Adapun qadara-yaqduru yang berarti kekuatan

dan kemampuan, tidak relevan untuk diterapkan dalam kisah Nabi

Yunus as, karena tak seorang nabi pun yang menganggap Allah Swt

tak punya kekuatan dan kemampuan terhadap dirinya.

Contoh lain, ‘asyiya-ya‘sya dalam figura ‘alima-ya‘lamu bermakna

“rabun malam”. Adapun ‘asyâ-ya‘syû dalam figura nashara-yanshuru

memiliki arti “berpura-pura buta”. Dalam kasus orang-orang yang

pura-pura buta (menutup mata) agar tidak sampai menyaksikan

ayat-ayat (tanda-tanda) kebenaran, Al-Quran mengatakan: “Wa man

ya‘syu ‘an dzkr al-rahmân nuqayyidh lahu syaytâ-an fa huwa lahu qarîn”:

Barang siapa yang menutup mata (berpaling) dari pengajaran Tuhan Yang

Maha Pemurah (Al-Quran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan)

p:61

maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (QS Al-

Zukhruf [43]: 36). kata ya‘syu di awal ayat ini dipahami dalam arti

‘asyâ-ya‘syu. Dalam hal ini, bukan penderita rabun malam sebagai

sebentuk cacat jasmani, yang menjadi objek kecaman dan ancaman.

Demikian pula, dalam melakukan seleksi i‘râb, Al-Quran amat

memperhatikan seluruh aturan dan kriteria estetik. Saat menceritakan

azab [yang diderita] kaum Tsamud yang berkesinambungan

hingga mencerabut eksistensi mereka secara radikal—lantaran

pembangkangan dan kelancangan menyembelih unta Nabi Saleh

as—lewat alunan berikut, Al-Quran mengekspresikan kontinuitas:

“Fa ‘aqarûhâ fa damdama ‘alayhim rabbuhum bi dzanbihim fa sawwâhâ:

Dan mereka menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan

mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan mereka (dengan

tanah)” (QS As-Syams [91]: 14). Paralelisme huruf dâl dengan mîm

serta pengulangan keduanya dengan menggunakan i‘râb fathah

secara beruntun berperan dalam mengekspresikan makna azab yang

bersifat kontinyu dan radikal.

Hal serupa juga tercermin dalam kisah yang berkenaan dengan

kaum ‘Ad. Saat menuturkan soal angin ribut yang berkesinambungan

siang-malam menimpa kaum tersebut selama beberapa hari, Al-

Quran mendekorasi huruf-hurufnya dengan kriteria bunyi yang

selaras dengan peristiwa dan kesinambungannya lewat penggunaan

i‘râb yang akurat: “Wa amma ‘Âd fa uhlikû bi rîh-in sharshar-in ‘âtiyah”:

Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang

sangat dingin lagi amat kencang (QS Al-Haaqqah [69]: 6). Pilihan huruf

shâd yang tergolong huruf shafîr dan bermakna “meniup”, dengan

pengulangan shar dan i‘râb fathah, menjelaskan kesinambungan, juga

suara gemuruh angin ribut, dalam alunan yang begitu indah. Betapa

akuratnya pilihan huruf-huruf dan i‘râb yang dilakukan Al-Quran

sekaitan dengan bunyi serta tiupan angin topan yang sedemikian

mengerikan dan menakutkan?

p:62

Contoh lainnya, “Wa al-layl-i idzâ ‘as‘as, wa al-shubh-i idzâ tanaffas”:

Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh

apabila telah bernafas (fajarnya mulai menyingsing) (QS At-Takwir [81]:

17—18). Pilihan huruf ‘ain dan sîn berikut pengulangan keduanya

dengan menerapkan i‘râb fathah secara beruntun dan berulang-ulang

menjelaskan kemunculan momen malam hari secara bertahap. Lalu,

pilihan kata tanaffas yang ditambahkan dengan tâ’ (menambahkan

huruf dengan sendirinya menambahkan arti—penj.) serta

pilihan harakat fathah secara beruntun, mendeskripsikan fase-fase

kemunculan momen subuh hari. Seolah-olah dalam beberapa saat,

momen gelap malam dirasakan sangat membebani, lalu kemunculan

momen subuh hari memberikan perasaan lega dalam bernafas.

Saksikanlah, betapa indah, harmonis, dan luwes irama serta ekspresi

Al-Quran dalam melukiskan realitas eksternal dan inderawi berupa

munculnya momen pagi dan malam hari secara beruntun dan

bertahap? Siapakah yang mampu menciptakan ujaran semacam ini?

Dalam kasus digiringnya para penghuni neraka ke kobaran api,

yang dimulai dengan proses penangkapan dan pembelengguannya,

Al-Quran menyatakan, “khudzûh-u fa ghallûh, tsumma al-jahîm fa

shallûh, tsumma fî silsilat-in dzar‘uha sab‘ûn-a”: (Allah berfirman,)

Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian

masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian

belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta (QS Al-

Haaqqah [69]: 30-32). Pilihan kata ganti jamak laki-laki dalam ujaran

perintah berikut pengulangannya, serta pilihan kata-kata yang sesuai

dengan kompisisi dan i‘râb yang tepat, mereeksikan harmoni dan

koherensi unit-unitnya. Sementara itu, alunan ujarannya terasa elok

dan mengalir.

Karenanya, saat keindahan hakiki dan alunannya harmonis

dengan kata-kata serta rangkaian i‘râb-nya dibarengi lantunan

indah dan suara merdu seorang qari’ Al-Quran, betapa besar pesona

yang dipancarkan sehingga mampu menjadikan lawan bicara

p:63

atau pendengar terpukau dan terpaku di tempatnya. Oleh karena

itu, dianjurkan untuk membaca Al-Quran dengan lantunan suara

yang indah dan merdu, “Segala sesuatu memiliki rasa manis dan

keindahan. Rasa manis dan keindahan Al-Quran terletak pada

(alunan) suara merdu nan indah.”(1)

Kombinasi dan kesatuan serta alunan merdu Al-Quran dalam

lantunan dan suara indah Rasulullah Saw inilah yang mengguncang

hati orang-orang keras kepala serta melembutkan emosi manusia

berhati batu seperti Walid, sekaligus mematahkan keangkuhan

dan kebebalannya. Bacaan Al-Quran yang dilantunkan Nabi Saw

juga membuat kaum mukmin dan kafir terpukau. Begitu pula,

bacaan Al-Quran yang dilantunkan para imam as mampu menyetop

langkah orang-orang yang berlalu-lalang di gang-gang sekaligus

menginterupsi mereka dari kesibukan bekerja.

Demikianlah lantunan Al-Quran yang dibaca siang dan malam,

selalu saja mengguncangkan hati dan menjadikan air mata mengalir

di pipi. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-

Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar

karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian

menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah” (QS Az-

Zumar [39]: 23). Pilihan i‘râb yang tepat sangat menentukan lantunan

irama suatu ujaran. Karena itu, dengan bersikap selektif terhadapnya

akan menjadikan ujaran sebagai yang terindah dan terbaik.

c. Komposisi Kalimat

Komposisi kalimat merupakan leimotiv estetika ujaran dan

ujaran estetik. Pada bagian sebelumnya, uraian seputar seleksi

huruf, kata, dan i‘râb berkisar pada upaya mempertahankan tolok

ukur keindahan ujaran. Sedangkan dalam soal komposisi kalimat,

pokok persoalannya berkisar pada kemampuan berujar secara apik

p:64


1- 34 Wasâ’il Al-Syî‘ah, jld 4, hlm 856.

dan tepat, serta fasih dan ekspresif. Ketidakmampuan dalam bidang

ini menyebabkan suatu ujaran akan invalid dan tidak bernilai.

Pola susunan atau komposisi kalimat menentukan keindahan

atau keburukan serta ekspresif tidaknya maksud pengujar. Pasalnya,

keselarasan antara ujaran dengan kondisi pengujar dan audiens

sepenuhnya berbeda. Kondisi tersebut adakalanya menuntut sikap

mengagung-agungkan ( glorifikasi), merendahkan ( humiliasi),

motivasi, peringatan dan penyampaian berita gembira, kinâyah

(alegori atau metonimi), atau analogi dan isti‘ârah ( metafora).

Tipologi kalimat harus diseleksi teliti berdasarkan skema kriteriakriteria

tersebut. Unsur-unsur pokok ujaran, seperti subjek, predikat,

dan objek, serta korelasi antara fâ‘il (pelaku) dan kata kerja dalam

mendahulukan dan mengakhirkan, jamak dan tatsniyah (berjumlah

dua), kalimat ismiyyah (nominal) atau fi‘liyyah (verba), istimrârî

(menunjukkan kesinambungan) atau non-istimrârî, serta puluhan

unsur lainnya sangat menentukan kualitas komposisi kalimat. Jelas,

dikarenakan keterbatasan ilmunya, manusia tak akan pernah mampu

menguasai semua rumus dan rahasia tersebut. Akibat senantiasa

dibayang-bayangi kelupaan dan kelalaian, manusia tidak selamanya

mampu mengingat semua hal yang telah dipelajarinya untuk

mencipta ujaran terindah. Sementara Allah Swt Yang Mahatahu tidak

pernah mengalami kondisi lupa. Dia menerapkan seluruh parameter

keindahan dalam kalam-Nya, serta mengungkapkan ujaran dengan

solid dan indah sedemikian rupa, sampai-sampai tak satu pun

kekuatan yang mampu menandinginya. Salah satu dimensi estetik

Al-Quran berkorelasi dengan formasi dan komposisi kalimat yang

merupakan ihwal maknawiah dan nonmaterial, sekaligus mewadahi

seluruh keindahan sintaksis dan semantiknya. Sekaitan dengannya,

akan dikemukakan sejumlah ayat Al-Quran sebagai contoh.

Dalam kasus banjir bandang yang sangat dahsyat di masa Nabi

Nuh as, secara ajaib (mu‘jizati), air menyembur dari dalam tanah

serta turun dari langit. Keduanya mengakibatkan debit air meluap

p:65

hingga melebihi puncak gunung yang tinggi, lalu menenggelamkan

semuanya. Hanya beberapa gelintir manusia yang berada dalam

kapal Nabi Nuh as saja yang berhasil selamat. Allah Swt berkehendak

menyudahi tragedi ini dalam skema mukjizat sehingga keadaan

kembali normal dalam tempo cepat, bukan secara berangsur-angsur.

Karena, bila berlangsung secara bertahap, niscaya seluruh manusia

dan yang berada dalam kapal [Nabi Nuh as] juga akan menemui

ajalnya. Allah Swt menghendaki, dalam skema mukjizat, air bah

segera berlalu agar kapal tersebut dapat kembali berlabuh di tepian.

Intensi ini dijelaskan Al-Quran dengan beberapa kalimat pendek nan

indah tiada tara: “Wa qîla yâ ardh-u ibla‘î mâ’aki wa yâ samâ’-u iqla‘î wa

ghîdha al-mâ’ wa qudhiya al-amr-u wa istawat ‘alâ al-jûdiy wa qîla bu‘dan

li al-qawm al-zdâlimîn”: Dan difirmankan, “Hai bumi telanlah airmu,

dan hai langit ( hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun

diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan,

“Binasalah orang-orang yang lalim” (QS Hud [11]: 44).

Pertama-tama, akan dikemukakan makna sejumlah kosakata

yang termaktub dalam ayat tersebut.

Kata bala‘a berarti “menelan sesuatu secara sekaligus”,

sebagaimana binatang menelan mangsanya secara sekaligus. Kata

qala‘a berarti “mencerabut sesuatu sampai ke akarnya”, seperti

mencerabut pohon atau gigi. Kata ghîdha artinya “air menyerap ke

dalam sesuatu”.

Awalnya, Allah Swt memberikan perintah-Nya kepada bumi

untuk menelan habis airnya. Perintah takwini (antonim dari syar’i) ini

menjadikan air yang tadinya memancar dari dalam tanah kembali

surut ke perut bumi. Allah Swt juga memerintahkan langit memutus

curahan air hujannya. Dengan kata lain, air yang sampai saat itu

masih deras berjatuhan dari langit bak air terjun mendadak berhenti

sedemikian rupa hingga bekas-bekasnya tidak tampak. Kala itu, air

yang jatuh dari langit maupun yang memancar dari dalam tanah

sekonyong-konyong lenyap. Jika air yang memancar dari dalam tanah

p:66

kembali ke perut bumi, lantas ke manakah air yang jatuh dari langit

( hujan)? Lenyapnya air hujan tentu bukan lewat proses penguapan

(evaporasi). Sebab, proses tersebut bakal memakan waktu bertahuntahun

lamanya sehingga bertolak belakang dengan keinginan untuk

menjadikannya lenyap dalam tempot cepat.

Secara tekstual ayat ini memperlihatkan bahwa bumi hanya

menelan habis air yang dipancarkannya sesuai perintah-Nya, “Hai

bumi telanlah airmu.” Dari kalimat wa ghîdha al-mâ’, dapat dipahami

bahwa air yang jatuh dari langit ( hujan), sebagaimana air yang

memancar dari perut bumi, lenyap karena kembali ke tempatnya

semula. Artikel Alif- lam dalam kata al-mâ’ merupakan ‘ahd dzikri

dan bermakna air bah yang telah disinggung sebelumnya, yaitu

gabungan dari air tanah dan air hujan. Makna kalimat ya‘shimunî min

al-mâ’ berdasarkan arti ghîdha adalah bahwa semua air kembali ke

tempat semula. Air yang memancar dari dalam tanah akan kembali

ke perut bumi. Sementara air yang turun dari langit juga kembali

ke laut. Pasalnya, air langit merupakan air laut yang mengalami

evaporasi dan jatuh ke atas tanah dalam bentuk butiran air hujan.

Perubahan air hujan menjadi air laut sesuai perintah takwini Ilahi itu

berlangsung dalam tempo seketika.

Menariknya lagi, selain dilandasi teks ayat secara harfiah—

sebagaimana kesimpulan di atas, pemahaman ini juga selaras dengan

sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa air tanah ditelan bumi

sementara air hujan kembali ke laut dan mengitarinya. Imam Shadiq

as mengatakan, “Bumi menelan airnya sementara air langit ( hujan)

menjadi laut di sekitar dunia.”(1) Saat itu, perintah telah dilaksanakan

seiring dengan terwujudnya kehendak Ilahi dan berakhirnya tragedi.

Bahtera berlabuh Nabi Nuh as berhasil selamat dan berlabuh dengan

aman di atas sebuah bukit—yang menurut beberapa riwayat terletak

di Mosul, Irak.(2)

p:67


1- 35 Nûr Al-Tsaqalain, jld 2, hlm 365.
2- 36 Ibid.

Di akhir tuturan, Al-Quran mengemukakan falsafah dari tragedi

Ilahi ini—mengingat Al-Quran bukanlah buku cerita belaka, bukan

pula buku sejarah yang sekadar memuat kisah hidup orang-orang

sebelumnya. Bila menuturkan suatu peristiwa, Al-Quran niscaya akan

memetik manfaat dan pelajaran darinya. Dalam hal ini, azab Ilahi

digelontorkan akibat kezaliman mereka sendiri. Selama bertahuntahun,

mereka menolak dan tidak merespon seruan Ilahi. Bahkan

pembangkangannya sedemikian rupa, sampai-sampai mereka

menutup telinga dan wajah dengan pakaiannya demi menutup

mata vis-a-vis risalah kebenaran. “Mereka memasukkan anak jari mereka

ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka

tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat” (QS Nuh

[71]: 7). Inilah balasan untuk kaum yang bersarang dalam sangkar

kepura-puraannya sendiri, berkeras meneruskan pembangkangan

dan penyelewengannya melawan kebenaran, serta tak pernah sekali

pun berniat menyimak pesan kebenaran.

Seruan menerus nabi (pembawa) cahaya dan petunjuk bukan

hanya tidak memengaruhi jiwa mereka melainkan bahkan

mengakibatkan mereka semakin jauh berpaling dari Allah Swt dan

kebenaran. “Sesungguhnya aku (Nuh) telah menyeru kaumku malam

dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari

kebenaran)” (QS Nuh [71]: 5 dan 6). Kaum yang hujjah atasnya sudah

utuh dan lengkap ini memang berhak diganjar laknat Ilahi. Masa

diturunkannya azab telah tiba seiring nabi besar Ilahi (Nabi Nuh) as

memohon kepada Allah Swt Yang Mahakuasa, “Ya Tuhanku, janganlah

Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas

bumi” (QS Nuh [71]: 26).

Sekarang, dalam ayat-ayat yang menjadi subjek pembahasan,

dikemukakan soal peristiwa agung berupa terkabulnya doa Nabi

Nuh as yang mengawali dijatuhkannya vonis akhir. “Hingga apabila

perintah Kami datang dan tanur telah memancarkan air” (QS Hud [11]:

40). Instruksi telah dikeluarkan dan air pun menyembur dari tanur.

p:68

Sedemikian, sehingga pada akhirnya, tidak satu pun jalan keluar

yang tersisa untuk meloloskan diri dari ancaman tragedi ini, “Tidak

ada yang melindungi hari ini” (QS Hud [11]: 43).

Setelah tragedi tersebut berlalu, Al-Quran mengemukakan

falsafah sejarah dan peristiwanya, “Dan dikatakan, ‘Binasalah orangorang

yang lalim’” (QS Hud [11]: 44). Nasib buruk yang tercipta

akibat kezaliman dan pembangkangan kaum tersebut bukan hanya

dikhususkan bagi kaum itu. Melainkan juga bagi setiap kalangan

yang melawan kebenaran. Mereka akan sama-sama mengalami nasib

yang destruktif. Karena, “Maka sekali-kali kamu tidak akan menemukan

perubahan bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui

penyimpangan bagi sunah Allah itu” (QS Fathir [35]: 43).

Sebagaimana disaksikan, rangkaian ayat tersebut diawali

dengan kalimat seruan, “Hai bumi”, dan diakhiri dengan ujaran,

“Binasalah orang-orang yang lalim”. Fakta ini tentu saja mengandungi

hikmah yang sangat mendalam. Selain itu, dan Al-Quran juga

menjelaskan maksud ujarannya dalam satu komposisi kalimat

yang sarat keindahan. Jika hendak membuat film cerita atau serial

televisi, seorang sutradara harus menulis ratusan halaman buku dan

menghabiskan berpuluh-puluh gulungan pita seluloid (atau cakram

perekam) demi menjelaskan berbagai konsepsi dan keistimewaannya.

Kendati begitu, mereka tetap tak akan pernah mampu menandingi

keindahan dan kesegaran Al-Quran.

Cobalah perhatikan, sejauh mana tingkat kefasihan, kedalaman,

dan keindahan Al-Quran? Bila ingin memperoleh jawaban

lebih terperinci atas pertanyaan tersebut, maka mau tak mau,

pembahasannya harus bergeser dan masuk ke ranah ilmu tafsir.

Sementara topik utama yang menjadi pusat kajian dalam karya ini

adalah Ulumul Quran. Karena itu, analisis yang diikhtiarkan tidak

akan memasuki detail pembahasan yang bersifat spesifik; melainkan

hanya menyinggung sekelumit poin yang menjadi fokus perhatian

kalangan sarjana ilmu tafsir dan Ulumul Quran. Tujuannya agar

p:69

pesona keindahan Al-Quran semakin berkilau dan orang-orang kian

tak berdaya di hadapan Al-Quran.

Ada baiknya perhatian pembaca difokuskan pada persoalan

berikut: mengapa kalangan sastrawan Arab bersikap menyerah saat

diwahyukannya ayat-ayat ini? Kalangan pakar yang punya otoritas

untuk menyeleksi syair-syair terbaik dan paling fasih hasil karya

mereka sendiri, lalu menuliskannya di tirai Ka’bah dengan tinta

emas seraya menggantungkannya di dinding Ka’bah dengan penuh

bangga, tiba-tiba tertunduk malu dan bergegas menanggalkan tirai

kebanggaannya(1) itu manakala ayat-ayat tersebut diwahyukan.

Kalangan yang keras kepala dan angkuh itu benar-benar menyerah

di hadapan keagungan Al-Quran tatkala diwahyukan ayat yang

memfirmankan, “Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada

mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk

kepadanya” (QS Asy-Syu’ara’ [26]: 4).

Almarhum Syahristani, dalam kitabnya yang indah, Mu’jizah

Khalidah, mengemukakan sekitar 30 poin keindahan ayat ini (QS

Hud [11]: 44). Beberapa di antaranya adalah kesesuaian wazn (figura)

ibla‘î dengan aqli‘î, metafora keduanya, asosiasi langit dan bumi,

penyebab berlabuhnya bahtera yang diistilahkan dengan ghîdha

al-mâ’, atensi terhadap kelayakan azab Ilahi lantaran akumulasi

perbuatan mereka, keringkasan ujaran, tidak mengemukakan subjek

(pelaku) secara tegas dengan meletakkan kata kerja pasif, kesatuan

makna, keindahan dan ekspresionisme ujaran, relevansi sistematika

ujaran dengan realitas eksternal, dan sebagainya.

Sebagai tambahan, eksposisi filsafat sejarah sebagai pelajaran

yang dapat dipetik berbagai generasi menjadi fokus perhatian ayat

ini berdasarkan dua perspektif. Pertama, keselamatan Nabi Nuh

as beserta orang-orang yang menyertai beliau dan kaum Mukmin

merupakan sunah Ilahi (baca: sunnatullah) yang berlaku di tengah

umat manusia. Ini dapat diintisarikan dari kalimat wa istawat ‘alâ al-

p:70


1- 37 Syahrestani: op. cit., hlm 20.

jûdiy. Kedua, kehancuran para pembangkang dan orang-orang zalim

lantaran akumulasi perbuatan buruknya juga merupakan sunah Ilahi

lainnya. Ini dapat dipahami dari kalimat wa qîla bu‘d-an li al-qawm alzhâlimîn.

Fakta ini lebih tegas disinggung dalam ayat lain, “Kemudian

Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera,

dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)” (QS Al-

A’raf [7]: 64). Inilah contoh keindahan dan mukjizat Al-Quran.

Siapakah yang punya kemampuan berujar semacam ini?!

d. Contoh Lain

Al-Quran merupakan kitab keimanan, pemerintahan, politik,

hukum, pendidikan, dan akhlak. Sebagai pedoman untuk menyusun

undang-undang dalam bidang hukum pidana demi menjamin

keamanan sosial dan mengantisipasi tindak kriminalitas, Al-Quran

mengungkapkan sebaris kalimat pendek namun berbobot, indah,

dan mendalam tiada tara, “Wa lakum fî al-qishâsh hayât-un yâ ulî

alalbâb”: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai

orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 179). Ayat ini terdiri dari

delapan kata. Tiga kata memiliki peran vital. Qisas adalah pembalasan

atas pembunuhan dan tuntutan reaktif terhadap hal serupa; bukan

pembunuhan aktif. Kata hayât-un bermakna “kehidupan”. Sedangkan

kalimat ulî al-albâb (orang-orang yang berakal) mengisyaratkan bahwa

dasar hukumnya adalah akal dan kebijaksanaan, bukan emosi dan

perasaan. Ringkasnya, tujuan (berupa keamanan sosial), hanya akan

tercapai jika qisas dilaksanakan tanpa pandang bulu.

Target utama pelaksanaan qisas bukanlah membunuh (sebagai

balasan atas pembunuhan yang dilakukan pihak terhukum).

Melainkan mengenyahkan fenomena pembunuhan sampai ke

akarakarnya. Dalam pada itu, tujuan berupa keamanan sosial

tidak dapat direalisasikan dengan cara si pelaku diasingkan, dihukum,

dijebloskan ke penjara, dan sejenisnya—sebagaimana

dapat

p:71

disaksikan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Lebih dari itu,

dengan mengandalkan perasaan dan pandangan irasional, banyak

pihak yang berusaha mati-matian menghapus hukuman mati—

yang semakin menjauhkan masyarakat dari kondisi aman secara sosial.

Mau tak mau, tujuan tersebut hanya mungkin tercapai dengan

cara balas bunuh. Pasalnya, saat memahami jika membunuh maka

dirinya juga akan dibunuh (sebagai balasan yang setimpal), niscaya

seseorang tidak mau membunuh sekaligus tidak akan terbunuh.

Darah orang lain, juga darahnya sendiri, relatif lebih aman dan

terjaga. Mengingat hukum dan praktiknya mesti didasarkan rasio,

masyarakat yang menginginkan terciptanya kehidupan yang aman

secara sosial harus meminimalisasi perasaan dan kecenderungan untuk

memaafkan seraya melaksanakan qisas yang dilandasi hikmah

dan kearifan. Bagian akhir ayat ini menyuguhkan penjelasan cukup

mendetail seputar dalil hukum dan kandungannya.

Coba perhatikan dengan seksama soal bagaimana Al-Quran yang

kandungan maknanya sedemikian indah dan mendalam, menyusun

undang-undang hukum pidana serta menerapkannya dalam kehidupan

nyata. Jika dilaksanakan secara konsisten, niscaya semua itu

akan menjadi kunci bagi tercapainya keamanan sosial. Jenis wawasan

dan hukum ini mustahil dimiliki manusia bila tidak ada wahyu

Ilahi. Kalimat yang dipilih Al-Quran dalam ayat: “Yu‘allimukum mâ

lam takûnû ta‘lamûn”: Mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu

ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 151), dan bukannya mâ lâ ta‘lamûn “apa

yang tidak kamu ketahui”, menjadi bukti yang nyata bahwa jika

tidak ada wahyu, manusia tak akan pernah mengetahuinya.

Kandungan dan keindahan harfiah Al-Quran bukan ihwal yang

dapat dijangkau kemampuan manusia. Karenanya, sekalipun seseorang

meletakkan kalimat yang dianggap paling indah di samping

ayat ini (katakanlah, punya cita rasa dan makna yang nyaris sama),

umpama: al-qatl anfâ min al-qatl “Pembunuhan lebih menolak

p:72

pembunuhan”, niscaya keindahan Al-Quran jauh lebih berkilau.

Karena, kalimat ini tidak implisit kehidupan, melainkan hanya

menyoal pembunuhan yang tentunya bertolak belakang dengan target

[utama dilaksanakannya qisas]. Kalimat ini juga tidak berorientasi

pada penjelasan seputar penyebab hukum. Maksud utama dari

kalimat tersebut hanyalah berkisar pada praktik pembunuhan yang

jelas-jelas tidak menjamin fenomena pembunuhan bakal enyah untuk

selama-lamanya. Selain itu, kadar keindahan dan komposisi ujaran

ayat di atas tidak dapat dibandingkan dengan kalimat seperti itu.

Demikian pula dengan kasus kiamat. Al-Quran mengabadikan

pertanyaan sejumlah orang tentang kapan terjadinya kiamat:

“Yas’alûnaka ‘an al-sâ‘ah ayyâna mursâhâ”: Mereka menanyakan kepadamu

tentang kiamat, ‘Bilakah berlabuh (terjadi)nya?’ (QS Al-A’raf [7]: 187).

Kata mursâ derivat dari rasâ wa rasat al-safînah, bahtera berhenti

[berlabuh] di dermaga sehingga tidak berjalan:(1) merupakan kategori

ruang dan waktu. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah tempat

berlabuhnya bahtera (pelabuhan atau dermaga). Sekaitan dengan

tragedi air bah dalam kisah Nabi Nuh as, disebutkan, “Bismi-Allâhi

majrehâ wa mursâhâ”: Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan

berlabuhnya (QS Hud [11]: 41).

Berlabuhnya bahtera yang menandakan berakhirnya perjalanan

berlangsung setelah proses berlayar telah usai. Pada umumnya,

bahtera berlabuh di dermaga untuk mengambil atau mengosongkan

muatan. Sekarang, Allah Swt mengungkapkan soal kedatangan

kiamat dengan frasa mursâhâ. Apa maksudnya? Bahtera manakah

yang hendak menurunkan jangkarnya? Ekspresi apakah yang

meliputi kondisi ini? Bukankah ungkapan tersebut, menurut

pendapat sejumlah pemikir besar(2), bermakna bahwa sistem ranah

wujud ibarat suatu kumpulan entitas yang saling berhubungan satu

sama lain dalam sebuah bahtera yang sedang bergerak? Maksudnya,

p:73


1- 38 Khalil bin Ahmad Farahidi: Kitâb Al-‘Ayn, jld 7, hlm 290.
2- 39 Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli.

umat manusia di planet bumi ini bagaikan para penumpang bahtera

yang suatu hari kelak akan tiba di tujuan saat bahtera itu berhenti

dan berlabuh. Hari itu adalah momen bahtera tiba di tujuan dan

bermaksud mengosongkan muatannya. “Dan apabila bumi diratakan,

dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong” (QS

Al-Insyiqaq [84]: 3-4). “Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat

(yang dikandung)nya” (QS Al-Zalzalah [99]: 2).

Inilah ekspresi keindahan, kelembutan, dan kedalaman yang

tercermin dari jawaban terhadap pertanyaan seputar kiamat. Adakah

orang cerdas dan jenius yang punya kemampuan untuk menjawab

pertanyaan semacam ini? Tidakkah mukjizat Al-Quran itu terletak

keindahan harfiah dan maknawinya? Apakah struktur ujaran dan

komposisi kata-kata seperti itu bukan sebuah mukjizat?

Sekilas Perbandingan

Pertama

Ujaran Sa‘di, sosok orator ulung, barangkali sudah berusia

sekitar 700 tahun. Kendati begitu, rangkaian syairnya dalam Guleston

(Taman Bunga) laksana taman bunga yang masih segar dan harum

semerbak. Dalam mahakaryanya itu, dia mendeskripsikan bahwa

segala fenomena hukum alam selalu berputar demi [memenuhi]

hajat manusia. Sosok pujangga yang tiada tanding dalam soal seleksi

ujaran, prosa yang memikat dan mengalir, hikmah, nasihat, dan katakata

bijak ini menguraikan kenyataan ini secara prosais dan puitik

dalam satu setengah halaman lebih. Akhirnya, dia menyimpulkan:

Awan, angin, bulan, bintang,

dan falak sibuk bekerja.

Hingga kau peroleh roti, maka janganlah

kau makan dengan kelalaian dan sia-sia.

p:74

Sa‘di mengarahkan perhatian manusia pada berbagai kenikmatan

Ilahi lewat kata-kata pilihan dan terbaik. Lalu, letakkanlah prosa

menawan ini persis di sebelah ayat Al-Quran yang menyatakan:

“Wa sakhkara lakum mâ fî al-samâwât-i wa mâ fî al-ardh”: Dan Dia

menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi

(QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Syair karya Sa‘di terdiri dari 200 kata, sementara

jumlah kosakata ayat Al-Quran kurang dari 20. Pun, Sa‘di

hanya memperhatikan rangkain kenikmatan yang terlihat secara indrawi

seperti awan, bulan. dan matahari. Sedangkan ayat Al-Quran

memproyeksikan tatapannya ke seluruh nikmat yang bertebaran di

jagat raya dalam jumlah tak terbilang.

Sa‘di hanya mengedepankan kausa final dan tujuan. Sementara

ayat Al-Quran memunculkan ingatan pada sumber awal eksistensi

alam semesta, kausa pelaku, juga tujuan final yang Maha Awal dan

Maha Akhir. Kata sakhkhara bermakna “Allah Swt menundukkan

untuk kalian”. Walaupun Sa‘di bertutur indah, namun keindahan

ayat makin tak terkira manakala menolak analogi antara keduanya.

Demikianlah perbedaan antara kalam Sang Khaliq (Pencipta) dengan

ujaran makhluk—seindah apa pun ujaran itu.

Kedua

Firdausi adalah sosok penyair epik (syair kepahlawanan)

berbahasa Parsi. Sepenuhnya, dia dapat diklaim sebagai seniman

dalam bidang ujaran dan tak tertandingi dalam melantunkan epik.

Di tengah kalangan berbahasa Parsi, sajak-sajaknya diakui sangat

indah. Ujarannya juga begitu fasih dan ekspresif. Cermatilah,

bagaimana sosok yang sangat mahir berpuisi ini menciptakan karya

seni dengan melukiskan kepahlawanan dan ketangkasan seseorang.

Setelah menuturkan narasi keberanian dan kepahlawanan, dia lantas

memuji pahlawan imajiner dalam benaknya sebagai berikut:

p:75

Pada hari perang sang pahlawan perkasa

dengan pedang, busur, kapak, dan panah.

Memenggal, mengoyak, menebas, dan mengikat

kepala, dada, kaki, dan tangan prajurit.

Simaklah karya seni ini! Betapa tertib, fasih, ekspresif,

mendalam, dan memikatnya retorika yang digunakan dalam lariklarik

sajaknya, yang sepenuhnya berbalut keindahan. Maksudnya

adalah memenggal sederatan kepala dengan sabetan pedang tajam,

mengoyak dada-dada dengan tusukan anak panah, mematahkan

kaki-kaki dengan hentakan kapak, serta mengikat tangan-tangan

dengan tali busur. Firdausi bermaksud mengekspresikan tokoh

imajiner di benaknya sebagai pahlawan yang gagah berani. Sampaisampai,

kekuatan dan kecepatannya tidak memberi kesempatan

bagi musuh untuk melawan, apalagi menyerang, sedetik pun. Dalam

sekejap, musuh langsung tumbang di tangan sang pahlawan yang

gagah perkasa.

Adapun berkenaan dengan syair pilihan, paling indah, dan

berbobot, dapat dikatakan sebagai berikut.

Pertama, tidak disebutkan maksud dan tujuan pemenggalan

serta pengoyakan itu. Padahal, fenomena membunuh manusia hanya

bernilai jika ditujukan untuk memberangus kejahatan sampai ke akarakarnya

seraya menggantikannya dengan nilai- nilai kemanusiaan

dan ketuhanan. Jika bukan itu tujuannya, maka fenomena membunuh

manusia identik dengan kekejaman dan kesadisan, yang bukan cuma

nihil dan jahat, melainkan bahkan sepenuhnya bertentangan dengan

nilai- nilai atau norma-norma kehidupan.

Selain itu, skema yang digambarkan firdausi dalam konteks

penggunaan senjata perang bersifat klasik yang sudah tidak relevan

dengan kenyataannya (pedang hanya untuk memenggal kepala,

anak panah untuk mengoyak dada, kapak mematahkan kaki, dan

tali busur untuk mengikat tangan). Padahal, prajurit masa kini acap

p:76

mengincar kepala, tangan, dada, dan kaki lawan-lawannya dengan

sebilah pedang.

Selain itu, dari perspektif lain, ilustrasi kepahlawanan yang

digambarkannya juga tidak realistis dan lebih mirip dengan mitos.

Pasalnya, belum pernah terjadi sekali pun pertempuran semacam

itu. Seorang jawara yang sangat perkasa sekalipun niscaya hanya

mampu memenggal, mengoyak, mematahkan, dan menyandera.

Peperangan sekaligus menyerang dan bertahan. Jelasnya lagi,

menyerang musuh dan menerima serangan musuh. Peperangan

yang hanya mengandalkan serangan, bukanlah peperangan,

melainkan hanya sebuah permainan. Peperangan adalah: “Jika kamu

(pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu

pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa” (QS Ali ‘Imran

[3]: 140), dalam satu atau dua kali pertempuran. Peperangan juga,

“Lalu mereka membunuh atau terbunuh” (QS Al-Taubah [9]: 111).

Seyogianya sanjungan terhadap prajurit diujarkan dalam bentuk

verbalisasi daya tahannya dalam menghadapi musuh. Selain pula

memaparkan keberanian, kepahlawanan, kegagahan, kekuatan, dan

semangatnya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi

mereguk butiran madu kesyahidan dengan wajah berseri.

Sewaktu menyanjung kepahlawanan para prajurit yang

mengusung dan kepahlawanan para prajurit Islam.

Dalam hal ini, target yang dipatok adalah mengenyahkan

gerombolan manusia perusak yang telah menyeleweng dari

jalur kebenaran serta berupaya menghalang-halangi orang lain

menempuhnya. Mereka terdiri dari para pemimpin kaum kafir, yang

sikap permusuhannya terlihat jelas dalam dua peperangan; Badr dan

Uhud. Al-Quran juga menyatakan, “Maka perangilah para pemimpin

orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang

yang tidak dapat dipegang janjinya” (QS Al-Taubah [9]: 12).

Selain itu, digambarkan pula soal kegigihan, kesabaran, ketahanan

menghadapi intimidasi musuh, serta ketabahan menghadapi petaka

p:77

peperangan. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang

di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu

bangunan yang tersusun kokoh” (QS As-Shaff [61]: 4). Bangunan yang

dilumuri timah atau tembaga akan berdiri kokoh dan kuat. Dalam

pada itu, para prajurit Islam menghadapi serangan musuh bak

sebarisan gunung yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan.

Sekaitan dengan kasus tersebut, Al-Quran menyanjung

kegigihan dan kesabaran semacam ini, “Dan orang-orang yang sabar

dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan” (QS Al-Baqarah

[2]: 177). Sanjungan Al-Quran sedemikian indah dan mendalam,

sekaligus realistis; bukan sekadar mitos atau rekaan imajinasi.

Dalam hal ini, yang umumnya dipercaya masyarakat luas dan dapat

memotivasi kawula muda terjun ke medan tempur adalah alasan

yang bersifat adikodrati sekaligus realistis, alias bukan sekadar

produk imajinasi dan mitos belaka—sebagaimana yang banyak

disuguhkan para penulis novel picisan kontemporer.

Ketiga

Demikian pula saat Firdausi bermaksud mengemukakan

kejayaan dan kehancuran sepanjang sejarah yang selalu datang dan

pergi silih berganti seraya mengklaim bahwa irama kehidupan tidak

pernah monoton. Setelah mengungkapkan kisah peperangan secara

terperinci, serta kabur dan tersungkurnya Rakhush (nama kuda

imajiner yang artinya “pemberi cahaya“—penj.) milik Rustam,

Firdausi berdendang:

Demikianlah tradisi perang

adakalanya kalah, ada pula menang.

Keindahan, kepadatan, dan seleksi kosakata dalam ucapan di

atas memang layak disanjung, namun bait ini dirangkai Firdausi

setelah ia membawakan kisah yang panjang itu.

p:78

Al-Quran mengungkapkan kenyataan ini dalam peristiwa perang

Badr dan Uhud sebagai berikut, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran)

itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”

(QS Ali ‘Imran [3]: 140). Suatu kali, kalian akan menang lantaran

keimanan dan semangat juang. Dan suatu kali juga, kalian bakal

dikalahkan musuh akibat kerapuhan iman dan pembangkangan

perintah sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Meskipun termaktub

dalam ayat-ayat jihad dan dimaksudkan untuk mengungkapkan

sasaran berjihad serta pergantian waktu, komposisi kalimatnya

benar-benar seirama dan senada dengan konteks sebelum dan

sesudahnya.

Kalau pun kalimat ini dimaknai secara terpisah, konsepsinya

yang mendalam dan memikat tetap utuh terjaga: “Kami pergilirkan

kekuasaan di antara manusia secara bergantian.” Dalam hal ini,

penyebab awal ( causa prima) dan Tauhid tindakan Tuhan (tawhîd

af’âlî) sepenuhnya tetap diperhatikan; bahwa pergiliran (pergantian)

ini sepenuhnya berlangsung di tangan Kami yang merupakan asal

mula eksistensi dan sumber otoritas. Bersamaan dengannya, Al-

Quran mulai menyinggung maksud pergantian ini, sebagai ujian bagi

umat manusia di mana semua orang akan meleleh dalam tungku

api ujian sehingga yang murni akan terpisah dari yang tidak murni.

Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan

orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur

sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim,

dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa

mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir (QS Ali ‘Imran

[3]: 140-141).

Demikianlah segelintir contoh yang dimaksudkan untuk

membandingkan antara ucapan orator ulung yang menguasai retorika

dan kalangan cerdik cendekia di satu sisi, dengan kalam indah

Ilahi

p:79

di sisi lain. Pada dasarnya, dari setiap aspeknya, kedua hal tersebut

mustahil dibandingkan. Keindahan Al-Quran sedemikian agung

dan tiada batas sehingga tak satu pun ujaran yang layak disejajarkan

dengannya.

Al-Quran dan Kinâyah

Telah disinggung sebelumnya bahwa al-Quran menaruh

perhatian penuh pada seluruh kaidah yang dapat menciptakan

keindahan dan kedalaman suatu ujaran. Salah satu estetika lafal dan

parameter keindahan ujaran adalah kinâyah (alegori atau metonimi).

Kinâyah adakalanya digunakan sebagai imperatif keindahan. Dalam

beberapa kasus yang dianggap tidak layak untuk menyebutkan nama

atau status secara eksplisit atau dikarenakan alasan-alasan lain yang

tidak ingin diekspresikan, umumnya pengujar akan menggunakan

ungkapan kinâyah. Kinâyah juga digunakan dalam konteks eksplorasi

pembahasan. Dalam hal ini, saat pengujar bermaksud menguraikan

pembahasannya secara mendalam dan berharap agar audiens menerimanya.

Ini mengingat penyebutan status atau nama secara

eksplisit berpotensi menyulut gesekan antara pengujar dengan audiensnya

yang mulai cenderung menolak dan sikap antipati. Dalam

kasus semacam ini, kinâyah digunakan agar ujaran lebih efektif demi

menghindari reaksi negatif dari pihak audiens. Dalam upaya menetapkan

imperatif inilah “kinâyah punya nilai lebih (maksudnya,

lebih ekspresif) dibandingkan dengan menyebut sesuatu secara eksplisit”.

Atau “kinâyah jauh lebih berkesan dalam jiwa”.

Dalam percakapan sehari-hari pada semua bangsa, terdapat

sejumlah ungkapan kinâyah dan peribahasa—yang pada dasarnya

banyak memiliki kesamaan dan kesepadanan (paralelisme) di antara

berbagai budaya yang berbeda. Hanya saja lafal yang digunakan

mengalami perubahan tertentu, sesuai dengan perbedaan bahasa.

Cermatilah sejumlah kasus ujaran berbentuk kinâyah di bawah ini.

p:80

Dalam bahasa Parsi, individu yang tidak mengekspresikan

kesulitannya dan sebaliknya selalu memperlihatkan dirinya riang

gembira dalam kondisi tersulit, umumnya disebut “memerahkan

wajah dengan tamparan”. Kalimat ini mengungkapkan maksud yang

sangat dalam. Pada umumnya, raut wajah seseorang yang hidup

berkecukupan serta mendapatkan berbagai jenis nikmat Ilahi akan

memantulkan perasaan senang sedemikian rupa, sampai-sampai

raut wajahnya merah merona. Dalam pada itu, orang fakir yang

bermaksud menjaga kehormatannya akan berusaha agar orang lain

tidak mengetahui kondisi hidupnya. Untuk itu, dia pun menampar

wajahnya sendiri agar merah merona, layaknya orang yang hidup

berkecukupan. Di kalangan bangsa Arab, saat bermaksud melukiskan

keberanian seseorang secara mendalam, terdapat ungkapan, “Tali

bahu pedang fulan panjang.” Tali bahu pedang yang panjang

mengisyaratkan postur tubuh yang tinggi sekaligus kinâyah untuk

badan yang tegap.

Al-Quran banyak menggunakan kinâyah. Dalam berbagai kasus,

kinâyah diungkapkan dengan berbagai imperatif yang berbeda. Seluruh

lembaran al-Quran mengaplikasikan teknik artistik ini dalam

konteks estetika ujarannya. Juga, dikarenakan wawasan estetikanya

sedemikian sempurna, menyeluruh, dan absolut, maka rangkaian

ekspresinya pun begitu memikat dan mendalam. Karena itu, dalam

semua dimensinya, al-Quran dikategorikan sebagai kalam terindah,

sebagaimana akan dikemukakan dalam beberapa contoh berikut.

Dalam sejumlah kasus, menyebutkan nama atau status secara

eksplisit dianggap tidak layak. Seperti, pergi ke kamar kecil, yang

umumnya diungkapkan lewat kinâyah lantaran adanya konvensi

untuk menjaga ujaran dan tata krama. Bahkan suatu kinâyah yang

terus-menerus diujarkan, berangsur-angsur akan berubah status

dan posisinya menjadi ujaran biasa yang bersifat eksplisit. Dalam

kasus semacam ini, Al-Quran akan mengganti ungkapan tersebut

dengan kinâyah lain. Berkenaan dengan membuang hajat, al-Quran

p:81

menyebutkan: “Atau apabila salah seorang di antara kalian telah kembali

dari tempat buang air (baca: parit)” (QS Al-Maidah [5]: 6). Bangsa

Arab—bahkan mungkin semua orang—yang hendak membuang

hajat di gurun pasir, umumnya akan mendatangi tempat (dataran)

rendah dan parit-parit. Karenanya, fenomena “kembali dari tempat

tersebut” menjadi kinâyah dari aktivitas membuang hajat. Selain

sangat ekspresif, ungkapan ini juga terkesan santun. Juga berkenaan

dengan hubungan suami-istri yang tidak layak untuk diungkapkan

secara eksplisit. Kosakata yang umumnya digunakan untuk aktivitas

ini adalah “menyentuh” (berhubungan intim secara fisik). “Atau

apabila kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air,

maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS Al-Maidah

[5]: 6).

Kalimat “menyentuh istri” dalam konteks ujaran ini sepenuhnya

mengekspresikan maksud yang dikandungnya, sekaligus memenuhi

unsur-unsur tata krama dalam berbahasa. Karena, tidak setiap

sentuhan dengan istri mengharuskan seseorang menggunakan air.

Secara spesifik, kalimat tersebut diorientasikan untuk mengungkapkan

hukum tayammum (bersuci dari hadas dengan debu—penj.). Seorang

Muslim tentunya mengetahui, mana “sentuhan” (hubungan badan)

yang mengharuskannya bersuci dan mandi, mana yang tidak. Dalam

pada itu, al-Quran memfirmankan bahwa dalam kondisi tidak ada

air, sentuhan yang mengharuskannya bersuci harus disucikan

dengan cara bertayammum.

Dalam konteks ini, terdapat pula ungkapan kinâyah lain yang

diujarkan dengan kosakata “pergaulan” (kontak kulit atau badan).

Allah Swt berfirman: “Maka sekarang gaulilah mereka” (QS Al-Baqarah

[2]: 187), Maksudnya, saat para istri telah suci dari kebiasaan bulanan

(haid atau menstruasi), para suami dapat menggauli mereka

(melakukan hubungan suami istri). Seorang Muslim tentunya

mengetahui pergaulan yang dilarang saat istri sedang datang bulan.

Larangan ini pun dijelaskan lewat kinâyah berikut: “Dan janganlah

p:82

kamu mendekati mereka (berhubungan suami-istri), sebelum mereka suci”

(QS Al-Baqarah [2]: 222). Kali ini, ayat tersebut mencabut larangan

itu lewat kinâyah yang berbeda (pergaulan).

Dalam mengemukakan pembahasan-pembahasan yang berat,

umpama saat bermaksud menyinggung ketergantungan kuat

manusia terhadap dunia, al-Quran menggunakan kalimat itstsâqaltum

yang berasal dari kata tsiql (beban berat) dengan tambahan beberapa

huruf. Ketergantungan ini menghalangi mereka berjihad di jalan

Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila

dikatakan kepada kamu, “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,”

kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?” (QS At-Taubah [9]:

38). Seakan-akan, mereka merasa berat [untuk melangkahkan kaki]

di muka bumi.

Dalam kasus berhentinya kecamuk perang yang membebani

pundak bangsa, negara, dan rakyat, al-Quran menyatakan,

“Sampai perang meletakkan beban-beban beratnya (baca: sampai perang

berhenti)” (QS Muhammad [47]: 4). Seolah-olah dengan berhentinya

peperangan, rangkaian beban yang memberat di pundak seketika

terlepas, sehingga negara dan rakyat diliputi perasaan tenang dan

ringan serta dapat bernafas lega.

Berkenaan dengan kasus kematian dan kehancuran orangorang

sombong yang barangkali membuat sejumlah pihak bersedih

hati, Al-Quran menegaskan tentang betapa nihilnya peristiwa itu.

Ditandaskannya [Al-Quran] bahwa kematian dan kehancuran

mereka sama sekali tidak berisiko apa pun. Juga, tidak terjadi

sesuatu pun yang berkenaan dengannya. Dalam bahasa Parsi, kasuskasus

semacam ini diungkapkan sebagai “air tidak bergerak dan

tetap diam”. Al-Quran memfirmankan, “Maka langit dan bumi tidak

menangisi mereka (QS Ad-Dukhan [44]: 29).” Ujaran ini bernuansa

kinâyah yang bermakna kematian dan kehancuran mereka sama

sekali tidak bernilai sehingga tidak layak dijadikan objek ratapan

dan kesedihan. Sebaliknya, di pihak lain, kematian individu yang

p:83

memiliki pengaruh positif dan bermanfaat bagi makhluk Allah Swt,

justru diratapi sedemikian rupa. Dalam kasus kesyahidan Imam Husain

as, misalnya, dikatakan bahwa langit dan bumi meratapinya, “Tujuh

[lapis] langit dan bumi meratap karena kesyahidan beliau [Imam Husain]

as.”40

Sekaitan dengan sikap keras vis-à-vis kaum kafir atau

pembangkang, diujarkan, “Bunuhlah mereka sedemikian rupa agar

dahaga bumi dapat terpuaskan lantaran menghirup darah mereka.

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat

melumpuhkan musuhnya di muka bumi” (QS Al-Anfal [8]: 67).

Berkaitan dengan penisbatan sesuatu terhadap ihwal yang mustahil

[eksis atau terjadi], Al-Quran mengungkapkan kinâyah yang amat

mendalam sebagaimana berikut: “Orang-orang takabur atau congkak

tidak akan masuk ke dalam surga sehingga unta masuk ke lubang jarum.”

Dalam hal ini, benda sebesar unta mustahil dapat masuk ke lubang

jarum jahit. Ujaran ini tentunya mampu dicerna pemahaman semua

kalangan.

Al-Quran mengilustrasikan kemustahilan orang-orang sombong

mendapatkan surga dan rahmat Ilahi sebagai berikut: “Dan tidak

(pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum” (QS Al-

A’raf [7]: 40).

Inilah beberapa contoh dari berbagai kinâyah yang diungkapkan

Al-Quran secara menawan dan mendalam.

Al-Quran dan ( Alegori)

Penggunaan tamtsîl (alegori) dan tasybîh ( similarisasi) dalam

suatu ujaran memungkinkan makna atau intensi dapat disampaikan

dengan lebih baik dan dalam tempo cepat. Dalam konteks perhelatan

ilmiah dan intelektual, keduanya merupakan sarana terbaik untuk

memudahkan pemahaman [audiensi].

40 Wasâ’il Al-Syi‘ah, jld 1, hlm 393.

Tamts l

p:84

Memilih alegori yang bersifat ekspresif dan sederhana sekaligus

mudah dicerna pemahaman semua kalangan merupakan salah satu

teknik dalam seni berbicara. Semua ujaran yang termaktub alam Al-

Quran—yang sangat kaya dan penuh penjelasan serta wawasan

yang mendalam—niscaya dapat dipahami semua kalangan. Memang,

terdapat pula ungkapan atau ulasan Al-Quran yang dari segi kedalamannya

hanya dapat dicerna pemahaman pembaca atau audiens

yang cerdas dan rasional. Namun demikian, ungkapan yang sama

juga akan dikemukakan secara sederhana dan ekspresif di tempat

(surah atau ayat) lain untuk semua lapisan audiens lewat penggunaan

alegori (tamtsîl). Oleh karena itu, salah satu dimensi mukjizat

Al-Quran adalah audiensnya tidak bersifat spesifik, melainkan berasal

dari seluruh lapisan masyarakat yang niscaya memiliki tingkat

pemahaman dan wawasan berbeda-beda.

Tidak seperti kitab-kitab lain, Al-Quran sejak awal ditulis tidak

menentukan secara spesifik audiensnya memiliki tingkat pemahaman

dan wawasan tertentu. Dengan kata lain, Al-Quran menulis

dan berujar untuk semua kalangan dengan tingkat pemahaman dan

kecenderungan yang beragam. Muatan Al-Quran dialamatkan kepada

semua lapisan sosial, mulai dari kalangan sarjana agama dan

universitas, kawula muda dan orang dewasa, hingga anak-anak dan

kaum remaja. Ringkasnya, kitab suci ini memosisikan seluruh

lapisan masyarakat, dengan semua perbedaannya, sebagai audiens.

Tak seorang pun mampu mengujarkan sesuatu yang dapat diterima

dan dipahami semua kalangan. Suatu ujaran yang khusus ditujukan

kepada anak-anak, umumnya akan membuat orang-orang dewasa

merasa kejenuhan mendengarkannya. Sebaliknya, bila khusus

ditujukan kepada kalangan dewasa, umumnya kaum remaja dan

anak-anak muda akan cepat merasa bosan mendengarkannya atau

tidak mampu memahaminya. Lantas, bagaimana mungkin sebuah

kitab mampu menjadikan semua kalangan manusia sebagai audiens

sekaligus dapat memetik manfaat darinya?

p:85

Al-Quran acap kali mengemukakan ulasan mendalam yang terkait

dengan beragam topik dengan memanfaatkan serangkaian

alegori yang bersifat indriawi, konkret, dan mudah dipahami semua

kalangan. Alegori-alegori yang dipilihnya juga sedemikian terang

sekaligus memikat. Jadinya, pihak audiens mampu mempersepsi materi

yang diulas dengan jelas, sekaligus meniscayakan hakikat atau

realitas yang hendak dikemukakan menjelma secara nyata.

Berkenaan dengan konsepsi haq dan batil, Al-Quran

mengemukakan beragam ulasan yang mendalam, Di antaranya,

deskripsi seputar konsistensi dan stabilitas haq (kebenaran), serta

inkonsistensi dan instabilitas kebatilan. Dalam hal ini, alegori yang

digunakan Al-Quran adalah: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana

Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang

baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu

memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya” (QS

Ibrahim [14]: 24–25). “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti

pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan

bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun” (QS Ibrahim [14]: 26), dan

bakal tumbang hanya dengan sekejap hembusan angin. Dalam

konteks kebatilan, tidak disinggung masalah “buah”. Pasalnya,

kebatilan tidak pernah berbuah. Dalam alegori di atas, terlihat jelas

bahwa pohon yang tidak memiliki akar menancap kuat, kalaupun

sempat tumbuh dan menghijau, niscaya dalam hitungan hari akan

goyah dan tidak stabil. Dan tak lama kemudian, ia pun akan

segera layu, menguning, untuk kemudian mengering.

Siapakah yang tidak mampu merasakan elokuensi (kefasihan)

dan keindahan alegori yang sangat ekspresif ini? Alegori tersebut

mengekspresikan maksudnya dengan sedemikian indah dan

mendalam, sehingga para penggembala di gurun sahara sekalipun

dapat memahaminya secara komprehensif dan dosen-dosen di

kampus juga dapat menerimanya dengan utuh.

p:86

Al-Quran juga mengalegorikan haq dan kebatilan dengan air

dan buih yang mengapung di atasnya. Kebenaran atau haq bagaikan

air jernih dan segar yang jatuh dari langit guna menyuburkan

lahan pertanian dan menghijaukan tanam-tanaman sekaligus

menjadikannya berbuah. Air bersifat lestari dan kekal selama-lamanya.

Adapun kebatilan laksana buih di permukaan air yang terbentuk

akibat gelombang air membentur sesuatu yang menghalanginya.

Buih tersebut memiliki bentuk fisik yang manipulatif; terlihat

menggembung, namun isinya kosong. Karenanya, ia tidak langgeng

dan bakal lenyap dalam sekejap.

Allah telah menurunkan air ( hujan) dari langit, maka mengalirlah air

di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih

yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api

untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti

buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang

benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai

sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada

manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaanperumpamaan

(QS Ar-Ra’d [13]: 17).

Karakter air dan buih yang mengapung sangat gamblang dan

mampu dipersepsi semua kalangan secara indriawi. Begitu dengan

karakter haq dan kebatilan. Secara alegoris, sebagaimana air dan

buih, karakter haq dan kebatilan juga bersifat riil, dapat diindra,

dan mudah dipahami semua lapisan audiens.

Demikian pula halnya dengan konteks kegundahan dan

kegelisahan kaum musyrik yang telah melepaskan tempat bersandar

dan berlindung yang hakiki, yaitu Allah Swt, lalu menggantinya

dengan selain-Nya. Dalam konteks ini, Al-Quran menyebut tempat

mereka bersandar dan berlindung mereka sebagai rapuh dan

tak berpondasi seraya mengalegorikannya dengan rumah labalaba,

p:87

rumah yang paling lemah. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil

pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat

rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah labalaba”

(QS Al-‘Ankabut [29]: 41). Alangkah ekspresif dan simpelnya

alegori tersebut, sekaligus dapat dipahami semua audiensnya!!

Terkait dengan gambaran seputar kekhawatiran, kerisauan,

serta tidak adanya tempat berlindung bagi kaum musyrik manakala

diancam berbagai marabahaya. Al-Quran juga mengemukakan

alegori yang begitu memikat. Dari aspek kejiwaan, ujar Al-Quran,

kaum musyrik bagaikan sekelompok orang yang dilepaskan dalam

posisi tergantung di udara. Dalam kondisi ini, mereka tentu akan

menjadi mangsa burung dan menemui ajalnya. Atau diterpa angin

topan lalu terhempas ke sebuah tempat nan jauh yang nihil dan

gersang. “Dan barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah,

maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung,

atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS Al-Hajj [22]:

31). Ketersesatan orang-orang musyrik (yang senantiasa diliputi

perasaan takut dan dikepung marabahaya akibat tak adanya tempat

berlindung dan nihilnya tujuan), diakibatkan tidak adanya pegangan

hidup, keterjebakan dalam situasi rawan bahaya dan ketakutan,

serta tiadanya tempat bernaung selain Allah Swt. “Dan sekali-kali aku

tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya” (QS Jin

[72]:

22). Sebab, hanya Allah Swt semata yang mampu menganugerahkan

perasaan tenang dalam setiap ancaman ketakutan dan marabahaya:

Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan

lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS Quraisy [106]: 4).

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram

(QS Ar-Ra’d [13]: 28).

Pun dalam kasus seluruh aktivitas kaum kafir yang tidak

[pernah] membuahkan hasil apa pun serta sama sekali tidak realistis

p:88

alias hanya imajiner belaka, yang akan diperlihatkan pada momen

yang telah ditentukan. Al-Quran mengklaim seluruh aktivitas

mereka tak ubahnya fatamorgana [oase] di tengah gurun sahara

yang panas menyengat. Lalu, orang-orang menyangkanya sebagai

oase sehingga bergegas menuju ke arahnya. Namun, bukan hanya

tidak dapat melepaskan dahaga, orang-orang itu bahkan akan

semakin dicekik rasa haus lantaran tenaganya telah terkuras untuk

melakukan sesuatu yang percuma.

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana

fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang

yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya

sesuatu apa pun (QS An-Nur [24]: 39).

Di lain pihak, berkenaan dengan amal kebajikan kaum Mukmin,

dinyatakan bahwa infak mereka ibarat sebutir benih yang tumbuh

bercabang tujuh dan di setiap cabangnya terkandung seratus benih

[baru]. Artinya, benih itu berkembang hingga 700 kali lipat; dan Allah

Swt akan menggandakannya (menjadikannya dua kali lipat) bagi

siapa pun yang dikehendaki, yakni menjadi 1400 kali lipat. Tidak

hanya cukup dengan mengungkapkan jumlah lipatan tersebut, Al-

Quran juga menyebutkan bahwa rahmat dan berkah Ilahi tiada

terbatas, dan balasan serta pahala pun tiada akhir.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan

hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih

yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah

melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan

Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al-

Baqarah [2]: 261).

p:89

Kasus lainnya adalah hilangnya perhatian terhadap ayat-ayat

Ilahi, tidak dimanfaatkannya nikmat berpikir dan merenung kendati

telah dibekali potensi dan kekuatan pikir sehingga menyeret ke

lembah kebodohan dan kedunguan, serta melangkah tanpa tujuan

yang jelas. Juga kasus orang-orang yang merintangi hidayah

menyentuh dirinya dan selalu berpura-pura tidak memahami apaapa

sehingga seruan Ilahi tidak berdampak apa pun pada dirinya.

Berkenaan dengan semua kasus itu, Al-Quran mengilustrasikan:

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian

mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab

yang tebal” (QS Al-Jumu’ah [62]: 5). Bagi seekor keledai, beban yang

dipikulnya sama sekali tidak berbeda: apakah itu seonggok kitab

samawi atau sebongkah batu dari gurun sahara. Manusia yang

membungkam pemahaman dan perasaannya, serta tidak menaruh

perhatian pada kata-kata kebenaran, tak ubahnya binatang yang

memikul kitab.

Inilah sejumlah alegori yang digunakan Al-Quran untuk

memperjelas ujarannya serta mengulas berbagai topik pengetahuan.

Dalam Al-Quran maktub banyak contoh alegori yang tidak dapat

dkemukakan seluruhnya dalam tulisan ini. Namun demikian, dari

beberapa contoh di atas, minimal, beberapa kriteria alegori seperti

daya ekspresi, elokuensi (kefasihan), juga kedalamannya, terungkap

dengan jelas. Kekuatan pengujar serta ketajaman analisis dan daya

ekspresi alegorinya, yang dikombinasi dengan seluruh kriteria

estetika ujaran, sudah tentu melampaui kemampuan manusia.

Keindahan, keluwesan, dan kesederhanaannya sehingga mudah

dipahami semua audiens juga jelas terlihat dalam seluruh alegori

yang dikemukakannya.

Alegori yang digunakan Al-Quran mengapresiasi konsepkonsep

yang serius dan tema-tema yang sulit lewat modus inderawi

dan visual. Tentunya dalam hal ini tidak dikemukakan klaim

bahwa manusia tidak mampu mengungkapkan kinâyah atau alegori

p:90

sebagaimana Al-Quran. Pasalnya, Al-Quran sendiri tidak mengklaim

demikian. Tantangan Al-Quran mengacu pada pembuatan

surah, bukan ayat atau komposisi kalimat. Namun demikian, Al-

Quran senantiasa memenuhi seluruh prasyarat utama keindahan,

sedemikian rupa sampai-sampai menjadikannya sebagai ujaran terindah

yang melampaui potensi dan kemampuan manusia. Kendati

boleh jadi, suatu komposisi kalimat atau petikan ayat Al-Quran juga

tergolong sebagai mukjizat.

Al-Quran dan Isti'arah (Metafora)

Secara etimologis, isti’ârah bermakna “meminjam”. Dalam

beberapa kasus, suatu kata yang digunakan dalam konteks yang lain

mengalami pergeseran makna sedemikian rupa sehingga berbeda

dengan makna aslinya yang justru dianggap asing. Peristiwa lingual

ini, dalam literatur Arab, disebut dengan isti’ârah.

Isti’ârah ( metafora) termasuk seni menciptakan kelembutan

dan keindahan artistik suatu ujaran secara harfiah. Dalam konteks

ekspresi dan kedalaman suatu ujaran berikut maknanya, isti’ârah juga

memiliki peran yang sangat vital. Mengingat fungsinya yang sangat

signifikan, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu perbedaan antara

isti’ârah dengan kinâyah, majâz, dan tamtsîl atau alegori—sebelum

mengemukakan contoh-contoh isti’ârah dalam Al-Quran.

Perbedaan Isti'arah

Keselarasan dan kondisi ujaran senantiasa menciptakan bentuk

khusus bagi pengujar. Jelasnya, posisi dan kondisi ujaran cenderung

berbeda-beda. Ada kalanya pengujar berada dalam posisi

berkatakata secara wajar dengan mengatakan, “Si Fulan sudah

datang.” Terkadang mendeskripsikan kedermawanan atau

keberanian seseorang dengan kata-kata, “Si Fulan seorang

dermawan dan gagah berani.” Namun, kadang kala pula

digunakan alegori guna mendeskrispsikan kedermawanan dan

keberanian dalam level

p:91

berbahasa yang lebih tinggi, “Si Fulan bagaikan lautan dalam hal

kedermawanan dan singa dalam hal keberanian.”

Contoh ujaran pertama bersifat naratif, yang kedua deskriptif, dan

yang ketiga alegoris. Dalam kasus semacam ini, kata-kata digunakan

sesuai makna aslinya dan tidak menyertakan majâz sedikit pun.

Adapun untuk mengeskpresikan kedalaman, harus digunakan

majâz. Umpama, seseorang berkata, “Aku melihat seekor singa

(maksudnya, seorang pemberani) di sekolah.” Dalam ujaran ini, kata

“singa” yang awalnya bermakna “binatang buas” sekaligus menjadi

simbol dan contoh keberanian, digunakan untuk menggambarkan

sosok pemberani. Mengingat konteks penggunaannya menyertakan

qarînah (indikasi) berupa kalimat “di sekolah”, maka ujaran tersebut

dianggap bersifat majâzi. Namun, kendati dari segi deskriptif dan

alegoris lebih mendalam, digunakannya ujaran yang bersifat majâzi

yang disertai qarînah justru melemahkan ketajaman maksud pada

level-level berikutnya. Keistimewaan majâz terletak pada pengalihan

malzum (yang dilazimkan) ke lazim (yang melazimkan). Dengan begitu

[berdasarkan contoh tadi], terjadi peralihan dari singa (malzum)

pada kelazimannya berupa “keberanian”. Ringkasnya, majâz menggunakan

malzum demi makna lazimnya.

Namun adakalanya yang terjadi justru berkebalikan dengan

kasus di atas, yaitu peralihan dari lazim ke malzum. Dalam bahasa

Parsi, terdapat kinâyah yang menyatakan, “Lengan baju si Fulan sudah

usang.” Kinâyah ini bermakna “dia tidak punya apa-apa”.

Usangnya lengan baju merupakan kelaziman atau konsekuensi kefakiran.

Ujaran tersebut mengalihkan makna lazim ke malzum berupa

“kefakiran”. Dalam ujaran ini tidak digunakan majâz dan setiap kata

digunakan sesuai konsepsinya sendiri. Hanya saja, yang dimaksud

ujaran tersebut adalah makna kinâyahnya.

Tak jarang suatu kata digunakan untuk mengungkapkan

suatu makna yang sama sekali tidak memiliki hubungan secara

p:92

konvensional dengannya. Umpama, kata “singa” yang diasosiasikan

dengan sosok manusia pemberani. Tentu saja, maksud pengujarannya

bukanlah sebagai alegori atau majâz yang membutuhkan qarînah.

Melainkan memang bersifat denotatif, dengan satu pengecualian

yang membedakannya dengan ujaran denotatif lainnya; bahwa

berkenaan dengan ujaran tersebut diasumsikan adanya dua unsur

di mana salah satunya bersifat denotatif , dan yang lain diklaim

sebagai denotatif. Misalnya kata “singa” diterapkan pada dua sosok;

yang satu binatang buas dan pemberani, satunya lagi sosok individu

[manusia] yang dimaksud. Dalam pada itu ujaran “si fulan singa”

tidak menyertakan qarînah dan alegori saat menerapkan kata “singa”

dalam konteks penyebutan sosok yang pemberani. Penggunaan ini

secara fundamental berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Dalam

hal ini, kosakata “singa” tidak memiliki relasi apa pun dengan sosok

pemberani; tidak pula terdapat relasi antara lazim dengan malzumnya;

juga bukan alegori ataupun karakterisasi. Melainkan penggunaan

istilah dalam konteks yang berbeda sehingga memiliki makna yang

berlainan. Inilah yang disebut dengan isti’ârah.

Oleh karena itu, isti’ârah bukanlah tasybîh matwi atau similarisasi

implisit. Karenanya tidak dapat dibenarkan jika muncul anggapan

bahwa perbedaannya dengan tasybîh hanyalah bahwa dalam konteks

tasybîh, aspek similaritas atau wajh syabh-nya bersifat eksplisit,

sementara dalam konteks isti’ârah, bersifat implisit. Dalam isti’ârah,

suatu kata atau ujaran digunakan secara denotatif tanpa konotasi.

Inilah poin menawan yang diungkapkan Sakkaki; bahwa isti’ârah

adalah makna harfiah dipostulatkan (haqîqah iddi‘âiyyah). Oleh

karena itu, isti’ârah lebih superior dari seni ujaran lainnya. Tak satu

pun seni ujaran yang setanding isti’ârah dalam hal keindahan dan

kedalamannya. Melalui paparan yang menyertakan sejumlah contoh

kasus ini, perbedaan antara isti’ârah dengan seni ujaran lain kiranya

dapat dipahami.

p:93

Keindahan Isti'arah

Keindahan isti’ârah berkaitan dengan wawasan dan cita rasa pengujar.

Semakin luas wawasan pengujar sekaitan dengan teknikteknik

balâghah (retorika) dan seni ujaran, sekaligus mampu untuk mengaplikasikannya,

semakin memikat dan efektif pula ujarannya.

Isti’ârah merupakan gejala ujaran yang paling indah serta terdiri

dari beberapa tingkatan. Setiap individu dapat menggunakannya

sesuai kapasitas masing-masing. Apapun dari aspek perhatian

penuhnya pada segenap rincian dan kandungan kalam, sekaligus

kejeliannya dalam menerapkan prinsip-prinsip estetika, isti’ârah

yang digunakan Al-Quran benar-benar memenuhi syarat sebagai

mukjizat. Tidak seorang pun yang punya kemampuan dan kapasitas

untuk menandingi ujaran Al-Quran. Dengan menyimak sejumlah

contoh yang berkenaan dengannya, barangkali hal ini akan semakin

jelas.

Isti'arah dalam Al-Quran

Berkenaan dengan peristiwa angin topan di masa Nabi Nuh as

yang dituturkan ayat: “Yâ ardh-u ibla’î mâ’aki wa yâ samâ’-u aqli’î”: Hai

bumi telanlah airmu, dan hai langit ( hujan) berhentilah! (QS Hud [11]:

44) Al-Quran menggunakan dua isti’ârah. Salah satunya adalah kata

bal’ yang umum digunakan sekaitan dengan binatang yang menelan

bulat-bulat mangsanya. Kata ini digunakan ayat tersebut sekaitan

dengan perintah terhadap bumi. Sementara yang lain adalah kata

qal’ yang berarti mencerabut sesuatu sampai ke akar-akarnya—yang

digunakan untuk memerintahkan langit.

Air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan bumi dalam

sekejap berpindah tempat. Air yang memancar dari perut bumi

kembali ditelan [bumi], sementara yang diturunkan langit dengan

deras dan terus-menerus seketika itu tercerabut (berhenti total). Betapa

mendalam makna ujaran seputar ditelannya lautan air oleh bumi dan

p:94

tercerabutnya air hujan yang sangat deras sampai ke akar-akarnya

ini. Estetika dan harmoni kedua kosakata ibla’î dan aqli’î benar-benar

tak terbatas. Ini diakui semua pakar retorika, baik yang mengimani

Al-Quran maupun yang tidak. Musuh Al-Quran yang paling keras

sekalipun, seperti Walid, mengakui keindahan dan superioritas Al-

Quran—sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Contoh Lain

Lingkungan rumah tangga merupakan wahana terbukanya

rahasia istri. Dikarenakan hubungan yang dekat dan berkesinambungan,

pasangan suami istri mengetahui sepenuhnya rahasia

dan kekurangan masing-masing. Sangat jarang individu yang

mampu menyembunyikan rahasia dari pasangannya. Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa lingkungan rumah tangga merupakan

ajang tublâ al-sarâ’ir (penampakan rahasia-rahasia).

Sementara di sisi lain, tersebarluasnya rahasia dan skandal

akan menjatuhkan harga diri dan kehormatan sekaligus mencederai

harmoni suci rumah tangga. Tonggak kehidupan adalah harga

diri, kehormatan, kepribadian kuat, dan kemuliaan rumah tangga.

Sementara rumah tangga yang minus tanpa harga diri dan kehormatan

niscaya tidak akan hidup—bahkan “lebih mati” dari orang mati.

Di sisi lain lagi, sebagaimana umum diketahui, dibandingkan

agama dan ideologi lain, Islam memberi perhatian yang lebih besar

pada upaya memperkokoh dan melindungi kelestarian pondasi rumah

tangga. Dengan kata lain, agama Ilahi ini menghendaki jalinan

hubungan suami istri tetap lestari dan menginginkan tumbuhnya kasih

sayang, keakraban, harmoni, dan cinta di tengah lingkungan yang

suci itu. Jika demikian, lantas bagaimana Islam menghadapi problem

ini? Sehingga terbukanya rahasia di lingkungan rumah tangga tidak

berdampak negatif terhadap kekokohan pondasi rumah tangga serta

tidak sampai memicu kekhawatiran para anggota keluarga.

p:95

Untuk menghadapi ancaman ini, Al-Quran menyebut suami

istri sebagai pakaian penutup satu sama lain. Dengan dua kalimat

pendek, namun indah dan mendalam, kitab suci ini mengingatkan

ihwal fundamental untuk tidak membawa rahasia keluar lingkungan

rumah tangga. Hal yang sering mendera dan mengancam keutuhan

rumah tangga adalah terbukanya rahasia internal keluarga ke luar

lingkungan rumah tangga. Terdengarnya informasi rahasia seputar

kehidupan internal oleh pihak lain—kendati masih termasuk sanak

famili atau keluarga dekat, terlebih orang asing—yang dibarengi

bisikan setan, niscaya akan menjatuhkan harga diri. Lebih jauh,

fenomena ini cenderung membuka peluang campur tangan pihak

lain yang tidak pada tempatnya dalam kehidupan internal keluarga.

Lewat metode yang jitu dan cara yang memikat, Al-Quran mengajukan

solusi untuk melawan ancaman ini dengan menegaskan, “Mereka itu

adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS

Al-Baqarah [2]: 187).

Pakaian berfungsi menutupi kekurangan dan hal-hal yang harus

disembunyikan (rahasia-rahasia) pada tubuh. Secara manusiawi,

pakaian berfungsi untuk menjaga kemuliaan, martabat, dan harga

diri. Namun, pakaian akan berfungsi dan dikenakan saat tubuh eksis.

Digunakannya kata “pakaian” sekaitan dengan keterjagaan rahasia

dan kekurangan dalam kehidupan rumah tangga memang terasa

janggal. Di antara keduanya tidak terdapat hubungan struktural.

Namun, lain hal jika istilah itu dipahami sebagai sebentuk isti’ârah

yang diaplikasikan dalam konteks menutupi kekurangan dan rahasia

rumah tangga. Pasalnya, isti’ârah ini menggambarkan pasangan

suami dan istri layaknya pakaian yang menutupi seluruh anggota

tubuh demi menutupi seluruh kekurangan dan rahasia. Komposisi

ujaran ini memuat makna yang mendalam, tiada banding, dan belum

pernah diekspresikan sebelumnya. Sedangkan, dari segi keindahan

harfiahnya, ujaran ini sangat menakjubkan dikarenakan kepadatan

dan keindahannya. Ujaran ringkas ini mencakup makna yang luas

p:96

dan mampu mengatasi berbagai problematika rumah tangga serta

menangkis segala marabahaya yang mengancam keutuhannya.

Al-Quran mengemukakan kisah Nabi Zakaria as yang memohon

anugerah dari Allah Swt berupa seorang putera manakala seluruh

alasan untuk berputus asa keputusasaan sudah membayang di

pelupuk matanya. Di satu sisi, beliau sendiri sudah berusia lanjut dan

renta. Sementara di sisi lain, istri beliau telah mengalami kemandulan

sejak usia muda—terlebih sekarang sudah berusia lanjut. Setelah

menyaksikan berbagai karamah dan keagungan Maryam as, muncul

tekad dan keinginan kuat Nabi Zakaria as untuk memiliki seorang

anak seperti Maryam. Sekalipun kehidupannya di dunia sudah

mendekati titik akhir, sementara rambutnya telah memutih dan

wajahnya mengeriput, juga kondisi rumah tangganya yang tidak

lagi menyisakan asa, utusan Allah Swt ini (Zakaria as) tetap berharap

dan percaya pada rahmat Ilahi. Dalam pada itu, beliau mengutarakan

kondisinya secara terperinci kepada Allah Swt seraya memohon

anugerah seorang anak. Allah Swt mengabadikan dan menceritakan

kisah tersebut dalam ayat: “Ia (Nabi Zakaria as) berkata,

Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah

ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa (putus asa) dalam

berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku (QS Maryam [19]: 4).

Ini merupakan penggalan doa Nabi Zakaria as yang selebihnya

dapat dikutip dari ayat-ayat selanjutnya. Tema mukjizat isti’ârah

maktub dalam kalimat Wa isyta’ala al-ara’s-u syayb-an. Kata isyta’ala

bermakna “menyala”. Saat api melahap seluruh kayu bakar, akan

dikatakan, “Api telah menyala.” Lewat paparan bernuansa mukjizat,

Al-Quran dalam ayat ini menggunakan kata “nyala” sebagai ilustrasi

terhadap kondisi usia lanjut yang melahap kepala dan wajah

manusia. Saat itu, rambut dan wajah memutih. Kerutan dan keriput

mengakibatkan kulit wajah dan leher serasa tebal dan kasar. Dua

p:97

gejala di bagian kepala ini menjadi pertanda usia tua. Sebagaimana

kobaran api melahap seluruh kayu bakar, begitu pula dengan

ketuaan yang menyelubungi sekujur kepala dan wajah. Dengan

penuh kelembutan yang khas, Al-Quran menggunakan kata “nyala”

sebagai metafor kondisi usia tua. Ungkapan ini sedemikian ekspresif

dan fasih dalam mengungkapkan maksud dan perspektifnya. Aspek

harfiah dari ujaran ini begitu indah dan menakjubkan serta selaras

dan harmonis dengan kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya.

Ujaran sungguh tak tertandingi atau dapat digantikan ujaran lain.

Fakta inilah yang membuat takjub kalangan pakar bahasa dan sastra.

Sejatinya, nilai keindahan dan kedalaman makna dari ujaran ini

melampaui kemampuan manusia dalam mencipta ujaran.

Pada momen yang lain, Al-Quran menyoroti dampak buruk dari

sikap menolak mensyukuri nikmat Ilahi berupa azab pedih yang tidak

pandang bulu (mencakup semua manusia—penj.). Dalam hal ini,

suatu kaum atau bangsa yang tidak mengapresiasi nikmat material

dan spiritual anugerah Allah Swt, niscaya akan mengalami kesudahan

hidup yang serba sengsara, sementara akibat buruk sedang menanti

mereka. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah

negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya

melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari

nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian

kelaparan dan ketakutan.” Ulasan berikut berkenaan dengan isti’ârah

dalam ayat ini.

Pakaian berfungsi untuk menutupi tubuh. Kata ‘dzawq’ berarti

mencicipi rasa. Dalam konteks ini, istilah tersebut dimaksudkan

sebagai mencicipi (merasakan) ihwal indriawi dan material. Al-

Quran menggunakan dua isti’ârah dalam satu kalimat. Salah satunya

adalah “pakaian”, yang digunakan dalam pengertian menutupi

mereka dengan kelaparan dan ketakutan. Isti’ârah lainnya adalah

“merasakan” yang diaplikasikan dengan makna mengalami rasa

p:98

lapar dan takut. Isti’ârah pertama, “pakaian”, mengindikasikan kemutlakan

kelaparan dan ketakutan yang menyelimuti seluruh

anggota tubuh mereka. Sedangkan isti’ârah kedua mengekspresikan

kemendalaman ancaman tersebut, yaitu merasakan azab Ilahi,

bukan sekadar menyaksikan, mendengar, dan menyentuhnya. Guna

mengekspresikan kemendalaman rasa itu, kata “merasakan” digunakan

sebagai isti’ârah; sementara untuk menunjukkan universalisme

azab Ilahi, digunakan kata “pakaian”. Akibat menolak bersyukur

atas nikmat Ilahi, mereka pun dikepung kelaparan dan ketakutan

dalam semua aspek kehidupan dan anggota tubuhnya. Kegelisahan

dan kefakiran lalu meruntuhkan bangunan kehidupan mereka sampai

ke akar-akarnya. Ekspresi “merasakan” dalam Al-Quran juga

digunakan dalam pengertian merasakan rahmat Ilahi: “Dan apabila

kami merasakan kepada manusia suatu rahmat, sesudah (datangnya) bahaya

menimpa mereka” (QS Yunus [10]: 21). Saksikanlah, sejauhmana

keindahan dan visualisasi isti’ârah. Betapa kompaknya penggunaan

kata “merasakan” dalam konteks spiritual dan rohani, baik yang

menyangkut azab atau rahmat Ilahi.

Kontinuitas Kebenaran

Dalam pergulatan antara kebenaran versus kebatilan, kekuatan

kebenaran senantiasa keluar sebagai pemenang. Al-Quran

menegaskan, “Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang

batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta

yang batil itu lenyap” (QS Al-Anbiya’ [21]: 18). Dalam ayat ini, kata

damgh digunakan sebagai isti’ârah dengan pengertian tercerai-berainya

otak yang menggambarkan kondisi binasa dan hancur-lebur.

Runtuhnya kebatilan sampai ke akar-akarnya dianalogikan dengan

kondisi otak yang hancur dan tercerai-berai hingga tak ada lagi yang

tersisa. Makna ini dijelaskan dalam berbagai ujaran:

p:99

Dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya (QS Saba’

[34]: 19).

Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tersisa di antara

mereka (QS Al-Haaqqah [69]: 8).

Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum

mereka. Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu

dengar suara mereka yang samar-samar? (QS Maryam [19]: 98).

Inilah beberapa contoh isti’ârah yang maktub dalam Al-Quran.

Pilihan kata dan komposisinya guna mengekspresikan maknanya

yang mendalam benar-benar tiada duanya. Mustahil manusia mampu

merumuskan isti’ârah seindah dan seakurat ini, seraya memenuhi

seluruh prasyarat keindahan suatu ujaran.

Sajak

Dalam prosa, sajak ibarat rima ( qâfiyah) dalam puisi. Larik

menambah keindahan dan kelembutan puisi; sementara sajak

menciptakan harmoni dan kelembutan suatu prosa.

Manusia memiliki kecenderungan estetik dalam jiwanya. Karena

itu, dia senantiasa tertarik pada berbagai keindahan fenomenal di

alam semesta; terutama keindahan murni dan absolut, yaitu Allah

Swt. Setiap karya seni yang memenuhi prasyarat keindahan niscaya

akan menjadi pusat perhatian. Ujaran atau kalam juga termasuk

karya seni yang semakin indah secara harfiah, lembut secara batiniah,

serta memiliki makna yang mendalam, akan semakin memikat,

banyak diminati, dan memunculkan hasrat kuat untuk mencerapnya.

Dalam pada itu, ujaran yang tidak harmonis dan dangkal cenderung

menjadikan audiens menjaga jarak dan menjauh. Sebaliknya,

ujaran yang indah, harmonis, dan punya makna yang mendalam

akan memikat perhatian audiens serta menjadikannya berhasrat untuk

menyimak.

p:100

Salah satu tolok ukur penting dalam upaya memperindah dan

mempercantik ujaran secara harfiah adalah irama kalimat. Al-Quran

menggunakan tolok ukur artistik ini secara penuh dalam seluruh

ujarannya; seolah-olah seluruh isi Al-Quran merupakan ujaran prosa

yang ekspresif. Terpenuhinya kaidah ini akan menghasilkan

keindahan ujaran yang tiada tara. Irama Al-Quran begitu segar dan

lantunannya sedemikian mempesona, sampai-sampai jika semakin

sering dilantunkan dan diperdengarkan, keindahan dan daya tariknya

juga akan semakin bertambah. Padahal, pengulangan suatu ujaran,

seindah dan semenarik apa pun, pada umumnya menjemukan. Inilah

dimensi lain dari mukjizat Al-Quran—yang jika semakin sering

dibaca secara berulang-ulang, efeknya juga akan semakin bertambah

dan kian menguat.

Sajak termasuk fenomena artistik dan perpaduan retorika

suatu ujaran yang selalu menjadi pusat perhatian para pengujar yang

arif dan fasih. Berdasarkan literatur kesusastraan, sajak terdiri dari

berbagai varian. Dalam pada itu, agar diperoleh pemahaman yang

memadai tentang bagaimana Al-Quran menggunakan seni ujaran

ini, berbagai varian tersebut akan dipaparkan secara sekilas berikut

ini.

Klasifikasi Sajak

Point

Sajak terdiri dari beberapa jenis: mutawâzî, mutawâzin, dan

mutarraf. Yang menjadikan rangkaian sajak yang maktub dalam

Al-Quran memiliki nilai lebih dalam konteks klasifikasi ini adalah

totalitas keindahan harfiah dengan kedalaman maknanya.

Jika dicermati secara saksama, sajak hasil gubahan seseorang

pada umumnya mengandung sejumlah kekurangan. Bahkan,

acap kali terjadi, seorang pengujar baru mengetahui adanya

kekurangan dan menyadari bahwa “maksud ujaran” tidak mewakili

“maksud pengujar” atau tidak menjelaskan maksud utamanya,

setelah sajaknya digubah. Adapun kontras dengannya, sajak-sajak

yang maktub dalam Al-Quran sepenuhnya integral dan harmonis

p:101

dengan konsepsinya yang mendalam, sehingga tidak mengandungi

kekurangan apa pun dalam konteks ujarannya.

1. Sajak Mutawazi

Mutawâzî merupakan sejenis sajak paling indah berbentuk kesamaan

dan keserupaan kata-kata di akhir kalimat dari segi nada ( epigram)

dan juga dari segi huruf asli akhir kata, seperti (dalam bahasa Parsi)

ôzôd dengan ôbôd, syôdôb dengan ôdôb, delîr dengan kavîr. Sajak

jenis ini banyak dijumpai dalam Al-Quran, seperti:

Fi sidr-in makhdhûd, wa talh-in mandhûd, wa zdill-in mamdûd, wa

mâa’-in maskûb.

(Golongan kanan) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri,

dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya) dan naungan yang

terbentang luas, dan air yang tercurah (QS Al-Waqi’ah [56]: 28–

31).”

Wa as-syams-i wa dhuhâhâ. Wa al-qamar-i idzâ talâhâ. Wa al

nahâr-i idzâ jallâhâ. Wa al-layl-i idzâ yaghsyâhâ. Wa al-samâ’-i wa mâ

banâhâ. Wa al-ardh-i wa mâ tahâhâ. Wa nafs-in wa mâ sawwâhâ.

Fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Qad aaha man zakkâhâ. Wa

qad khaba man da-ssâhâ. Kadzdzabat Tsamûd-u bi taghwâhâ. Idz

imba’atsa asyqâhâ.

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan

apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya,

dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya,

dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta

penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,

dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena

mereka melampaui batas, ketika bangkit orang yang paling

celaka di antara mereka (QS Asy-Syams [91]: 1–12).

p:102

Simaklah bagaimana 16 ayat prosais dalam surah penuh berkah

ini disusun dengan bentuk mutawâzî. Pengertian yang dikandungnya

sungguh mendalam dan ekspresif. Setiap kali ayat-ayat prosais ini

direnungkan, niscaya akan dicerap sejumlah makna yang jauh lebih

mendalam. Menariknya lagi, tak satu pun rangkaian ayat prosais itu

memiliki kekurangan dan kelemahan. Fakta ini sendiri sekaligus

menunjukkan aspek mukijzat prosais Al-Quran. Bila tidak demikian

(maksudnya, memiliki kekurangan atau kelemahan), niscaya

manusia mampu menggubah sajak dalam ujarannya dengan segala

kekurangan dan problematiknya.

«وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَیْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِیدِ (16)»

«إِذْ یَتَلَقَّی الْمُتَلَقِّیَانِ عَنِ الْیَمِینِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِیدٌ (17)»

«مَا یَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَیْهِ رَقِیبٌ عَتِیدٌ (18)»

«وَجَاءَتْ سَکْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِکَ مَا کُنْتَ مِنْهُ تَحِیدُ (19)»

«وَنُفِخَ فِی الصُّورِ ذَلِکَ یَوْمُ الْوَعِیدِ (20)»

«وَجَاءَتْ کُلُّ نَفْسٍ مَعَهَا سَائِقٌ وَشَهِیدٌ (21)»

«لَقَدْ کُنْتَ فِی غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَکَشَفْنَا عَنْکَ غِطَاءَکَ فَبَصَرُکَ الْیَوْمَ حَدِیدٌ (22)»

«وَقَالَ قَرِینُهُ هَذَا مَا لَدَیَّ عَتِیدٌ (23)»

«أَلْقِیَا فِی جَهَنَّمَ کُلَّ کَفَّارٍ عَنِیدٍ (24)»

Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu)

ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk

di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu

ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat

pengawas yang selalu hadir. Dan datanglah sakaratul maut dengan

sebenarbenarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah

sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah

tiaptiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan

seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam

keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup

(yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Dan yang menyertai dia berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang

tersedia pada

p:103

sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam

neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala” (QS Qaaf

[50]: 16 – 24).

Keindahan rangkaian kata warîd, qa’îd, ‘atîd, tahîd, wa’îd, syahîd,

hadîd, dan ‘anîd, berikut maknanya yang begitu mendalam dan

harmonis, merupakan suatu mukjizat dalam mukjizat. Dalam

menggubah prosa atau syair, seorang penyair atau penulis akan

bergeser dari [orientasi] keindahan dan kemendalaman ujarannya

saat qâfiyah (rima) menjadi tidak beraturan. Berdasarkan itu, mukjizat

Al-Quran tercermin dari kemendalaman makna yang dikandung

serta keindahan ritmik rangkaian harfiahnya.

Contoh berikutnya:

«وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَی (1)»

«مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمْ وَمَا غَوَی (2)»

«وَمَا یَنْطِقُ عَنِ الْهَوَی (3)»

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat

dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)

menurut kemauan hawa nafsunya (QS An-Najm [53]: 1 – 3).

Dalam ayat ini, dapat disaksikan bagaimana kata hawâ

diungkapkan sebanyak dua kali dalam dua pengertian yang berbeda,

namun mampu menciptakan kelembutan yang begitu memikat.

2. Sajak Mutawazin

Mutawâzin merupakan jenis sajak yang kata-kata di akhir kalimat

dan paragrafnya seirama hanya dalam wazan (bentuk), bukan

(kesamaan) dalam bentuk akhiran. Berikut ini beberapa contohnya

dalam Al-Quran:

p:104

«وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ (1)»

«وَمَا أَدْرَاکَ مَا الطَّارِقُ (2)»

«النَّجْمُ الثَّاقِبُ (3)»

«إِنْ کُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَیْهَا حَافِظٌ (4)»

Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah

yang datang pada malam hari itu? (Yaitu) bintang yang cahayanya

menembus, tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya

(QS Ath-Thariq [86]: 1–4).

dan:

«الْحَاقَّةُ (1)»

«مَا الْحَاقَّةُ (2)»

«وَمَا أَدْرَاکَ مَا الْحَاقَّةُ (3)»

«کَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ (4)»

«فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِکُوا بِالطَّاغِیَةِ (5)»

«وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِکُوا بِرِیحٍ صَرْصَرٍ عَاتِیَةٍ (6)»

«سَخَّرَهَا عَلَیْهِمْ سَبْعَ لَیَالٍ وَثَمَانِیَةَ أَیَّامٍ حُسُومًا فَتَرَی الْقَوْمَ فِیهَا صَرْعَی کَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِیَةٍ (7)»

«فَهَلْ تَرَی لَهُمْ مِنْ بَاقِیَةٍ (8)»

Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari

kiamat itu? Kaum Tsamud dan Ad telah mendustakan hari kiamat.

Adapun kaum Tsamud maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian

yang luar biasa, Adapun kaum Ad maka mereka telah dibinasakan

dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.... seakan-akan

mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).

Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka

(QS Al-Haaqqah [69]: 1–8).

Dalam hal ini, sangat banyak ayat Al-Quran yang kata-kata

akhirnya dikombinasi dengan sajak mutawâzin.

3. Sajak Mutarraf

Mutarraf termasuk jenis sajak yang menekankan kesesuaian

huruf-huruf pada kata-kata yang berupa akhiran, yaitu huruf dasar

di akhir kata, seperti syâd dengan ôzôd dalam bahasa Parsi. Berikut

ini beberapa contoh yang maktub dalam Al-Quran:

p:105

A lam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ashhâb al-fîl. A lam yaj’al

kaydahum fî tadhlîl. Wa arsala ‘alayhim tayr-an abâbîl. Tarmîhim bi

hijârat-in min sijjîl: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana

Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia

telah menjadikan tipudaya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu

sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-

bondong, Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari

tanah yang terbakar (QS Al-Fiil [105]: 1–4).

Wa al-shubh-i idzâ asfar. Innahâ la ihdâ al-kubar. Nadzîr-an li

albasyar. Li man syâ’a minkum an yataqaddama aw yata’akhkhar:

Dan subuh apabila mulai terang. Sesungguhnya Saqar itu adalah

salah satu bencana yang amat besar, Sebagai ancaman bagi manusia.

(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau

mundur (beriman atau kafir) (QS Al-Muddatstsir [74]: 34–37).

Yâ ayuhâ al-muddatstsir. Qum fa andzir. Wa robbaka fa kabbir.

Wa tsiyâbaka fa tahhir: Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah,

lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu

bersihkan-lah! (QS Al-Muddatstsir [74]: 1–4).

Al-Quran menggunakan berbagai jenis sajak dalam sejumlah

besar ayat-ayatnya. Karenanya, bila dicermati secara saksama, dapat

dikatakan bahwa mayoritas ayat Al-Quran merupakan sajak prosais

yang ditinjau dari segi estetikanya, sungguh luar biasa indah dan

dimensi batiniahnya berbaur dengan mukijizat yang benar-benar

menakjubkan. Aspek sajak inilah yang menjadikan kalangan pakar

dalam bidang susastra mengklaim bahwa Al-Quran merupakan teks

prosais. Klimaknya, mereka pun mengakui ketidakberdayaannya di

hadapan Al-Quran.

p:106

Badî’

Sampai detik ini, belum seorang pun yang mampu menguasai

dan mengaplikasikan semua rumus dan rahasia estetika ujaran

(yang jika dikuasainya, niscaya akan menciptakan ujaran terindah).

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa acap kali seseorang mampu

mengikuti kaidah- kaidah dasar ujaran dan menguasai beberapa

tolok ukur keindahan berujar. Namun, saat mempraktikkannya

dalam ujaran atau tulisan, dia tidak punya kemampuan untuk

menerapkannya secara keseluruhan. Karenanya, dia pun tidak

mampu mencipta ujaran terindah. Sementara Allah Swt Mahatahu

semua rumus estetika sekaligus Mahamampu menerapkannya. Oleh

sebab itu, kemunculan dan perkembangan retorika dalam bidang

ujaran manusia tidak mengurangi secuil pun keindahan retorik

Al-Quran. Karena, Al-Quran senantiasa dan selamanya mengikuti

seluruh tolok ukur yang justru melampaui kemampuan manusia.

Menurut Baqilani, Al-Quran secara keseluruhan dipenuhi

keindahan dan dekorasi artistik, “ Keindahan-keindahannya

bersinambung.”(1) Di akhir pembahasan seputar mukjizat balâghî

(estetika ujaran) akan disinggung pula sepintas lalu beberapa seni

badî’.

Tashdîr

Tashdîr termasuk estetika ujaran yang mengembalikan akhir

ujaran ke awal ujaran, sekaligus merangkum ujaran di akhir sejumlah

surah Al-Quran, yang mengembalikan ujaran akhir suatu surah

ke ujaran awal. Contohnya, surah al-Baqarah yang pada awalnya

membicarakan perihal mabda’ (penciptaan), ma’âd (setelah kematian),

kenabian, dan prinsip-prinsip keyakinan (ushûluddîn). Dan di akhir

surah, tema-tema yang sama (mabda’, ma’âd, kenabian secara umum,

dan prinsip-prinsip keyakinan) kembali diungkapkan.

p:107


1- 41 Dr. Deraz, Al-Naba’ Al-‘Azdîm, hlm 112.

Perhatikan pula ayat-ayat Al-Quran berikut:

“Wa yakhsyâ al-nâs-a wa Allâh-u ahaqqu an takhsyâh-u”: Dan

kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk

kamu takuti (QS Al-Ahzab [33]: 37).

“Istaghfirû rabbakum innahu kâna ghaffâr-an”: Mohonlah

ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun

(QS Nuh [71]: 10).

“Wa laqad-istuhzi’a bi rusul-in min qablik-a fa hâqa bi-lladzîna

sakhirû minhum mâ kânû bih-i yastahzi’ûn”: Dan sungguh telah

diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada

orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olokolokan

mereka (QS Al-An’am [6]: 10).

“Unzdur kayfa kadzdzabû ‘alâ anfusihim wa dhalla ‘anhum mâ

kânû yaftarûn”: Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap

diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan

yang dahulu mereka ada-adakan (QS Al-An’am [6]: 24).

“Lâ taftarû ‘alâ-Allâh-i kadzib-an”: Janganlah kamu mengadaadakan

kedustaan terhadap Allah (QS Thaha [20]: 61).

“Wa hab lanâ min ladunk-a rahmah, innaK-a Ant-a Al-Wahhâb”:

Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena

sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia) (QS Ali ‘Imran

[3]: 8).

Tibâq

Seni ujaran lainnya adalah tibâq, yaitu menggunakan dua

faktor antonim dalam satu kalimat seperti: “Yuhyî wa yumît”:

Menghidupkan dan mematikan (QS Ali ‘Imran [3]: 156); atau, “Wa

tahsabuhum ayqâzd-an wa hum ruqûd”: “Dan kamu mengira mereka

(Ashabul Kahf) itu bangun padahal mereka tidur (mereka tertidur dengan

mata terbuka) (QS Al-Kahfi [18]: 18); juga, “Fa lâ takhsyaw al-nâs wa

ikhsyawn”: “Maka janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah

p:108

kepada-Ku (QS Al-Ma’idah [5]: 44); dan, “Akan tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui. Mereka [hanya] mengetahui yang lahir (saja)

dari kehidupan dunia” (QS Ar-Rum [30]: 6 – 7); serta, “Keras terhadap

orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS Al-Fath

[48]: 29), demikian pula, “Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan

orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan

dan menghidupkan” (QS An-Najm [53]: 43 – 44); dan, “Ia mendapat

pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari

kejahatan) yang dikerjakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286).”

Tolok ukur lainnya adalah musyakalah yang berupa

pengulangan kata yang sama persis dengan kata sebelumnya demi

mempertahankan keindahan harfiah suatu ujaran—kendati makna

katanya sudah berubah (berbeda dengan makna sebelumnya) dan

diorientasikan untuk pengertian yang lain—seperti, “Wa jazâ’-u

sayyi’at-in sayyi’at-un mitsluhâ”: Dan balasan suatu kejahatan adalah

kejahatan yang serupa (QS Al-Syuraa [42]: 40). Tatkala melakukan

keburukan, seseorang akan mendapatkan keburukan yang serupa.

Dalam hal ini, keburukan [yang disebutkan] kedua tidak dapat

disebut sebagai “keburukan”. Karenanya, digunakan kata sayyi’at

untuk menggambarkan kesamaan dan ganjaran setimpal bagi yang

pertama.

Tolok ukur lainnya adalah al-laff wa al-nasyr, yaitu mengungkapkan

dua hal seraya mengemukakan secara terperinci kekhasan keduanya

secara sistematis. Contohnya adalah kutipan ayat berikut:

Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang,

supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari

sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) (QS Al-Qashash [28]:

73).

p:109

Iltifat

Seni ujaran yang menekankan keindahan harfiah suatu ujaran

berikut pengaruhnya adalah iltifât. Pada praktiknya, seni ujaran ini

dimaksudkan untuk menarik perhatian audiens dengan mengubah

ubah alur pembicaraan dari “gaib” (orang ketiga), “mutakallim”

(orang pertama), dan “mukhatab” (orang kedua) secara bergantian.

Sebagai contoh, surah Al-Fatihah. Sejak awal hingga ayat,

“[Dia] Yang menguasai hari pembalasan (QS Al-Fatihah [1]: 4),” surah

ini menggunakan dhamir gaib (kata ganti orang ketiga). Kemudian,

secara spontan, berubah haluan dari gaib ke khitab [orang kedua],

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah

kami mohon pertolongan (QS Al-Fatihah [1]: 5).” Dalam rangkaian

shalat harian, surah nan indah dan punya makna mendalam ini

dibaca berulang-kali. Awalnya, surah ini diujarkan dalam intonasi

yang datar seraya mengasumsikan pihak (yang dibicarakan) sebagai

orang ketiga seraya memandang Dia secara subjektif. Manakala

hubungan yang dijalin semakin erat dan lebih akrab, pengujar pun

menyaksikan sesembahannya hadir sehingga terbentuklah relasi intersubjektif

(antar subjek) yang memungkinkannya berbicara langsung

dengan-Nya, “Hanya Engkaulah sesembahanku. Hanya kepada-

Mulah aku menyembah. Dan hanya kepada-Mulah aku memohon

pertolongan.”

Iltifât berperan penting dalam hal keindahan dan efektivitas ujaran.

Umpama, ayat yang mengatakan: “Dan Tuhan memberikan kepada mereka

minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu” (QS

Al-Insan [76]: 21 – 22). Inti ayat ini berkisar pada jamuan

Ilahi di surga. Nikmat apakah yang disuguhkan Allah Swt bilamana

secara langsung menjamu manusia surgawi? Minuman jernih dan

segar yang khusus disediakan sebagai balasan bagi penghuni surga.

Dengan meneguk minuman itu, para penghuni surga akan langsung

putus hubungan dengan selain Allah Swt. Saat itu mereka hanya

p:110

menaruh harapan kepada-Nya. Berkenaan dengan penafsiran ayat

di atas, terdapat sebuah riwayat yang mengatakan, “(Minuman itu)

menyucikan mereka dari segala sesuatu selain Allah.”(1)

Perubahan orientasi dari orang ketiga (gaib) ke orang pertama

(mutakallim) terdapat dalam ayat: “Mahasuci Allah, yang [Dia] telah

memperjalankan hamba-Nya (Muhammad Saw) pada suatu malam dari Al-

Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya”

(QS Al-Isra’ [17]: 1).

Perpindahan posisi dari orang kedua ke orang ketiga maktub

dalam ayat, “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di

daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam

bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada

di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira

karenanya” (QS Yunus [10]: 22).

Sedangkan pergeseran dari orang pertama ke orang kedua

terdapat dalam ayat, “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang

telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan

dikembalikan?” (QS Yaasiin [36]: 22).

Adapun dari orang pertama ke orang ketiga maktub dalam ayat,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Kautsar atau nikmat

yang banyak (di antaranya pengetahuan-pengetahuan wahyu). Maka

dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsar

[108]: 1–2).

Alhasil, topik utama pada bagian pertama ini berkisar di

seputar tema estetika harfiah ujaran yang disebut sebagai mukjizat

retorik. Tentunya sudah banyak karya tulis yang disusun secara

spesifik dan mendetail seputar tema mukjizat Al-Quran. Namun

demikian, ulasan di atas dengan segala kekurangannya tentulah

dirasakan belum representatif. Pasalnya, topik utama dalam kajian

mukjizat Al-Quran bersinggungan pula dengan ranah pengetahuan

lainnya, khususnya ahkâm berikut kandungannya—yang tidak dapat

p:111


1- 42 Bihâr Al-Anwâr, jld 8, hlm 113.

diabaikan dalam konteks mukjizat Al-Quran. Berdasarkan itu, bagian

kedua dari tulisan ini akan dikhususkan untuk mengulas topik yang

dimaksud.

p:112



Bab III Ujaran Estetik: Aspek Mukjizat Makna Ujaran

Point

p:113

Dimensi Keilmuan Al-Quran

TOPIK UTAMA yang telah diuraikan panjang lebar sebelumnya

berkisar pada estetika harfiah ujaran—kendati telah disinggung pula

kandungannya secara sepintas lalu. Pada bagian ini, yang menjadi

pokok pembahasan adalah ujaran yang indah serta aspek mukjizat

kandungan Al-Quran.

Kandungan Al-Quran yang bersumber dari (alam) malakut

(gaib) dan wahyu merupakan sebentuk mukjizat dalam konteks

wawasan manusiawi. Maksudnya, produk wahyu dalam bidang

epsitemologi, yurisprudensi (hukum-hukum fikih—penj,), ideologi,

etika (akhlak), pemerintahan dan politik, sosiologi, ekonomi, dan

sebagainya merupakan mukjizat.

Seluruh pengetahuan Ilahi melampaui daya jangkau kecerdasan

manusia. Tanpa bantuan wahyu, manusia mustahil mampu

merasakan. Tentu saja ini bukan dimaksudkan untuk mengklaim

bahwa Al-Quran memiliki pandangan dalam semua tema ilmiah—

kendati beberapa pihak mengklaim dan menganggap demikian

berdasarkan ayat-ayat seperti: “Dan tidak sesuatu yang basah atau yang

kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lawh Mahfuzd)” (QS

Al-An’am [6]: 59). Namun, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa

sebuah kitab disebut lengkap dan sempurna bila menguraikan seluruh

formula dan permasalahan yang menjadi tema pembahasannya,

sekaligus mengungkapkan pandangan yang berkenaan dengannya.

Sementara itu, sebagai kitab [suci] ihwal manusia, Al-Quran

memberi bimbingan, pengetahuan, serta panduan dalam berbagai

ranah keilmuan, seperti budaya, akhlak, ibadah, politik, sosial,

kesejahteraan, ekonomi, hukum, aturan pidana, dan sebagainya. Di

semua ranah pengetahuan itu, Al-Quran tidak melewatkan satu pun

tema pembahasan.

Dari segi potensi manusia yang tidak berbatas, wawasan

wahyu juga tak terbatas. Oleh karena itu, kesempurnaan program

hidup manusia hanya terwujud lewat tuntunan wahyu. Hanya

p:114

wahyu saja yang mampu mengajarkan manusia perihal seluruh

aspek kehidupan. Inilah klaim Al-Quran, “Dan mengajarkan kepada

kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah [2]: 151). Wahyu

menyampaikan serangkaian pengetahuan yang tanpanya, manusia

mustahil merasakannya. Mengingat tema ini sangat signifikan dan

istimewa, juga agar ulasan dan keterangan seputar beberapa pokok

permasalahan menjadi jelas, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu

dua hal mendasar, yaitu kapasitas manusia dan klaim wahyu. Baru

setelah itu, pembahasan akan bergeser pada tema-tema lainnya.

Dimensi Eksistensial Manusia

Dari segi kapasitas dan potensi keilmuannya, manusia merupakan

maujud tanpa batas. Potensi yang dimilikinya melampaui potensi

seluruh makhluk lain, termasuk malaikat. Potensi dan kapasitas ini

hanya dapat dipahami via wahyu Al-Quran. Tanpanya, tak seorang

pun mampu memahami dimensi eksistensial manusia.

Berkenaan dengan potensi eksistensial manusia, Al-Quran

mengungkapkan bahwa saat diciptakannya manusia, para malaikat

sempat bertanya-tanya soal apa tujuan diciptakannya makhluk itu.

Persisnya lagi, manakala mengetahui keinginan Allah Swt yang terkait

dengan masalah ini, mereka kontan bertanya kepada-Nya ihwal

maksud diciptakannya manusia. “Apakah Engkau hendak menjadikan

(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?”

(QS Al-Baqarah [2]: 30). Dalam menjawab pertanyaan ini, Allah Swt

berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

(QS Al-Baqarah [2]: 30). Kalimat ini merujuk pada kapasitas keilmuan

manusia. Dalam redaksi yang lain, ujarannya menjadi, “Jika mengetahui

hakikat ini, niscaya kalian tidak akan pernah bertanya.”

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian

mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman “Sebutkanlah

p:115

kepada-Ku nama-nama itu jika kamu memang orang-orang yang

benar!” (QS Al-Baqarah [2]: 31)

Manusia punya kemampuan untuk mempelajari dan menguasai

seluruh ilmu pengetahuan serta realitas keberadaan—suatu

kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain, termasuk malaikat.

Karena itu, tatkala mengetahui hakikat tersebut, para malaikat

pun memperoleh jawaban atas pertanyaan mereka. Kontan

mereka bersujud kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki

kemampuan untuk merasakan semua hakikat tersebut.

Kemampuan belajar manusia sungguh tidak terbatas, Dalam pada

itu, ketidakterbatasan ini berbanding terbalik dengan ilmu-ilmu alam

dan fisikawi. Pasalnya, upaya mempelajari ilmu-ilmu semacam itu,

seluas apa pun, tetap saja terbatas. “Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan

melainkan sedikit” (QS Al-Isra’ [17]: 85), Kemampuan belajar yang

tak terbatas ini hanya berbanding lurus dengan wawasan keilmuan

wahyu Ilahi seperti Al-Quran. Rasa dahaga ini hanya dapat terpuaskan

oleh kelezatan wahyu dan kejernihan wawasannya berupa serangkaian

pengetahuan puncak yang tidak mampu dipikul maujud mana pun.

Dalam konteks ini, Al-Quran menyatakan bahwa bila Kami menurunkan

Al-Quran kepada gunung-gunung yang kokoh, niscaya mereka tak

akan mampu memikulnya, bahkan akan pecah berkeping-keping. Padahal

gunung merupakan simbol kekokohan.

Pada umumnya, individu yang memiliki ketegaran mengagumkan

akan dianalogikan sebagai gunung yang berdiri kokoh.

Akan tetapi, gunung yang dianggap kokoh ini ternyata tidak memiliki

kesanggupan untuk mengemban Al-Quran; sementara manusia

mampu dan punya kapasitas untuk memikulnya. “Kalau sekiranya

Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan

melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah” (QS Al-

Hasyr [59]: 21). Manusia yang mampu memikul beban amanat ini

p:116

memiliki kapasitas untuk menampung hakikat pengetahuan qurani

yang tiada batas.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas seperti

menerima Al-Quran termasuk dalam kategori amanat) kepada langit,

bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul

amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah

amanat itu oleh manusia (QS Al-Ahzab [33]: 72).

Oleh karenanya, kapasitas tanpa batas, menuntut pula wawasan

yang tak terbatas. Sementara itu, ilmu-ilmu produk pikiran

manusia, dengan segenap keterbatasannya, tak akan pernah mampu

mengoptimalisasi kapasitasnya. Dari sisi ini, kebutuhan manusia

terhadap pengetahuan wahyu bersifat abadi. Manusia, sosok pencari

kesempurnaan, selalu membutuhkan wahyu. Pasalnya, ranah

pengetahuan wahyu melampaui daya pikir manusia. Sejauh

apa pun manusia berpikir, ranah pengetahuan wahyu tetap

melampaui semua hal yang telah dipelajarinya.

Wahyu merupakan pengajaran qudsi ( Ilahi). Tanpa asistensi

wahyu, rangkaian pengetahuan tersebut mustahil dirasakan. “Dan

mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-

Baqarah [2]: 151). Dari aspek keilmuan, manusia adalah manifestasi

dari “kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi” (QS Hud

[11]: 123; QS An-Nahl [16]: 77). Manusia meneguk cairan ilmu yang

jernih dan murni dari sumber tersebut, bahkan dia mampu mencapai

level tertinggi sehingga secara langsung dan tanpa dibatasi kotoran

alam material, meneguk cairan suci dari sisi Allah Swt tanpa mediasi

malaikat wahyu (Jibril): Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-

Quran dari sisi (Allah) Yang Mahabijak lagi Mahatahu” (QS An-Naml

[27]: 6). Posisi ini diakui malaikat kesempurnaan dan keindahan:

“Bila aku maju sedikit lagi maka aku akan terbakar.”(1)

p:117


1- 43 Bihâr Al-Anwâr, jld 18, hlm 382.

Sekarang, untuk mengklarifikasi kandungan ayat: “Dan

mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah

[2]: 151) dan pengetahuan wahyu yang dapat dirasakan manusia,

akan diuraikan lebih jauh sejumlah hal yang dikemukakan Al-

Quran. Ini dimaksudkan agar mukjizat kandungan Al-Quran bukan

hanya dianggap sekadar klaim belaka, melainkan memang bersifat

faktual.

Al-Quran dan Teologi

Teologi (wawasan ketuhanan) dan penyembahan Allah Swt

merupakan tema pokok yang dibahas dalam Al-Quran. Memang,

pengetahuan tentang Tuhan dikategorikan sebagai yang paling

gamblang dan bersifat fitriah. Namun karena terkontaminasi berbagai

keraguan tanpa dasar dan sikap skeptis yang berlebihan, ranah

pengetahuan ini pun tak ayal menjadi semakin kabur dan samarsamar.

Akibatnya, muncul banyak perdebatan hangat seputar masalah

ini. Karena itu, Al-Quran lantas memfokuskan upayanya untuk

menepis segenap keraguan tersebut agar fitrah manusia yang mengenal

Tuhan kembali hidup dan berkembang. Dan pada akhirnya,

manusia pun kembali pada dirinya sendiri. Al-Quran menyebut

para nabi sebagai juru-ingat terhadap hakikat pengenalan diri:

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang

yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas

mereka” (QS Al-Ghasyiah [88]: 21–22).

Upaya mengingatkan ditujukan untuk menggugah kesadaran seseorang

yang sebenarnya tahu masalah namun lalai. Dalam pada itu,

Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa para nabi diutus untuk

mengembangkan fitrah dan rasio manusia, bukan mengajarkan soal

ketuhanan.

p:118

Dan mereka (para nabi) membuka simpanan dan tambang akal

untuk mereka (manusia).(1)

Dalam memperkenalkan Tuhan kepada manusia, Al-Quran

mengatakan, “Adakah keraguan seputar keberadaan Tuhan? Mungkinkah

kalian meragukan eksistensi Tuhan? Mungkinkah orang

yang berenang di tengah lautan meragukan eksistensi air?” “Apakah

ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS

Ibrahim [14]: 10). Menurut Al-Quran, manajer alam semesta adalah

Kekuatan yang Mahamampu mengendalikan sistem yang harmonis,

kompak, dan indah ini; itulah Allah Swt Yang Mahamulia dan

Hakim yang mengungguli semua kekuatan lain. “Maka bagi Allahlah

segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-

Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Mahaperkasa lagi

Mahabijak” (QS Al-Jatsiah [45]: 36–37).

Al-Quran juga menjadikan prinsip ke-tuhan-an sebagai bukti

keesa-an Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan merupakan wujud sempurna

yang eksistensi-Nya tidak terbatas. Prinsip ketidakterbatasan

ini pada gilirannya memustahilkan pluralitas wujud. “Allah menyaksikan

bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,

Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu

(juga menyaksikan yang demikian itu)” (QS Ali ‘Imran [3]: 18).

Berkenaan dengan sifat-sifat Allah Swt yang baik dan indah, Al-

Quran mengemukakan ihwal mukjizat seraya menjelaskan bahwa

seluruh sifat jamal dan tanda-tanda kesempurnaan hanyalah milik

Allah Swt semata. “Hanya milik Allah asmaulhusna” (QS Al-A’raf [7]:

180). Keindahan dan kesempurnaan apa pun yang engkau saksikan,

dimiliki Allah Swt dalam level yang paling puncak. “Dan Allah

mempunyai sifat yang Mahatinggi” (QS An-Nahl [16]: 60), sekaligus

awal dari seluruh kesempurnaan lainnya. Al-Quran menyebut dan

mengatributkan seluruh sifat jamal kepada Allah Swt karena “seluruh

kesempurnaan dan keindahan-Mu semata-mata sempurna

p:119


1- 44 Nahj Al- Balâghah, Pidato 1.

dan indah”. Dalam upaya menyucikan Allah Swt dari segala bentuk

similarisasi dan rivalisasi, Al-Quran menegaskan, “Tidak ada sesuatu

pun yang serupa dengan Dia” (QS As-Syura [42]: 11), sebagai negasi

terhadap keserupaan apa pun dengan selain-Nya. Ini sebagaimana

kita, misalnya, bermaksud menyucikan seseorang dari sifat buruk,

seperti kekikiran, dengan mengatakan, “Orang seperti Anda tidak

kikir, apalagi engkau.” Kandungan dari ungkapan pendek nan indah

ini benar-benar mendalam sekaligus menegasi segala kekurangan

di sisi Allah Swt. Ungkapan ini menolak segala sifat yang tidak

selaras dengan prinsip ketuhanan—yang diistilahkan sebagai penafi-

an dengan sifat Jalâl. Ayat ini merupakan induk dari ayat-ayat yang

menjelaskan sifat Allah Swt.

Karena Allah Swt merupakan mabda’ (asal-muasal) juga ma‘âd

(kepulangan), tujuan dan titik tolak, Al-Quran pun memperkenalkan

asal-muasal dan kepulangan secara berimbang. Kitab suci ini

lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah ma‘âd dan mabda’

ketimbang pada tema-tema yang lain. Al-Quran memandang ihwal

ma’âd sebagai sebuah keniscayaan. Mau atau tidak mau, semua

manusia akan kembali ke hadirat Ilahi. “Hai manusia, sesungguhnya

kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka

pasti kamu akan menemui-Nya” (QS Al-Insyiqaq [84]: 6). Perjumpaan

manusia dengan Allah Swt merupakan suatu kepastian. Karena

datang dari–Nya, ia juga akan kembali pada-Nya. “Sesungguhnya kami

milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali” (QS Al-

Baqarah [2]: 156). Bimbingan Al-Quran perihal ma‘âd meniscayakan

manusia menemukan sifat-sifat dan manifestasi keindahan Ilahi,

sehingga dapat merasakan kebahagiaan dan keagungan, “Di tempat

yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa” (QS Al-Qamar [54]: 55).

Dalam kondisi itu, manusia mereguk segala nikmat yang tiada

batas berikut surga ridhwan-Nya. Kepastian ini diperolehnya kala

mendengar firman yang menegaskan: “Dan masuklah ke dalam surga-

Ku” (QS Al-Fajr [89]: 30).

p:120

Al-Quran juga berupaya menuntun umat manusia melangkahkan

kaki di jalan Allah dan bergerak ke arah-Nya: “Maka segeralah kembali

kepada Allah” (QS Al-Dhariyat [51]: 50). “Dan berlomba-lombalah kamu

kepada ampunan dari Tuhanmu” (QS Ali ‘Imran [3]: 133). “Dan adapun

orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari

keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”

(QS An-Nazi’at [79]: 40–41). Di sisi lain, Al-Quran menakut-nakuti

orang yang kabur dari Allah Swt dan keridhaan-Nya: “Maka ke

manakah kamu akan pergi?” (QS At-Takwir [81]: 26). Kembalilah kalian

pada hakikat kesempurnaan dan keindahan absolut; itulah Yang

Awal dan Yang Akhir, Mabda’ dan Ma‘âd, Yang Lahir dan Yang

Batin. “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin”

(QS Al-Hadid [57]: 3). Allah Swt lebih awal dari segala sesuatu yang

dianggap sebagai “yang awal”; lebih akhir dari segala sesuatu yang

dipandang sebagai “yang akhir”; lebih kasat mata (tampak secara

lahiriah) dari segala sesuatu yang diklaim sebagai “kasat mata”; dan

meliputi segala sesuatu yang dipandang sebagai “yang tidak kasat

mata (batiniah)”.

Al-Quran menyebut ma‘âd sebagai ajang persinggahan abadi

umat manusia. Untuk berjumpa dengan ridhwan Allah, jalan yang

harus ditempuh adalah menentang hawa nafsu dan melangkah di

jalan Allah Swt, jalan ketakwaan. Al-Quran memandang manusia

sebagai musafir, hingga dirinya sampai di tujuan, yaitu berjumpa

Allah Swt. “Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala

sesuatu)” (QS An-Najm [53]: 42). Seraya itu, Al-Quran menyerukan

dengan lantang dan ekspresif bahwa para musafir memerlukan bekal

untuk perjalanan panjang ini. Bekal dimaksud adalah ketakwaan

yang menjelma dalam sikap menjauhkan diri dari hal-hal yang

dilarang serta mengerjakan segenap perintah dan kewajiban Ilahi.

“Dan berbekallah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”

(QS Al-Baqarah [2]: 197).

p:121

Agar di akhir perjalanannya tidak berhadapan dengan murka

Ilahi, juga tidak dicekam kekhawatiran mendapatkan azab yang,

“Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim [14]: 7), Al-

Quran pun menuntun manusia menuju ampunan dan keridhaan

Ilahi. Tuntunan itu sama sekali tidak dibayang-bayangi kekurangan

dan marabahaya apa pun. “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan

petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9). Siapakah

yang mampu mengemukakan rangkaian pengetahuan yang pada

hakikatnya berasal dari alam malakut ini? Adakah tuntunan terbaik

bagi umat selain wahyu Ilahi? Seluruh pengetahuan tersebut

merupakan manifestasi konkret dari: “Dan mengajarkan kepada kamu

apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah [2]: 151), yang meliputi

totalitas kandungan Al-Quran. Secara keseluruhan, Al-Quran

membincangkan soal Tuhan, yaitu mabda’, ma‘âd, dan asmâ’ul husna.

Upaya terbesar Al-Quran adalah menarik perhatian manusia pada

pengetahuan dan mabda’ al-faydh (sumber emanasi). Dalam sebagian

besar ayatnya, Al-Quran membicarakan ihwal Allah Swt. Dalam pada

itu, kosakata “Allah” sebagai yang terindah dalam dunia ujaran,

paling banyak digunakan Al-Quran di berbagai tempat. Allah Swt

menjelma di tengah umat manusia dalam bentuk yang paling indah

sebagai kalam-Nya, Al-Quran. “Sesungguhnya Allah telah menjelma

untuk makhluk-Nya dalam kalam-Nya.”(1)

Bukankah kearifan puncak semacam ini merupakan mukjizat

kandungan dan ujaran Al-Quran yang menjadikannya sebagai kalam

terindah? Jika tidak demikian, siapa pun dipersilahkan menyusun

ujaran yang serupa dan selevel dengan salah satu ujaran Al-Quran!

Al-Quran dan Hakikat Manusia

Pengenalan ihwal dimensi eksistensial manusia berikut segenap

kebutuhannya mustahil dilakukan tanpa dukungan ajaran wahyu.

Individu yang hanya mengandalkan ikhtiar dan intelektualitasnya

p:122


1- 45 Bihâr Al-Anwâr, jld 89, hlm 107.

semata, dipastikan tidak akan mampu menganalisis seluruh dimensi

eksistensial dan spiritual manusia. Termasuk memperoleh informasi

mendetail dan cermat seputar dimensi-dimensi psikisnya guna

memenuhi segala tuntutan kebutuhannya. Semakin kencang manusia

berusaha mengenal dirinya, semakin tersingkap dihadapannya

berbagai keajaiban eksistensialnya. Hingga pada satu titik, dengan

segala kelemahan dan ketidakberdayaannya, dia akan mengakui

bahwa manusia itu pada hakikatnya maujud yang tak dapat dikenali.

Sementara itu, yang mampu mengenal manusia hanyalah Tuhannya.

Ini sebagaimana Dia memuji diri-Nya seusai menciptakan manusia

dalam bentuknya yang paling indah, “Maka Mahasuci lah Allah,

Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al-Mukminun [23]: 14). Allah Yang

Mahatahu dan Mahabijak, mabda’ (sumber) kreasi insan, mengetahui

betul seluruh kandungan batin dan jiwa manusia. Dia benar-benar

mengetahui jalan mana yang semestinya ditempuh umat manusia

demi mencapai tujuan. Dalam Al-Quran, Dia mengemukakan

serangkaian prinsip utama dengan cara yang terbaik sehingga

manusia dapat memanfaatkan wawasan wahyu untuk mengenal

hakikat dirinya dan menentukan jalan yang harus ditempuh. Lalu,

dia pun bergerak ke tujuan dengan menapaki jalan yang telah

digariskan wahyu untuknya.

Dua Unsur, Dua Kecenderungan

Dalam banyak kesempatan, Al-Quran mengemukakan dua unsur

penciptaan manusia. Ini mengingat eksistensi manusia terdiri dari

roh dan jasad. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga secara

eksistensial terkait dengan ihwal material dan spiritual. Dalam pada

itu, penciptaan manusia berasal dari dua unsur yang saling terkait;

unsur material dan jasmaniah di satu sisi, serta unsur spiritual di sisi

lain. Berdasarkan alasan inilah, Al-Quran menisbatkan asal-muasal

jasad manusia pada unsur air dan tanah liat. “Dan sesungguhnya

Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”

p:123

(QS Al-Mukminun [23]: 12). Namun demikian, hakikat eksistensial

manusia berupa ruhnya berasal dari alam malakût, “Dan Aku telah

meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Ku” (QS Al-Hijr [15]: 29).

Adanya dua unsur eksistensial dalam konteks penciptaan

manusia ini pada gilirannya meniscayakan munculnya dua

kecenderungan yang sejalan dengan masing-masing unsur tersebut.

Unsur malakûti memiliki kecenderungan pada asal-muasalnya

berupa alam malakût. Karena itu, segenap kecenderungan fitriah

manusia niscaya berorientasi dan bergerak menuju Allah Swt. Dalam

hal ini, kecenderungan fitrah yang tidak terbatas selalu mendorong

manusia untuk mengenal dan menjalin hubungan dengan sumber

penciptaan dirinya. “ Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu” (QS Ar-Rum [30]: 30). Sejak itulah, manusia tercipta

dengan fitrah pengenalan dan penghambaan kepada Allah Swt.

Sebaliknya, unsur material manusia juga memiliki kecenderungan

pada sumber eksistensialnya berupa alam mulk ( fisis) dan material.

Sebagaimana fitrah berorientasi ke alam malakût, karakter

material manusia cenderung pada kesesatan. Manusia menyadari

sepenuhnya dua kecenderungan tersebut dalam dirinya. “Dan jiwa

serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada

jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya” (QS As-Syams [91]: 7–8).

Maksud ungkapan “penyempurnaan jiwa” adalah bahwa manusia

mengetahui berbagai kecenderungan fitriah dan orientasi dasar

fisiknya. Kecenderungan fitriah senantiasa mengajak manusia ke arah

kesempurnaan dan kesucian, demi menjadikannya superior vis-à-vis

malaikat yang karenanya para malaikat bersujud di hadapannya.

Kecenderungan fitriah berorientasi pada cahaya, kejernihan, dan

cinta. Berkat kecenderungan ini pula, manusia memiliki potensi

untuk memahami realitas secara keseluruhan. “Dan Dia mengajarkan

kepada Adam asma’ (hakikat-hakikat) seluruhnya” (QS Al-Baqarah [2]:

31). Orientasi fitrah hanyalah kesempurnaan—yang menjadikan

para malaikat bersujud: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada

para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’” (QS Al-Baqarah [2]: 34).

p:124

Dalam konteks amal kebajikan dan upaya menyucikan diri,

manusia mampu mencapai kedudukan tinggi. Sedemikian rupa,

sampai-sampai dia siap mengorbankan diri atau mendahulukan

kepentingan orang lain ketimbang dirinya sendiri. “Dan mereka mengutamakan

(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun

mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)” (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Orang-orang semacam ini tidak hanya bersikap adil dan mengambil

haknya sendiri (sikap qana’ah), melainkan bahkan rela melepaskan

hak-haknya demi kepentingan orang lain, kendati mereka sendiri

sangat memerlukannya. Penyucian dan penguatan aspek fitriah

memiliki potensi untuk dikembangkan sedemikian rupa, sehingga

tidak terbatas pada lingkup yang sempit seperti ini. Dimensi

ketakwaan dan penyucian tidak berujung dan akan terus berlanjut

tanpa akhir hingga titik nihilnya keinginan terhadap sesuatu selain

Allah Swt dan tak ada lagi keinginan selain keinginan Ilahi.

Dan kalian tidak menghendaki, kecuali bila dikehendaki Allah (QS Al-

Insan [76]: 30).

Di lain pihak, dimensi material atau fisik manusia yang berhubungan

dengan watak bawaannya memiliki kecenderungan yang

juga tidak terbatas. Manusia bersifat kikir dan serakah. Dari segi

wataknya, manusia enggan mengulurkan tangan untuk memberi bantuan.

Dari segi kecenderungan alamiahnya, manusia selalu menuntut

lebih dan berlebihan, “Berlebih-lebihan telah melalaikan kamu” (QS

At-Takatsur [102]: 1). Kecenderungan untuk berlebih-lebihan telah

melalaikan kalian dari mengingat Allah Swt. “Sesungguhnya manusia

diciptakan bersifat kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah

(dan tidak bersabar), dan apabila dia mendapat kebaikan dia amat kikir”

(QS Al-Ma’arij [70]: 19 – 21). “Dan manusia itu menurut tabiatnya

kikir” (QS An-Nisa’ [4]: 128).

p:125

Berdasarkan tabiat alamiahnya pula, manusia amat lalim dan

bodoh. “Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh” (QS Al-

Ahzab [33]: 72). Kelaliman dan kebodohannya juga tidak terbatas.

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena

dia melihat dirinya serba cukup” (QS Al-‘Alaq [96]: 6–7). Kelaliman

manusia mencapai puncaknya saat mengklaim: “Akulah tuhanmu

yang paling tinggi” (QS An-Nazi’at [79]: 24). Watak Firaunisme dan

keangkuhan dimiliki semua orang. Alhasil, semua manusia memiliki

kecenderungan alamiah tanpa batas hingga titik lâ ilâha illâ-Allâh

(Tiada tuhan selain aku), di mana kekuasaan dan otoritas hanyalah

“otoritasku” vis-à-vis lâ ilâha illâ-Allâh yang merupakan kecenderungan

fitriah. Kecenderungan dua arah ini tiada batas, karena: “Ada

dua kelompok orang rakus tak pernah kenyang, pencari ilmu dan pencari

dunia.”(1)

Dua Tuntunan, Dua Takdir

Dua kecenderungan yang bergejolak dalam diri manusia ini dituntun

dua faktor eksternal. Kecenderungan fitriah dituntun oleh

Allah Swt, para nabi, dan malaikat. Sementara kecenderungan

watak alamiah dituntun oleh setan. Pesan Allah Swt: “Sesungguhnya

beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (QS As-Syams [91]: 9).

Adapun misi setan: “Dan sesungguhnya beruntunglah orang yang menang

pada hari ini” (QS Thaha [20]: 64), yang menganggap kemenangan

berupa dominasi dan hegemoni.

Risalah Allah Swt bertujuan menyeimbangkan keinginankeinginan

hawa nafsu: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,

mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Sementara misi setan justru menggelorakan tuntutan-tuntutan

hawa nafsu: “Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa

yang diingini” (QS Ali ‘Imran [3]: 14). Risalah Allah Swt merupakan

seruan pada shirât mustaqîm: “Dan bahwa ini adalah jalan-Ku

yang

p:126


1- 46 Nahj Al-Balâgah, dikomentari oleh Muhammad Abduh, Hikmah 457.

lurus, maka ikutilah dia” (QS Al-An’am [6]: 153). Sedangkan misi setan

adalah menutup jalan yang lurus itu dan menghalang-halanginya:

“Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau

yang lurus” (QS Al-A’raf [7]: 16). Tujuan dan ujung jalan Allah Swt

adalah kenikmatan dan surga; sementara jalan setan berakhir pada

kesengsaraan dan api neraka. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada

kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,

maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS An-Nazi’at [79]:

40–41). Adapun setan: “Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak

golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyalanyala”

(QS Fathir [35]: 6).

Inilah gambaran seputar roh dan jiwa, kecenderungan-kecenderungannya

yang saling bertentangan, jalan, jurang, dan takdir manusia

dalam perspektif Al-Quran. Sebagai kitab petunjuk dan cahaya, Al-

Quran menyediakan tuntunan secara tematik dalam semua bidang;

mengabarkan perihal mabda’ (asal-muasal) penciptaan, kecenderungankecenderungan,

garis-garis pedoman, dan takdir manusia, seraya

mengatakan: “(Al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia”

(QS Ali ‘Imran [3]: 138). Apakah rangkaian pengetahuan semacam ini

termasuk ilmu-ilmu kreasi manusia? Mampukah manusia mengenali

hakikat diri, kecenderungan, jalan, dan takdirnya tanpa bantuan

wahyu? Bukankah pengetahuan-pengetahuan tersebut berasal dari

wujud hakiki dan alam malakût sehingga menjadi manifestasi dari:

“Dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-

Baqarah [2]: 151). Tidakkah rangkaian pengetahuan ini menjadi pertanda

bahwa kandungan dan ujaran estetik Al-Quran merupakan

mukjizat?

Al-Quran dan Keluarga

Institusi keluarga merupakan basis pembentukan masyarakat.

Bila institusi ini memiliki karakter normatif, niscaya masyarakat

yang terbentuk darinya juga akan menjadi penjelmaan norma

p:127

norma. Manusia yang tidak mengenal norma keluarga tidak akan

pernah sukses melakukan perbaikan diri dan pendidikan. Kokohnya

nilai- nilai spiritual dan normatif institusi keluarga akan menciptakan

keberhasilan dalam mencapai tujuan dibentuknya keluarga.

Al-Quran memberikan banyak perhatian dan penghormatan pada

institusi keluarga. Bukan hanya terhadap dua pilar ragawi keluarga

yaitu suami istri, Al-Quran juga amat memperhatikan dua pilar

spiritual untuk memperkokoh pondasi dasar institusi keluarga yang

berfungsi mempererat hubungan kedua pilar ragawi. Dalam perspektif

Al-Quran, mengekspresikan rasa cinta antarsuami dan istri, serta

sikap memaafkan satu sama lain merupakan elemen dasar institusi

keluarga. Melalui kedua eleman dasar inilah, Al-Quran menambah

kekokohan institusi keluarga sedemikian rupa, sampai-sampai angin

topan problema sekalipun tidak akan mampu membuatnya bergeming

barang sejengkal. Bangunan rumah tangga seperti ini tidak akan

menyulut kekhawatiran. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah

Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu

cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu

rasa kasih dan sayang” (QS Ar-Rum [30]: 21). Pernikahan ditempuh

untuk menjamin ketenangan dan ketenteraman. Dengan cinta,

kasih sayang, dan sikap saling memaafkan, setiap pasangan suami

istri dapat meraih tujuan ini. Al-Quran menyebut pasangan suami

dan istri sebagai pakaian bagi pasangannya. “Mereka itu adalah pakaian

bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqarah

[2]: 187). Sungguh kalimat pendek ini menciptakan mukjizat—yang

penjelasan tentangnya telah dikemukakan sebelumnya. Dalam

konteks pergaulan hidup keluarga, Al-Quran dalam kalimat pendek

mengungkapkan beberapa catatan penting: “Dan bergaullah dengan

mereka secara patut (makruf)” (QS An-Nisa’ [4]: 19). Dalam bergaul

dengan istri, jagalah sopan santun dan tata krama serta bersikaplah

manusiawi sebagaimana yang diridhai Allah Swt.

p:128

Terjaganya nilai-nilai tersebut akan menciptakan ketenteraman,

martabat, dan anak-anak yang saleh di tengah keluarga. Inilah

beberapa ajaran Al-Quran yang diorientasikan untuk mengokohkan

basis keluarga serta menjaga nilai-nilai dan norma-normanya. Menjalin

hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, pergaulan yang baik

dan rasional, menjaga rahasia dan kekurangan, sikap memaafkan

kesalahan, menghindari hal-hal yang dapat menyulut malapetaka,

saling menghormati, serta kaidah-kaidah lain merupakan penjabaran

dari komposisi kalimat yang singkat, padat, dan memikat itu. Coba

kesampingkan dan tanggalkan nilai- nilai serta norma-norma

tersebut dari perspektif tentang keluarga. Perspektif minus wahyu

yang marak dewasa ini menganggap pasangan suami istri sematamata

dua maujud ragawi yang hidup berdampingan. Jelas, kondisi kehidupan

keluarga semacam ini niscaya kosong dari jalinan kasih

sayang.

Institusi keluarga berdasarkan perspektif tersebut yang marak

dewasa ini tidak menyinggung soal cinta dan sikap memaafkan.

Selain pula tidak mempermasalahkan pendidikan dan pembenahan

diri serta ketenangan dan ketenteraman. Akibatnya, keluarga yang

mengusung perspektif ini senantiasa diselimuti kekhawatiran,

kegundahan, dan keributan (antarsuami istri). Di lingkungan keluarga

di Barat dan berbagai belahan dunia pada hari ini, perbincangan seputar

undang-undang keluarga terasa kering dan gersang lantaran tidak

memberi ruang bagi tumbuhnya kasih sayang dan perasaan cinta.

Oleh karena itu, banyak keluarga di Barat yang belum sepenuhnya

terbentuk, terpaksa harus bubar dan berantakan. Juga, banyak keluarga

pada masa kini yang sama sekali tidak memperhatikan, masalah

pendidikan. Mereka lebih suka menitipkan anaknya di tempat pengasuhan

anak. Tempat-tempat semacam itu pun mengemban tugas

untuk menjaga anak-anak [titipan]. Akibatnya, kehidupan manusia

berawal di tempat penitipan dan pengasuhan anak, lalu diakhiri di

panti jompo. Tidak tersedia ruang

p:129

bagi mekarnya cinta orang tua terhadap anak, atau cinta anak pada

orang tua! Inilah produk keilmuan manusia yang cenderung dibesarbesarkan.

Ini pula kehidupan ragawi dan fisikawi yang sekarang

justru sangat diagung-agungkan.

Lewat perbandingan sekilas antara ajaran Al-Quran dengan

produk dunia yang konon beradab, terlihat jelas bahwa ajaran Al-

Quran dalam bidang kehidupan keluarga (sebagaimana dalam

bidang-bidang lainnya) berasal dari alam malakût. Tanpa bantuan

wahyu, manusia tak akan pernah mampu meraih dan mencapai

kondisi sebagaimana yang diajarkan Al-Quran tersebut. Inilah

mukjizat kandungan Al-Quran yang wawasannya di berbagai bidang

melampaui kemampuan manusia. Siapa pun yang tidak meyakini

hal ini, dipersilahkan untuk menciptakan satu nilai dan norma yang

identik dengan nilai- nilai dan norma-norma yang diajarkan Al-

Quran.

Al-Quran dan Masyarakat

Masyarakat Metodik

Selain menyuguhkan pandangan khas ihwal individu manusia,

Al-Quran juga memaparkan pandangannya tentang masyarakat

berikut segenap tradisinya.

Al-Quran mengkhususkan sebagian besar ayatnya untuk mengulas

sejarah dan takdir yang menimpa kalangan pemimpin dan umat

terdahulu. Namun Al-Quran bukan bermaksud sekadar bernarasi.

Apa yang dikemukakan Al-Quran dimaksudkan untuk memotivasi,

mengungkap sebab-sebab kejadian, sekaligus memberi nasihat dan

peringatan seputar akibat dan takdir yang harus mereka alami.

Mengingat statusnya sebagai kitab pedoman dan tuntunan, Al-

Quran berkewajiban untuk menjelaskan berbagai perbuatan berikut

akibatnya berupa takdir yang bakal dialami. Dalam pada itu, Al-Quran

memandang masyarakat sebagai sistem tata perilaku dan undangundang,

sehingga suatu perbuatan, terlebih yang berskala

p:130

sosial, meniscayakan takdir tertentu. Dalam mengungkapkan nasib

yang dialami Bani Israil dalam skema hubungan nasib generasi

mendatang dengan nasib generasi sebelumnya, Al-Quran secara

filosofis menjelaskan kesatuan dan kesamaan takdir akibat kesamaan

perilaku atau perbuatan. “ Hati mereka serupa” (QS Al-Baqarah [2]:

118). Keputusan-keputusan mereka serupa dan sebangun. Inilah

penjelasan seputar pelaksanaan undang-undang dalam kehidupan

bermasyarakat; suatu penjelasan yang terkait dengan sunnah Ilahi

yang tidak mengalami perubahan apa pun. “Sunnah Allah yang berlaku

atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali

tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS Al-Ahzab [33]:

62). Setiap perilaku atau perbuatan niscaya mengakibatkan nasib

tertentu yang sebangun. Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara

generasi terdahulu dan yang akan datang.

Sunnatullah dalam Tatanan Sosial

Kemenangan Haq

Al-Quran meyakini kemenangan haq dan para pengikutnya visà-

vis kebatilan beserta para pengusungnya sebagai suatu kepastian

dan sunnah Ilahi (sunnatullah) yang tidak akan berubah.

Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu

yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil

itu lenyap (QS Al-Anbiya’ [21]: 18).

Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada

harganya (QS Ar-Ra’d [13]: 17).

Maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan

mereka sehancur-hancurnya (QS Saba’ [34]: 19).

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”

(QS Al-Mujadalah [58]: 21).

Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS

Ash-Shaaffat [37]: 173).

p:131

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang

yang beriman (QS Ghafir [40]: 51).

Dari rangkaian ayat di atas, dapat kita pahami bahwa sekalipun

kehendak Ilahi berpihak pada kemenangan haq dan para pengikutnya

vis-à-vis kebatilan, namun kemenangan ini tidak diberikan secara

cuma-cuma. Al-Quran menegaskan bahwa umat Islam bakal meraih

keagungan asalkan mau mengikuti serangkaian metode yang

dikemukakannya.

Iman dan Persatuan

Al-Quran menyeru umat Islam pada keimanan. Berkat keimanan,

kemenangan niscaya dapat diraih. Keimanan juga meniscayakan

datangnya pertolongan Ilahi. “Sesungguhnya Kami menolong rasulrasul

Kami dan orang-orang yang beriman” (QS Ghafir [40]: 51). Dan

nikmat Ilahi hanya turun karena adanya keimanan.

“Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu

( agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air

(QS Jin [72 ]: 16). Jika melangkah di

jalan Allah Swt yang lurus, niscaya kalian akan mereguk berbagai

kenikmatan khusus Ilahi. Sunnatullah menetapkan, kemenangan

umat Islam hanya mungkin lewat persatuan. Bila bersatu kesatuan,

memiliki arah yang sama, serta berserah diri secara total kepada Allah

Swt, niscaya umat Islam akan meraih kebebasan dan kemuliaan.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah” (QS Ali ‘Imran

[3]: 103). Bersatu dan bangunlah solidaritas di antara kalian semua

seraya berpegang teguhlah pada urwatul wutsqa Ilahi (buhul tali

Allah yang amat kuat). Umat Islam harus bersatu dan seiring sejalan

seumpama dua saudara yang selalu bersama dalam suka maupun

duka: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (QS Al-

Hujurat [49]: 10). Bila mereka saling bergandeng tangan dan bersatu

padu melawan musuh: “Dan mereka (seperti) satu tangan menghadapi

yang segar ( rezek i yang banyak)”

p:132

orang-orang selain mereka,”(1) niscaya pertolongan Ilahi akan meliputi

mereka. Karena: “Tangan Allah bersama jama’ah.”(2) Maksudnya, tangan

pertolongan dan kekuasaan Allah Swt inheren dalam persatuan

[umat Islam].

Menurut sunnatullah, kemenangan hanyalah ilusi jika kekuatan

tidak diorganisir dengan baik. Perpecahan dan fanatisme kelompok

yang bertentangan dengan sunnatullah dan keharusan sosial, akan

mengakibatkan harapan dan impian bersama seputar kemuliaan hidup

tidak akan pernah terwujud. Kehendak dan usaha kolektif mampu

mengubah takdir. Inilah sunnatullah yang menetapkan terjadinya

peristiwa sosial dan perubahan takdir berdasarkan kehendak kolektif.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra’d

[13]: 11). “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali

tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada

sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka

sendiri” (QS Al-Anfal [8]: 53). Merupakan sebuah kekeliruan besar

jika setiap orang membayangkan dirinya terpisah dari umat Islam.

Masyarakat Islami dihuni individu-individu yang saling

berhubungan dan berkaitan satu sama lain. “Hai orang-orang yang

beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah

bersiap siaga (di perbatasan negerimu)” (QS Ali ‘Imran [3]: 200).(3)

Semua individu harus seiring sejalan sambil bergandengan tangan

dan bersatu padu dalam melangkah menuju arah yang sama. Sebab,

takdir umat manusia saling berhubungan satu sama lain.

p:133


1- 47 Bihâr Al-Anwâr, jld 2, hlm 148.
2- 48 Muhammad Abduh, op. cit., Pidato 127.
3- 49 Di sini, penulis mengarfikan kalimat râbitû dengan “saling berhubungan, bergantung, dan bergaul”--penj.

Ujian Ilahi

Ujian dan tantangan termasuk sunnatullah yang berlaku di

tengah kehidupan sosial. Selama umat Islam tidak menghadapi

kesulitan, dan selama keimanan serta kesabaran mereka belum diuji,

pertolongan dan kemenangan juga tidak akan direalisasikan. Umat

yang mengharap pertolongan dan kemenangan dalam melawan

kesulitan, namun hanya berdiam diri di rumah, niscaya tidak akan

pernah meraih apa pun kecuali kenistaan.

Kemuliaan dan keagungan tidak dapat diperoleh dengan

mencegat kafilah dagang; melainkan diraih dengan cara melawan

kekuatan militer dan bersabar menghadapinya. Kemuliaan dan

kekuatan akan dilatih dengan menghadapi kelompok yang punya

kekuatan. “Dan kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai

kekuatan senjatalah yang untukmu” (QS Al-Anfal [8]: 7). Dalam

peristiwa perang Badr, kalian ingin berhadapan dengan kelompok

tidak bersenjata yang membawa barang dagangan agar memperoleh

harta rampasan perang dengan mudah. Namun Allah Swt

memperhadapkan kalian dengan sekelompok kekuatan bersenjata

dari kaum Quraisy (dalam perang Badr), agar lewat peperangan

berdarah itu, para pemimpin kaum kafir dapat kalian enyahkan;

agar ketajaman pedang-pedang kalian menyabet dan merobohkan

para pembesar kafir yang merintangi jalan Allah; agar orang-orang

semacam Abu Jahal dan Syaibah dan Utbah sedemikian terhina

sehingga api dendam atas kematian mereka merampas ketenangan

Abu Sufyan dan antek-anteknya.

Kaum Muslim menyerang mereka (kaum kafir) dengan cara yang

dahsyat sehingga membuat kalangan pemuka kaum kafir Quraisy

mengalami trauma berat. “Dan Allah menghendaki untuk membenarkan

yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,

agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)

walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”

(QS Al-Anfal [8]: 7–8). Karena, kaum kafir dan pembangkang hanya

p:134

akan lenyap dengan sabetan pedang tajam (peperangan). Pedanglah

yang akan mengusir para penjajah tanah Quds, bukan ucapan

memohon, bukan pula lewat meja perundingan dan janji-janji palsu

perdamaian. Inilah sunnatullah dan tidak ada perubahan di

dalamnya. Umat Islam harus diuji di tengah serangkaian peristiwa,

seraya mengembang banyak kesulitan agar mampu meraih cita-cita

dan martabatnya. Karena, kemuliaan dan kewibawaan masyarakat

terletak pada perjuangan melawan kesulitan; sementara kemenangan

dan keberhasilan diraih lewat ujian. “Jika kamu (pada perang Uhud)

mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang

Badar) mendapat luka yang serupa” (QS Ali ‘Imran [3]: 140).

Perlu diketahui, kekuatan dan kekuasaan dipergilirkan dari satu

tangan ke tangan lain berdasarkan sunnatullah. “Dan masa (kejayaan

dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka

mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang

beriman (dengan orang-orang kafir)” (QS Ali ‘Imran [3]: 140). Dengan

begitu, kalangan mukmin sejati dipisahkan dari orang-orang yang

hanya mengklaim dirinya beriman (padahal tidak). Agama Allah

akan berkuasa di tengah masyarakat, dan pada gilirannya, umat

Islam mampu menentukan nasibnya sendiri. Dengan syarat, mereka

mengikuti rangkaian ketetapan dan sunah ini; dan mereka pun akan

meraup hasil yang diharapkan. Ketidakpedulian terhadap semua itu

akan membuahkan kehinaan, perpecahan, dan ketundukan di bawah

telapak kaki pihak lain. Dalam pada itu, sunnatullah menetapkan

untuk memberi pertolongan pada kaum Mukmin yang terlibat dan

berkiprah secara aktif di kancah politik, sosial, dan peperangan. Bukan

Mukmin yang sibuk mencari kenyamanan minus penderitaan. Bukan

pula Mukmin yang lalai, sudi dinistakan, atau hanya menyandang

atribut beriman namun pada hakikatnya tidak.

Agama Allah tegak berkat keberkahan dari upaya pembelaan

kaum mujahidin (para pejuang di jalan Allah). Bila tidak ada pedang

(perjuangan yang dikobarkan) para pembela kebenaran ini, niscaya

p:135

para pemimpin kaum kafir tidak hanya leluasa merusak masjidmasjid

yang menjadi basis kemuliaan dan ibadah Islam. Melainkan

bahkan akan meruntuhkan biara-biara atau pusat-pusat doa dan

munajat persis di depan pelupuk mata para penghuninya. “Dan

sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan

sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerejagereja,

rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di

dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS Al-Haj [22]: 40). Bila tidak

ada para pembela haq dan Allah Swt tidak mencegah kaum mufsid

(perusak) dan kafir melalui tangan-tangan para pembela agama,

niscaya biara-biara, gereja-gereja, masjid-masjid, dan seluruh pusat

peribadahan akan dihancurkan. Di mana pun tercium aroma agama,

itu tak lain berkat ketangguhan pedang para pembela agama.

Agama tidak tegak dengan sendirinya. Senjata agama di hadapan

kaum imperialis adalah pedang nan tajam. Nabi Muhammad Saw,

nabi cahaya dan rahmat, juga menegaskan prinsip dasar bahwa

kebesaran umat Islam diraih berkat pedang-pedang para pembela

agama yang gigih bertempur. “Sesungguhnya Allah memuliakan umatku

dengan kaki kuda-kuda perang dan tombak-tombak runcing.”(1) Rasulullah

Saw menyanjung [peran dan fungsi] pedang dengan pujian tiada

tara. Pedang kemenangan yang memberantas kekafiran sampai

ke akar-akarnya sekaligus mengokohkan pondasi agama bernilai

sedemikian agung tiada banding. “Sesungguhnya satu pukulan pedang

Ali (pada perang Khandaq) lebih baik dari ibadah seluruh jin dan manusia.”(2)

Sunnatullah menetapkan kemenangan umat Islam. Khususnya saat

bendera kebenaran berkibar di atas pundak dan pedang Dzul Fiqar

menari-nari di tengah kecamuk perang. Kemenangan mustahil

diperoleh oleh Muslim yang sudi dinistakan dan bersekutu dengan

kaum zionis Yahudi.

p:136


1- 50 Wasâ’il Al-Syî‘ah, jld 11, hlm 5.
2- 51 Bihâr Al-Anwâr, jld 39, hlm 2.

Inilah beberapa sunnatullah dalam tatanan sosial kemasyarakatan

sebagaimana dijelaskan Al-Quran—tentu saja penjelasan terhadap

seluruh sunnah yang maktub di dalamnya memerlukan buku

tersendiri. Beberapa gambaran tersebut merupakan sikap Al-Quran

dalam mengungkapkan metodologi dan keajegan sunnah-sunnah

Ilahi.

Inilah contoh tuntunan Al-Quran berkenaan dengan kehidupan

bermasyarakat. Ini pula pesan-pesan wahyu yang tidak dapat

ditemukan padanannya. Inilah manifestasi dari ayat: “Dan

mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah

[2]: 151). Ini pula contoh aspek mukjizat dari kandungan dan ujaran

estetik Al-Quran.

Al-Quran, Politik, dan Hubungan Internasional

Salah satu keunggulan khas Al-Quran dibandingkan kitabkitab

samawi sebelumnya adalah kemampuannya menyodorkan

program komprehensif dan paripurna yang meliputi berbagai

dimensi kebutuhan manusia. Berdasarkan perspektif ini, Al-

Quran tidak terbatas secara spasio-temporal. Dengan kata lain,

Al-Quran mengusung misi dan risalah universal. Universalisme

dan globalisme risalah Al-Quran tidak hanya terbatas pada ayatayat

yang mengklaim seperti itu. Umpama, ayat yang mengatakan:

“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat

manusia seluruhnya” (QS Saba’ [34]: 28). Atau: “Muhammad itu sekalikali

bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah

Rasulullah dan penutup nabi-nabi” (QS Al-Ahzab [33]: 40).

Ayat-ayat tersebut dengan sendirinya melontarkan klaim soal

universalisme Al-Quran. Namun, yang terpenting adalah bahwa

kandungan Al-Quran melegitimasi klaim ini. Artinya, kandungan

dan isi Al-Quran, dari segi pandangan dunia ( worldview) dan

ideologi, seyogianya memiliki kapasitas untuk mengatur dunia.

Jelas, agama yang mengklaim seperti ini hanyalah agama yang ikut

p:137

andil dan berpartisipasi dalam segenap urusan politik dan hubungan

internasional. Karena, pengelolaan yang valid didasarkan pada

hubungan yang dijalin dengan selainnya. Sebaliknya, agama dan

ideologi yang mengabaikan pentingnya hubungan dengan selainnya

akan terkucil dari khalayak internasional. Selain pula tidak mampu

memberlakukan aturan [sosial] yang legitim di kawasannya sendiri–

terlebih untuk kepentingan masyarakat internasional. Kehidupan

sosial manusia bersifat interaktif. Dalam hal ini, jika interaksi sosial

tidak dikelola dengan cara benar, niscaya tak akan pernah tercipta

sebuah tatanan universal.

Klaim Islam sebagai pembawa risalah universal dapat dibenarkan

bila mampu menjalin hubungan dengan berbagai kelompok

masyarakat, bangsa, dan negara. Karena, dalam masyarakat Islami,

tidak semua warganya beragama Islam (Muslim) atau penduduk

dunia tidak seluruhnya memeluk Islam. Dalam kehidupan

dunia, selalu ada isme dan keyakinan lain, seperti syirik dan Ahlul

Kitab. Bila sebuah agama mengklaim mampu mengatur dunia,

dirinya harus mampu menjelaskan posisi dan sikapnya di hadapan

berbagai keyakinan dan kelompok lain. Karena, sama sekali tidak

berdasar bila sebuah agama mengklaim seperti itu namun bersikap

ekstrim dan eksklusif, yakni memutus hubungan dengan berbagai

keyakinan dan kelompok lain.

Al-Quran memiliki pengetahuan sahih ihwal nilai-nilai Ilahi

dan manusiawi. Termasuk pengetahuan mendetail seputar mentalitas

berbagai kelompok dan aliran keyakinan. Sekaitan dengan

dunia politik dan hubungan antarbangsa, Al-Quran menyuguhkan

prinsip dasar dan strategi yang permanen. Ini tentu saja merupakan

aspek mukjizat dari kandungan Al-Quran yang menyusun strategi

dan aturan prinsipil berdasarkan pemahaman komprehensif terhadap

realitas dan seluruh norma sosial.

Di samping hak-hak sosial dan politik, masyarakat Islam juga

mengakui hak-hak manusia dari segi kemanusiaannya—apa pun

p:138

latar agama dan aliran keyakinan yang dianutnya. seraya pula

menghormati hak-hak tersebut. Menciptakan hubungan yang

harmonis sesama manusia, bersikap dan bergaul dengan cara

baik, saling menghormati, serta memegang teguh kesepakatan dan

perjanjian internasional merupakan beberapa prinsip dan strategi

mendasar Islam.

Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia

Point

Menjalin hubungan, saling berinteraksi, dan bersikap rasional

terhadap sesama merupakan pondasi yang mendasari politik Islam.

Al-Quran mengungkapkan posisi dan sikapnya yang tegas dan konsisten

dalam satu kalimat: “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada

manusia (QS Al-Baqarah [2]: 83).” Bersikap baiklah terhadap sesama

manusia. Hormatilah hak asasi sesama manusia dalam konteks

hubungan sosial dan politik tanpa memandang agama dan aliran

keyakinan yang dianutnya. Prinsip dasar ini dijelaskan Imam Ali

bin Abi Thalib as berkenaan dengan kasus wali dan hakim Islami,

“Tumbuhkan kasih sayang terhadap rakyat di hatimu… karena mereka itu

adalah salah satu dari dua jenis; saudaramu dalam agama atau sesamamu

dalam penciptaan.”(1) Karenanya, hak asasi mereka harus dihormati.

Beliau as juga mengatakan, “Dan berlaku adillah kepada rakyat.”(2)

Perjanjian

Salah satu pandangan konsisten Al-Quran dalam berhadapan

dengan orang lain adalah menghormati perjanjian, dan kesepakatan.

Al-Quran menghormati konvensi dalam berbagai bidang kehidupan

serta memperlakukannya sebagai sebuah nilai dan hak publik.

Bahkan, kendati kesepakatan itu dibuat dengan pihak musuh

sekalipun, Al-Quran tidak mengizinkan untuk membatalkannya

p:139


1- 52 Muhammad Abduh, op. cit., surat 53 (untuk Malik al-Asytar an-Nakha’i, saat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengangkatnya sebagai gubernur Mesir dan daerah sekitarnya).
2- 53 Ibid.

secara sepihak. “Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan

jawabnya” (QS Al-Isra’ [17]: 34). Dalam kasus musuh [Islam], Al-

Quran menyatakan: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah

mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi

sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu

seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah

janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang

yang bertakwa” (QS Al-Taubah [9]: 4). Instruksi ini mengharuskan

kaum Muslim untuk komit terhadap perjanjian yang dibuat dengan

kaum musyrik yang jelas-jelas memendam kedengkian terhadap

Islam dan kaum Muslim. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang

paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah

orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al-Maidah [5]: 82).

Terhadap musuh semacam ini pun, perjanjian dan hak asasi manusia

tetap harus dihormati —sebagaimana keharusan menghormati isi

perjanjian politik dan militer [dengan pihak kawan].

Keadilan

Menegakkan keadilan di tengah masyarakat menjadi prinsip

mendasar lainnya yang memainkan peran kunci dalam interaksi

sosial. Keadilan merupakan modal dan sumber tegaknya masyarakat

manusiawi serta kelanggengan suatu pemerintahan.

Al-Quran benar-benar menjaga prinsip mendasar ini dan

melarang keras, dalam kondisi apa pun, untuk diabaikan. Ancaman

terhadap keadilan terdiri dari dua hal. Pertama, dorongan mementingkan

atau mengambil manfaat untuk diri sendiri (egosentrisme)

atau orang lain yang memiliki kedekatan (nepotisme), atau

motivasi pribadi lainnya. Kedua, sikap memusuhi dan membenci

pihak lain. Inilah dua faktor umum yang dapat menjadikan seseorang

melawan keadilan. Al-Quran mengisyaratkan masing-masing

kasus tersebut: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang

yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun

p:140

terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu” (QS An-

Nisa’ [4]: 135). Kecenderungan memuaskan kepentingan pribadi

dan orang dekat jangan sampai menyebabkan kita keluar dari jalur

keadilan. Pasalnya, kepentingan pribadi, orang dekat, atau temanteman

merupakan alasan yang paling kuat untuk menistakan

keadilan; dan inilah yang sangat dilarang Al-Quran.

Adapun alasan kedua berupa sikap bermusuhan cenderung mendorong

seseorang mudah mengabaikan hak-hak orang lain, yang berarti

pula menista keadilan. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah

kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,

menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap

sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,

karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-

Maidah [5]: 8). Lantas, bagaimana kita menjaga diri agar tetap bersikap

adil?

Berbuat Kebaikan

Tidak hanya keadilan, Al-Quran juga menganjurkan untuk

berbuat baik terhadap sesama, termasuk orang-orang non-Muslim.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)

mengusir kamu dari negerimu (maksudnya adalah orang-orang kafir).

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS Al-

Mumtahanah [60]: 7).

Beberapa prinsip mendasar ini (baik dalam konteks pergaulan,

perjanjian, keadilan, berbuat baik) harus senantiasa diperhatikan

dan dipegang teguh dalam berinteraksi sosial dengan sesama.

Dalam hal ini, keharusan untuk berbuat baik dalam interaksi

sosial merupakan prinsip yang bersifat umum. Sementara ketiga

prinsip mendasar lainnya merupakan strategi Al-Quran dalam

interaksi politik. Pasalnya, posisi dan sikap Al-Quran diorientasikan

p:141

untuk menciptakan perdamaian, ketenteraman, serta keterjagaan

prinsip mendasar “berbuat baik dalam interaksi sosial”. Dengan

mendasarkan prinsipnya pada “penghormatan terhadap hak asasi

manusia”, universalisme risalah Al-Quran menjadi jelas dan terbukti

dengan sendirinya, Dan agama seperti ini dipastikan bakal mampu

mengatur dunia. Pasalnya, dengan mengusung serangkaian prinsip

mendasar ini, agama tersebut mampu mengakomodasi seluruh

kelompok dalam masyarakat di berbagai belahan dunia yang

berbeda-beda dari segi ide dan agama.

Menjalin hubungan dengan berbagai kelompok, ras, dan bangsa

merupakan prinsip mendasar dan konsisten yang terbentuk dari

sikap saling memahami, toleransi, dan hidup berdampingan secara

rukun. Mengingat ideologi dan kelompok lain tidak sama dalam

bersikap, begitu pula dengan sikap Al-Quran dalam menghadapi

mereka. Karena itu, di samping prinsip-prinsip mendasar yang

telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula aturan lain yang harus

diperhatikan guna menciptakan hubungan yang harmonis. Dalam

hal ini, Islam dan Al-Quran mengemukakan aturan yang didasarkan

pada perbedaan ideologi dan keyakinan masing-masing.

Dalam konteks masyarakat yang Islami, terdapat serangkaian

tolok ukur dan prinsip mendasar seperti iman, kesabaran, dan

ketegaran. Namun, berkenaan dengan kelompok di luar Islam, sikap

dan posisi yang diambil Al-Quran dilandasi sikap dan posisi pihak

lain yang berbeda. Al-Quran mengklasifikasi individu non-Muslim

dalam dua kategori: Musyrik dan Ahlul Kitab. Tentu saja kedua

kelompok ini berbeda kadar permusuhan dan kebenciannya vis-àvis

Islam. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras

permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang

Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang

paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah

orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’” (QS

Al-Ma’idah [5]: 82). Dapat saksikan, sejauhmana perbedaan di antara

p:142

kedua kelompok Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tersebut. Satu

kelompok terdiri dari: “orang-orang yang paling keras permusuhannya.”

Sementara yang lain: “yang paling dekat persabahatannya.” Sama

dengannya, kaum musyrik juga diklasifikasi dalam dua kategori:

kelompok yang membangkang dan tidak membangkang.

Interaksi sosial politik Al-Quran dengan kelompok-kelompok

ini didasarkan pada sikap dan posisi berbeda yang diambil mereka.

Beberapa prinsip harus benar-benar diperhatikan agar terjalin

interaksi dengan pihak lain sekaligus menjadikannya cenderung

dan terpikat pada kebenaran. Di samping itu, Al-Quran senantiasa

mengingatkan bahwa jalinan interaksi dengan pihak orang asing

jangan sampai berdampak negatif sehingga mengancam identitas

masyarakat dan umat Islam—sebagaimana akan kami jelaskan

kemudian dalam pembahasan seputar prinsip-prinsip dan strategi

mendasar yang berkenaan dengannya.

Menjalin Persahabatan dengan Kafir

Menjalin hubungan atau berinteraksi dengan kaum kafir, bahkan

Ahlul Kitab, harus sedemikian rupa sehingga tidak sampai terjalin

persahabatan dengan mereka. Membangun hubungan berbeda dengan

saling berkasih sayang dan menjalin persahabatan. Kesepakatan untuk

bersahabat dapat menimbulkan bahaya, di mana salah satu

pihak dapat terpengaruh perangai atau kebiasaan pihak lain secara

mendalam.

Sekalipun meyakini jalinan hubungan dan pergaulan antarmanusia

sebagai prinsip mendasar, namun pada saat yang sama, Al-Quran

melarang menyepakati perjanjian persahabatan dengan kaum kafir,

terlebih jika interaksi itu mengarah kepada terjalinnya persahabatan

dengan mereka. Pasalnya, hal ini dapat membahayakan masyarakat

Islami dengan pengaruh kekafiran mereka. “Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi

wali-wali (teman-teman setia) yang kamu sampaikan

p:143

kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang” (QS

Al-Mumtahanah [60]: 1). Ayat ini melarang keras kaum Mukmin

menjalin persahabatan dengan kaum kafir. Dan, jika kata wali

dimaknai sebagai kepemimpinan, maka maknanya menjadi tidak

dibolehkan menerima wilayah (kepemimpinan) orang-orang kafir.

Menerima Wilayah Orang Kafir!

Bila menyepakati perjanjian persahabatan merupakan sesuatu

yang terlarang, demikian pula dengan menerima kekuasaan dan

kepemimpinan orang-orang kafir. Oleh karena itu, dalam menjalin

hubungan dengan orang-orang kafir, khususnya kalangan pembangkang

yang keras kepala, tidak dibolehkan menerima wilayah

mereka. Tidak selayaknya mereka menjadi pengambil keputusan

dalam urusan kaum Muslim.

Dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik

kaum Muslim dilarang berada di bawah kuasa orang-orang kafir.

Kiranya cukup jelas, petaka apa saja yang bakal terjadi akibat menerima

kekuasaan mereka. Kekuasaan orang-orang kafir tak lain dari

kuasa kekafiran dan kerusakan yang akan melucuti identitas hakiki

masyarakat Islami, seraya menjadikannya senafas dan seagama dengan

mereka. “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai

musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan

menyakiti-(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir (QS Al-

Mumtahanah [60]: 2).” Kemurtadan dan memeluk agama mereka

merupakan akibat final dari menerima wilayah dan kepemimpinan

kaum kafir. Dengan memperhatikan ancaman ini, Al-Quran secara

gamblang dan universal menjelaskan sikap dan posisinya.

Dengan alasan apa pun, Al-Quran tidak membolehkan masyarakat

Islam menerima secuil pun kekuasaan kaum kafir. “Dan Allah sekali-kali

tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang

yang beriman” (QS An-Nisa’ [4]: 141). Inilah prinsip mendasar

yang bersifat universal serta meliputi seluruh

p:144

bidang keyakinan, budaya, ekonomi, politik, sosial, dan hak asasi

manusia. Mempertahankan prinsip mendasar ini berperan penting

dalam melindungi masyarakat Islam serta mempertahankan identitas

keislaman. Dan, kalau pun terpaksa harus menjalin hubungan

dengan pihak kafir, maka seluruh prinsip mendasar tersebut harus

dijunjung tinggi.

Menjaga Rahasia

Menjaga rahasia merupakan prinsip mendasar lainnya yang

menjadi fokus perhatian Al-Quran dalam konteks interaksi

sosial politik. Demi mempertahankan identitas dan jatidirinya,

masyarakat Islami harus bersikap ekstra hati-hati sekaitan dengan

rahasia-rahasianya. Tak satu pun pihak luar yang dapat dibiarkan

menyusup ke tubuh masyarakat Islami dan pusat-pusat pengambilan

keputusannya. Karena, bila pihak musuh sampai berhasil menyusup

ke pusat-pusat pengambilan keputusan dan menyerap berbagai

informasi rahasia, niscaya masyarakat Islami bakal terancam dan

mudah ditaklukan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu

(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.

Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu” (QS Ali ‘Imran [3]:

118). Dengan kata lain, janganlah menjadikan orang-orang asing dan

di luar kaum Muslim sebagai kepercayaan dan tempat menyimpan

rahasia. Karena, mereka tidak akan sungkan untuk menciptakan

kerusakan di tengah kaum Muslim. Dengan mengetahui rahasiarahasia

kaum Muslim, pihak musuh akan merepotkan mereka

sekaligus menciptakan kesulitan yang sangat besar.

Kecerdasan Politik dan Pertahanan

Point

Prinsip mendasar lainnya dalam konteks interaksi sosial politik

dengan pihak eksternal adalah senantiasa mengasah kecerdasan

p:145

dan kepekaan terhadap situasi dan kondisi, serta pengambilan

keputusan, politik di berbagai belahan dunia.

Al-Quran mengingatkan masyarakat Islam agar waspada terhadap

gerakan-gerakan politik dan keputusan pihak asing, terutama di bidang

militer, agar tidak sampai terkecoh. Para pejabat publik dan

pengelola administratif masyarakat Islami tidak boleh merasa aman dari

bahaya atau ancaman musuh dan orang-orang asing. Mereka harus

selalu membuka mata lebar-lebar dan bersikap waspada terhadap

gerak-gerik musuh. Tentunya hal ini hanya mungkin terwujud bila

mereka mengetahui dinamika politik, strategi, dan agenda-agenda

musuh. Dengan begitu, mereka dapat senantiasa siap siaga dan

menyusun pertahanan demi menghadapi kekuatan musuh. “Dan

hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata” (QS An-Nisa’

[4]: 102). Hendaknya selalu siaga dan bersikap waspada vis-à-vis

pihak musuh. Karena, kaum kafir menanti-nanti kelengahan kalian.

Mereka menunggu kalian lengah dalam hal persiapan militer,

pertahanan, dan ekonomi. Saat itulah mereka akan menyerang dari

segala arah dengan sekonyong-konyong serta menghancurkan kalian.

“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan

harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus” (QS An-

Nisa’ [4]: 102).

Dapat disaksikan, bagaimana Al-Quran menjelaskan mentalitas

dan strategi yang dirancang musuh. Di ranah politik, Al-Quran

tampil sebagai penerang, penunjuk jalan ( hidayah), dan penuntun.

Karenanya, prinsip: “Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia (QS

Ali ‘Imran [3]: 138),” tampak lebih jelas dalam sikap dan posisi ini.

“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang

lebih lurus” (QS Al-Isra’ [17]: 9). Ringkasnya, dapat dikatakan

bahwa di semua ranah dan realitas konkret, Al-Quran memberikan

bimbingan yang tak tertandingi. Pengambilan sikap dan keputusan

Al-Quran dalam menghadapi kaum kafir yang bersikap memusuhi

benar-benar berbeda.

p:146

Berkenaan dengan relasi politik, Al-Quran membedakan

kaum kafir pembangkang dan kaum musyrik keras kepala dengan

selainnya. Oleh karena itu, dalam kasus orang-orang selain mereka,

prinsip dasar yang diusung adalah pergaulan yang baik, perdamaian,

dan saling menjalin kontak. Sementara sikap yang diambil sekaitan

dengan kaum kafir pembangkang justru sangat keras. Tentu saja

ini bukan sikap mengabaikan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Justru demi menghidupkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, Al-

Quran harus bersikap tegas terhadap mereka sekaligus memutuskan

hubungan. Alasan Al-Quran sangat jelas; lantaran penentangan dan

kesombongan mereka di hadapan haq serta keinginan memerangi

para pengusung kebenaran, sikap keras dan keputusan tegas ini

mau tak mau harus diambil. Berkenaan dengan masalah ini, Al-

Quran menjelaskan sikapnya—bahkan bersifat kasuistik, partikular,

dan strategis. Seiring menjelaskan mentalitas kaum kafir penentang,

terutama kaum Yahudi, Zionis, dan imperialis dunia, Al-Quran

mendeklarasikan sikap keras dan tegas vis-à-vis mereka. Dalam

konteks ini pun, Al-Quran menguraikan strategi musuh seraya

memberikan pedoman soal bagaimana harus menghadapi mereka.

Berikut adalah beberapa pokok pembahasan Al-Quran yang akan

disinggung secara ringkas.

a. Permusuhan Kaum Kafir

Salah satu ambisi dan rencana kaum kafir pembangkang dan

kalangan imperialis dunia adalah memerangi dan memusuhi Islam

dan kaum Muslim secara kontinyu. Mereka tidak segan-segan

menggunakan setiap cara dan kesempatan untuk menyulut api

peperangan. Kalau pun pada satu momen, api peperangan tidak disulut

pihak musuh, itu bukan berarti mereka menanggalkan sikap

permusuhannya. Melainkan lebih dikarenakan mereka gagal dan

mengalami kekalahan. Silahkan simak tuntunan Al-Quran yang

mengandungi aspek mukjizat ini:

p:147

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)

mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya

mereka sanggup” (QS Al-Baqarah [2]: 217).

b. Konspirasi dan Pengkhianatan Kaum Kafir

Dalam menguraikan prinsip mendasar lainnya seputar keharusan

mengenali musuh yang membangkang, terutama kaum Zionis, Al-

Quran juga mengungkapkan berbagai konspirasi mereka melawan

Islam dan umat Islam. Mereka dan kaum imperialis senantiasa berkonspirasi

melawan kemuliaan dan keagungan umat Islam dengan cara

menyulut perpecahan dan merusak persatuan umat Islam. Mereka

berambisi untuk mencabik-cabik dan mencincang kaum Muslim agar

mudah dilahap. Mereka selalu berusaha mengobarkan api fitnah

dan pertengkaran di antara negara-negara Islam dan kaum Muslim.

Inilah fakta yang terpampang di etalase sejarah, khususnya dewasa

ini.

Dalam menjelaskan kebusukan ini, Al-Quran menyatakan: “Dan

kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka”

(QS Al-Maidah [5]: 13). Kalian senantiasa mengetahui berbagai

pengkhianatan dan rencana busuk Israel dan kaum Zionis Yahudi

melawan kaum Muslim. Mereka selalu melancarkan konspirasi

melawan umat Islam.

c. Agen Mata-mata Kaum Kafir

Al-Quran memaparkan secara cermat dan gamblang soal

merumuskan strategi politik melawan musuh seraya menyuguhkan

contoh kasusnya. Al-Quran mengungkap sejumlah kasus

pengkhianatan kaum kafir, terutama kaum Zionis Yahudi, seraya

menyebut mereka “audiens kebohongan” dan mata-mata. “Dan (juga)

di antara orang-orang Yahudi itu amat suka mendengar (berita-berita)

bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain” (QS

Al-Maidah [5]: 41). Sebagian kaum Yahudi, selain suka mendengar

p:148

kebohongan, juga menjadikan dirinya telinga dan mata orang lain—

dalam arti, menjadi mata-mata. Bila kebiasaan memata-matai untuk

[kepentingan] orang lain hanya terbatas pada kasus orang-orang

Yahudi di Khaibar, lantas buat apa Al-Quran mengutarakan masalah

ini.

Memata-matai untuk [kepentingan] orang lain merupakan tindakan

yang selalu mereka lakukan. Saat ini pun dapat disaksikan, mereka

menjadi telinga dan mata, atau agen mata-mata yang hina, kaum imperialis

dunia dan dengan cara itu melanggengkan kenistaan hidup.

Dapat disaksikan, bagaiman dinas intelijen Israel “Mossad” dalam

membeberkan dan menjual informasi, terutama ihwal kawasan

Timur Tengah, kepada kaum kafir pembangkang. Tidakkah hari ini

kaum Zionis menjadi budak yang bergelantungan di ketiak kaum

imperialis dunia? Tidakkah mereka berada di bawah kekuasaan imperialis

dunia dalam kondisi hina dan nista? Mereka sama sekali tak

punya kemuliaan dan keagungan. Sebaliknya, stempel kehinaan telah

melekat kuat di dahi kaum Zionis untuk selama-lamanya. “Dan

ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan” (QS Al-Baqarah [2]:

61). Mereka melanggengkan kehidupan yang penuh kehinaan

dengan menggantungkan diri dan hidupnya pada kaum imperialis

dunia. “Dan tali dari manusia” (QS Ali ‘Imran [3]: 112). Sekarang ini,

belenggu kaum imperialis dunia melingkari leher kaum Zionis. Mereka

sudi menjadikan dirinya informan dan mata-mata kaum imperialis

dunia. Al-Quran menyikapi mentalitas semacam ini dengan sikap

yang sangat tepat.

Al-Quran memperingatkan soal ancaman bahaya yang mereka

tebarkan di tengah masyarakat Islami. Seraya pula mengungkap

berbagai kejahatan mereka dengan menperkenalkan identitas dan

tindak-tanduk musuh secara lengkap, melarang umat Islam menjalin

persahabatan, persekutuan, kepemimpinan, dan hegemoni mereka,

serta menginstruksikan para pejabat di negeri Muslim dan umat

Islam untuk bersikap keras terhadap mereka.

p:149

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang

bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi

berkasih sayang sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29).

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan

mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk

mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan,

maka mereka itulah orang-orang yang lalim (QS Al-Mumtahanah

[60]: 9).

Persoalan ini pun kini memiliki bukti nyata. Seakan ayat ini

baru sekarang diturunkan berkenaan dengan situasi dan kondisi

politik Timur Tengah dan tingkah pola Bani Israel yang merampas

tanah suci Quds. Kalam Al-Quran senantiasa aktual di setiap masa.

Ia bukan sekadar memuat ulasan seputar prinsip-prinsip mendasar

dan bersifat umum. Sikap Al-Quran di hadapan mereka juga telah

dikemukakan; bukan dengan berunding, karena mereka tidak akan

pernah memegang teguh janji dan kesepakatan. Sikap Al-Quran adalah:

“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena

sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang

janjinya” (QS At-Taubah [9]: 12).

Sikap dan posisi Al-Quran adalah melawan serangan para agresor

dan imperialis dunia. Sikap Al-Quran adalah: “Dan siapkanlah untuk

menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS Al-

Anfal [8]: 60). Umat Islam harus mengerahkan seluruh potensi dan

kekuatan yang meliputi berbagai dimensi, utamanya pertahanan diri

dan peperangan, untuk menghadapi musuh.

Sikap Al-Quran selalu menyadari dan mewaspadai konspirasi

dan rencana busuk musuh. Bahkan, kita diimbau untuk tidak

abai terhadap rangkaian konspirasi sejumlah pihak yang secara

lahiriah menjalin hubungan serta meneken perjanjian dan kesepakatan

dengan umat Islam. Karena, dalam banyak kasus, kaum

p:150

musyrik menjalin hubungan politik serta meneken perjanjian dan

kesepakatan saat kondisinya lemah dan tidak berdaya. Akan tetapi,

manakala memiliki kekuatan yang memadai dan mendapatkan

momen yang tepat, perjanjian dan kesepakatan itu tidak lagi

bermakna di mata mereka.

“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan

orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan

terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap

kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian” (QS At-Taubah [9]: 8),

dan akan membatalkannya secara sepihak. Sikap Al-Quran dalam

menghadapi trik politik ini adalah bersikap penuh waspada. Saat

mereka ditengarai sedang menyusun konspirasi dan rencana busuk

serta bermaksud membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan

hiraukan lagi perjanjian dan kesepakatan itu. Segera hadapilah

konspirasi dan niat buruk mereka di saat yang tepat.

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari

suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan

cara yang sama. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berkhianat” (QS Al-Anfal [8]: 58). Merekalah yang memulai lebih

dulu tindakan licik ini. Oleh karena itu, lakukanlah hal yang serupa.

Dengan begitu, kalian tidak bisa dituding menginjak-injak hak asasi

manusia. Karena telah merasakan pengkhianatan pihak mereka,

kalian tidak boleh lagi menghiraukan perjanjian dan kesepakatan itu.

Inilah beberapa ayat Al-Quran yang berkenaan dengan

hubungan politik dan bagaimana mengatur pengambilan keputusan

serta menetapkan sikap dunia Islam di hadapan pihak asing. Tentu

saja sebagian ayat ini berhubungan dengan masalah pertahanan

dan peperangan—sebagaimana telah disinggung secara singkat.

Keputusan dan sikap Al-Quran, baik dalam menjelaskan prinsip-prinsip

mendasar dan topik-topik universal maupun menyuguhkan

strategi politik dan cara membela diri, sangat jelas dan transparan,

serta sesuai dengan kenyataan sepanjang masa.

p:151

Aspek mukjizat Al-Quran dalam mengatur hubungan politik

dan misi universal terdapat pada fakta bahwa semua itu berasal

dari ilmu, wawasan, dan informasi valid seputar seluk-beluk semua

kelompok manusia, berdiri tegak di atas paradigma dan nilai yang

konsisten, serta selaras dengan situasi dan kondisi yang berkembang

di setiap zaman. Di dunia politik, kalam Al-Quran selalu segar dan

baru. Sikap dan keputusan yang benar, akurat, dan cermat seperti ini

melampaui daya jangkau pemahaman dan kemampuan manusia—

terlebih bila mengingat dunia politik adalah dunia kemungkinan. Bila

umat Islam mengusung paradigma tersebut dengan mantap, niscaya

kedigdayaan dan keagungan bakal diraih. Apabila menjadikan

prinsip-prinsip mendasar ini sebagai tolok ukur politiknya, niscaya

pula umat Islam tidak akan pernah hidup di bawah penindasan kuasa

kaum kafir ofensif. Sangat disayangkan, kondisi umat Islam saat ini

sangat menyedihkan. Kita sama-sama berharap, segera datangnya

momen nilai- nilai Islam menjadi fokus perhatian dan dijunjung

tinggi-tinggi.

Al-Quran dan Persoalan Hukum

Hak Asasi dan Hukum Perdata

Di kancah kehidupan sosial, semua hal yang menyangkut hakhak

manusia terus dikembangkan dalam berbagai istilah. Di antaranya

yang paling menonjol adalah hak asasi, hukum perdata, dan

hukum pidana. Melaksanakan hukum termasuk tanggung jawab

utama suatu sistem pemerintahan. Pihak yang berkuasa dapat disebut

berhasil bila mampu memenuhi seluruh hak-hak dan kebutuhan

rakyatnya. Tentu saja di dunia ini, sistem yang menjamin penuh dan

memperhatikan betul hak-hak semacam ini sangat jarang dijumpai.

Setiap sistem—sejalan dengan kepentingannya—cenderung

tidak menghiraukan beberapa hak—terutama hak-hak dan hukum

p:152

yang berpotensi menggoyang sendi-sendinya. Al-Quran menciptakan

sistem hukum sedemikian rupa sehingga mencakup semua hak

manusia. Al-Quran mewajibkan sistem yang berkuasa sebagai

sistem Ilahi, untuk memenuhi hak-hak asasi rakyat yang berada di

pundak penguasa. Juga hukum perdata yang berkenaan dengan

hak rakyat dengan rakyat, serta hukum pidana yang diorientasikan

untuk memberantas tindak kriminal. Pada akhirnya, semua itu dapat

menjamin hak rakyat secara keseluruhan dan legitim, sehingga

menciptakan situasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat.

Dalam sistem Ilahi, aturan hukum disusun sedemikian rupa

sehingga manakala undang-undang Ilahi dilaksanakan dengan benar,

tak seorang pun yang merasa khawatir haknya bakal dinistakan

kalangan aparat hukum atau orang lain (sesama rakyat). Penjelasan

seputar dimensi hukum Islam, seperti hak asasi dan hukum perdata,

menuntut ruang dan waktu yang lebih luas. Namun, agar memahami

aspek mukjizat Al-Quran sekaitan dengan aturan hukum, kiranya

cukup dikemukakan beberapa ayat yang berkenaan dengannya.

Hukum Pidana

Hukum pidana dapat diklasifikasikan dalam dua kategori.

Pelaksanaan kategori pertama memerlukan pengajuan dan gugatan

pihak yang berhak, seperti hak untuk qishash yang baru dapat

direalisasikan bila ahli waris menuntut darah dan qishash. Tanpa

tuntutan dan gugatan tersebut, hakim tidak berhak menjalankan

hukum. Karena hak dan hukum semacam ini ditetapkan langsung

dari sisi Allah Swt (menyangkut hak-hak manusia): “Dan barangsiapa

dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan

kepada ahli warisnya” (QS Al-Isra’ [17]: 33). Hukum jenis ini dapat

diistilahkan dengan hukum pidana sipil.

Kategori kedua merupakan hukum pidana yang dalam

pelaksanaannya, tuntutan seseorang tidak memberi pengaruh.

p:153

Lebih dari itu, saat muncul kasus dalam konteks ini, hakim berhak

melaksanakan hukum, seperti had (hukuman) yang ditetapkan sebagai

pidana bagi orang-orang yang mengganggu ketertiban umum

sekaligus mengakibatkan kerusakan di tengah masyarakat.

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi

Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,

hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki

mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya) (QS Al-Maidah [5]: 33).

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas

kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama

Allah (QS An-Nur [24]: 2).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan

(QS Al-Maidah [5]: 38).

Rangkaian hukum pidana semacam ini dibebankan oleh Allah

Swt ke pundak hakim untuk dilaksanakan manakala seluruh

persyaratannya telah terpenuhi. Tentu saja target keduanya adalah

menjamin terpenuhinya hak-hak manusia. Artinya, kategori kedua

hukum pidana ini ditetapkan untuk menjamin ketertiban sosial, serta

kehormatan dan martabat individu, sehingga para mufsid (pelaku

kerusakan di muka bumi) harus ditindak tegas. Peperangan antara

orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi melawan

agama Allah Swt merupakan puncak penistaan hak-hak manusia.

Karena menjaga agama menjadi hak terbesar umat manusia dalam

kehidupan sosial. Barangsiapa menistakan hak ini, berhak diberi balasan.

Dalam melawan kerusakan dan kedegilan, hukum tetap harus

dilaksanakan kendati tidak ada gugatan dan pengaduan. Artinya,

hukum tetap akan dilaksanakan dengan atau tanpa

p:154

pengaduan dan gugatan. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan

hukum pidana yang berlaku di Barat. Di sana, cukup dengan pembatalan

oleh pihak yang bersangkutan, pelaksanaan hukuman otomatis

terhenti.

Undang-undang disusun untuk menjamin dan memenuhi hak

hidup aman serta melindungi kehormatan masyarakat; inilah langkah

fundamental Al-Quran dalam bidang sosial dan hukum. Prioritas

Al-Quran dalam upaya menyelamatkan masyarakat serta menjamin

kesehatan mentalitasnya adalah menggunakan serangkaian metode

praktis yang tepat dalam membersihkan masyarakat dari segala

jenis kebobrokan dan penyimpangan. Tujuannya agar individu

tidak menemukan jalan menuju kerusakan dan dosa dikarenakan

kebodohan dan ketidaktahuannya. Pasalnya, dosa merupakan

sebuah problematik mental dan gejala kebodohan. “Dan tidak ada

yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh

dirinya sendiri” (QS Al-Baqarah [2]: 130). Manusia bodoh cenderung

berbuat dosa dan berpaling dari agama. Al-Quran berusaha agar di

tengah masyarakat tidak terdapat celah yang berpotensi merangsang

hasrat kaum perempuan atau laki-laki untuk berbuat dosa. Karena,

Al-Quran meyakini kaidah “mencegah lebih baik dari mengobati”.

Memang, tidak pernah ada masyarakat yang benar-benar bersih

dari dosa. Sebaliknya, selalu ada saja individu yang menginjak-injak

kehormatan publik. Dengan kata lain, orang-orang yang dirinya

sama sekali tidak terpengaruh petunjuk dan peringatan senantiasa

eksis sepanjang sejarah. Justru dikarenakan masyarakat punya

karakter bawaan semacam itulah, Al-Quran lalu menyuguhkan

langkah yang tepat untuk mengantisipasi pencemaran dan ancaman

bahaya tersebut.

Manakala upaya mencegah sebagai langkah utama ternyata tidak

menimbulkan dampak positif yang diharapkan, Al-Quran kemudian

mengajukan langkah terapi (pengobatan). Tentunya, dalam hal ini,

kondisi ketercemaran dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima.

p:155

Al-Quran memandang dosa dan pendosa ibarat tumor. Bila dibiarkan

hidup di tengah masyarakat, niscaya pada saatnya kelak, tumor

ganas ini akan menjalar ke seluruh pembuluh darah dan mengancam

kehidupan banyak orang. Al-Quran meyakini bahwa masyarakat

hidup dengan agama. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan

Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang

memberi kehidupan kepada kamu” (QS Al-Anfal [8]: 24). Kaum Mukmin

harus memenuhi seruan Allah Swt dan Rasul-Nya Saw yang menyeru

pada kehidupan. Karena kehidupan manusia yang diserukan Allah

Swt adalah agama-Nya.

Al-Quran meyakini dosa dan apostasi (pengingkaran terhadap

agama) sebagai ancaman kehidupan tersebut. Karenanya, Al-Quran

secara serius memerangi gejala ini; tak ubahnya dokter ahli yang

berpengalaman dalam menghadapi penyakit kanker. Seorang dokter

ahli yang berpengalaman dan mengetahui bahaya kanker, niscaya

akan melakukan operasi untuk mengangkat dan mencerabut

tumor dari tubuh pasien. Meskipun tak jarang orang-orang dekat

atau pasien itu sendiri menyangka sang dokter sedang melakukan

kekejaman. Tudingan ini jelas bersumber dari ketidaktahuan. Karena

dicerabutnya benjolan tumor atau kanker dimaksudkan untuk

menyelamatkan hidup si Pasien. Dengan demikian, dorongan emosional

yang berkenaan dengannya sangat tidak berdasar dan irasional.

Dalam merumuskan dan menjalankan hukum pidana, Al-Quran

sepenuhnya mendasarkan diri pada rasio dan hikmah, seraya tidak

membiarkan dorongan emosional yang irasional mengancam dan

membahayakan keselamatan masyarakat. Al-Quran menyatakan,

barangsiapa yang secara sengaja melanggar martabat hidup

seseorang serta melakukan pembunuhan, secara rasional, harus

divonis qishash. “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)

hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal” (QS Al-Baqarah [2]: 179).

Al-Quran menegaskan, vonis bagi orang-orang yang membahayakan

ketertiban sosial dan kehormatan publik, termasuk kalangan

p:156

penentang agama Allah Swt, adalah hukuman mati. Al-Quran juga

memiliki aturan dan ketetapan yang khas untuk kasus-kasus lain.

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah

dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka

dibunuh ....” (QS Al-Maidah [5]: 33) Juga: “Perempuan yang berzina

dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya

seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah

kamu untuk (menjalankan) agama Allah” (QS An-Nur [24]: 2). Dalam

kasus ini, belas kasihan, perasaan, dan emosi merupakan tindakan

irasional dan mengancam kehidupan masyarakat.

Begitulah Al-Quran memerangi kerusakan. Bukankah undangundang

pidana yang disusun semacam ini merupakan sebuah

mukjizat dari aspek kandungan kitab suci itu? Mampukah manusia

merancang undang-undang semacam ini? Dunia hari ini yang diklaim

sebagai beradab bukan hanya tidak mampu menyusun undangundang

semacam ini secara persis, melainkan bahkan menghalangi

banyak orang untuk mematuhinya. Bahkan beberapa pihak yang

mengklaim dirinya pembela hak asasi manusia memandang undangundang

semacam ini sebagai sejenis kekejaman dan bertentangan

dengan hak asasi manusia.

Dalam pandangan mereka, mengapa kehidupan seseorang

harus terancam hanya lantaran melakukan sebuah kesalahan?

Untuk apa tangan orang yang melakukan tindak kriminal mencuri

harus dipotong? Jelas, pandangan ini tak jauh beda dengan perasaan

irasional dalam kasus operasi tumor dan kanker. Masyarakat yang

konon beradab dewasa ini masih belum mengenal undang-undang

semacam ini, apalagi menyusunnya. Undang-undang yang sejalan

dengan akal dan hikmah semacam ini juga tidak disusun dan

diberlakukan untuk masa tertentu. Maka dari itu, keberatan yang

menyatakan bahwa aturan hukum ini hanya cocok untuk masa

silam saat Al-Quran diturunkan, bukan masa sekarang yang sudah

beradab, sama sekali tidak relevan .

p:157

Inilah ulasan seputar beberapa topik utama yang maktub

dalam Al-Quran yang dimaksudkan sebagai contoh aspek mukjizat

kandungan dan isi Al-Quran. Tentu saja, masih ada sejumlah topik

lain yang berkenaan dengan mukjizat Al-Quran. Seperti ekonomi,

dialog, etika, dan sebagainya. Namun, mengingat ruang dan waktu

yang terbatas, semua itu sengaja tidak dipaparkan di sini.

Mukjizat Saintis Al-Quran

Kabar Al-Quran

Dalam konteks ujaran estetik Al-Quran, salah satu kasus yang

diungkap Al-Quran berkenaan dengan kabar gaib. Lewat serangkaian

kabar sahih yang disampaikan seputar era sebelum diwahyukannya

Al-Quran dan fenomena masa depan, kitab suci ini memperlihatkan

aspek mukjizat lain dari kandungannya.

Dalam mengemukakan fenomena yang berkaitan dengan umat

terdahulu, Al-Quran tidak memusatkan perhatian pada aspek

historisnya. Seumpama soal kapan dan di mana peristiwa itu terjadi.

Melainkan lebih menekankan aspek pelajaran dan tuntunannya.

Meski demikian, Al-Quran tetap menuturkan kisah-kisah historis

yang terbilang fenomenal secara terperinci. Pengungkapan berbagai

aspek peristiwa sejarah secara spesifik benar-benar melampaui

wawasan manusia. Karena itulah, saat mengungkapkan peristiwa

masa lalu, Al-Quran selalu mengingatkan bahwa semua itu

merupakan kabar gaib mustahil dijangkau daya pikir manusia.

Di akhir kisah Nabi Yusuf as, Allah Swt berfirman: “Demikian itu

(adalah) di antara berita-berita yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu

(Muhammad)” (QS Yusuf [12]: 102). Kisah menakjubkan dan memikat

yang diberi predikat sebagai kisah terindah ini: “Kami menceritakan

kepadamu kisah yang paling baik” (QS Yusuf [12]: 3), merupakan salah

satu kabar gaib yang Kami wahyukan kepadamu.

p:158

Berkenaan dengan kisah Siti Maryam as, setelah menjelaskan

keistimewaan pola didik dan asuh Nabi Zakaria as terhadap Maryam

as selama itu, Al-Quran menceritakan keinginan Zakaria as untuk

memiliki anak seperti Maryam. Keinginan ini muncul setelah beliau

menyaksikan kesucian dan ketakwaan Maryam. Allah Swt pun

menganugerahkan Nabi Yahya as kepada beliau. Berkenaan dengan

ketakwaan dan kesucian Maryam as, Al-Quran menyatakan: “Yang

demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan

kepada kamu (wahai Muhammad)” (QS Ali ‘Imran [3]: 44).

Setelah mengemukakan rincian kisah banjir bandang di masa

Nabi Nuh as, Al-Quran menegaskan: “Itu adalah di antara berita-berita

gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu

mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini” (QS Hud [11]:

49).

Ringkasnya, seluruh kejadian di masa lalu yang disebutkan dalam

Al-Quran di banyak ayatnya merupakan mukjizat lain Al-Quran.

Karena kitab suci ini memaparkannya secara cermat dan mendetail

untuk generasi yang akan datang. Demikian pula dengan peristiwaperistiwa

yang terjadi setelah turunnya Al-Quran. Ini merupakan

aspek lain dari kabar gaib yang disampaikan Al-Quran. Pasalnya,

suatu peristiwa terjadi tak lama setelah Al-Quran mengabarkan

perihal kepastian terjadinya.

Sebelum Shulh ( perjanjian damai) Hudaibiyah, Rasulullah Saw

bermimpi bahwa kaum Muslim memasuki Masjidil Haram. Mimpi

itu membuat kaum Muslim bersuka cita. Mereka sangat menantikan

momen memasuki Masjidil Haram pada tahun itu juga. Akan tetapi,

yang terjadi tidaklah demikian. Dalam kondisi tersebut, segerombolan

munafik mulai mengejek dan melemahkan mental umat Islam. Saat

itulah diwahyukan sebuah ayat yang menyatakan bahwa mimpi

Rasulullah Saw benar dan haq adanya. Al-Quran pun menegaskan

bahwa kaum Muslim akan memasuki Masjidil Haram. “Sesungguhnya

Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya

p:159

dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki

Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur

rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”

(QS Al-Fath [48]: 27). (Mengisyaratkan pada dua manasik ibadah

umrah).

Kabar gaib Al-Quran ini terjadi setahun sesudahnya, persisnya pada

tahun ketujuh Hijriah. Momen yang disebut dengan tahun umrah

qadha’, kaum Muslim berbondong-bondong memasuki Makkah dan

melaksanakan ibadah umrah sebagaimana yang telah diperkirakan

Al-Quran.

Kasus lain seputar kabar gaib Al-Quran adalah informasi tentang

kemenangan pasukan Romawi vis-à-vis Persia pada masa itu. Pada

masa Rasulullah Saw, orang-orang Persia berhasil menaklukkan

pasukan Romawi. Lalu Al-Quran mengabarkan bahwa orang-orang

Romawi akan segera mengalahkan pasukan Persia. Selang beberapa

tahun (kurang dari 10 tahun), peritiwa itu pun terjadi. “Telah dikalahkan

bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu

akan menang, dalam beberapa tahun(1) (lagi)” (QS Ar-Rum [30]: 2–4).

Masih banyak kasus lain sebagaimana telah dikemukakan

dalam berbagai buku yang khusus ditulis sekaitan dengannya.

Umpama, surah Al-Lahab [111] yang berkenaan dengan kasus Abu

Lahab dan istrinya. Juga surah Al-Kautsar [108] yang berhubungan

dengan ihwal terputusnya keturunan musuh Rasulullah Saw yang

keras kepala, ‘Ash bin Wa’il. Penyebutan kasus-kasus tersebut hanya

dimaksudkan sekadar sebagai contoh semata.

Mukjizat dan Ilmu Pengetahuan

Berbagai tema yang berada dalam jangkauan kecerdasan manusia

senantiasa dijadikan bahan telaah yang acap kali menghasilkan pengetahuan

ilmiah seputar rahasia fenomena alam. Sepanjang sejarah

sains, telah dilakukan sejumlah riset dan telaah yang membuahkan

hasil teoritis yang mengagumkan lantaran dirancang sedemikian

rupa. Namun demikian, terdapat pula serangkaian telaah

p:160


1- 54 Kata bidh‘ jika digunakan untuk bilangan, berarfi terdiri dari dari angka 3 hingga 9--penj.

dan penelitian ilmiah yang hanya berhenti sebatas hipotesis semata.

Pasalnya, setelah bertahun-tahun lamanya kajian dan penelitian itu

dilakukan, hasilnya tetap nihil. Ini lebih disebabkan skala jangkauan

ilmu pengetahuan yang serba terbatas. Selain pula tak ada jaminan

bahwa suatu hipotesis niscaya korespon dengan kenyataan. Karena

itulah, banyak hal yang sebelumnya dipercaya sebagai teori ilmiah,

sebenarnya hanyalah sekadar asumsi semata yang kekurangan dan

kelemahannya baru terungkap setelah dilakukan kajian dan penelitian

yang mendalam. Sering pula terjadi suatu teori ilmiah diterima

sebagai kebenaran final, namun di kemudian hari, dikoreksi oleh

teori lainnya atau kesalahan-kesalahannya terungkap.

Pasang-surut semacam ini inheren dalam sejarah sains. Nyaris

tak ada teori ilmiah yang bersifat final—kendati sains itu sendiri

tak punya dasar untuk menjadi pandangan final (yang tuntas dan

komprehensif). Al-Quran bukanlah kitab yang menjadikan teori

ilmiah sebagai target utama. Karena, subjek pembahasan Al-Quran

adalah manusia dan tema pokoknya berkisar pada problematik eksistensial

guna membimbing umat manusia. Kendati demikian, Al-

Quran juga mengulas berbagai fenomena alam semesta serta mengungkap

teori ilmiah seputar penciptaan dan asal–usul alam

semesta, berikut proses pengaturan dan rangkaian misterinya.

Semua itu dimaksudkan untuk menuntun manusia kepada sumber

pemberi wujud.

Al-Quran tidak mengabaikan satu masalah pun yang berhubungan

dengan petunjuk [untuk] manusia. Namun, dalam mengemukakan

rangkaian fenomena alam berikut pengelolaannya, Al-Quran menyuguhkan

berbagai teori yang korespon dengan kenyataan. Oleh

karena itu, klaim bahwa Al-Quran membicarakan semua tema sains

tidak terlalu signifikan—kendati beberapa kalangan mengklaim seperti

itu, sebagaimana terlihat jelas dalam ucapan-ucapan Ghazali.(1)

p:161


1- 55 Khalidi, I‘jâz Al-Qur’ân (kufipan dari Ihya’ ‘Ulûm Al-Dîn, jld 1, hlm 130).

Ulasan teoritis Al-Quran ihwal fenomena alam memiliki

keistimewaan yang khas; bahwa dikarenakan itu bersumber dari

wawasan Ilahi, niscaya selalu korespon dengan kenyataan dan

mustahil salah atau keliru. Inilah aspek mukjizatnya. Kebenaran

teoritisnya juga bersifat final. Hal ini tentu saja memerlukan

kecerdasan paripurna yang melampaui intelegensia manusia.

Sementara itu, teori ciptaan manusia hanya sebatas prasangka dan

asumsi (bila dikaitkan dengan teori-teori sejenis lainnya, sebagaimana

dalam siklus teori ilmiah—peny.). Oleh karena itu, teori ciptaan

manusia kebanyakan akan kembali menjadi sebuah hipotesis dan

kekurangannya akan terungkap (lewat penemuan teori atau hipotesis

baru, begitu seterusnya—peny.). Adapun teori Al-Quran secara

keseluruhan selaras dengan kenyataan dan mustahil bertentangan

dengannya. Dalam pada itu, kajian ilmiah terhadap sejumlah teori

yang dikemukakan Al-Quran memerlukan waktu hingga bertahuntahun,

bahkan berabad-abad, lamanya.

Sekalipun tema-tema ilmiah yang dikemukakan Al-Quran

senantiasa korespon dengan realitas, namun semasa diturunkannya

kitab suci ini, umumnya semua itu dianggap sepi atau tidak didukung

sedikitpun pun keterangan tentangnya. Ini sekaligus dapat menjadi

bukti tak terbantahkan bahwa wahyu Al-Quran adalah mukjizat

Ilahi. Berikut adalah beberapa kasus yang terkait dengannya.

Perputaran Benda-benda Angkasa

Teori ilmiah yang berkenaan dengan kemunculan dan perputaran

planet-planet di ruang angkasa senantiasa mengalami perubahan.

Bahkan sejumlah teori saling bertolak-belakang. Semisal, apakah

matahari, bulan dan bumi bergerak atau tidak? Dan apakah planetplanet

itu bergerak melintasi garis putar atau garis lurus?

Teori astronomi ptolemeus (Ptolemaic system) yang mendominasi

alam pikir manusia selama berabad-abad lamanya, mengasumsikan

bahwa langit ibarat kulit bawang yang saling mengitari dan melapisi.

p:162

Teori ini meyakini bahwa bumi tidak bergerak sekaligus menjadi pusat

jagat raya. Masih berdasarkan teori ini, falak dipandang tak ubahnya

hamparan papan yang transparan dan lembut, sementara bintanggemintang

bagaikan mata cincin perak yang ditempelkan di situ.

Semasa turunnya Al-Quran, seperti itulah asumsi spekulatif yang

mendominasi alam pikir Yunani, Semenanjung Arab, dan sekitarnya.

Kepercayaan terhadap teori ini berlanjut hingga abad pertengahan

(age of medieval). Pascarenaisans (kebangkitan ilmu pengetahuan)

yang bermula di belahan Barat, teori-teori abad pertengahan mulai

digugat dan dipertanyakan. Ilmu-ilmu astronomi dan perbintangan

juga memanfaatkan kebangkitan ini. Teori-teori baru yang bersifat

ilmiah dan sesuai dengan kenyataan sekaitan dengan sistem tata

surya mulai bermunculan; sementara teori astronomi ptolomeus makin

redup dan berangsur-angsur ditinggalkan. Lantaran teori astronomi

baru mulai diterima dan diminati banyak kalangan, anggapan bahwa

langit ibarat kulit bawang, atau falak bagaikan bentangan papan

transparan yang ditempeli bintang-gemintang, serta asumsi ihwal tidak

bergeraknya bumi, pun sepi dari perbincangan. Teori-teori tersebut

semakin terlihat tidak berdasar. Dalam pandangan ilmu astronomi

kontemporer, seluruh benda langit selalu dalam kondisi bergerak.

Jelasnya lagi, seluruh bintang, bulan, matahari, dan planet senantiasa

berputar dalam gerak rotasi (berputar pada porosnya) maupun

revolusi (mengelilingi pusat tata surya atau matahari).

Al-Quran menginformasikan fakta ini jauh sebelum ilmu

pengetahuan mengungkapnya. Berkenaan dengan perputaran

matahari, bulan, juga bumi, Al-Quran menyuguhkan pandangan

berikut: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam

pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada falak

(garis edarnya)” (QS Yaasiin [36]: 40). Sebelum menjelaskan makna

ayat di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian “ falak”.

Pada masa turunnya Al-Quran, sebagian kalangan menganggap

falak ibarat bentangan papan transparan nan lembut yang ditempeli

p:163

bintang-gemintang. Konsepsi ini jelas tidak selaras dengan makna

falak itu sendiri. Sebab, dalam bahasa Arab, falak bermakna orbit

(garis edar), bukan jism yang bersifat transparan; dan sains dewasa

ini pun membuktikan hal tersebut. Kitab Mufradat memaknai “ falak”

sebagai lokus peredaran bintang-gemintang, “Dan falak adalah tempat

peredaran bintang-bintang.”(1)

Ibnu al-Atsir, dalam kitab Al-Nihâyah, berkata, “ Falak adalah orbit

bintang-bintang di langit.”(2) Al-Munjid juga menuliskan demikian.(3)

Syahrestani, dalam kitab Al-Hay’ah wa Al-Islâm (Astronomi dan

Islam), juga menyebutkan arti sebagaimana di atas dari kalangan

pakar bahasa lainnya.(4)

Berangkat dari penjelasan singkat ini, dapat dipahami bahwa

beberapa ayat tersebut membicarakan ihwal munculnya siang dan

malam, serta gerak matahari dan bulan, yang secara paralel juga

membahas gerak bumi. Al-Quran menjelaskan kemunculan siang dan

malam dengan gerakan matahari dan bulan dalam konteks tertentu,

saat menyatakan: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan

dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar

pada falak (garis edarnya)” (QS Yaasiin [36]: 40). Jadinya, kemunculan

siang dan malam bermula dari beredarnya benda-benda angkasa

di orbitnya yang barangkali mengisyaratkan perputaran bumi

pada orbitnya sendiri (rotasi) sehingga memunculkan kondisi

siang dan malam. Ringkasnya, terlepas dari penjelasan harian yang

mengindikasikan perputaran matahari dan bulan yang pada orbit

khusus di angkasa yang tanpa batas (ibarat ikan yang berenang di

laut lepas), ayat ini menyinggung soal perputaran matahari pada

orbit mintaq al-burûj (zodiak) dan perputaran bulan pada fasefasenya

yang berjumlah 27. Gerakan putaran bulan sendiri selama

27 malam di berbagai fasenya yang berbeda dapat dipersepsi secara

p:164


1- 56 Al-Mufradât Gharîb Al-Qur’ân, hlm 385.
2- 57 Al-Nihâyah Gharîb Al-Hadîts wa Al-Atsar, jld 3, hlm 472.
3- 58 Al-Munjid, hlm 594.
4- 59 Eslom va Hay’at, hlm 151.

inderawi oleh penduduk bumi. Karena, dalam ayat digunakan kata

jamak: kull-un fî fala-in yasbahûn: “Masing-masing beredar pada falaknya

tersendiri”. Barangkali yang dimaksud ayat ini juga termasuk bintangbintang

atau planet-planet lain yang semuanya berputar pada orbit

masing-masing. Inilah pandangan realistis Al-Quran seputar gerak

benda-benda angkasa yang korespon dengan kenyataan. Dalam ayat

ini ditegaskan soal gerak putar matahari dan bumi—sebagaimana

sekarang terbukti bahwa teori tersebut diterima sebagai kebenaran

final. Selain itu , dalam ayat ini juga implisit ihwal rotasi bumi.

Gerak putar bumi dapat dipahami dari ayat: “Dan kamu lihat

gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan

sebagai jalannya awan” (QS An-Naml [27]: 88). Gunung-gunung

bagaikan awan yang menggumpal di pundak bumi. Ketika bumi

bergerak, gunung-gunung itu juga ikut bergerak. Dan masih banyak

lagi ayat-ayat semacam ini yang menjelaskan seluk-beluk bintang

dan planet serta kekhasan ilmu astronomi.

Fenomena Udara

Al-Quran bukan buku yang disusun layaknya buku ilmiah, yang

menempatkan tema-tema tertentu dalam bab khusus sebagai bahan

kajian.

Metode Al-Quran dalam menguraikan teori yang berkenaan

dengan berbagai tema kajian secara ilmiah, filosofis, sosiologis, dan

ideologis, seraya menyertakan tuntunan dan bimbingan, adalah

dengan menempatkannya dalam bab yang berbeda-beda. Oleh

karena itu, pandangan dan komentar Al-Quran sekaitan dengan

suatu peristiwa tertentu tidak dapat disarikan hanya dari satu atau

beberapa ayat; melainkan harus dengan menengok seluruh ayat yang

menyinggung masalah tersebut. Ada sejumlah isyarat dalam ayatayat

Al-Quran berkenaan dengan masalah asal muasal fenomena

udara, seperti angin, awan, hujan, serta hubungannya dengan

pancaran sinar matahari, pergantian malam dan siang, rotasi bumi,

p:165

serta perubahan [suhu dan tekanan] udara. Sebelum mengemukakan

sejumlah ayat yang berkenaan dengannya, terlebih dahulu akan

dijelaskan secara ringkas ihwal fenomena udara.

Angin dihasilkan dari pergerakan udara. Pancaran langsung sinar

matahari ke titik tertentu, plus tekanan udara, mengakibatkan suhu

yang panas pada kawasan tertentu. Adanya faktor yang menghalangi

pancaran langsung sinar matahari (umpama, gumpalan awan) atau

menjadikan sinar tersebut memancar secara tidak langsung, serta

sudut deviasi matahari, akan merupakan udara dingin di kawasan

lain. Perpindahan suhu panas ini mengakibatkan perubahan cuaca

dan terbentuknya angin. Di pihak lain, rotasi bumi dari dua arah

memiliki pengaruh besar dalam menciptakan hembusan angin. Di satu

sisi, rotasi bumi mengakibatkan perubahan suhu udara di berbagai

belahan bumi. Sementara di sisi lain, menyebabkan perubahan suhu

di sejumlah kawasan yang berhadapan langsung dengan matahari,

juga terbentuknya gumpalan awan yang dihasilkan dari pergerakan

udara dari satu tempat ke tempat lain. Artinya, berkat pergerakan

udara, awan pun berpindah dari satu titik ke titik lain, serta

menyebabkan turunnya hujan dan suhu udara di berbagai wilayah.

Dengan demikian, turunnya hujan, sebagaimana terbentuknya

angin, merupakan akibat dari pancaran sinar matahari, rotasi bumi,

serta pergantian siang dan malam. Dalam peristiwa ini, sekaitan

dengan fenomena turunnya hujan, gerak angin memainkan peran

lain, di samping menggerakan awan. Karena, hujan atau salju tidak

akan turun selama belum terjadinya proses pembuahan. Artinya,

selain menambah tekanan dan berperan dalam proses pembuahan

tumbuh-tumbuhan, angin juga berperan dalam peristiwa turunnya

hujan dan salju.

Sebagaimana diketahui, pancaran sinar matahari mengakibatkan

menguapnya air laut. Uap air itu kemudian mengalami kristalisasi

dalam bentuk partikel-partikel (unsur-unsur) yang sangat kecil

dan menggantung di udara. Karena sangat kecil dan ringan, serta

p:166

tidak saling tersambung satu sama lain dan tidak memiliki berat

jenis, partikel-partikel ini pun ditarik oleh gravitasi bumi. Angin

membawa partikel-pertikel tak kasat mata yang kaya mineral dari

permukaan laut dan menghasilkan partikel-partikel uap di udara.

Saat itu, partikel-partikel tersebut menghasilkan berat jenis dan

saling melebur satu sama lain, yang kemudian melayang turun

dalam bentuk hujan.

Berkenaan dengan salju, setelah saling melebur, partikel-partikel

kecil itu menghasilkan lapisan-lapisan tipis salju berkat kelembaban

udara tertentu. Saat itulah butiran-butiran salju melayang turun

ke atas tanah. Perhatikanlah soal bagaimana proses pembuahan

yang berlangsung melalui angin, sangat berperan penting dalam

pembentukan hujan air dan salju. Fakultas meteorologi atau aerologi

dewasa ini baru menemukan fakta ini—yang penjelasan lebih

mendetailnya dapat ditemukan dalam buku-buku yang berhubungan

dengannya.60 Semasa turunnya Al-Quran, tidak seorang pun yang

memiliki informasi ihwal fenomena ini; sementara teori-teori

astronomi kuno masih dominan pada saat itu.

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, akan dikemukakan

sejumlah ayat Al-Quran yang menyinggung masalah ini.

Al-Quran dan Hujan

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih

bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa

apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari

langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati

(kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan

pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi;

Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebe-saran Allah) bagi

kaum yang memikirkan (QS Al-Baqarah [2]: 164).

60 Ruj., Bôd va Bôrôn (Angin dan Hujan).

p:167

Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan

Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah

matinya; dan pada perputaran angin terdapat pula tandatanda

(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal (QS Al-Jatsiyah [45]: 5).

Pada ayat pertama, topik yang dibicarakan berkisar pada

penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam, juga

kucuran [air dari] langit. Jelas, pergantian siang dan malam yang

merupakan efek rotasi bumi, berperan dalam proses turunnya hujan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, rotasi bumi berperan

penting dalam perpindahan sinar matahari; juga temperatur udara

yang menyebabkan terciptanya angin, dan gerak angin yang menciptakan

hujan. Dalam pada itu, ulasan yang dikemukakan berkisar

pada gerak putar angin yang menciptakan gumpalan awan.

Begitu pula pada ayat kedua. Setelah membicarakan soal pergantian

siang dan malam, objek pembahasan lalu diarahkan pada

curahan [air dari langit] langit—sebagaimana termaktub dalam ayat

pertama.

Bila dicermati secara saksama, kedua ayat tadi, juga ayat-ayat

serupa lainnya, menunjukkan hubungan antarfenomena udara. Harmoni

ujaran yang di berbagai tempat menjelaskan fenomena udara

secara sistematis, seirama, dan terstruktur, menunjukkan hubungan

kuat semua itu. Di mana fenomena hujan berhubungan dengan

gerak angin, rotasi bumi, pancaran sinar matahari, serta pergantian

siang dan malam. Sebagian kecil misteri alam ini baru belakangan

ini terungkap; sementara Al-Quran telah mengekspresikan pandangan

yang sesuai dengan sains berabad-abad sebelumnya.

Juga berkenaan dengan alam material dan fisikal, Allah Swt telah

menyediakan sistem reproduksi melalui tradisi perkawinan. Dalam

hal ini, Allah Swt berfirman, “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan

p:168

pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi

dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS

Yaasiin [36]: 36). Atau menegaskan, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan

berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”

(QS Ad-Dhariyat [51]: 49). Sementara itu, proses reproduksi terjadi

ketika masing-masing pasangan saling bertemu. Tugas fotosintesis

di dunia tumbuh-tumbuhan dan masih banyak lagi fenomena-fenomena

lain berada di pundak angin. Allah Swt menjadikan angin sebagai

sarana pembuahan seraya berfirman, “Dan Kami telah meniupkan angin

untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari

langit” (QS Al-Hijr [15]: 22). Peran penting angin dalam pembuahan

pepohonan, seperti pohon kurma dan sebagainya, sudah terlihat

dengan jelas sejak masa silam. Akan tetapi, peran pembuahan dalam

proses turunnya hujan air dan salju, baru terungkap belakangan ini.

Namun dapat disaksikan, bagaimana Al-Quran menjelaskan hubungan

gerak angin dan pembuahan yang tercipta melalui hembusan angin

saat turunnya hujan.

Al-Quran menyatakan “Kami telah mengirim angin sebagai

pembuahan”, saat mengungkapkan sebagian hasil pengiriman angin

yang bertugas membuahi dengan huruf fâ’: “Fa anzalnâ min al-samâ’-

i mâ’-an”. Hasilnya, ‘Kami mengirim air hujan dari langit’. Ayat

ini secara sempurna menjelaskan peran pembuahan dalam proses

turunnya hujan. Sangat jelas, bagaimana Al-Quran menguraikan

proses yang rumit ini secara cermat—saat belum seorang pun yang

memiliki pengetahuan seputar rahasia tersebut.

Al-Quran dan Awan

Berkenaan dengan bagaimana terkumpulnya awan saat cuaca

mendung; individu di muka bumi yang memandang ke langit akan

menyaksikan selapis atap kubah satu lapis, sementara awan berarak

dan bergumpal bagaikan gunung-gunung, yang dari sela-selanya

berjatuhan butiran-butiran salju dan air hujan. Manusia mengungkap

p:169

fakta ini sekitar 100 tahun lalu saat sudah mampu terbang dengan

sayap besi di atas awan seraya menyaksikan panorama indah

formasi awan; sementara Al-Quran telah membicarakan fakta ini berabad-

abad sebelumnya. “Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak

awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian

menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar

dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari

langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung,

maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-

Nya” (QS An-Nur [24]: 43). Butir-butir hujan es jatuh dari

celah-celah awan yang saling bergumpal bagaikan gunung itu.

Rahasia lain di balik fenomena alam berkisar pada terciptanya

pelangi berwarna-warni oleh cahaya matahari, fase pembentukan

janin dalam rahim ibu, serta keunikan sidik jari setiap individu yang

niscaya berbeda satu sama lain. Perhatikan ayat ini, “Bukan demikian,

sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”

(QS Al-Qiyamah [75]: 4). Demikian pula puluhan fenomena

misterius lain yang baru berhasil diungkap sains belakangan

ini; sedangkan Al-Quran telah menyingkap selubung fakta ini jauhjauh

hari sebelumnya. Semua ini mengindikasikan aspek mukjizat

saintifik Al-Quran secara jelas dan gamblang. Saat tak seorang pun

mengetahui seluruh rahasia ini, Al-Quran telah menunjukkannya

dengan cara cermat, mendetail, dan tidak kurang suatu apa pun.

Oleh karena itu, semakin menyelami lembah pengetahuan,

manusia akan lebih banyak mengenali karakter ilmiah Al-Quran. Aspek

mukjizatnya pun kian jelas terungkap. Karena, teori-teori ilmiah Al-

Quran sangat cermat dan selaras dengan realitas; jadinya, mustahil

penyingkapan ilmiahnya tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sisi

cakupannya, paparan Al-Quran bersifat universal dan komprehensif.

Karenanya, setiap kali terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,

rahasia-rahasia baru akan tersingkap. Silahkan cermati

p:170

ayat berikut ini: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit

dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”

(QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Seiring kemajuan ilmiah yang diperoleh

manusia berkat bantuan ilmu pengetahuan selama berabad-abad,

bahkan jutaan abad, medan rahasia alam semesta ini juga semakin

meluas. Dalam pada itu, pengetahuan manusia seputar rahasia alam

semesta akan terus bertambah.

Melalui penjelasan ini, Al-Quran menyeru umat manusia untuk

mengkaji dan meneliti alam semesta. Pasalnya, semakin banyak

riset yang dilakukan terhadap ayat-ayat Ilahi dan tanda-tanda

yang merepresentasikan jamal (keindahan) Yang Maha Haqq, dia

akan semakin memahami ilmu, pengetahuan, kuasa, keindahan,

hikmah pengaturan, keagungan, dan kebesaran-Nya. Sekaligus pula

mengetahui bahwa seluruh keindahan dan kesempurnaan sematamata

berasal dari-Nya; dan seluruh pujian hanya layak ditujukan

pada-Nya. Hingga pada satu titik, dia menyadari kenyataan bahwa:

“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan

semesta alam. Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah

Yang Mahaperkasa lagi Mahabijak” (QS Al-Jatsiyah [45]: 36–37).

Keperkasaan-Nya tak tertandingi kekuasaan lain, dan penciptaan

serta pengaturan-Nya berlandaskan kebijaksanaan.

Keharmonisan Al-Quran

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya

Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan

yang banyak di dalamnya (QS An-Nisa’ [4]: 82).

Lantaran keterbatasan ilmu dan kealpaannya yang menjadikan

petaka ilmiah selalu menghantuinya, manusia umumnya menghasilkan

dan mewariskan sejumlah karya, baik berupa ucapan maupun tulisan,

yang mengandung kekurangan dan kelemahan. Dalam konteks

ucapan, selain kekeliruan dalam hal estetika ujaran,

p:171

manusia juga seringkali terjebak dalam kesalahan yang berkaitan

dengan maknanya. Begitu pula dengan karya tulis yang umumnya

mengandung kekurangan, baik dari segi harfiah maupun maknanya.

Secerdas dan sepakar apa pun, manusia senantiasa merasa perlu

untuk menyunting karya tulisnya secara harfiah berulang kali.

Umpama, ia merasa perlu mengubah komposisi kalimatnya, atau

barangkali menghapus, menambah, dan menguranginya. Sesering

apa pun suntingan dilakukan terhadap suatu tulisan, serta betapa

pun berpengalaman dan telitinya sang Penyunting, tetap saja

terdapat celah untuk diotak-atik dari segi harfiahnya.

Begitu pula dari segi kandungannya; ujaran manusia mengandung

banyak kekurangan. Karena, dari perspektif dua kriteria yang telah

disinggung sebelumnya, ujaran manusia senantiasa menyertakan kesalahan,

kelalaian terhadap sebagian hal, inkonsistensi, pengulangan,

bahkan kontradiksi. Berbagai kekurangan ini sering memantul dari

karya tulis tulisan manusia. Bahkan dalam karya tulis tim riset

berpengalaman, yang dalam penyusunannya saling bekerja sama

dan bertukar pandangan. Tulisan orang jenius sekali pun niscaya

penuh kekurangan. Fenomena ini terkait dengan jenis karya

tulis yang mengulas topik tertentu secara terbatas. Pasalnya, setiap

orang cenderung memilih tema tertentu dan menyusun karya tulis

yang hanya khusus berkenaan dengannya.

Al-Quran merupakan kitab yang mengulas pengetahuan

manusia secara spesifik. Al-Quran secara terperinci menyuguhkan

pembahasan seputar keluarga, sosial, politik, ilmiah, hukum, ekonomi,

dan sebagainya, tak ubahnya fakultas khusus untuk kalangan

spesialis yang mengkaji dan meneliti masing-masing topik tersebut

secara cermat. Ulasan Al-Quran juga sedemikian rupa, sehingga

tidak mengkhususkan bab tertentu bagi masing-masing topik pembahasan—

sebagaimana karya tulis pada umumnya. Dalam pada itu,

pandangan Al-Quran yang berkenaan dengan berbagai bidang ilmu

disebutkan di semua ayatnya. Dengan kekhasan ini, dari

p:172

sisi harfiah, Al-Quran memperagakan kekompakan dan harmoni;

sementara dari segi kandungan, kitab suci ini tidak mengandung

kekurangan dan kelemahan apapun. Seluruh pembahasannya disampaikan

dengan cara yang sangat menakjubkan. Penataan ujarannya

sedemikian rupa, sehingga tidak memberi celah untuk diotak-atik.

Sedangkan dari segi kandungannya, tertutup kemungkinan untuk

menemukan kekurangan dan kontradiksi, melakukan revisi, mengungkap

kesalahan, atau menghapus unsurunsurnya.

Al-Quran adalah kalam yang kompak dan harmonis, dari awal

sampai akhir. Dari segi kandungannya tidak terdapat kerancuan

ujaran apapun. Dalam Al-Quran tidak terdapat ucapan-ucapan yang

usang termakan waktu, atau pandangan yang dipengaruhi faktor

eksternal. Pembahasan-pembahasannya selalu hidup dan ujarannya

senantiasa aktual. Ini dikarenakan pengetahuan murni sang Pemilik

dan Penciptanya, yaitu Allah Swt—yang kebodohan tidak mungkin

menembus haribaan-Nya, dan kelalaian tak pernah menghampiri-

Nya. Karena itu, kekhasan kalam-Nya adalah sifat ilmiah dan kesesuaiannya

dengan kenyataan. Kalam-Nya terbebas dari kerancuan

dan kontradiksi—yang merupakan ciri khas ujaran manusia. Ini sebagaimana

hukum alam dan sistem penciptaan yang tidak memuat

pertentangan dan kekurangan. Al-Quran menyeru manusia untuk

mengaktifkan daya pikirnya serta merenungkan sistem alam semesta,

seraya bertanya, apakah dirinya menemukan adanya kekurangan di

dalamnya?

Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak

seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu

akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan

penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah

(QS Al-Mulk [67]: 4–5).

p:173

Berkenaan dengan Al-Quran, kitab suci ini menyeru semua

manusia untuk merenungkannya, “Coba renungkan Al-Quran dalamdalam

dan saksikanlah, apakah kekhasan ujaran manusia berupa

kekurangan, kesalahan, kontradiksi, dan sejenisnya terkandung di

dalamnya?” Bila Al-Quran merupakan ujaran manusia, niscaya kalam

tersebut akan mengandung semua itu. Bila Al-Quran berasal dari

selain Allah Swt, niscaya lewat perenungan sekilas saja akan terlihat

jelas berbagai kekurangan, kontradiksi, dan ketidakserasiannya:

Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran? Kalau kiranya

Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat

pertentangan yang banyak di dalamnya (QS An-Nisa’ [4]: 82).

Barangkali alasan digunakannya kata banyak dalam ayat tersebut

dimaksudkan bahwa bila Al-Quran yang kerap menyuguhkan

pandangan yang terkait dengan berbagai topik pembahasan (sementara

umum diketahui bahwa pandangan seseorang yang dikemukakan

sekaitan dengan banyak niscaya akan simpang siur dan kontradiktif),

bukanlah ucapan Allah Swt, niscaya akan ditemukan banyak

kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Namun, dikarenakan pada

faktanya berasal dari sisi Allah Swt Yang Mahatahu dan Bijaksana,

Al-Quran pun sedemikian serasi dan harmonis. Mustahil dijumpai

adanya satu pun kesalahan, kekeliruan, atau revisi di dalamnya.

Ini dengan sendirinya merupakan aspek mukjizat lainnya dari

kandungan dan ujaran estetik Al-Quran—kitab suci yang menyeru

semua manusia untuk meminta bantuan kaum cerdik cendekia dalam

mencermati Al-Quran yang, bila ditemui kekurangan sekecil apa

pun di dalamnya, status wahyunya sudah layak diragukan. Namun,

jika tidak, ketahuilah: “Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya” (QS

An-Nisa’ [4]: 166). Barangkali sebagian kalangan beranggapan bahwa

dari segi kandungannya, sangat banyak ayat Al-Quran yang saling

bertentangan; lantas, bagaimana dengan klaim yang menyatakan

p:174

bahwa kalam Al-Quran itu kompak dan harmonis?

Pada awal penelitiannya atas ayat-ayat suci Al-Quran, anggapan

ini sangat mungkin terbersit di benak seseorang. Artinya, sebelum

merenungkan secara mendalam ayat-ayat suci tersebut, tidak tertutup

kemungkinan seseorang menganggap beberapa ayat Al-Quran

saling bertentangan satu sama lain. Misalnya, ayat yang satu secara

umum (mutlak) memberlakukan suatu hukum, sementara ayat yang

lain justru membatasinya. Seumpama, beberapa ayat mutasyâbih

menafikan ayat-ayat lain dan bahkan sebagian ayat menghapus

hukum (menaskh) ayat-ayat lain. Padahal, naskh terjadi manakala

hukum pertama dipandang tidak memadai atau keliru, dan ini—

yang merupakan ciri khas ujaran kalam manusia—kerap dijumpai

dalam Al-Quran. Pandangan sekilas barangkali akan menemukan

disharmoni semacam itu. Namun, bila dicermati lebih jauh, menjadi

jelas bahwa seluruh isi Al-Quran merupakan kalam terpadu. Karena,

dalam Al-Quran, kendati memuat hal-hal yang bersifat ‘âm (umum)

dan khâshsh (khusus), mutlaq dan muqayyad, muhkam dan mutasyâbih,

namun pola “pertentangan” antara ‘âm dan khâshsh serta mutlaq

dan muqayyad, hanyalah prima facie. Bila dicermati dengan saksama,

niscaya akan dipahami dengan jelas bahwa maksud Al-Quran adalah

pembatasan dan khâshsh demi menjaga kemaslahatan-kemaslahatan

lain yang pada awalnya disebutkan dalam bentuk ‘âm. Gaya berujar

semacam ini tergolong rasional dan sah-sah saja—dan sama sekali

tidak mengandung kontradiksi.

Sama halnya dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih yang

seolah-olah saling bertentangan. Rangkaian ayat mutasyâbih, kendati

mencakup pengertian memunculkan syubhah (kesamaran)—

maksudnya, ayat mutasyâbih sebenarnya memiliki pengertian

yang jelas, namun berbaur kesamaran dan keraguan—namun

bila diproyeksikan pada ayat-ayat muhkam, niscaya darinya akan

didapatkan pengertian yang jelas dan muhkam.

p:175

Dengan kata lain, dari segi maknanya, ayat-ayat mutasyâbih sama

sekali tidak kabur. Makna rangkaian kata dan kalimatnya sangat

jelas—pada dasarnya, Al-Quran tidak memuat ujaran atau ayat

yang samar-makna. Kendati, pada saat yang sama, ayat mutasyâbih

memiliki pengertian yang jelas namun menyertakan kesamaran.

Misalnya, “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas

Arasy” (QS Thaha [20]: 5) termasuk ayat mutasyâbih dalam Al-Quran.

Namun, ayat ini, dari segi maknanya, sama sekali tidak samar. Dalam

ayat tersebut, terdapat kata Al-Rahmân yang bermakna Tuhan Yang

Maha Pemurah, ‘alâ yang artinya “di atas”, al-’arsy yakni arasy atau

singgasana, istawâ yang berarti bersemayam. Secara etimologis, ayat

ini dapat diartikan demikian: Tuhan bersemayam di atas singgasana,

yang boleh jadi dipahami sebagai “Dia duduk di atasnya”. Jelas, tak

satu pun makna kata dan kalimatnya yang mengandungi kekaburan.

Namun, kandungan makna ayat ini berpotensi menimbulkan

kerancuan pemahaman. Sebab, boleh jadi beberapa orang akan

bertanya-tanya, mungkinkah Allah Swt berjasad sehingga

bersemayam di atas singgasana. Makna ayat ini, bila diproyeksikan

pada ayat muhkam, seperti “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan

Dia” (QS Asy-Syura [42]: 11), di mana semua jasad identik satu sama

lain, niscaya menjadi jelas sekaligus menepis keraguan. Maknanya

yang benar adalah bahwa arasy dan singgasana merupakan metafora

pengaturan dan kekuasaan. Karenanya dapat dipahami bahwa

kedudukan Allah Swt superior dalam hal pengaturan dan kekuasaan.

Dialah Tuhan semesta alam. Setelah mencermati kandungan ayatayat

mutasyâbih dan memproyeksikannya pada ayat-ayat muhkam,

maka seluruh ayat Al-Quran dengan sendirinya menjadi muhkam

itu sendiri, sebagaimana difirmankan Allah Swt, “(Inilah) suatu kitab

yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci

yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Mahabijak lagi Mahatahu” (QS

Hud [11]: 1).

p:176

Demikian pula dalam kasus naskh. Bila dicermati secara

seksama, lagi-lagi terlihat dengan jelas bahwa naskh secara umum

tidak termaktub dalam Al-Quran. Dalam pemahaman umum

yang berkaitan dengan naskh, suatu aturan memang disusun serta

diberlakukan secara permanen dan untuk selamanya. Namun,

saat ditemukan sejumlah kekurangan yang melekat pada aturan

tersebut, dengan serta merta diberlakukan aturan lain yang menaskh

dan menghapusnya. Jelas, kondisi ini mustahil terjadi pada

Al-Quran. Kalau pun seolah-olah beberapa ayatnya memiliki

kemungkinan semacam itu, namun dapat dipastikan, anggapan ini

semata-mata berasal dari pengamatan sepintas lalu. Lain hal bila

ayat-ayat tersebut dicermati secara seksama; niscaya akan dipahami

bahwa beberapa hukum sejak awal memang sengaja disusun dan

diberlakukan secara terbatas dan temporal. Karena itu, saat masa

berlakunya telah berakhir, Al-Quran akan mengumumkannya lewat

pemberlakuan hukum baru. Dengan kata lain, sejak awal disusunnya,

hukum yang pertama memang diberlakukan untuk jangka waktu

tertentu. Sedangkan dalam sebagian kasus, bahkan sejak awal telah

dikemukakan bahwa hukum yang dimaksud hanya berlaku hingga

informasi berikutnya. Saat informasi yang dimaksud diumumkan,

masa berlakunya pun berakhir. Tentu saja ulasan mendetail seputar

topik muhkam dan mutasyâbih, nasikh dan mansukh, mesti dipaparkan.

Akan tetapi mengingat terbatasnya ruang dan waktu dan agar

pembahasan tidak melebar ke mana-mana, keharusan tersebut tidak

dapat direalisasikan pada kesempatan ini. Hanya saja, agar tidak

sampai muncul anggapan bahwa sejumlah ayat Al-Quran saling

menafikan dan kontradiktif satu sama lain, akan dikemukakan satu

atau dua contoh seputar nasikh dan mansukh.

Berkenaan dengan kasus perempuan yang ditinggal mati

suaminya, Al-Quran mengatakan dalam salah satu ayatnya: “Dan

orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri,

hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga

p:177

setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)” (QS Al-

Baqarah [2]: 240). Perempuan yang menjanda—karena ditinggal

mati suami—dapat tinggal di rumah suaminya selama setahun dan

biaya hidupnya mesti dijamin selama itu. Tak seorang pun berhak

memintanya keluar dari rumah itu. Ini sudah menjadi tradisi di

kalangan bangsa Arab pada masa itu. Ayat ini kemudian dijelaskan

dengan adanya ayat iddah wafat yang bagi sebagian kalangan

merupakan ayat naskh. Dalam ayat ini ditegaskan: “Dan orangorang

yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri

(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan

sepuluh hari” (QS Al-Baqarah [2]: 234).

Boleh jadi dikatakan, ketetapan ini menafikan ketetapan pertama.

Namun, lewat pernyataan dalam aturan kedua, jelas sudah bahwasanya

aturan pertama sejak awal memang dimaksudkan berlaku

untuk sementara waktu. Sedangkan ayat kedua menjadi deklarator

berakhirnya masa berlaku ayat pertama. Kalam semacam ini tidak

dapat dianggap kontradiktif karena dianggap lumrah dalam lingkup

kebiasaan orang-orang berakal, serta dari segi prinsipprinsip ujaran.

Kasus lebih jelas lagi berhubungan dengan para wanita yang

terlibat dalam aksi keji. Berkenaan dengan mereka, Al-Quran pada

awalnya mengatakan: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan

perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).

Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah

mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui

ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya” (QS An-

Nisa’ [4]: 15). Bila diperhatikan secara saksama, bagian akhir dari

ayat ini menegaskan bahwa hukum tersebut (mengurung) berlaku

sampai diturunkannya informasi berikut.

p:178

Ayat lain menjelaskan aturan selanjutnya berkenaan dengan

perempuan-perempuan yang tidak bersuami(1): “Perempuan yang

berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya

seratus kali dera” (QS An-Nur [24]: 2). Mengingat hukum ini

merupakan informasi lanjutan dari hukum pertama, maka keharusan

mengurung tidak lagi berlaku, melainkan dengan menderanya sebanyak

seratus kali, dan kemudian membebaskannya. Ketetapan ini

bukan tergolong menafikan atau kontradiktif dengan ketetapan pertama;

melainkan lebih sebagai penjelas dan informasi lanjutannya.

Dalam aturan percakapan, semua itu sangat umum terjadi sehingga

tidak dapat dikategorikan sebagai disharmoni atau kontradiksi.

Al-Quran Abadi Sepanjang Masa

Kultur masyarakat senantiasa mengalami perubahan sebagaimana

kebanyakan fenomena lainnya. Tidak pernah ditemukan dua

generasi manusia memiliki kultur yang identik dalam semua aspek.

Pola pergaulan, bahasa percakapan, cara berpakaian, gaya rambut,

pola komunikasi, dan sebagainya senantiasa berubah-ubah. Seiring

berakhirnya era satu generasi (sekitar 30 tahun), terjadi perubahan

dalam semua aspek tersebut. Persoalannya kemudian, apa yang

berubah? Apakah ilmu dan pengetahuan juga berubah? Apakah

relasi manusia dengan realitas kian mengarah pada kesempurnaan,

atau malah mengalami kemerosotan? Sekalipun merupakan tema

terbaik, namun persoalan relasi manusia dengan realitas tidak akan

dibahas dalam kesempatan kali ini.

Yang terang, perubahan merupakan fakta yang tak dapat

disangkal. Terdapat beberapa riwayat yang menyinggung masalah

ini. Di antaranya, riwayat dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

as, “Janganlah kalian memaksakan kultur atau tradisi kalian kepada anakanak

kalian karena sesungguhnya mereka tercipta untuk suatu masa yang

p:179


1- 61 Hukum wanita bersuami dan lelaki beristri yang melakukan perbuatan keji (perzinaan) adalah rajam.

bukan masa kalian.”(1) Janganlah Anda berharap anak-anak Anda

memiliki budaya yang sama dengan Anda.

Begitu pula dengan karya tulis yang disusun dalam konteks

kebudayaan di masa hidup penulisnya; tidak dikecualikan dari

prinsip ini. Berlalunya waktu senantiasa menjadikan suatu karya

tulis terasa kuno dan usang, sekaligus memudarkan aspek estetiknya.

Sebab nilai- nilai estetik yang berlaku dalam kultur tertentu akan

pudar seiring berlalunya waktu serta sekaligus digantikan oleh nilainilai

estetik yang muncul kemudian. Tentu saja daya resistensi masingmasing

dari pengaruh tersebut berbeda-beda. Sebagian kultur dan

karya tulis lebih cepat pudar dan terlupakan dalam satu atau dua

generasi (bahkan kurang darinya). Sementara sebagian lainnya lebih

lambat pudar, dikarenakan memiliki keistimewaan yang khas. Bila

dicermati, karya-karya tulis semacam Gulestôn karya Sa‘di, Syohnômeh

karya Firdausi, dan Dîvôn karya Hafez tidak terpengaruh keunggulan

lain seperti koleksium puitik lainnya. Begitu pula dengan Târîkh

Al-Bayhaqi yang bila dibaca dengan seksama, akan memendarkan

keindahan-keindahan baru.

Darinya dapat dipahami bahwa kesempurnaan karya tulis atau

ujaran berhubungan dengan kesempurnaan penulis atau pengujar.

Dalam hal ini, seorang orator ulung mampu menjadikan ujarannya

sedemikian kuat dan indah sehingga tidak memudar dalam tempo

cepat atau dilupakan dalam kebudayaan yang terbentuk di masa

mendatang. Alhasil, ujaran lisan dan tulisan manusia berbeda-beda

dari segi kesempurnaannya. Sekarang, saat kesempurnaan dan

keindahan absolut berbicara, Dia mampu menerapkan seluruh tolok

ukur estetik secara absolut pula dalam konteks ujaran serta

menciptakan kalam nan indah sedemikian rupa, sampai-sampai

memustahilkan adanya kalam atau ujaran lain yang lebih indah

darinya. Karena, Dia Mahatahu segenap tolok ukur keindahan

p:180


1- 62 Ibnu Abil Hadid: op. cit., jld 20, hlm 267, hikmah (yang dinisbatkan kepada Imam Ali) ke-102.

dan Mahamampu menerapkannya. Al-Quran memiliki seluruh

keistimewaan ini. Al-Quran adalah satu-satunya kalam yang

memperhatikan seluruh tolok ukur untuk menyusun komposisi

kalam, baik dari segi harfiah maupun maknawi. Karena itulah,

Al-Quran disebut sebagai kalam terbaik atau terindah:

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (atau indah yaitu)

Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)

(QS Az-Zumar [39]: 23).

Dengan alasan inilah, segenap keindahan Al-Quran tidak

tertandingi jenis keindahan apapun yang muncul kemudian. Saat Al-

Quran diturunkan, semenanjung Arab secara kultur dan peradaban,

berada pada zaman masa jahiliyah. Namun demikian, Al-Quran

sebagai karya seni yang sangat kaya, dinamis, dan tiada tanding turut

memperkaya khasanah budaya Arab dari aspek seni, keindahan, dan

kesempurnaannya. Dari sudut pandang ini, Al-Quran bukan hanya

tidak terpengaruh dan memudar seiring berlalunya waktu, melainkan

bahkan berlalunya waktu dan tercapainya berbagai kemajuan dalam

bidang ilmu, pengetahuan, dan seni, justru keindahan-keindahan riil

Al-Quran yang sebelumnya tersembunyi menjadi lebih jelas terlihat.

Al-Quran dan Ragam Makna
Point

Struktur ujaran Al-Quran sedemikian rupa, sehingga

memunculkan beragam makna, dan pengertian kata-katanya tidak

terbatas dalam satu atau dua makna. Acap kali dijumpai bahwa satu

kata atau ayat Al-Quran memiliki arti yang berbeda-beda namun

semuanya selaras dengan ujarannya secara harfiah serta prinsipprinsip

dasar ujaran. Ini mengingat aspek batin Al-Quran berlapislapis,

sebagaimana diungkapkan sejumlah riwayat, “Sesungguhnya

Al-Quran memiliki batin dan batinnya pun memiliki batin lagi.”(1)

p:181


1- 63 Bihâr Al-Anwâr, jld 89, hlm 91.

Batin Al-Quran dapat dirasakan melalui ketakwaan dan kesucian,

bukan dengan prinsip-prinsip dasar ujaran. “Tidak menyentuhnya

kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS Al-Waqi’ah [56]: 79). Artinya,

hakikat [Al-Quran] tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang

suci dan disucikan.

Lebih dari itu, segi harfiah kitab suci ini pun memiliki kapasitas

untuk menampung beragam kemungkinan. Dalam riwayat para

imam as yang berkenaan dengan masalah ini, dikatakan bahwa Al-

Quran memiliki beberapa arti dan bentuk, serta memiliki berbagai

kemungkinan.(1) Dengan kata lain, Al-Quran sebenarnya mudah

dipahami tak ubahnya (ayat-ayat) muhkam serta dapat dimengerti

dengan jelas—bukan sesuatu yang bersifat ambigu dan samar, atau

diistilahkan dengan mutasyâbih. Sementara, ujaran manusia tidak

memiliki keistimewaan dan kualitas semacam ini. Aspek harfiah

dari ujaran manusia tidak variatif (dalam hal bentuknya), juga tidak

punya kapasitas untuk menampung berbagai kemungkinan makna

yang jelas. Serta tidak mengandung kedalaman dan aspek batiniah

yang berlapis-lapis.

Efektivitas Al-Quran

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar

karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian

menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah (QS

Az-Zumar [39]: 23).

Bagian akhir ayat ini menyinggung soal efektivitas Al-Quran

yang begitu menakjubkan.

Ujaran prosais yang secara harfiah seimbang dan indah, serupa

dengan syair. Dan bila sedemikian mendalam dan memikat, akan

diidentikan dengan sihir. Karena, “Sesungguhnya banyak penjelasan

p:182


1- 64 Ibid., jld 2, hlm 245.

yang mengandung sihir (yang dapat memengaruhi).”(1) Keindahan

harfiah Al-Quran sedemikian rupa, sampai-sampai berulang kali

disebut sebagai sihir. Seleksi huruf, i’râb, komposisi, dan struktur

kalimatnya sedemikian menawan sehingga menaklukan hati setiap

orang yang mendengarnya. Bila disuarakan dengan lantunan dan

irama yang menarik hati, niscaya ujaran estetik ini akan mengguncang

dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun. Ujaran ini mampu

mematahkan dan menaklukan leher beton dengan keindahannya.

Irama Al-Quran yang menyentuh hati menjadikan bulu roma berdiri,

wajah memerah, dan air mata menetes membasahi pipi.

Siang dan malam, jutaan manusia, ribuan suara, dan berbagai

media massa mengulang-ulang lantunan kalam Al-Quran yang

begitu elok. Lebih menakjubkan lagi, semakin sering diulang,

keindahannya justru semakin memancar. Padahal, mengulang-ulang

suatu ujaran seindah apa pun, akan membuatnya menjemukan dan

membosankan. Kalam Al-Quran merupakan pengecualian. Sama

sekali ia tidak menimbulkan kebosanan, tidak pula tak berpengaruh

pada jiwa. Kenyataan ini diakui kalangan pro maupun kontra Al-

Quran. Lantaran daya tarik dan keindahan kalam inilah, ribuan

majelis qurani digelar pada pagi dan malam hari. Materi-materi

qurani selalu menjadi bahan diskusi dari waktu ke waktu. Bacaan

Al-Quran dilantunkan di setiap tempat. Bahkan Al-Quran menjadi

bacaan rutin majelis umat Islam. Alangkah banyak pendosa yang

hatinya keras, dikarenakan mendengar lantunan ayat-ayat Al-Quran,

menjadi lembut. Mereka pun akhirnya kembali ke pangkuan Al-

Quran. Alangkah banyak individu yang lantaran mendengar kalam

Al-Quran nan indah, sekonyong-konyong terpikat dan menemukan

dalam Al-Quran sesuatu yang dicarinya selama ini. Al-Quran bahkan

memberikan pengaruh pada kalangan individu yang keras kepala

dan bersikap angkuh—namun dikarenakan berjiwa kotor, mereka

pun tak juga condong kepadanya.

p:183


1- 65 Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld 1, hlm 269.

Lantaran aspek mukjizat dan efektivitas Al-Quran, suatu kaum

yang tadinya tenggelam dalam budaya jahiliyah, berubah secara

drastis jadi sekumpulan umat dengan keyakinan baru dan kecintaan

yang begitu mendalam pada kebenaran. Umat Islam yang berkumpul

di sekeliling Rasulullah Saw begitu terpaku pada keindahan Al-

Quran yang beliau sampaikan. Pengaruh Al-Quran terhadap jiwa

sedemikian rupa, sampai-sampai membuat kaum perempuan dan

lelaki, Arab dan Ajam, terpaku dalam pesonanya. Mereka seketika

itu melupakan seluruh kultur jahiliyah. Tak ada kekuatan, ancaman,

dan teror apa pun yang mampu memisahkan mereka dari Al-

Quran. Mereka sudi menanggung siksa musuh yang membencinya,

bahkan siap mengorbankan diri, asal tetap menyatu dengan cita-cita

suci dan Al-Quran.

Daya tarik Al-Quran sedemikian kuat, sampai-sampai mampu

memisahkan anak-anak dari keluarganya; bahkan memisahkan

suami dari istri. Daya tarik Al-Quran benar-benar superior. Kecintaan

terhadap anak atau kasih sayang suami dan istri, juga kecintaan

pada tanah air atau kekayaan dan jabatan, tidak mampu menandingi

kecintaan pada Al-Quran. Di Mekah, kalam paling ekspresif dan

berpengaruh adalah bacaan Al-Quran, yang terujar dari lisan

Rasulullah Saw. Bacaan ini sedemikian menarik hati, sampai-sampai

tidak satu kekuatan pun yang sanggup menandinginya.

Berpikirlah barang sejenak! Pembawa misi Ilahi ini telah diutus

dengan suatu risalah ke tengah bangsa yang semuanya memusuhi

kemuliaan dan kesucian. Namun, bagaimana mungkin figur ini

mampu menghadapi kaum jahiliyah dengan tangan kosong, tanpa

didukung kekuatan manapun? Bagaimana beliau mampu menuntun

mereka pada kebenaran hakiki? Berapakah jumlah sahabat, penolong,

dan modal yang dibutuhkan agar beliau mampu menembus selubung

budaya jahiliyah? Berapa orang yang harus diseru untuk mengikuti

kebenaran?

p:184

Rasulullah Saw tidak memiliki modal dan kemampuan material,

tidak pula kekuatan fisik untuk mengancam dan meneror. Namun

beliau membawa suatu kalam yang penuh daya tarik dan indah

seperti Al-Quran. Beliau Saw membaca Al-Quran siang malam di

sudut Ka’bah dan di tempat lain. Betapa lantunan malakuti, dengan

suara memikat hati dan nada mengguncang jiwa, yang disuarakan

oleh Rasulullah Saw, berubah menjadi mukjizat. Betapa pula bacaan

itu menimbulkan kesan yang tak mungkin ditandingi oleh kesan

yang diraih lewat sarana material. Efek bacaan Al-Quran yang

dilantunkan Rasulullah Saw sedemikian kuat, sehingga mampu

menghentikan langkah orang-orang yang sedang berlalu-lalang.

Mereka sekonyong-konyong terpaku dan terlena sampai berjamjam

lamanya hanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat suci

Al-Quran itu. Efektivitas dan daya tarik Al-Quran-lah yang menarik

perhatian umat manusia tanpa perlu sedikitpun mengeluarkan biaya.

Efektivitas lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan

Rasulullah Saw bahkan menggentarkan musuh yang lantas melarang

orang-orang mendengarkannya. Mereka menghimbau orang-orang

yang berlalu-lalang, para musafir dan peziarah Ka’bah, untuk segera

menutup telinganya saat memasuki Masjidil Haram agar tidak

sampai mendengar bacaan Al-Quran yang dilantunkan Rasulullah

Saw. “Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengar

dengan sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk

terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)” (QS Fushshilat

[41]: 26). Inilah ucapan para tokoh dan pemimpin kaum kafir yang

disampaikan pada para pengikutnya. Pasalnya, kesan kalam suci ini

sedemikian kuat. Mereka juga tidak membiarkan orang lain ikut

mendengarkannya. Efektivitas Al-Quran yang menyatu dengan

mukjizat inilah yang mengubah suatu bangsa yang tadinya hidup

jahiliyah menjadi umat Muslim yang beradab, berbudaya adiluhung,

beriman, berakhlak mulia, berbudi luhur, dan mengenal tata krama.

Fakta inilah yang membuat takjub semua orang.

p:185

Abu Sufyan, Akhnas bin Syuraiq, ‘Amr bin Hisyam (Abu

Jahal), dan ‘Amr bin Wahab merupakan sederet figur pembesar

suku Quraisy yang, sebagaimana diketahui semua orang, sangat

memusuhi Al-Quran. Mereka melarang orang-orang menyimaknya

seraya mewanti-wanti untuk mewaspadai sekaligus menjauhi Nabi

Saw, serta tidak mendengarkan bacaan beliau. Karena, mereka tahu

betul bobot Al-Quran dan telah menyaksikan bagaimana kitab ini

mampu menaklukkan jiwa yang keras. Namun, sebenarnya, mereka

sendiri terpesona oleh kefasihan, balâghah, dan keindahan Al-Quran.

Di kesunyian malam, tanpa saling tahu satu sama lain, masingmasing

mereka diam-diam mendatangi rumah Rasulullah Saw dan

selama berjam-jam duduk mendengarkan beliau melantunkan Al-

Quran. Saat fajar menyingsing, mereka sama-sama terkejut karena

saling memergoki masing-masing di situ. Mereka pun merasa malu

dan saling berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan ini. Keesokan

malam harinya pun, masing-masing kembali mendatangi rumah

Rasulullah Saw dengan anggapan bahwa yang lain tidak datang

sebagaimana malam sebelumnya. Tapi lagi-lagi mereka saling

memergoki satu sama lain. Saat itulah mereka berjanji untuk kedua

kalinya, tidak akan lagi mengulangi hal yang sama. Namun, daya

tarik Al-Quran tak mampu mereka bendung. Lagi dan lagi, mereka

mendatangi rumah Rasulullah Saw di malam hari.(1)

Pada suatu hari, Walid bin Mughirah berjalan melewati Ka’bah.

Sekonyong-konyong dia mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-

Quran dari mulut suci Rasulullah Saw yang saat itu sedang membaca

permulaan surah Ghafir [40]. Walid yang dikenal berhati keras benarbenar

dibuat terpesona oleh bacaan Al-Quran. Ia sangat terpengaruh

dan terpikat. Ketika bertemu dengan sekumpulan temannya, dia

tak mampu menyembunyikan perubahan dirinya di mata mereka.

Setelah menanyakan penyebabnya, mereka sadar akan ketertarikan

Walid pada Al-Quran dan menghujaninya dengan berbagai kecaman.

p:186


1- 66 Sîrah Ibn Hisyâm, jld 2, hlm 156.

Abu Jahal mengatakan dengan nada sinis, “Orang-orangmu

berniat memberikan harta benda untukmu agar engkau tidak lagi

duduk di situ sehingga tidak lagi terpesona dengan ucapan-ucapan

Muhammad.”

Keindahan dan kelezatan Al-Quran sedemikian memengaruhi

Walid; sampai-sampai dia tidak mampu menyembunyikan

perasaannya. Mulutnya ternganga sebagai pengakuan jujur atas

keindahan Al-Quran. Dia berkata, “Aku mendengar sebait kata

dari Muhammad Saw yang [aku yakin] bukan berasal dari ujaran

manusia, juga bukan dari ujaran bangsa jin. Sungguh kata-kata itu

sedemikian indah dan nikmat. Bagian paling atas menghasilkan

buah, sedangkan paling bawahnya mengakar kuat. Ia (kata-kata itu)

sangat agung dan tak ada yang mampu menandinginya.”(1) Inilah

pengakuan seorang musuh yang keangkuhannya dikemukakan

Al-Quran dan menjadi penyebab diturunkannya ayat: “Kemudian

dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri … Ini tidak lain

hanyalah perkataan manusia” (QS Al-Muddatstsir [74]: 23–25).

Jubair bin Muth’im merupakan salah seorang tawanan

perang Badr. Dia memasuki Madinah saat Rasulullah Saw sedang

melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Saat itu, Rasulullah Saw

sedang membaca surah At-Thur. Ketika tiba pada ayat: “Sesungguhnya

azab Tuhanmu pasti terjadi” (QS At-Thur [52]: 7), Jubair berkata,

“Hatiku seakan-akan tercerabut.”(2) Dalam versi, disebutkan bahwa

dia berkata, “Hatiku seolah-olah melayang.”(3) Inilah efektivitas

dan aspek mukjizat Al-Quran yang membuat orang yang hanya

mendengar beberapa ayatnya saja, akan langsung kehilangan

kesadarannya.

Thufail bin ‘Amr Dausi, penyair Arab terkemuka, memasuki

kota Mekah. Orang-orang Quraisy berpesan kepadanya agar tidak

mendengarkan ucapan-ucapan Muhammad. Mereka berkata, “Orang

p:187


1- 67 Al-Durr Al-Mantsûr, jld 6, hlm 283; Al-Mu’jizah Al-Khâlidah, hlm 72.
2- 68 Al-Durr Al-Mantsûr, jld 6, hlm 188.
3- 69 Al-Burhân  Ulûm Al-Qur’ân, jld 2, hlm 234.

ini (Muhammad) menciptakan perselisihan dan pertikaian di antara

kami lewat ucapan-ucapannya yang mengandung sihir. Dia telah

mengakibatkan banyak kesulitan bagi kami; memisahkan istri dari

suami, ayah dari anak, saudara dari saudari. Berhati-hatilah, jangan

sampai engkau mendengarkan ucapannya.” Thufail memercayai

kata-kata itu dan menutup telinganya dengan kapas, lalu masuk

ke Masjidil Haram (di masa jahiliyah sekalipun, terdapat tradisi

berziarah ke Baitullah). Dia melihat Rasulullah Saw sedang shalat

di pinggir Ka’bah. Dia tidak mendengar sama sekali suara Nabi

Saw lantaran telinganya tertutup. Tiba-tiba, dia membatin, “Thufail,

engkau itu orang berakal, mengapa harus takut untuk mendengar

ucapan-ucapan Muhammad?” Sejenak dia menyimak ujaran fasih

beliau Saw. Manakala suara bacaan Al-Quran menghujam telinganya,

dia spontan melepaskan kapas di telinganya. Saat itulah dia

dapat leluasa mendengarkan lantunan indah bacaan Al-Quran.

Thufail sedemikian terkesan mendengar dengan kalam Al-Quran,

sampaisampai dirinya langsung menyatakan keislamannya saat

itu juga. Ketika pulang ke daerahnya, dia menyeru keluarga dan

kaumnya untuk masuk Islam; dan mereka pun berbondong-bondong

memeluk agama Islam.(1)

Demikianlah, dengan sangat mudah, suatu kaum memeluk

Islam setelah mendengar lantunan kalam Al-Quran yang begitu

menggugah. Al-Quran menaklukan hati dan membius akal berkat

mukjizatnya yang sedemikian agung. Rasulullah Saw memikat hati

banyak orang dengan modal ini. Demikianlah beliau mengubah

bangsa yang tadinya jahil dan zalim menjadi umat yang beradab,

berbudaya luhur, dan rela berkorban. Demikianlah siang dan malam,

kalam terindah ini senantiasa melembutkan hati, memerahkan wajah,

dan menjadikan air mata mengalir di pipi. “Allah telah menurunkan

perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu

ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang

yang

p:188


1- 70 Sîrâh Ibn Hisyâm, jld 2, hlm 226.

takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka

di waktu mengingat Allah” (QS Az-Zumar [39]: 23). Inilah efektivitas

Al-Quran. Pembahasan seputar tema utama yang terdiri dari dua

kategori, yakni estetika ujaran dan ujaran estetik, berakhir di sini—

seraya mengingatkan pada beberapa poin penting yang layak

diperhatikan dan dikaji lebih jauh.

Ummi

Mayoritas peminat Ulumul Quran dan ahli tafsir Al-Quran

menyebut kondisi ummi Rasulullah Saw sebagai aspek lain mukjizat Al-

Quran. Dengan kata lain, dikarenakan Nabi Saw tidak belajar (kepada

siapa pun juga), kemunculan suatu kitab nan indah dan mendalam

seperti Al-Quran berbarengan figur agung semacam ini merupakan

sebuah mukjizat. Ayat berikut menjadi dasar argumentasi mereka:

“Katakanlah, ’Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya

kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.’

Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya.

Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS Yunus [10]: 16) Bila

Al-Quran berasal dari diriku sendiri, mengapa aku yang selama ini

hidup bersama kalian selama 40 tahun, tidak menyampaikan kabar

mengenai ucapan-ucapan ini sebelumnya? Karenanya, ketahuilah,

Al-Quran turun dengan kehendak dan iradah Ilahi.

Jelasnya lagi, setiap orang di situ mengetahui betul masa lalu

Nabi Saw. Selama 40 tahun, beliau tak pernah sekalipun mengenyam

pendidikan di sekolah, tidak pula belajar (kepada seseorang), atau

menghadiri pusat-pusat kajian dan pendidikan ilmiah. Beliau

benar-benar sosok yang ummi. Bagaimana mungkin beliau mampu

menciptakan kitab Al-Quran yang memuat berbagai pengetahuan

mendalam serta berpandangan tajam dalam semua bidang keilmuan

dan kehidupan. Keberadaan kitab seperti ini, yang dibawa sosok

ummi yang tidak pernah belajar sekali pun, tentunya mustahil,

kecuali itu adalah mukjizat.

p:189

Kondisi Rasulullah

Berkenaan dengannya, dapat dikatakan bahwa kondisi Rasulullah

saw yang ummi tidak dapat dijadikan argumen seputar mukjizat Al-

Quran. Pasalnya, wawasan Al-Quran bukan termasuk ihwal yang

dapat dikuasai sekalipun oleh orang-orang yang terdidik (semisal,

sarjana lulusan universitas) dan bukan ummi. Bila semua orang

jenius dan cerdas di muka dunia serentak melakukan penelitian dan

kajian terhadapnya selama bertahun-tahun, niscaya mereka tak akan

pernah mampu menciptakan kitab seperti Al-Quran. Pada akhirnya,

mereka akan mengakui ketidakmampuannya, lantaran wawasan Al-

Quran melampaui daya intelektual manusia.

Tantangan Al-Quran ditujukan pada pusat-pusat kajian

ilmiah, seraya memintanya mengumpulkan seluruh pakar untuk

menciptakan yang sama dengan Al-Quran. Namun yakinlah, mereka

tidak akan pernah mampu melakukannya. Karena itu, kondisi

Rasulullah Saw yang ummi tak ada sangkut pautnya dengan mukjizat

Al-Quran. Kalau pun Nabi Saw menghabiskan umurnya di pusatpusat

kajian ilmiah dan pada saat bersamaan, wawasan sakral ini

diwahyukan kepada beliau, maka Al-Quran tetap berstatus mukjizat.

Adapun mengapa Al-Quran menceritakan masa lalu Rasulullah Saw,

menyatakan bahwa beliau itu ummi, dan menegaskan bahwa beliau

tidak pernah menulis, itu karena:

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (sebelum pengangkatan

sebagai nabi atau bi’tsah) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah)

menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu

pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang

mengingkari(mu) (QS Al-‘Ankabut [29]: 48).

Ayat tadi mengindikasikan bahwa Rasulullah Saw tidak

membaca, tidak pula menulis.Namun, ini bukan berarti beliau

“tidak mampu” membaca dan menulis. Salah satu hikmahnya,

agar audiens lebih siap menerima risalah Rasulullah Saw. Karena,

p:190

jika beliau Saw pernah belajar atau menulis, niscaya sebagian orang

yang selalu mencari-cari dalih, akan segera mengklaim bahwa beliau

sendirilah yang menulis kitab tersebut; selain pula terbuka celah

untuk melancarkan propaganda dan fitnah keji, sekaligus menebar

sikap skeptis dan merusak suasana. Untuk menutup kemungkinankemungkinan

semacam ini, Al-Quran pun menandaskan bahwa

sepanjang hayat, Nabi Saw tidak pernah menulis dan membaca.

Ketika Nabi saw mengunjungi seorang pandai besi berkebangsaan

Romawi, mereka kontan mengatakan bahwa Al-Quran merupakan

produk pengajaran manusia, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran

itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’” (QS

An-Nahl [16]: 103). Al-Quran seketika menjawab dengan nada tegas,

“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar

kepadanya bahasa Ajam, sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab

yang terang” (QS An-Nahl [16]: 103). Kehidupan Nabi saw yang terang

benderang dan memiliki kekhasan itu bertujuan untuk menutup

semua celah bagi musuh untuk melancarkan fitnah, sekaligus

mempersiapkan lahan yang sepenuhnya kondisi untuk menerima Al-

Quran. Kondisi ummi Nabi Saw dimaksudkan sebagai lahan yang

subur untuk turunnya Al-Quran dan agama; bukan untuk dijadikan

argumen ihwal mukjizat Al-Quran.

Aspek Mukjizat Angka

Dalam beberapa tulisan yang baru diterbitkan sekaitan dengan

tema mukjizat Al-Quran, dikemukakan aspek lain mukjizat Al-Quran

yang diistilahkan dengan “mukjizat angka”.

Menurut tulisan-tulisan tersebut, sebagian ujaran qurani

korespon dengan realitas. Juga, banyak kasus yang berkenaan

dengan kata-kata yang saling berlawanan dalam Al-Quran, di mana

lawan kata masing-masing dari segi angka dan bilangannya, ternyata

berjumlah sama. Sebagai contoh, dalam Al-Quran, kata syahr (bulan)

digunakan dalam 12 kasus atau setara dengan jumlah bulan dalam

p:191

setahun. Atau, kata yawm (hari) yang disebutkan sebanyak 365 kali

atau setara dengan jumlah hari dalam setahun. Kata dunyâ (dunia)

dan lawannya, âhirah (akhirat), disebutkan dalam 115 kasus. Iblis

dan isti’âdzah (memohon perlindungan dari godaannya) disebutkan

di 11 tempat. Kata hayât dan lawannya mamât sama-sama disebutkan

sebanyak 145 kali. “Neraka” dan lawan katanya, “surga”, sebanyak

77 kali, rajul (laki-laki) dan lawannya imra’ah (perempuan) sebanyak

24 kali, khayr (kebaikan) dan lawannya syarr (keburukan) sebanyak

68 kali, malaikat dengan lawannya, setan, sejumlah 88 kali, iman

dengan kufur sebanyak 17 kali, tayyib (yang baik) dan lawannya

khabîts (yang buruk) sebanyak 7 kali, rusyd (petunjuk) dan ghayy

(kesesatan) sebanyak 3 kali, qabl (sebelum) dan ba’d 49 kali

(1), dan

seterusnya.

Bila ulasan semacam ini memiliki dasar dan argumen yang kredibel

tentunya akan menarik dan menakjubkan, sekaligus menunjukan

aspek lain mukjizat Al-Quran. Terlebih di masa sekarang, manakala

sains dan teknologi telah berkembang pesat. Dengannya, niscaya

tercipta peluang yang sangat besar untuk melakukan kajian dan studi

yang lebih mendalam. Namun satu hal yang tidak boleh diabaikan;

kesimpulan yang diambil harus bersumber didasari kajian yang serius

dan tidak hanya bersandar pada asumsi dan prasangka. Karena, jika

hanya terbatas pada asumsi semata, maka itu malah akan menyulut

keraguan. Pada sejumlah kasus yang telah disebutkan, beberapa di

antaranya tidak didasarkan pada kajian dan penelitian yang cermat.

Misalnya, kata yawm disebutkan dalam Al-Quran kurang dari 365

kali, sedangkan derivatifnya justru lebih dari 365 kali. Atau, dengan

dasar apa kita memposisikan iblis vis-a-vis isti’âdzah? Mengapa pula

tidak menempatkan setan atau keduanya (iblis dan setan) vis-à-vis

isti’âdzah? Dan beberapa kejanggalan lainnya.

p:192


1- 71 Adnan Rifa’i: Al-Mu’jizah fi Kasyf I’jâz Al-Qur’ân Al-Karîm, cet. 1415.
Orang-orang Tercela dalam Sejarah
Point

Semua yang yang telah disebutkan dalam bab estetika ujaran

dan ujaran estetik, sebagai bagian dari pembahasan seputar mukjizat,

berdimensi bayân, yaitu seni mengungkapkan ide dalam berbagai

cara. Juga berdimensi ma’ânî, yaitu wawasan seputar kondisi ujaran.

Ada pun dari dimensi badi‘ berupa tata letak dan dekorasi ujaran

dari aspek kata-kata dan kandungannya. Pastinya, seluruh dimensi

Al-Quran memiliki kapasitas yang tidak terbatas. Semua yang telah

dijabarkan dalam karya tulis ini hanyalah sekelumit dari wawasan

hakiki tentangnya, itu pun sebatas kemampuan. Tulisan ini juga

bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir, yang mengungkap

aspek mukjizat Al-Quran. Karena, ratusan karya tulis nan indah telah

[dan diyakini akan terus] ditulis sekaitan dengan topik ini.

Namun yang jelas, tak seorang pun punya kemampuan untuk

menandingi Al-Quran. Malah, orang-orang yang mati-matian menentang,

melawan, atau menandingi Al-Quran—seberapa banyak pun

jumlahnya—pada akhirnya mengakui ketidakberdayaannya. Alangkah

banyak orang yang berencana menandingi Al-Quran namun saat

membandingkan tulisan dan ujarannya dengan ayat-ayat Al-Quran,

dengan sangat terpaksa merobek sendiri karya tulisnya seraya

berkecil hati dan menahan malu. Mereka enggan memperlihatkan

hasil karyanya. Hanya beberapa orang tidak berakal, tak punya harga

diri, dan tidak tahu malu yang nekat dan blak-blakan menyatakan

penentangannya seraya menistakan dirinya sendiri. Kisah tentang

mereka tercatat dalam sejarah, dan akan disinggung soal cacat dan

kenistaan beberapa dari mereka.

Musailamah Kadzdzab

Musailamah, sosok ambisius yang berasal dari Yamamah.

Semasa hidup Rasulullah Saw, dia menemui beliau, berpura-pura

masuk Islam, lalu memohon beliau menyertakannya dalam urusan

p:193

risalah kenabian. Dalam surat yang ditulisnya kepada beliau Saw, dia

membagi kekuasaan dunia ke dalam dua bagian seraya mengatakan

bahwa separuh belahan dunia miliknya, sedangkan separuh lagi

untuk suku Quraisy. Menjawab surat itu, Nabi Saw menulis:



Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dari Muhammad Rasulullah (utusan Allah) kepada Musailamah

Kadhdhab (Pembohong); Keselamatan diberikan kepada orang

yang mengikuti petunjuk. Amma ba’d. Sesungguhnya bumi

(ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang Dia

kehendaki dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik

adalah bagi orang-orang yang bertakwa.(1)

Saat itulah Musailamah mengklaim di depan orang banyak,

“Aku turut ambil bagian dalam tugas risalah dan kenabian dengan

Muhammad.” Dia mengklaim kenabian dan saat itu pula memulai

aksinya dengan meniru pola sajak nan indah yang digunakan Al-

Quran, seraya menyusun kata-kata yang senada dengan lantunan

Al-Quran, sebagaimana kalimat berikut ini:

لقد انعم الله علی الحبلی * اخرج منها نسمة تسعی * من بین صفاق و حشی * و احل لهم الخمر و الزنا

ووضع عنهم الصلاة(2) و السل الاطعم * و الدئب * والجذع الازلم *

ما انتهکت اسید من محرم(3) *

الفیل * ماالفیل * و ما ادراک ماالفیل * له ذنب وبیل * و خرطوم طویل(4) *

p:194


1- 72 Lih., Sîrah Ibn Hisyâm.
2- 73 Ibid., jld 5, hlm 273.
3- 74 Al-Tamhîd, jld 4, hlm 229.
4- 75 Ibid., jld 4, hlm 230.

Juga dengan meniru surah Al-Kautsar, dia membuat surah

tandingan yang bunyinya:

انا اعطیناک الجماهر * فصلّ لربک وجاهر *

والطاحنات طحنا * والعاجنات عجنا * والخابزات خبزا(1)

dan masih banyak lagi.

Musailamah mengklaim kenabian dirinya di Yamamah,

menyesatkan banyak orang awam, serta mengerahkan penduduk

Yamamah untuk memerangi kaum Muslimin semasa Abu Bakar

berkuasa. Dalam peperangan ini, puluhan qari’ dan juru hafal Al-

Quran terbunuh. Akhirnya, setelah nyawa ratusan orang melayang

dengan sia-sia, Musailamah pun tewas.(2)

Sajah binti Harits

Saat Musailamah menyebarluaskan fitnah di Yamamah, seorang

wanita bernama Sajah binti al-Harits juga mengklaim kenabian di

Hijaz. Dia merekrut sejumlah orang bodoh dan mengganggu kaum

yang lemah. Tak lama setelah itu, dia bertolak ke Yamamah. Saat

hendak berangkat ke sana, dia mengatakan:

علیکم بالیمامة * ودقوادفیف الحمامة

فانها غزوةصرامة * لا یلحقکم بعدها ملامة

Ketika memasuki Yamamah, Musailamah mengundang Sajah

ke rumahnya dan membuatkan kemah secara terpisah seraya

menghiasinya. Musailamah lalu menemuinya dan bertanya, “ Wahyu

apa yang turun kepadamu?” Sajah menjawab, “Karena engkau

yang lebih dulu mengklaim kenabian, katakanlah, wahyu apa yang

p:195


1- 76 Ibid., jld 4, hlm 231.
2- 77 Târîkh Al-Ya’qûbî, jld 2, hlm 16.

telah turun kepadamu?” Musailamah berkata, “Telah turun wahyu

kepadaku bahwa: A lam tara ila rabbika kayfa fa’ala bi al-hablâ

(Tidakkah kamu memperhatikan Tuhanmu bagaimana berbuat terhadap

wanita hamil).” Pada saat itulah, keduanya saling melempar

kata-kata yang lantas diklaim sebagai wahyu. Pertemuan itu diabadikan

sejarah sebagai kebobrokan mereka. Mengingat kandungan dan isi

kata-kata mereka berdua jauh dari etika dan etiket, kami akan tidak

menyebutkannya dalam tulisan ini. Inilah sejumlah contoh pendek

perihal apa yang disebut sebagai ayat-ayat tandingan Al-Quran—

yang justru menjadikan para penyusunnya dicatat sejarah sebagai

orang-orang yang membongkar sendiri kebobrokan pribadinya

dikarenakan ucapannya benar-benar amoral, tidak berdasar, serta

sarat keburukan.

Sosok-sosok lainnya yang juga berusaha menandingi atau bahkan

melawan Al-Quran adalah Thulaihah bin Khuwailid, Aswad ‘Ansi,

Ibnu Muqaffa’, Abu Syakir Daishani, Ibnu Abil ‘Auja, Ahmad bin

Rawandi, Abu Thayyib, Abul ‘Ala Ma’arri, dan nama-nama lainnya.

Bukannya ujaran yang sama persis dengan Al-Quran, mereka malah

menciptakan ujaran yang tak berdasar. Mereka tidak memperoleh

apa pun selain keburukan dan cemoohan. Menceritakan ihwal

mereka kiranya tidak terlalu penting, kalau bukan malah hanya

buang-buang waktu saja. Kedunguan dan mitos yang terpantul dari

ujaran ciptaan mereka sudah cukup membongkar kenistaan semua

nabi palsu itu. Pesan dan misi Al-Quran adalah mengingatkan semua

orang agar tidak sampai menantang Al-Quran. Manusia diimbau

untuk menjauh dari ajang pertandingan melawan Al-Quran agar

tidak sampai digerus azab Ilahi dan keburukan dirinya terbongkar

habis.

Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan

dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan

bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir

(QS Al-Baqarah [2]: 24).

p:196

Daftar Pustaka

Atsir, Ibnu: Al-Nihâyah, cet. Ismailiyan.

Balaghi: Âlâ’ Al-Rahmân.

Bazargani, Mahdi: Bod va Boron.

Deraz, Dr.Abdullah: Al-Naba’ Al-‘Azdîm.

Farahidi, Khalil: Kitâb Al-‘Ayn, cet. Jami’ah Mudarrisin, Qom.

Fashlnômeh Puzhuhesyhô-ye Qur’ôni, vol. 1.

Firdausi: Syohnômeh.

Ghazali: Ihyâ’ Ulûm Al-Din.

Hadid, Ibnu Abil (komentator): Syarh Nahj Al- Balâghah .

Hudhairi, Abdul Ali Arusi: Nûr Al-Tsaqalain.

Isfahani, Raghib: Mufradat li Alfâzd Al-Qur’ân.

Eslôm va Hay’at (terj.).

Khalidi: I’jâz Al-Qur’ân.

Khomeini, Imam: Tahrîr Al-Wasîlah.

Majlisi, Muhammad Baqir: Bihâr Al- Anwâr, cet. Beirut.

Majma‘ Al- Bayân, cet. Maktabah al-‘Alamiyah al-Islamiyah.

Makrifat, Ayatullah Muhammad Hadi: Al-Tamhid.

Musnad Ahmad ibn Hanbal.

Qomi, Syaikh Abbas: Safînat Al-Bihâr, cet. Farahani.

Rifa’i, Adnan: Mu‘jizah Kasyf I’jâz Al-Qur’ân Al-Karîm, cet. 1415.

Sa’di: Gulestôn.

Saleh, Shubhi (komentator): Nahj Al- Balâghah.

Sîrah Ibn Hisyâm.

p:197

Suyuthi, Jalaluddin: Al-Durr Al-Mantsûr, cet. Maktabah Ayatullah

Mar’asyi.

___________: Al-Itqân.

Syahrestani, Hibatuddin: Al-Mu’jizah Al-Khâlidah.

Târîkh Al-Ya’qûbî, cet. Muassasah A’lami.

Thaba’thaba’i, Muhammad Husain: Qur’on dar Eslom.

___________: Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân.

Tsa’alibi: Fiqh Al-Lughah wa Sirr Al-‘Arabiyyah.

Wasa’il al-Syi‘ah, cet. Beirut.

Zarkesyi: Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân.

Zarqani: Manâhil Al-‘Irfân.

p:198

Indeks

A

‘Ash bin Wa’il 160

Abadi 7, 10, 45, 47, 48, 49, 52, 87,

111, 131, 135, 193

Absolut 25, 32, 36, 39, 95, 114,

135, 194

Âfah 52

Agama 13, 18, 19, 20, 55, 56, 58,

59, 74, 99, 109, 146, 149,

150, 151, 152, 153, 155, 156,

158, 162, 164, 168, 169, 170,

202, 205, 213

Agen mediasi 45

Ahlul Bait 4, 5

Ahlul Kitab 138, 142, 143

Ahsan Al-Hadîts 11

Al-iqtibâs (Kutipan) 50

Al-muhassinât al-ma’nawiyyah

(Estetika Makna) 50

Al-Mu’jizahAl-Khâlidah 187, 198

Al-Munjid 164

Al-Nihâyah 164, 197

Alegori vi, 84, 86, 90

Ali Al-Jarim 50

Analogi 65, 75

Angka 191

Arab 2, 14, 16, 54, 56, 70, 81, 82,

91, 163, 164, 178, 181, 184,

187, 191

Atribut 10, 27, 54, 135

Awan 31, 54, 59, 74, 75, 165,

166, 167, 168, 169, 170,

B

“Bicara” 8

Badî vii, 11, 50, 107

Balâghah 9, 46, 47, 50, 119, 197

Baqilani 46, 107

Batil 86, 87, 99, 131, 134

Bayân 2, 11, 17, 46, 47, 50, 52, 197

Benda-benda Angkasa 162

Bihâr Al-Anwâr 10, 39, 52, 111,

117, 122, 133, 136, 181, 197

Budaya 9, 11, 80, 114, 144, 145,

180, 181, 184

Burhânî 55

C Causa prima 79

D

Daya fikir 200

Daya pikir 4, 117, 158

Dzul Fiqar 136

p:199

E

Efektivitas 26, 27, 29, 30, 31, 36,

37, 39, 42, 43, 51, 52, 53,

110, 182, 184, 187, 189

Egosentris 3

Eksistensi 26, 30, 31, 62, 75, 79,

119, 123

Ekspresif 6, 22, 53, 56, 65, 75, 76,

80, 82, 85, 86, 88, 98, 101,

103, 121, 184

Ekspressif 200

Elokuensi (Kefasihan) 86, 90

Emanasi 28, 29, 122

Epigram 102

Epistemologi 200

Estetika 22, 49, 95

Estetika Ujaran vi, 49

Etika 114, 158, 196

F

Fâ’il 200

Falak 164

Falak 44, 74, 163, 164

Fashâhah 45

Fashlwa washl 200

Fasih 14, 22, 45, 53, 56, 65, 70, 75

Fashâhah 45

Fashlwa washl 200

Fasih 14, 22, 45, 53, 56, 65, 70, 75,

76, 98, 101, 188

Fatimah, az-Zahra, as 40

Fenomena 25, 26, 27, 28, 35,

37, 101, 168

Fenomena udara fantasi 200

Fi’liyyah 200

Fiktif 14

Fir’aun 6, 35, 56

Firdausi 75, 76, 78, 180, 197

Fisik 21, 35, 82, 87, 185

Fisis 38, 124

Fitrah 4, 12, 118, 124

Pondasi 23, 24, 95, 128, 136, 139

Formatif ujaran 21, 22, 51

G

Glorifikasi 65

Guleston 74

H

Hadd (Hukuman) 45

Hafez 180

Hafizd Syirazi 9

Hak-hak Asasi Manusia viii, 139

Hak Asasi 152

Hakikat 25, 122

Halq 53

p:200

Hamsiyyah (Suara Bisikan) 51

Haq 18, 86, 87, 99, 131, 132, 136,

147, 159

Haqq 39, 57, 58, 171

Hasrat 3, 100, 155

Hati 9, 131

Hauzah Ilmiyah 6, 7

Hidayah 12, 90, 146

Hierarki v, 11

Hipotesis 33, 161, 162

Hubungan Internasional viii, 137

Hujan viii, 167

Hukum v, viii, 6, 25, 26, 152, 153,

179

Hukum Ilahi 6

Hukum Perdata viii, 152

Hukum Pidana viii, 153

Humiliasi 65

I

I’jâz (Kemukjizatan) 192, 197

I’jâz Al-Qur’ân 192, 197

I’jâzItnâb 201

I’râb vi, 61

Ibnu Abil Hadid 45, 46, 180

Ibnu al-Atsir 164

Ibrahim Al-Khalil, as. 30

Ideologi 95, 114, 137, 138, 142

Ikhtiar 8, 9, 122

Ilahi 6, 8, 13, 15, 18, 20, 21, 25,

28, 29, 30, 31, 33, 35, 38, 39,

40, 42, 67, 68, 70, 71, 72, 75,

79, 81, 84, 89, 90, 95, 97, 98,

99, 110, 114, 116, 117, 120,

121, 122, 125, 131, 132, 133,

134, 137, 138, 153, 162, 171,

184, 189, 196

Ilmu Ma’ânî 46

Ilmu Pengetahuan vi, viii, 35,

160

Ilmu Tafsir 2

Iltifât vii, 110

Imajinasi 4, 14, 43, 78

Imam Ali, as. 44, 47, 118, 139,

180

Imam as. 40

Imam Khomeini, ra. 5, 45

Imam Shadiq, as. 44, 45, 52, 67

Iman viii, 6, 79, 142, 132

Imperatif v, 33

Individu 3, 4, 39, 42, 122

Indriawi (Visibel) 25

Inheren 11, 22, 30, 133, 161

Inkonsistensi 18, 53, 86, 172

Insyâ 50

Intuitif 45

Invisibel 26, 29, 30, 31, 36, 37,

39

Invisibilitas 25

Iran iv, 5

p:201

ismiyyah 65

Isnâd Khabarî 50

isti’âdzah 192

Isti’ârah 91, 94, 98, 99 istimrâr 55

Itnâb 50

J

jahriyyah (SuaraKeras) 51, 53

Jalâl 120

Jalaluddin Al-Qazwini 50

jamal 119, 171

Jin 28, 88, 132

jism 164

jiwa-jiwa suci 31, 39

Jubair bin Muth’im 187

K

“Kalam Terindah” 7, 10

Kabar viii, 158, 160

Kafir viii, 143, 144, 147, 148

kaidah 3, 80, 101, 107, 129, 155

Kalam (Ujaran) v, 7, 8, 10, 11, 12,

18, 150, 173, 178, 183 kalam

keindahan (Ujaran Estetik)

11, 47

Karamah vi, 38

Kausa (Faktor Penyebab) 25, 26,

27, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 39,

40, 42, 75

kausa-kausa mediator 29

kausa instrumental 37

Kausalitas v, 26

kausa prima 25, 26, 27, 29, 31

kausa visibel 31, 37, 39

Keabadian vi, 34

Keadilan viii, 140

Keajaiban v, 11

Kebahasaan (Lingual) 38 Kebaikan

viii, 30, 141 Kebenaran

vii, 87, 99, 162 Kebudayaan

(Kultural) 38, 180

Kecenderungan vii, 123, 124,

125, 126, 141

Kecerdasan viii, 145

kefasihan ujaran 11 Keharmonisan

viii, 171 Keindahan vi, 16,

18, 39, 78, 80,

90, 94, 104, 107, 119, 183,

187

keindahan artistik 11, 91

keindahan kalam (Estetika

Ujaran) 11, 47, 183

Kemenangan viii, 131, 136

keniscayaan 4, 25, 120 Kepercayaan

12, 163 Kesempurnaan

11

Kinâyah 50, 80, 92

komunikasi 8, 179

konklusi 5

konsisten 18, 42, 54, 72, 139, 142,

152 Konspirasi

viii, 148

kontemplasi 5

Kontinuitas vii, 99

Indeks 203

Konvensional 15, 93

Kooperatif 26

Kreator 25

L

Lawh mahfûzd 203

Layyinah (Lembut) 51

M

Ma’âd 107, 120

Ma’âni, Al- 46, 47, 50

Mabda’ 121

Madaniyyah 2

Mahmûsah rikhwah 53

Mahmûsah syadîdah 53

Majâz 50

Makhraj (Lokus Ujaran) 51

Makkiyyah 2

Makna Ujaran vii, 113

Maknawi 38, 181

Malakût 30, 114, 122

Malakûti (gaib) 124

Manifestasi 11, 18, 39, 117, 120,

122, 127, 137

Mansûkh 2

p:202

Maqam Wilayah (Menjadi Wali)

40

Maqta’iy 55

Maryam, Siti 40, 42, 159, 161

Masyarakat viii, 130, 133, 157

Medium 8, 9, 36, 37

Melampaui (Beyond) 19, 22, 23,

35, 38, 90, 91, 98, 102,

107, 114, 115, 117, 126,

130, 152, 158, 162, 190

Menalar 5

Metafisis 38

Metafora vi, 91

Metafora 65, 70, 91, 176

Metode v, 7, 165

Metodik viii, 130

metonimi 65, 80

Miftâh Al-‘Ulûm 46

Morfologi 2

mufrad 50

mufsid 136, 154

muhkam 2, 175, 176, 177, 182

Mukjizat v, vi, vii, viii, ix, 21, 25,

29, 31, 33, 34, 35, 37, 38, 40,

42, 45, 46, 49, 50, 113, 158,

160, 191

Mukjizat Angka ix, 191

Munfatîhah (Terbuka) 51

Munkhafidhah (Rendah) 51

Munzaliqah (Naik) 51

Murtadha, ra.Sayyid 24

Musâwâh 50 Mushammanah

(Turun) 51 Musnad 50, 183,

197 musnadIlaih 204

Mustafa Amin 50 Mutabbaqah

(Tertutup) 51

p:203

Prasangka 5, 9, 162, 192

Prima facie 175

Prosa 15, 74, 75, 100, 104

Ptolemeus 162

Q

Qadha’ 160

Qâfiyah 100, 104

Qalam 10

Qalqalah 51

Qashr 50

Qirâ’ah 53

Quds 135, 150

R

Ragam Makna ix, 181

Rahasia v, viii, 21, 22, 145, 170

Rakhwah (Lemah) 51, 56

Rasional vi, 37

Relasi 8, 12, 26, 27, 29, 51, 93,

110,

147, 179,

Relasi-kausa aksidental 26

Relasi Antarlausa (Relasi Kausal)

26, 29

Retorika vi, 2, 50

Revolusi 5, 6, 7, 163

Ritme puitik 14

Rummani 46

Mutarraf vii, 105

Mutasyâbih 2, 175, 176, 177, 182

N

Nahw, Al- (Sintaksis) 2

Naluriah 8

Natiq 47

Nilai 9, 10, 12, 20, 29, 76, 80,

98, 101, 128, 129, 130, 138,

139, 152, 180

Non-istimrârî 65

O

Otonom 3, 26, 29

P

Pandangan dunia 137

Pembacaan 10

Pembacaan 2

Pengkhianatan viii, 148

Pengukuran 27

Peradaban 8, 9, 38, 181

Perjanjian viii, 139

Perjanjian 139, 140, 141, 143, 144,

150, 151, 159 Permusuhan viii,

147 Permusuhan 5, 142 Perputaran

viii, 162 Persahabatan

viii, 143 Persatuan viii, 132 Pertahanan

viii, 145 politeisme 31

Politik viii, 137, 145

p:204

S

“Shorfah” v, 23

Sa’di 197

sahih 2, 4, 5, 11, 61, 138, 158

Sains vi, 35

Saintis viii, 158

saintisme 33

Sajah binti Harits ix, 195

Sajak vii, 100, 101, 102, 104, 105

Sakkaki 45, 46, 93

Sana’ullâh (Ketinggian Allah) 52

sastra 54, 98

sastrawan 12, 16, 20, 70

sebab akibat 25

Sejarah ix, 193

sejarah 8, 11, 40, 46, 55, 68, 69, 70,

78, 130, 148, 155, 158, 160,

161, 193, 196

Seni 11, 108, 110

shafîr (Dengusan) 51, 62

Sharf, Al- (Morfologi) 2

Shibghah Allah 39

shirât mustaqîm 39, 40, 126

Shulh 159

Signifikansi v, 3, 8

Sihir vi, 42

similarisasi 84, 93, 120

Siti Maryam 40, 159

skeptisisme 5

spontan 26, 37, 110, 188

Sunnatullah viii, 131, 132, 136

Syadîdah (Keras) 51, 53, 56

syafaat 30

Syahrestani 24, 70, 164, 198

Syahristani 46, 70

Syaibah 134

Syair 75

T

“tadabbur” 5

“tulisan” 8

ta’dzim 205

ta’kid 205

ta’sis 55

Tafsir 2, 3, 22

tahqir 206

Tajwid 51

tajwid 53

takaran 27

Takdir vii, 126

taklid 5

takwini 66, 67

Tamtsil vi

Tatanan Sosial viii, 131

tatsniyah 65

Tauhid v, 27, 29, 31, 79

Tauhid tindakan Tuhan (Tawhid

Af’ali) 27, 29, 79

Teks vi, 49

Tekstual iii, iv

tekstual 19, 46, 67

Teks Ujaran vi, 49

p:205

Teologi vii, 118

Thufail bin ‘Amr Dausi 187

tibaq 206

Tuntunan vii, 122, 126

U

Ujaran vi, vii, 49, 51, 74, 83, 84,

92, 96, 98, 100, 113, 182, 183

ujaran terbuka 8

ujaran tertutup 8

ujian 79, 134, 135

Ummi ix, 189

Ushul Fikih 3 Utbah

134

W

Wahyu 115, 117, 195

Walid bin Mughirah al-

Makhzumi 16

Wazn (Figura) 70

wilayah 40, 144, 166

worldview 137

wujud absolut 25

wujud penyebab 27

wujud substansial 25

p:206

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109